Budaya Demokrasi dan Pengaruhnya Terhadap Kejujuran Politik di Indonesia, https://cdn.akurat.co
KATA PENGANTAR
Maha suci Allah, pemilik kebesaran dan kemuliaan, Puji syukur kami haturkan kehadirat-Nya, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tepat pada waktunya. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Sang revolusioner sejati, pembawa dan penuntun kalam ilahi.
Sebelumnya, kami ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang turut mendukung atas terselesaikan nya makalah “Budaya Demokrasi dan Pengaruhnya Terhadap Kejujuran Politik di Indonesia” ini. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun makalah ini. Meskipun kami menyadari bahwa masih  banyak kekurangan di dalamnya, baik dari segi penulisan atau isi. Oleh karena itu, kami membuka lebar saran dan kritik dari pembaca yang budiman, agar kedepannya makalah ini dapat menjadi lebih baik.
Besar harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan  menambah pengetahuan serta  pengalaman bagi pembacanya.

Yogyakarta, 1 Mei 2018

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang Masalah 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penulisan 2
Metode Penulisan 2
PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Budaya Demokrasi 3
B. Macam-Macam Budaya Demokrasi 3
C. Prinsip Budaya Demokrasi 4
D. Unsur Budaya Demokrasi 5
E. Permasalahan dan Tantangan Budaya Demokrasi 5
F. Peran Budaya Demokrasi dan pengaruhnya terhadap kejujuran politik
di Indonesia 8
PENUTUP 10
A. Kesimpulan 10
DAFTAR PUSTAKA 11 

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bertolak dari keinginan untuk melihat hubungan timbal-balik antara budaya demokrasi dan politik dikalangan orang-orang miskin, maka makalah ini mengandung dua proposisi umum. Pertama, bahwa dikalangan orang miskin menunjukan reaksi yang berbeda terhadap demokrasi. Kedua, tanggapan yang berbeda-beda terhadap demokrasi di kalangan masyarakat mempunyai kaitan yang erat dengan perbedaan kedudukan sosio-ekonomi dan politik di kalangan mereka.
Oleh karena itu,  dalam pelaksanaan budaya demokrasi, harus merujuk kepada dukungan terhadap persamaan hak serta pelaksanaan hak-hak dasar masyarakat seperti kebebasan memilih, kebebasan berhimpun dan berdemonstrasi, kebebasan mogok, kebebasan mendapatkan perlindungan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perumahan dan sebagainya.
Salah satu wujud budaya demokrasi yang amat penting dan menjadi ukuran pelaksanaan demokrasi yang baik ialah partisipasi politik yang bebas dan jujur dalam pemilihan umum. Masalahnya, adakah praktik demokrasi semacam itu, wujud di kalangan orang-orang miskin?
Dengan adanya beberapa masalah tersebut, maka dalam makalah ini akan mencoba memaparkan bagaimana peran budaya demokrasi ini dalam mendukung terciptanya kejujuaran politik di Indonesia, terutama dikalangan bawah atau orang miskin.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah yang diperoleh, antara lain sebagai berikut:
1. Apa pengertian, macam, prinsip, dan unsur budaya demokrasi?
2. Bagaimana peran budaya demokrasi dalam mewujudkan jujurnya politik di Indonesia? 

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian, macam, prinsip, dan unsur budaya demokrasi.
2. Untuk mengetahui peran budaya demokrasi dalam mewujudkan jujurnya politik di Indonesia
D. Metode Penulisan
Metode penulisan dengan menggunakan kajian pustaka dengan menganalisis beberapa sumber data.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Budaya Demokrasi
Budaya Demokrasi merupakan pola pikir, dan sikap warga masyarakat beradsarkan nilai-nilai kemerdekaan, persamaan dan persaudaran antar manusia dengan kerjasama, saling percaya, toleransi, dan kompromi. Pengertian budaya demokrasi secara etimologi yaitu sikap dan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi. seperti menghargai, kebersamaan, kebabasan, dan peraturan. Budaya demokrasi merupakan bentuk penerapan atau aplikasi nilai-nilai dalam prinsip demokrasi.
Budaya demokrasi terdiri dari dua kata, budaya dan demokrasi. Budaya yaitu hasil kemampuan akal manusia dalam lingkungan kehidupannya. Sedangkan demokrasi yaitu keadaan negara dengan sistem pemerintahan berada di tangan rakyat dan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. 

B. Macam-Macam Budaya Demokrasi
Macam-macam budaya demokrasi bisa ditinjau dari berbagai sudut pandang seperti berikut. Ditinjau dari cara penyaluran kehendak rakyat atau bentuk partisipasi rakyat, ada tiga macam demokrasi yaitu sebagai berikut.
1. Demokrasi Langsung
Suatu sistem demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat secara langsung dalam membicarakan atau menentukan sesuatu urusan negara (pembuatan kebijakan politik). Misalnya, referendum (meminta pendapat seluruh rakyat) atas persoalan-persoalan yang mendasar dalam kehidupan bernegara, pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden serta wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen.
2. Demokrasi Tidak Langsung
Suatu sistem demokrasi dalam menyalurkan aspirasi rakyat melalui wakil-wakilnya yang ada dalam DPR. Dalam hal ini rakyat tidak terlibat secara langsung dalam pembuatan keputusan politik, tetapi didelegasikan atau dilimpahkan kekuasaannya kepada orang-orang yang dipilihnya melalui sebuah pemilu yang bebas, jujur, dan adil.
3. Demokrasi campuran
Suatu sistem demokrasi gabungan antara demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Rakyat memilih wakilnya di DPRD kemudian wakil itu dikontrol oleh rakyat dengan sistem referendum. Itulah contoh bentuk demokrasi campuran.

Dari segi ideologi, ada dua macam demokrasi sebagai berikut,
1. Demokrasi konstitusional
Suatu sistem Demokrasi dimana kekuasaan pemerintahan yang terbatas dan tidak banyak campur tangan serta tidak bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Kekuasaan pemerintahan ini dibatasi oleh konstitusi. Demokrasi konstitusional dianut oleh negara-negara Eropa Barat, Amerika Serikat, India, Pakistan, Indonesia, Filipina, Singapura.
2. Demokrasi rakyat (Demokrasi Proletar)
Suatu demokrasi yang berlandaskan ajaran komunisme dan marxisme yang dikembangkan oleh Karl Mark dan Leninisme. Ciri yang menonjol dari demokrasi rakyat ini yaitu tidak mengakui hak asasi warga negaranya. 

C. Prinsip Budaya Demokrasi
Prinsip budaya demokrasi yaitu suatu penerapan dari prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga menjadi budaya demokrasi. Prinsip-prinsip budaya demokrasi adalah sebagai berikut,
1. Adanya sebuah jaminan hak asasi manusia, adalah hak dasar yang melekat dari sejak lahir merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk tidak boleh dirampas oleh siapapun termasuk bagi negaranya.
2. Persamaan kedudukan di depan hukum, supaya tidak terjadi diskriminasi dan ketidakadilan bagi siapapun yang melanggar hukum wajib menerima sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku.
3. Adanya suatu pengakuan hak politik, seperti berkumpul, beroposisi, berserikat dan mengeluarkan pendapat.
4. Pengawasan atau kontrol terhadap pemerintah, dengan demokrasi itu sendiri
5. Pemerintah berdasar konstitusi, supaya tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya.
6. Terdapat saran atau kritip rakyat yangmengenai kinerja pemerintah dengan media massa atau wakil rakyat sebagai tempat penyalur aspirasi rakyat.
7. Pemilihan umum bebas, jujur dan adil
8. Adanya kedaulatan rakyat. 
D. Unsur Budaya Demokrasi
1. Keterlibatan Rakyat dalam mengambil sebuah keputusan politik 
2. Tingkat persamaan hak di antara warga negara.
3. Tingkat kebebasan dan kemerdekaan yang diberikan pada atau dipunyai oleh warga negara.
4. Sistem Perwakilan, Sistem ini dilakukan karena demokrasi langsung hanya berfungsi efektif dalam suatu negara yang wilayah negaranya kecil dan jumlah penduduknya sedikit.
5. Sistem pemilihan dan ketentuan mayoritas, sistem pemilu ini dilaksanakan untuk mengisi sebuah jabatan-jabatan kenegaraan. Dan hendaknya dilaksanakan secara jujur dan adil, sehingga terpilih pejabat kelembagaan negara yang memiliki integritas dan berkualitas. 

E. Permasalahan Budaya Demokrasi
Pada makalah ini kita akan membahas tentang permasalahan budaya demokrasi, akan tetapi kita akan menfokuskannya pada persoalan politik, khususnya pemilu. Dimana sesuai yang kita ketahui bersama bahwasanya sudah menjadi rahasia umum setiap ada pemilihan umum pasti ada yang namanya “serangan fajar” entah itu berupa uang, sembako atau modus-modus yang lain. Hal ini  menjadi masalah yang sangat vital karena berjalan terus-menerus seiring berjalannya pemilu di Indonesia. Lantas, bagaimana cara untuk mengatasi maslah tersebut? Dalam makalah ini akan mencoba membahasnya dengan menggunakan penerapan budaya demokrasi dalam mengatasi permasalahan diatas, karena kejujuran dalam pemilu sendiri merupakan salah satu unsur dan prinsip dalam budaya demokrasi.
Dalam era Orde Reformasi seperti sekarang, sebagian rakyat yang masih miskin, dan mempunyai budaya kemiskinan, memengaruhi kelakuan politik mereka, sehingga memberi dampak politik dalam pelaksanaan demokrasi. Demikian pula dalam partisipasi politik, baik pemilu Presiden/Wakil Presiden maupun pemilu parlemen/legislatif di semua peringkat (nasional, provinsi dan kabupaten/kota), pemilihan Kepala Daerah (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota), masalah politik uang mempunyai pengaruh yang besar dalam merubah pilihan para pemilih. 
Dalam makalah ini akan dikemukakan permasalahan yang dijadikan isu pembahasan yaitu “budaya demokrasi dalam praktik politik dikalangan orang miskin”. Dalam hal ini praktiknya akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :
a. Budaya dan paham agama.
Mayoritas penduduk Indonesia adalah suku Jawa, dan budaya yang dominan adalah budaya Jawa. Masyarakat masih ramai yang mengamalkan budaya sinkretisme, animisme dan mistikisme. Selain itu, mereka masih menganut budaya “ewuh pakewuh” (tidak berani berterus terang), budaya “nrimo” (menerima karena dianggap takdir), budaya “feodalistik”, “nepotistik” dan “paternatistik”.
Menjadi permasalahan dan pertanyaan, dapatkah demokrasi diamalkan secara berkesan di mana sebahagian masyarakat berpandangan bahwa demokrasi bertentangan dengan budaya dan paham agama yang mereka anut? Ini karena golongan santri terutama “strong santri” tidak menerima demokrasi, mereka hanya mau sistem Islam yaitu “syura”. Begitu pula strong abangan, terdapat golongan yang menolak demokrasi karena dianggap berlawanan dengan budaya Indonesia (Jawa).
b. Kelas menengah (middle class).
Masyarakat Indonesia di Jawa tidak mengenal adanya kelas menengah (middle class). Mereka hanya mengenal “wong cilik” (orang kecil) dan “wong gedhe” (orang besar). Padahal menurut William Liddle yang dapat menjadi penyokong tegaknya demokrasi adalah kelas menengah (middle class). Ia mengemukakan: “jika demokrasi mau diamalkan maka kelas menengah harus kuat”. Maka dapat dikatakan tidak ada demokrasi tanpa kelas menengah.
William Liddle mengatakan: jika demokrasi akan dijalankan, syarat pertama yang harus dipenuhi ialah terbinanya pertumbuhan kelas menengah,  yaitu golongan sosial yang secara ekonomi cukup bebas. Ia melihat tumbuhnya golongan ini diberbagai daerah seperti para pensiunan tentara dan pegawai pemerintah sebagai elit politik yang mempunyai orientasi nasional, tetapi hal itu belum memadai. 
c. Kemiskinan
Masyarakat Indonesia masih banyak yang miskin. Faktor utama yang menyebabkan ramainya orang miskin di Indonesia pada umumnya bukanlah karena mereka malas, tidak mau maju atau negeri ini tidak memiliki kekayaan alam, tetapi karena faktor-faktor yang bersifat struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh penjajahan ekonomi dan sistem kekuasaan yang tidak memihak kepada upaya memajukan orang-orang miskin. 
Kegagalan pembangunan ekonomi, sering menimbulkan masalah di kalangan masyarakat terutama kesenjangan sosial ekonomi antara orang-orang besar (wong gedhe) dan orang-orang kecil (wong cilik), antara golongan Cina dan pribumi, antara yang kaya dan miskin, dan adanya pengasingan (segregation) sosial yang sejak zaman penjajahan Belanda telah diciptakan dengan membuat permukiman berbagai kaum yang berbeda.
Sistem ekonomi kapitalis yang dijalankan telah gagal membawa masyarakat, bangsa dan negara ini  untuk maju sesuai tujuan Indonesia merdeka yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur. 
d. Pendidikan
Pendidikan masyarakat kita pada umumnya masih rendah. Hal ini karena efek konsep pembangunan yang dijalankan oleh rezim Orde Baru hanya mengejar pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang tinggi. Sedangkan institusi pendidikan yang merupakan teras (basic) bagi kemajuan satu masyarakat, bangsa dan negara, dianggap bukan faktor penggerak pertumbuhan ekonomi secara langsung. Oleh karena itu hal ini memberi tantangan dalam pelaksanaan demokrasi. 

F. Peran Budaya Demokrasi dan Pengaruhnya Terhadap Kejujuran Politik
di Indonesia
Peran dari budaya demokrasi sendiri adalah mewujudkan masyarakat madani, yang pada akhirnya nanti akan menyokong tegaknya demokrasi. Masyarakat Madani adalah masyarakat uang anggotanya terdiri atas berbagai kelompok mayarakat berbeda etnis, agama, budaya, serta dapat hidup dan bekerja secara damai. Sedangkan ciri-ciri masyarakat madani adalah sebagai berikut :       
1. Kesukarelaan
Kesukarelaan artinya suatu masyarakat madani bukanlah suatu masyarakat paksaan atau karena indoktrinasi, keanggotaan masyarakat madani adalah keanggotaan dari pribadi yang bebas, secara sukarela membentuk suatu kehidupan bersama dan oleh sebeb itu mempunyai komitmen bersama yang sangat besar untuk mewujudkan cita-cita bersama.
2. Keswasembadaan
Keswamasebadaan yang sukarela untuk hidup bersama tentunya tidak akan menggantungakan kehidupan kepada orang lain. Masyarakat tidak tergantung pada negara, juga tidak tergantung pada lembaga-lembaga atau organisasi lain. Setiap anggota mempunyai harga diri yang tinggi, yang percaya  kepada kemampuan sendiri untuk berdiri sendiri bahkan untuk membantu sesama yang lain yang kekurangan. Keanggotaan yang penuh percaya diri tersebut adalah anggota yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan terhadap masyarakat.    
3. Kemandirian yang tinggi terhadap negara
Berkaitan dengan ciri di atas, para anggota masyarakat madani adalah manusia-manusia yang percaya diri sehingga tidak tergantung kepada perintah orang lain termasuk negara. Bagi mereka, negara adalah kesepakatan bersama sehingga tanggung jawab yang lahir dari kesepakatan tersebut adalah juga tuntutan dan tanggung jawab dari tiap-tiap anggota. Inilah negara yang berkedaulatan rakyat.   
4. Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama
Hal ini berarti suatu masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang berdasarkan hukum dan bukan negara kekuasaan. Sebagai upaya membangun masyarakat madani di indonesia. 
Dari beberapa pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa kejujuran politik diindonesia dapat dirubah dengan adanya budaya demokrasi yang pada akhirnya nanti akan mewujudkan masyarakat madani. Dan untuk tercapainya hal tersebut kita harus memperkuat masyarakat kalangan menengah.
KESIMPULAN
Untuk mewujudkan terlaksananya pemilihan umum yang benar-benar jujur dan adil, karena sesuai yang kita ketahui bersama bahwasanya sudah menjadi rahasia umum setiap ada pemilihan umum pasti ada yang namanya “serangan fajar” entah itu berupa uang, sembako atau modus-modus yang lain maka harus dirubah dengan adanya budaya demokrasi yang pada akhirnya nanti akan mewujudkan masyarakat madani. 
Dan budaya demokrasi ini dapat terlaksana jika kita memeperkuat masyarakat kelas menenegah. Hal ini, karena yang dapat menyokong tegaknya demokrasi adalah kelas menengah, atau dapat dikatakan jika demokrasi ingin ditegakkan maka kelas menengah harus kuat. dimana masyarakat kelas menengah ini sebagai penghubung antara masyarakat kelas atas dengan kelas bawah.
DAFTAR PUSTAKA

Liddle, William.1997. Islam, Politik dan Modernisasi. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.

MS, Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Edisi Reformasi. Yogyakarta :
Paradigma.

Mujani, Saiful. 2007. Muslim Demokrat: Islam Budaya Demokrasi, dan
Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta : Gramedia.

Ngurah, Oka dkk. 1995. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Surabaya : PT
Prapen.

Raharjo, Dawam. 2009. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial. Surabaya: Pustaka LP3ES.

Suardi, dkk. 2004. Kewarganegaraan. Jakarta: CV Yudhistira.

Sumarsono, dkk. 2001. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Pustaka Utama.

Syarief, Sugiri. 2004. Pendidikan Masyarakat Indonesia. Surabaya : PT Prapen.

Wijianto. 2004. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Pirangi Darma
Kalokatama.

Zuhroh, Siti dkk. 2009. Demokrasi Lokal: Peran Aktor dalam Demokratisasi.
Yogyakarta : Ombak. 

Ajaran Agama Budha, cdn.tripadvisor.com
Ajaran Agama Budha
Ajaran agama Budha bersumber dari kitab Tripitaka yang berarti tiga keranjang atau tiga kumpulan ajaran. Kitab ini merupakan kumpulan khotbah, keterangan, perumpamaan, dan percakapan sang Budha yang pernah dilakukan dengan para siswanya atau pengikutnya.  Ketiga ajaran tersebut adalah sebagai berikut :

1. Catur Arya Satyani
Ajaran pokok yang disampaikan oleh Buddha Gautama kepada murid-muridnya berupa empat kebenaran mulia yang di sebut Catur Arya Satyani, yang terdiri dari :
a. Duhkha, artinya penderitaan. Maksudnya adalah bahwa hidup di dunia adalah penderitaan.
b. Samudaya, artinya sebab penderitaan. Yang menyebabkan penderitaan adalah keinginan untuk hidup (the will to live), yang disebut Tanha.
c. Nirodha, artinya pemadaman. Maksudnya adalah bahwa cara  pemadaman atau menghilangkan penderitaan adalah dengan jalan menghapuskan Tanha.
d. Margha, jalan untuk menghilangkan Tanha.  Untuk menghilangkan tanha manusia harus menempuh delapan jalan mulia yang disebut Astha Arya Margha, yaitu : 

a) Kepercayaan yang benar.
b) Niat dan pikiran yang benar.
c) Perkataan yang benar.
d) Perbuatan yang benar.
e) Mata pencaharian yang benar.
f) Usaha yang benar.
g) Kesadaran yang benar.
h) Samadhi yang benar. 
Menurut Buddha Gautama, jika manusia mau melaksanakan hidup suci dengan melenyapkan Tanha, maka setelah ia melakukan serangkaian reinkarnasi pada akhirnya ia akan mencapai Nirwana.
2. Nirwana 
Tujuan terakhir setiap pemeluk agama Budha adalah mencapai Nirwana.  Dimana seseorang telah lepas dari samsara, yang berarti ia telah lepas dari penderitaan. Nirwana dapat diartikan padamnya segala api nafsu, berhentinya segala perasaan, hilangnya segala gangguan, pendek kata tercapai ketenangan dan kedamaian yang sempurna.
Tidak mudah untuk mencapai Nirwana, karena untuk mencapainya seseorang harus hidup suci, artinya seseorang harus menjauhi segala apa yang dilarang oleh agama Budha.   Pada prinsipnya ada sepuluh larangan yang disebut Dasasila, yang merupakan pokok-pokok etika Budha. Yaitu : 
a. Dilarang menyakiti atau membunuh sesama manusia.
b. Dilarang mencuri.
c. Dilarang berzina. 
d. Dilarang berkata kasar atau berdusta.
e. Dilarang minum-minuman keras.
f. Dilarang serakah.
g. Dilarang melihat kesenangan.
h. Dilarang bersolek.
i. Dilarang tidur di tempat yang mewah.
j. Dilarang menerima suap.
Sepuluh larangan ini tidak berlaku untuk seluruh umat Budha, melainkan untuk dua kelompok. Pertama untuk pemeluk agama Budha yang biasa, yaitu Upasaka dan Upasika, yang dilarang mengerjakan yang dilarang dari nomor satu sampai lima. Sedangkan yang kedua adalah golongan pemuka-pemuka agama Budha yang terdiri dari Biksu dan Biksuni dilarang mengerjakan sepuluh larangan tersebut.

3. Arahat
Seorang Arahat adalah seorang yang telah melenyapkan segala hawa nafsu dan keinginannya, sehingga iya tidak teringat dengan apapun. Sebelum seseorang mencapai tingkat Arahat maka keadaan yang mendekatinya dapat dibagi menjadi tiga : 
a. Sotapatti, yaitu tingkat dimana seseorang harus menjelma tujuh kali lagi sebelum mencapai Nirwana.
b. Sekadagami magga, yaitu tingkat seseorang tinggal satu kali menjelma sebelum mencapai Nirwana.
c. Anagami, yaitu tingkat dimana seseorang sudah tidak akan menbjelma lagi, ia tunggu menunggu saatnya untuk mencapai niwana sesudah itu tinggallah tingkat Arahat, dimana seseorang telah mencapai Nirwana.
Setelah mencapai tingkat ini jika ia melihat, mendengar, mencium, membau, makan, minum, meraba, dan sebagainya tidak ada lagi rasa senang atau benci, hatinya diliputi oleh kedamaian. Pada tingkat inilah menurut kepercayaan agama Budha orang dapat mengetahui kebenaran yang hakiki dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. 
Dari beberapa pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa inti pokok ajaran Budha adalah mengenai keempat kebenaran yang mulia, kedelapan jalan yang mulia, dan sepuluh larangan atau aturan yang berlaku. Sehingga jika seorang pemeluk agama Budha ingin mencapai derajat mulia maka harus melewati beberapa tahapan tersebut.

Adzan | Tafsiran Ayat Ibadah, amazonaws.com
TAFSIR AYAT IBADAH “ADZAN”

.وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ
Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (Q.S. Al-Maida : 58). 
Panggilan untuk mengerjakan salat, baik salat jumat atau salat fardu adalah kalimat azan. Maka para ahli fikih telah menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk mensyariatkan azan. Akan tetapi masih menjadi perselisihan antara mereka, apakah azan itu wajib atau sunah dan semuanya itu dibicarakan dalam kitab-kitab fikih. Ayat ini menyebutkan salah satu contoh pelecehan dan olok-olok orang kafir yakni: dan apabila kamu menyeru untuk salat, yakni mengumandangkan azan atau mengajak mereka salat, mereka menjadikan ajakan itu bahan ejekan dan permainan. 
Dalam tafsir Ibnu Katsir secara singkat dijelaskan bahwa inilah sifat-sifat para pengikut setan, jika mendengar azan maka mereka membelakang dan menyumbat telinganya sehingga tidak mendengar seruan. Jika sudah selesai maka mereka menghadap dan menggoda dengan mengatakan, “bacalah anu dan bacalah anu”. Terhadap sesuatu yang tidak dibaca sehingga seorang tersebut tidak mengetahui sudah berapa rakaat dia salat. Jika salah seorang diantara kamu mendapat godaan seperti itu maka sujudlah dua kali sebelum salat. Keterangan yang menyatakan seperti ini di tetapkan kesahihan-nya. Az-Zuhri berkata “ Allah menyebutkan soal azan dalam kitab-Nya” Allah berfirman “dan jika kamu mengajak untuk salat..,” demikianlah diriwayatkan oleh Hatim.
Sehubungan dengan firman Allah diatas Ashbat meriwayatkan dari As-Sadi, dia berkata, “ada seorang nasrani Madinah. Jika dia mendengar seseorang menyerukan ‘aku bersaksi bahwa Muhammad rasul Allah’ maka dia berkata ‘mudah-mudahan pendusta itu terbakar!’ pada suatu malam, pembantunya masuk kedalam rumah sambil membawa api ketika dia dan keluarganya sedang tidur. Kemudian ada percikan api yang jatuh lalu membakar rumah. sehingga nasrani dan keluarganya terbakar”. Keterangan ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim. \
Selanjutnya, lafaz azan yang sering kita dengar biasanya dijelaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud di Bawah in :

(Abu Dawud : 241)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ الطُّوسِيُّ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ التَّيْمِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ قَالَ لَمَّا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاقُوسِ يُعْمَلُ لِيُضْرَبَ بِهِ لِلنَّاسِ لِجَمْعِ الصَّلَاةِ طَافَ بِي وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوسًا فِي يَدِهِ فَقُلْتُ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَتَبِيعُ النَّاقُوسَ قَالَ وَمَا تَصْنَعُ بِهِ فَقُلْتُ نَدْعُو بِهِ إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ أَفَلَا أَدُلُّكَ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذَلِكَ فَقُلْتُ لَهُ بَلَى قَالَ فَقَالَ تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ ثُمَّ اسْتَأْخَرَ عَنِّي غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ قَالَ وَتَقُولُ إِذَا أَقَمْتَ الصَّلَاةَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا رَأَيْتُ فَقَالَ إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ فَقُمْتُ مَعَ بِلَالٍ فَجَعَلْتُ أُلْقِيهِ عَلَيْهِ وَيُؤَذِّنُ بِهِ قَالَ فَسَمِعَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ وَيَقُولُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ مَا رَأَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلِلَّهِ الْحَمْدُ قَالَ أَبُو دَاوُد هَكَذَا رِوَايَةُ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ و قَالَ فِيهِ ابْنُ إِسْحَقَ عَنْ الزُّهْرِيِّ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ و قَالَ مَعْمَرٌ وَيُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ فِيهِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَمْ يُثَنِّيَا 

Muhammad Nasib Ar-Rifai. 2011. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Terjemahan. Depok : Gema Insani.
Soft Ware Hadis Mausuah. Hadis Abu Dawud. No. 241.

PUASA, https://storage.nu.or.id
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mukallaf. Di samping untuk menunaikan kewajiban, puasa adalah tangga untuk menuju tingkat ketakwaan. Dalam ibadah puasa terdapat banyak hikmah, dan hikmah akan mendatangkan ma’rifah, sementara ma’rifah akan mendatangkan yakin.
Untuk itu, agar puasa kita diterima oleh Allah swt. maka perlu memahami segala hal yang berkenaan dengan puasa, seperti dasar hukum, syarat-syarat, rukun, dan lain sebagainya.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana biografi penulis tafsir al-Munir?
2. Apa pengertian puasa?
3. Bagaimana penafsiran al-Qur’an tentang Puasa Menurut Tafsir al-Munir?
4. Apa saja macam-macam puasa?
5. Apa saja syarat-syarat puasa?
6. Apa saja rukun Puasa?
7. Apa saja hal-hal yang membatalkan puasa?
8. Siapa saja orang yang tidak wajib berpuasa?
9. Apa saja sunnah-sunnah berpuasa?
10. Apa saja hal-hal yang makruh dalam berpuasa?

C. Tujuan Kepenulisan
1. Untuk mengetahui pengertian puasa
2. Untuk mengetahui penafsiran al-Qur’an tentang puasa menurut tafsir al-Munir
3. Untuk mengetahui macam-macam puasa
4. Untuk mengetahui syarat-syarat puasa
5. Untuk mengetahui rukun Puasa
6. Untuk mengetahui hal-hal yang membatalkan puasa
7. Untuk mengetahui orang-orang yang tidak wajib berpuasa
8. Untuk mengetahui sunnah-sunnah berpuasa
9. Untuk mengetahui hal-hal yang makruh dalam berpuasa


BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Pengarang
Nama pengarang Tafsir al-Munir adalah Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafaaz-Zuhaili Abu ‘Ubadah. Ia dilahirkan di kawasan Dir `Athiyah pada tanggal 6 Maret 1932 dari orang tua yang terkenal dengan keshalehan dan ketaqwaannya. Ayahnya, Musthafaaz-Zuhaili, adalah seorang penghafal Alquran dan banyak melakukan kajian terhadap kandungannya. Ibunya bernama Fathimah binti Musthafa Sa`dah, dikenal dengan sosok yang kuat berpegang teguh pada ajaran agama.
Lazimnya anak-anak pada saat itu, Wahbah kecil belajar Alquran dan menghafalnya dalam waktu relatif singkat. Setelah menamatkan sekolah dasar, ayahnya menganjurkan kepada Wahbah untukmelanjutkan sekolah di Damaskus. Pada tahun 1946, Wahbah pindah ke Damskus untuk melanjutkan sekolah ke tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Setelah itu, Wahbah melanjutkan keperguruan tinggi dan meraih gelar sarjana mudanya di jurusan Ilmu-ilmu Syari`ah di Syuria.
Dalam menuntut ilmu, Wahbah tidak memadakan di negerinya sendiri. Ia harus mencari universitas yang lebih baik. Untuk itu, ia pindah ke Mesir, dan kuliyah di dua universitas sekaligus: Universitas Al-Azhar, jurusan Syari`ah dan Bahasa Arab; dan Universitas Ain Syams, jurusan Hukum. Setelah menyelesaikan kuliyah di du auniversitas tersebut, Wahbah melanjutkan pada jenjang berikutnya, program magister Universitas Cairo, jurusan Hukum Islam. Hanya dalam waktu dua tahun, Wahbah menyelesaikan program magisternya dengan judul tesis adz-Dzara’i` fi as-Siyasahasy-Syar`iyyahwa al-Fiqh al-Islamiy.
Semangat menuntut ilmu Wahbah tidak putus, ia melanjutkan pendidikannya sampai jenjang doktoral. Dengan judul penelitian Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islamiy: Dirasatan Muqaranatan, ia berhasil menyelesaikan program doktoralnya pada tahun 1963. Majlis sidang pada saat itu terdiri dari ulama terkenal, Syaikh Muhammad Abu Zahrah, dan Dr. Muhammad Hafizh Ghanim (Menteri Pendidikan Tinggi pada saat itu). Majlis sidang sepakat untuk menganugrahkan Wahbah predikat “Sangat Memuaskan” (Syarafula), dan merekomendasikan disertasinya layak cetak serta dikirim ke universitas-universitas luar negeri.
Untuk menjadi ulama segudang ilmu, mestilah memiliki banyak guru. Begitu juga dengan Wahbah.

B. Pengertian Puasa 
Arti ash-Shiyam, secara etimologi atau asal-usul kata adalah menahan diri dari sesuatu. Bila seseorang menahan diri untuk tidak bicara atau makan secara bahasa ia disebut sha-im.
Sementara itu, secara terminologi atau istilah syara’, puasa adalah menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dengan disertai niat berpuasa bagi orang yang telah diwajibkan sejak terbit fajar (fajar shadiq) hingga terbenamnya matahari dengan syarat-syarat tertentu.

C. Penafsiran al-Qur’an tentang Puasa Menurut Tafsir al-Munir 
1. Surah al-Baqarah (2) : 183 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
a. I’raab:
(كَمَا كُتِبَ) huruf kaf menempati kedudukan nashb karena ia menjadi sifat bagi mashdar yang dihapusnya, taqdiirnya adalah (كتب عليكم الصيام كتابتة كماكتب ) dan kata maa adalah mashdariyyah, sehingga ia bermakna: (مثل كتا بته); atau karena ia menjadi haal dari kata ash-shiyaam, taqdiirnya adalah (كتب عليكم الصيام مشبهاكماكتب على الذين من قبلكم).
b. Balaaghah:
(كَمَا كُتِبَ) ini adalah tasybiih yang dikenal dengan istilah tasybiih mursal mujmal. Tasybiih di sisni berkenaan dengan kewajiban puasa, bukan tata caranya.
c. Mufradat lughawiyyah:
( كتب ) diwajibkan. ( الصيام ) dalam bahasa Arab, shiyaam artinya menahan diri dari sesuatu dan meninggalkannya. Sedang artinya dalam istilah syariat adalah menahan dari makan, minum, dan jimak sejak fajar hingga terbenamnya matahari, dengan niat dari orang yang memenuhi syarat puasa, demi mengharap pahala dari Allah dan mempersiapkan jiwa untuk takwa kepada Allah. (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) yakni persamaan dengan puasa orang-orang terdahulu adalah dalam hal kefardhuannya. Namun ada pula yang berkata: Persamaan itu berkenaan dengan ukurannya (lamanya puasa). Ada pula yang berkata: sama dalam caranya, yaitu menahan diri dari makan dan minum. Pendapat pertama lebih kuat sebab untuk memahami ayat ini cukup dengan mengetahui bahwa Allah telah mewajibkan suatu puasa atas orang-orang sebelum kita, dan hal ini diakui oleh para penganut semua agama (sebab sudah diketahui bahwa puasa disyariatkan dalam semua agama).
d. Tafsir dan penjelasan
Allah mewajibkan puasa atas kalian sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang beriman, para pemeluk agama-agama lain sejak zaman Nabi Adam. Dia menyeru mereka dengan atribut “iman” yang menuntut untuk melaksanakan apa yang diserukan itu. Dia menjelaskan bahwa puasa adalah kewajiban atas seluruh manusia. Ini merupakan anjuran untuk menjalani puasa, sekaligus merupakan penjelasan bahwa perkara-perkara yang berat –apabila sudah menjadi umum (dikerjakan semua orang)- terasa ringan untuk dikerjakan, dan orang-orang yang melaksanakannya merasa santai dan tenteram karena perkara-perkara (yang berat) tersebut berlandaskan kebenaran, keadilan, dan persamaan.
Puasa menjadi penyuci jiwa, mendatangkan keridhoan Tuhan, dan mendidik jiwa agar bertakwa kepada Allah pada saat sepi dan ramai, membina kemauan, dan mengajarkan kesabaran dan ketahanan dalam menanggung kesusahan, penderitaan, dan penghindaran syahwat.
Puasa dapat mendidik jiwa untuk bertakwa terwujud dari beberapa aspek, yang terpenting di antaranya berikut ini:
a) Puasa memupuk di dalam jiwa rasa takut kepada Allah Ta’ala pada saat sepi dan ramai, sebab tidak ada yang mengawasi orang yang berpuasa kecuali Tuhannya.
b) Puasa meredakan syahwat dan mengurangi pengaruh dan kendalinya, sehingga ia kembali ke batas normal dan keadaan tenang.
c) Puasa memunculkan perasaan yang peka dan melahirkan rasa kasih sayang yang mendorong seseorang untuk memberi.
d) Puasa merealisasikan konsep persamaan antara si kaya dan si miskin, anatara orang terpandang dan rakyat biasa, dalam pelaksanaan satu kewajiban yang sama.
e) Puasa membiasakan kedisiplinan dalam penghidupan, pengekangan kehendak dalam tempo antara waktu sahur dan berbuka dalam satu waktu.
f) Puasa memperbarui struktur fisik, menguatkan kesehatan.
e. Fiqh kehidupan atau hukum-hukum
Ayat ini mengandung beberapa hukum, di antaranya:
a) Puasa punya keutamaan dan pahala yang besar.
b) Puasa mempersiapkan jiwa untuk ketakwaan.

2. Surah al-Baqarah (2) : 187 
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima taubatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.”
a. Qiraa’aat
( فالان ) dibaca ( فالان ) oleh Warsy.
b. I’raab
(أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ) kata lailata berkedudukan manshuub   sebagai zharf; ‘aamil yang menashabkannya adalah (أُحِلَّ).
(وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ) ini adalah jumlah ismiyyah yang menempati kedudukan nashb sebagai haal dari dhamiir (تُبَاشِرُوهُنَّ).
c. Balaaghah
(الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ) ini adalah kinayaah (ungkapan kiasan) tentang jimak, dan di sini dipakai kata sambung (إِلَىٰ) karena ungkapan ini mengandung makna “mencapai”.
(هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ) susunan ini disebut isti’aarah: suami dan istri–karena keduanya saling melingkupi pasangannya ketika berdekatan-diserupakan dengan pakaian yang melingkupi tubuh pemakainya.
(الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ) susunan ini juga termasuk isti’aarah. Yang dimaksud dengan ungkapan ini adalah penyerupaan terangnya pagi dengan benang putih dan penyerupaan gelapnya malam dengan benang hitam. Kedua benang itu adalah majaaz. Penyerupaan dengan dua benang ini karena keduanya (terangnya psgi dan gelapnya malam) lemah pada saat matahari sedang terbit. Namun az-Zamakhsyari berkata: ini adalah tasybiih baliigh, karena firman-Nya (مِنَ الْفَجْرِ) membuatnya tidak termasuk jenis isti’aarah.
Firman-Nya (مِنَ الْفَجْرِ) adalah bayaan (penjelasan) bagi al-khaitul abyadh “benang putih”; dan yang dijelaskan hanya kata ini, sementara kata al-khaitul aswad tidak diberi penjelasan karena penjelasan bagi salah satunya terhitung sebagai penjelasan pula bagi yang lain. Boleh pula kata (مِنَ) berfungsi untuk menyatakan tab’iidh (pembagian), karena “benang putih” itu adalah sebagian dari fajar atau awal fajar. 
d. Mufradat lughawiyyah
(لَيْلَةَ الصِّيَامِ) malam-malam puasa
(الرَّفَثُ) kata ini asalnya bermakna “perkataan kotor” atau “mengungkap secara terang-terangan perkara yang semestinya dinyatakan secara sindiran”; kemudian kata ini dipakai dengan makna “jimak” atau “segala sesuatu yang diinginkan laki-laki dari perempuan” karena biasanya hal itu tidak lepas dari “kekotoran”.
(هُنَّ لِبَاسٌ) masing-masing dari suami istri ibaratnya pakaian bagi pasangannya karena ia menutupi pasangannya-sebagaimana pakaian menutupi pemakainya-dan mencegahnya dari perbuatan maksiat. (تَخْتَانُونَ) kalian mengkhianati diri kalian dengan berjimak pada malam puasa.
(الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ) adalah putihnya (terangnya) siang yang pertama kali terlihat, seperti benang yang terbentang tipis kemudian menyebar.
(الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ) adalah hitamnya (gelapnya) malam yang membentang dan bercampur dengan terangnya siang, seakan-akan ia adalah benang yang dibentangkan. (مِنَ الْفَجْرِ) yakni fajar shadiq. Ini adalah kata penjelas (bayaan) bagi ungkapan al-khaithul-abyadh (benang putih). Adapun bayaan bagi al-khaithul-aswad dihapus, taqdiirnya adalah: (مناللَّيْلِ). Yang disebutkan hanya bayaan yang pertama karena penjelasan salah satunya merupakan penjelasan bagi kata yang lain. Allah menyerupakan keadaan terang yang muncul dengan kegelapan yang mengiringinya dengan dua benang: putih dan hitam yang terbentang.
(ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ) kemudian sempurnakan puasa dari fajar hingga (اللَّيْل) yakni terbenamnya matahari. Itmaamush-shaum artinya mengerjakan puasa secara sempurna.
(وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ) jangan menggauli istri-istri kalian. Al-Mubaasyarah artinya saling menyentuh kulit pasangan; tapi yang dimaksud di sini adalah jimak. (وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ) arti i’tikaf dalam bahasa Arab adalah berdiam dan tetap bertahan pada sesuatu. Sedangkan artinya dalam istilah syari’at adalah berdiam di masjid demi mendekatkan diri kepada Allah.
(حُدُودُ اللَّهِ) bentuk tunggal kata huduud adalah hadd, yang dalam bahasa Arab bermakna “pemisah antara dua hal/benda”, kemudian kata ini dipakai dengan makna “hukum-hukum yang disyariatkan Allah bagi hamba-hamba-Nya”. Kalau kalimat setelahnya adalah (فَلَا تَقْرَبُوهَا), berarti yang dimaksud adalah hukum-hukumNya, yakni apa yang dibatasi dan ditetapkan-Nya, maka manusia tidak boleh melampauinya. Tapi jika yang dimaksud dengan huduud adalah hukum-hukum secara umum, berarti yang dimaksud dengan firman-Nya (فَلَا تَقْرَبُوهَا) adalah “janganlah kalian melakukan pengubahan padanya”, atau “janganlah kalian mendekati batas yang memisahkan antara wilayah kebenaran dan wilayah kesesatan.
e. Asbabun nuzul
Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata: Kaum muslimin dulu makan, minum, menggauli istri selama mereka belum tidur. Kalau sudah tidur, mereka tidak mau melakukannya. Namun suatu ketika seorang laki-laki Anshar yang bernama Qish bin Shirma, menunaikan sholat Isya kemudian tidur, dan dia belum makan maupun minum, sehingga pada pagi harinya ia kepayahan. Dan umar pun pernah menggauli isterinya setelah ia tidur , maka keesokan harinya ia menemui nabi saw. dan menceritakan hal itu. Maka Allah menurunkan firman-Nya , “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa“ sampai firman-Nya, “kemudian sempurnakanlah itu sampai (datang) malam”. 
f. Sebab penambahan “Dari fajar”
Az-Zamakhsyari menulis: seandainya Allah tidak menyebut ungkapan (مِنَ الْفَجْرِ) tentu tidak diketahui bahwa kata khait (benang) dalam ayat ini adalah ungkapan isti’aarah. Setelah ditambah (مِنَ الْفَجْرِ), ungkapan ini berubah menjadi tasybiih baliigh dan bukan lagi tergolong isti’aarah.
g. Tafsir dan penjelasan
Ayat ini mengingatkan dan mengajari kaum mukminin tentang perkara yang mesti mereka perhatikan dalam puasa dan ibadah-ibadah lainnya, seperti ketaatan, keikhlasan, etika, dan hukum-hukum.

h. Hukum-hukum
a) Kebolehan jimak pada malam hari dan keharamannya pada siang hari, sama seperti makan dan minum. Dulu jimak itu haram setelah berbuka dan tidur, kemudian hukum ini dinasakh. Larangan-larangan puasa yang disebutkan dalam ayat ini antara lain: makan, minum, dan jimak. Adapun hal-hal yang hanya mengarah kepada jimak tidak membatalkan puasa. Tetapi dalam hal ini terjadi ikhtilaf di antara ulama.
b) Wajibnya menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dengan syarat niat sebelum fajar menurut jumhur ulama.
c) Jumhur ulama menganggap sah puasa orang yang masih junub ketika fajar terbit.
d) Wanita yang haid apabila telah suci. Jumhur berkata: Apabila wanita yang haid sudah suci sebelum fajar terbit dan ia tidak mandi hingga pagi, ia wajib berpuasa dan puasanya sah, baik ia tidak mandi secara sengaja maupun lupa, sama hukumnya dengan orang yang junub
e) Bekam tidak membatalkan puasa karena Nabi saw. dulu berbekam pada tahun haji Wada’ sementara beliau sedang ihram dan sedang puasa.
f) Barangsiapa ragu bahwa fajar telah terbit, maka ia harus berhenti makan. Jika ia makan padahal ia ragu, ia harus mengqadha, sama seperti orang yang makan karena lupa. Ini menurut Malik. Sedangkan Abu Hanifah dan Syafi’i berkata: Ia tidak menanggung apa-apa sampai jelas baginya bahwa fajar telah terbit. Jika sudah jelas bahwa fajar telah terbit (dan ia makan), ia wajib mengqadha, dengan kesepakatan para imam semua madzhab, dan ini didasarkan atas kaidah: laa ‘ibarata bizhzhannil-bayyini khatha’uhu (dugaan yang jelas kelirunya tidak diperhitungkan).
g) Firman Allah Ta’ala (  ) menunjukkan bahwa puasa wishal terlarang sebab malam merupakan ghaayah (batas akhir) puasa.
Menurut jumhur ulama, puasa wishal hukumnya makruh. Namun sebagian ulama mengharamkannya karena puasa ini bertentangan dengan lahiriah nash al-Qur’an dan tergolong perbuatan meniru ahli kitab.
h) Bagi orang yang berpuasa disunnahkan berbuka dengan beberapa kurma segar, kurma kering, atau beberapa teguk air putih.
Disunnahkan berdoa sesudah berbuka.
i) Disunnahkan berpuasa enam hari di bulan Syawwal.
j) Jimak membatalkan i’tikaf, denngan dalil firman-Nya, “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.”
k) Disunnahkan beri’tikaf di masjid.
l) Wajib manaati hukum-hukum (perintah dan larangan) Allah.

D. Macam-macam Puasa
1. Puasa wajib 
a. Puasa di bulan Ramadhan
b. Puasa yang dinazarkan
c. Puasa qadha’
d. Puasa kaffarah (denda) yang disebabkan oleh:
a) Jima di siang hari pada bulan Ramadhan
b) Dzihar
c) Melanggar sumpah
d) Membunuh dengan sengaja

2. Puasa sunnah 
a. Puasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram
Hal ini didasarkan pada hadits dari Ibnu Abbas:
Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah bersabda: “Andai aku masih hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan berpuasa pada tanggal sembilan (bulan Muharram).” (HR. Ibn Majah dan Ahmad)
b. Puasa hari arafah
Hal ini didasarkan pada hadits dari Abu Qatadah r.a:
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Puasa Asyura adalah kaffarah (dari dosa) satu tahun. Puasa Arafah adalah kaffarah (dari dosa) dua tahun, satu tahun sebelumnya dan satu tahun berikutnya.” (HR. Ahmad)
c. Puasa senin dan kamis
Hal ini didasarkan pada hadits dari Aisyah r.a:
Sesungguhnya Nabi saw. telah memilih waktu untuk berpuasa pada hari senin dan kamis. (HR. At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ahmad)
d. Puasa enam hari pada bulan syawal
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: 
Dari Abu Ayyub, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “siapa yang berpuasa Ramadhan dan dilanjutkan dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal, maka seperti berpuasa satu masa.” (Shahih Muslim).
e. Puasa Daud
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Puasa yang lebih disukai oleh Allah adalah puasa Daud dan sholat yang disukai Allah adalah shalat Daud. Ia tidur sepertiga malam, bangun sepertiganya, lalu tidur seperenamnya, dan ia berpuasa satu hari lalu berbuka satu hari.” (Mutaffaq ‘alaih)
f. Puasa Ayyamul bidh
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata kepada saya, “tiga perkara yang harus saya (Abu Hurairah) lakukan yaitu shalat witir sebelum tidur, puasa tiga hari di setiap bulan, dan shalat dhuha.” (Sunan Tirmidzi)
g. Puasa Rajab, Sya’ban, dan pada Bulan–bulan Suci
3. Puasa makruh 
Puasa makruh yaitu puasa yang dilakukan pada hari jum’at, kecuali apabila kelanjutan dari puasa pada hari sebelumnya atau puasa sunnah yang bertepatan dengan hari jum’at.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari jum’at kecuali ia berpuasa sebelum atau sesudahnya.” (HR. Muslim. No. 1144)

4. Puasa haram
Puasa yang diharamkan yaitu:
a. Puasa pada hari syak/meragukan, yaitu hari ke 30 bulan Sya’ban, kecuali bila bertujuan untuk puasa qadha, puasa sunnah yang sudah menjadi kebiasaan, dan puasa karena melanggar sumpah (puasa kaffarah). 
b. Hari-hari sesudah Nisfu Sya’ban
Dari Abu Hurairah Rasulullah saw. bersabda: “Apabila tinggal setengah dari Sya’ban, janganlah kamu berpuasa.” (HR. At-Tirmidzi).
Namun dalam kitab Fathul Mu’in dan Hasyiah I’anatuth Thalibin jilid 2 hal 273, keharaman ini tidak berlaku mutlak. 
c. Puasa pada hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha. 
d. Puasa pada hari tasyrik, yaitu hari ke-11, ke-12, dan ke-13 bulan Dzulhijjah, kecuali untuk dam (sebagai ganti dari menyembelih kurban). 
e. Puasa sepanjang tahun (Shaum ad-Dahri), yakni puasa setiap hari di sepanjang tahun, kecuali pada lima hari yang diharamkan puasa, yakni dua hari raya (Idhul Fithri dan Idhul Adha) dan tiga hari tasyrik.
Dari Abdullah bin Syikhir dia berkata, Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa berpuasa selamanya, maka (dia dipandang) tidak berpuasa dan tidak pula berbuka.” (HR. Ibnu Majah [1705], an-Nasai, Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Hiban, Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah, sanad hadits ini shohih). 
f. Puasa wishal, yakni melakukan puasa secara berkesinambungan sehari semalam atau lebih tanpa berbuka.
Dari Aisyah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. melarang dari wishal karena rasa kasihan kepada mereka. Mereka (para sahabat) bertanya: Sesungguhnya engkau sendiri melakukan wishal? Beliau saw. menjawab: Sesungguhnya kau tidak seperti kalian, karena Tuhanku telah memberi makan dan minum kepadaku. (HR. Bukhari [1964], Muslim dan an-Nasai).
g. Puasa perempuan yang haid dan nifas. 
h. Puasa sunnah (Shaum Tathawwu’) seorang wanita tanpa izin suaminya. 

E. Syarat-syarat Puasa 
1. Menurut madzhab Hanafi
Syarat wajib puasa:
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal

Syarat wajib melaksanakan puasa:
a. Sehat
b. Muqim

Syarat sah puasa:
a. Niat
b. Tidak ada yang menghalanginya (seperti haid dan nifas)
c. Tidak ada yang membatalkannya

2. Menurut madzhab Maliki
Syarat wajib puasa
a. Baligh
b. Mampu berpuasa
Syarat sah puasa
a. Niat
b. Suci dari haid dan nifas
c. Islam
d. Berakal
e. Pada waktunya

3. Menurut madzhab Syafi’i
Syarat wajib puasa:
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Mampu
Syarat sah puasa:
a. Islam
b. Berakal
c. Suci dari haid nifas sepanjang hari
d. Dilaksanakan pada waktunya

4. Menurut madzhab Hanbali
Syarat wajib puasa:
a. Islam
b. Baligh
c. Mampu
Syarat sah puasa:
a. Niat
b. Suci dari haid dan nifas

F. Rukun Puasa
1. Niat
Meskipun ulama berbeda pendapat apakah niat termasuk rukun atau syarat, namun pada dasarnya ulama sepakat bahwa niat atau berniat wajib dilakukan dalam setiap ibadah.
Adanya perbedaan apakah niat termasuk rukun atau syarat juga mempengaruhi waktu pelaksanaan niat itu sendiri.
2. Menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak fajar hingga tenggelamnya matahari

G. Hal-hal yang Membatalkan Puasa 

Hal-hal yang membatalkan puasa pada dasarnya terbagi menjadi 2 kategori, yakni:
1. Harus mengganti dengan puasa lagi (qadha)
Hal-hal yang membatalkan puasa yang termasuk dalam kategori ini adalah:
a. Memasukkan suatu ain (benda) ke dalam salah satu rongga badan
b. Muntah dengan sengaja
c. Istamna’
d. Haid dan nifas
e. Gila
f. Murtad

2. Harus mengganti dengan puasa lagi (qadha) dan membayar kaffarah
Adapun hal yang membatalkan puasa yang termasuk dalam kategori ini adalah jimak pada siang hari bulan Ramadhan dengan kemauan sendiri atau suka sama suka dan dimaksudkan untuk taladzdzudz/bersenang-senang/kesenangan. Jika tidak dimaksudkan untuk taladzdzudz, yang terkena kaffarah adalah yang memaksa, sedangkan yang dipaksa tidak terkena kaffarah meskipun puasanya batal (atau harus membayar qadha).

H. Orang yang Tidak Wajib Berpuasa
1. Kafir
Jika dia kafir asli , tidaklah dihadapkan perintah puasa kepadanya, di waktu dia masih kafir. Dia, diharuskan memeluk Islam. Adapun setelah masuk Islam, ia tidak wajib mengqadha puasa. Hal ini berdasarkan firman Allah (QS. Al-Anfal [8]: 39) 
Jika dia bukan kafir asli, dengan kata lain murtad, maka selagi dia murtad dari Islam, tidak dihadapkan puasa kepadanya, lantaran puasa tidak sah atas orang murtad. Jika ia kembali ke dalam Islam lagi, barulah kita menyuruhnya berpuasa lagi dan wajib atasnya qadha untuk puasa yang ia tinggalkan selama murtad. Demikian menurut madzhab asy-Syafi’i.
Namun sebagian ulama tidak mewajibkan puasa yang ditinggalkan selama ia murtad. 
2. Gila
Orang gila apabila dia sembuh, tidaklah wajib mengqadha puasa yang ditinggal selama dia gila, baik sebentar maupun lama. 
3. Anak kecil
Walaupun puasa tidak wajib atas anak kecil, namun seyogyanya bagi wali menyuruh anak berpuasa, supaya terbiasa berpuasa sejak dari kecil, jika si anak sanggup mengerjakannya. 
4. Sakit
Sakit yang membolehkan berbuka adalah yang menyebabkan si penderita tidak mampu lagi melaksanakan puasa atau bila ia berpuasa akan memperparah kondisinya, memperlambat kesembuhan, atau bahkan dikhawatirkan menyebabkan kematian. 
5. Musafir
Safar yang memperbolehkan  berbuka adalah yang berjarak minimal kira-kira 86 km. Safar ini, menurut jumhur ulama, harus dilakukan sebelum terbit matahari. Jika dia telah berpuasa saat memulai perjalanan (karena dia memulai perjalanannya sehabis shubuh), dia tidak boleh membatalkan puasanya. Meskipun demikian, jika ternyata dia tidak mampu menuntaskan puasanya karena perjalanan yang amat melelahkan, dia boleh berbuka dan wajib mengqadha. 
6. Lanjut usia
Berdasarkan ijma’, seseorang yang lanjut usia dan sudah tidak mampu lagi berpuasa, dibolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan untuk mengqadha. Namun, ia harus membayar fidyah yang diberikan pada orang-orang miskin. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 184. 
7. Haid dan nifas
Wanita yang sedang haid atau bernifas, tidak wajib puasa atasnya, karena tidak sah dikerjakan puasa dalam masa berhaid atau bernifas. Akan tetapi apabila telah suci, wajiblah mengqadha puasa yang tinggal selama berhaid atau bernifas. 
8. Hamil dan menyusui anak
Menurut fuqaha, apabila seorang ibu takut atas anak yang sedang disusuinya dan perempuan yang sedang hamil takut atas kandungannya, maka tidak diwajibkan baginya berpuasa, namun diwajibkan memberi fidyah. 

I. Sunnah-sunnah Berpuasa 
1. Sahur
Meskipun hanya seteguk air, karena di dalam sahur terdapat berkah.
2. Mengakhirkan sahur
Kira-kira jarak waktu antara makan dan shalat shubuh itu bisa digunakan untuk membaca 50 ayat al-Qur’an atau kurang lebih 15-20 menit sebelum shubuh.
Dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Kami pernah makan sahur beserta Rasulullah, kemudian kami berdiri melakukan shalat.” Orang-orang bertanya, “Berapa lama jarak antara keduanya?” Ia menjawab, “Sekadar membaca 50 ayat al-Qur’an.” (Shahih Bukhari)
3. Menyegerakan berbuka
Sebelum melaksanakan shalat maghrib, disunnahkan berbuka dengan kurma basah, ruthab (kurma matang sebelum menjadi kurma siap panen), kurma kering atau air, dan hendaknya mengutamakan bilangan ganjil dalam memakan buah tersebut. Hadits Nabi saw:
Dari Sahl bin Sa’di as-Sa’idi bahwa Nabi saw. bersabda, “Senantiasa manusia itu dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” (Shahih Bukhari dan Muslim)
4. Menyediakan hidangan berbuka bagi orang yang berpuasa
Dari Zaid bin Khalid al-Juhany berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti pahala orang yang puasa tanpa mengurangi pahala orang yang diberi hidangan berbuka itu sedikit pun.” (Bihaqi Jami’ hadits)
5. Berbuat baik terhadap keluarga dan kerabat serta memperbanyak sedekah bagi fakir miskin
Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. ditanya, “Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Sedekah di bulan Ramadhan.” (Sunan Kubra al-Baihaqi)
6. Memperbanyak membaca al-Qur’an, berdzikir, dan bershalawat kepada Nabi serta mengerjakan shalat tarawih, tahajud, dan witir dengan sebaik-baiknya.
Dari Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beribadah di (bulan) Ramadhan karena iman dan ingin mendapat balasan dari Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaih)
7. I’tikaf
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah, ujarnya: “Adalah Rasulullah ber-i’tikaf di sepuluh yang akhir dari bulan Ramadhan, hingga beliau wafat.” 

J. Hal-hal yang Makruh dalam Berpuasa 

1. Madzhab Hanafi
a. Mencicipi dan mengunyah sesuatu karena bisa menyebabkan batalnya puasa
b. Mengunyah sejenis permen
c. Berciuman, bersentuhan, dan bercumbu yang bisa mengakibatkan ejakulasi
d. Sengaja mengumpulkan ludah dalam mulut lalu menelannya
e. Mengerjakan sesuatu yang sekiranya akan membuatnya lemas seperti berbekam
Yang tidak dimakruhkan menurut madzhab ini adalah:
a. Bercumbu yang tidak mengakibatkan ejakulasi
b. Meminyaki kumis
c. Berbekam, sekiranya tidak membuat lemas badan
d. Menggosok gigi pada sore hari walaupun dengan sikat yang basah dengan air
e. Berkumur dan menyerap air ke hidung di luar wudhu
f. Mandi pada siang hari

2. Madzhab Maliki
a. Memasukkan apa saja yang segar dan berasa ke mulut walaupun lantas memuntahkannya kembali
b. Mencicipi sesuatu yang berasa, seperti madu dan cuka
c. Mengunyah sejenis permen
d. Memikirkan sesuatu yang membangkitkan syahwat
e. Memakai dan menghirup wewangian pada siang hari
f. Berkumur dan menyerap air ke hidung dengan agak keras
g. Mengobati gigi yang berlubang
h. Memperbanyak tidur pada siang hari
i. Berbicara dan bekerja yang berlebihan
j. berbekam

3. Madzhab Syafi’i
a. Berbekam/hijamah
b. Berciuman
c. Mencicipi makanan
d. Mengunyah sejenis permen
e. Masuk ke kamar mandi
f. Menikmati sesuatu yang didengar, dilihat, diraba, dicium, dan semacamnya karena bertentangan dengan maksud berpuasa
g. Menggosok gigi sesudah dzuhur sampai maghrib
h. Berkumur dan menyerap air ke hidung dengan agak keras

4. Madzhab Hanbali
a. Mengumpulkan ludah di mulut lalu menelannya
b. Berkumur dan menyerap air ke hidung dengan agak keras
c. Mencicipi makanan tanpa ada keperluan
d. Mengunyah sejenis permen
e. Berciuman yang menimbulkan syahwat
f. Tidak membersihkan sisa-sisa makanan dimulut
g. Mencium bau-bauan hingga terserap unsur-unsurnya ke dalam tenggorokan

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Arti ash-Shiyam, secara etimologi atau asal-usul kata adalah menahan diri dari sesuatu. Bila seseorang menahan diri untuk tidak bicara atau makan secara bahasa ia disebut sha-im.
Sementara itu, secara terminologi atau istilah syara’, puasa adalah menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dengan disertai niat berpuasa bagi orang yang telah diwajibkan sejak terbit fajar (fajar shadiq) hingga terbenamnya matahari dengan syarat-syarat tertentu.
Puasa termasuk ke dalam rukun Islam, tentu saja untuk melaksanakannya harus sesuai dengan syari’at-syari’at Islam baik dari al-Qur’an, hadits, ataupun ijma’ ulama.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Gus. Fiqih Puasa. 2013. Jakarta: Gramedia
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pedoman Puasa. 1986. Jakarta: Bulan Bintang
Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir. 2013. Depok: Gema Insani
Lathif, Abdul. Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an dan Hadits. 2011. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah


SHOLAT JUM’AT MENURUT TAFSIR AL-JASAS, https://4.bp.blogspot.com
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Sholat Jum’at.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca, serta dapat menambah khazanah pengetahuan kita. Amin 

Yogyakarta, 

Penyusun, 18 April 2017


DAFTAR ISI
COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.2 Tujuan 2
BAB II 3
PEMBAHASAN 3
2.1 Biografi 3
2.1.1  Riwayat Hidup 3
2.1.2  Karya-karya Al-Jaṣaṣ 4
2.1.3  Guru-guru Al-Jaṣaṣ 4
2.2 Metodologi Penafsiran Al-Jaṣaṣ 5
2.3 Tafsir Sholat Jum’at dalam QS. Al-Jumu’ah : 9-11 6
2.3.1  Jumlah Minimal Jama’ah 8
2.3.2  Hukum Transaksi Jual Beli 8
2.3.3  Safar Ketika Hari Jumat 10
2.3.4  Berdiri Ketika Khutbah 11
2.4 Syarat-syarat Shalat Jum’at 12
2.4.1  Syarat Wajib Shalat Jum’at 12
2.4.2  Syarat Sah Shalat Jum’at 13
2.4.3  Fardhu Shalat Jum’at 13
2.4.4 Syarat-syarat Khutbah 13
2.4.5Sunnah-sunnah Hai’at Shalat Jum’at 13
BAB III 14
PENUTUP 14
3.1 Kesimpulan 14
DAFTAR PUSTAKA 15


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 
Di dalam salah satu ritual ibadah rutinan umat muslim ada yang dinamakan dengan shalat jum’at, ibadah ini dilakukan 1 minggu sekali pada hari Jum’at. Mengenai shalat jum’at terdapat perbedaan dengan shalat-shalat yang lain. Di dalam shalat jum’at ada semacam pekerjaan atau ibadah yang harus dilakukan sebelum shalat itu dimulai, dan menjadi fardhu dalam shalat jum’at, yaitu khutbah
Ketika adzan shalat jum’at dikumandangkan, disyari’atkan bagi umat muslim untuk menghentikan segala aktivitasnya terutama jual beli. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada shalat jum’at itu sendiri, dan kepada Allah berdasarkan apa yang telah Dia firmankan dalam AL-Qur’an. 
Dalam makalah ini, penulis membahas permasalahan shalat jum’at berdasarkan QS. Al-Jumu’ah : 9-11 menurut tafsir al-Jasas yang dikarang oleh Abu Bakar bin Ali al-Razi. Meskipun kitab ini bermadzhab fiqih hanafi, namun kitab ini merupakan bil-Ma’tsur, yakni tafsir yang mengkaji ayat dengan menyertakan hadits Nabi, pendapat para sahabat, dan tabi’in. 

1.2 Rumusan Masalah 
1. Bagaimana biografi tokoh ?
2. Bagaimana metodologi penafsiran al-jasas ?
3. Bagaimana penafsiran shalat jum’at dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 9-11 ?
4. Apa saja syarat-syarat shalat jum’at ?
5. Apa saja sunnah-sunnah hai’at dalam shalat jum’at?

1.2 Tujuan 
1. Mengetahui biografi tokoh
2. Mengetahui metodologi penafsiran al-jasas
3. Mengetahui penafsiran shalat jum’at dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 9-11
4. Mengetahui syarat-syarat shalat jum’at
5. Mengetahui sunnah-sunnah hai’at dalam shalat jum’at


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi 
2.1.1 Riwayat Hidup
Nama lengkap beliau adalah Abu Bakar bin Ali al-Razi, terkenal dengan panggilan al-Jashash (Tukang Kapur) , lahir dikota Baghdad pada ahun 305 H dan wafat masih dikota yang sama pada tahun 370 H. Al-Jaṣaṣ merupakan nama Laqab beliau yang dinisbatkan kepada pekerjaan beliau sebagai tukang plester(campuran semen, pasir, kapur, untuk melekatkan batu bata). Dalam kamus Lisān al-‘Arab kata al-Jaṣaṣ maknanya adalah kapur atau tukang kapur. Kadang beliau juga di panggil dengan panggilan Jaṣaṣ al-Ḥanafi, al-Razi al-Jaṣaṣ , Ahmad ibn ‘Ali, Abu Bakar, dll. Sedangkan untuk panggilan Abu Bakar adalah Kunyah beliau. Beliau adalah imam yang ternama dimasanya, luas dalam thalab ilmunya, beliau berguru kepada Abu Suhail al-Zujaj, Abu al-Hasan al-Kurkhi dan kepada yang lainnya diantara ‘ulama fiqih pada jamannya dan menghabiskan studinya di kota Baghdad. Beliau mengambil manhaj zuhud dari gurunya imam al-Kurkhi. Dari sikap zuhudnya itu sampai-sampai ada tawaran beberapa kali kepada beliau menjadi qodli atau hakim, namun beliau menolaknya. 
Beliau meriwayatkan hadis dari Abdul Baqi bin Qani’. Kemudian, atas saran gurunya, al-Karakhi, ia merantau ke Naisabur berguru kepada Hakim an-Naisaburi lalu kembali ke Baghdad pada tahun 344 H. Mulai saat itu, ia menetap dan mengajar di Irak. Suatu ketika ia ditawari menjadi Qadhi, namun ia menolak. Kegiatannya dalam pendidikan memberikan hasil nyata. Berkat bimbingannya, lahir pakar-pakar fiqh antara lain Muhammad Yahya al-Jurjani dan Abu Hasan az-Za’farani. Al-Manshur Billah memasukkannya ke dalam golongan Mu’tazilah, sebagaimana banyak terlihat dalam penjelasan tafsirnya.

2.1.2 Karya-karya Al-Jaṣaṣ 
Karya beliau yang paling penting adalah tafsir ‎Ahkam al-Qur’an. Selain itu, beliau juga melahirkan beberapa karya, antara lain :
1. Syarh Mukhtashar al-Karakhi
2. Syarh Mukhtashar at-Thahawi
3. Syarh al-Jami’ li Muhammad ibn al-Hasan
4. Syarh al-Asma’ al-Husna
5. Adab al-Qadha
6. Ushul Fiqh (dituangkan dalam muqaddimah tafsirnya).
Adapun hasil dari buah karya baliau sangatlah banyak dan dianggap yang paling aadalah kitab Ahkam al-Quran. Beliau membuat karya berupa syarah Mukhtashar imam al-Kurkhi, mukhtashar imam al-Thohawi dan syarah al-Jami’ al-Kabir karya imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani. Selain kitab-kitab tersebut, beliau juga membuat karya kitab ushul fiqih dan adab al-qodlo. Maka dari hasil karya-karya beliau ulama pada masanya memndang beliau sebagai khoirotul ‘ulamau al-a’lam (sebaik-baik ulama dunia-terkenal-) beliau menjadi salah satu sandaran pembelaan terhadap madzhab hanafiah. Beliau mendapat gelar al-manshuru billah (penolong Allah) pada thobaqoh mu’tazilah.

2.1.3 Guru-guru Al-Jaṣaṣ
Al-Jaṣaṣ memiliki guru yang masing-masing guru tersebut mempunyai disiplin ilmu tersendiri, di antaranya yaitu:
1. Abi al-Hasan al-Karahy. Dari Abi al-Hasan al-Karahy-lah beliau mendapat ilmu zuhud.
2. Aby Ali al-Farisy dan Aby Amr Ghulam Tsa’lab tentang ilmu lughat
3. Aby Sahl al- Zarjaji tentang ilmu fiqh
4. Al- Hakim al-Naysaburi tentang hadits.

2.2 Metodologi Penafsiran Al-Jaṣaṣ
Sekilas Tentang Kitab Ahkamul Qur'an 
Karangan yang paling monumentalnya ialah Tafsir Ahkam Al-Qur’an atau yang dikenal dengan tafsir al-Jaṣhaṣ. Kitab Tafsīr Ahkām Al-Qur’an adalah kitab tafsir yang dikarang oleh Ahmad ibn ‘Ali al-Razy. Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir yang dijadikan rujukan oleh ulama’-ulama’ Hanafi tentang fikih, karena tafsir Ahkam al-Qur’an ini adalah kitab Tafsir yang isinya atau tafsirannya mengarah kepada permasalahan fikih atau bisa dibilang kitab ini adalah kitab fikih. Khususnya fikih Hanafi.

Kitab Tafsīr Ahkām Al-Qur’an merupakan kitab tafsir yang istimewa, karena penafsirannya menggunakan metode bil Ma’tsūr (penafsiran dengan metode mengutip keterangan yang ada dalam Al-Qur’an, Sunnah, atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan terhadap firman Allah) sedangkan biasanya orang yang bermazhab hanafi lebih condong kepada ra’yi dari pada riwayat. Al-Jaṣaṣ adalah penganut aliran ahlu as-Sunnah wal Jama’ah tetapi ada sebagian orang yang memandang beliau sebagai penganut aliran muktazilah, dengan dalil dalam tafsirannya beliau ada tafsiran yang mengarah pada aliran muktazilah. 

2.3 Tafsir Sholat Jum’at dalam QS. Al-Jumu’ah : 9-11 
(9) Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (10) apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (11) dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezeki”.
Allah berfirman, 


“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at”
Menurut kesepatan mereka mengenai maksud dari seruan (panggilan) disini adalah mengumandankan adzan, dan tata cara adzan tidak dijelaskan dalam ayat ini. Tetapi dijelaskan dalam hadits Rasul tentang mimpi Abdullah bin Zaid, bahwasanya di dalam mimpi tersebut Rasulullah mengumandangkan adzan. Dan Umar pun juga bermimpi seperti halnya mimpi Ibnu Zaid. 
Dalam Al-Qur’an. Nabi mengajari Abu Mahdzurah, lalu beliau pun menyebutkan takbir berkali-kali dalam permulaan adzan, dan telah kami sebutkan hal itu di dalam firman Allah 
“Dan apabila kita diseru (dipanggil) untuk mengerjakan sholat” (Al-Ma’idah:58).
Dalam hadits Nabi. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Hasan, di dalam firman Allah
  
“Apabila diseru (dipanggil) untuk mengerjakan sholat di hari jum’at”.
Nabi bersabda “Apabila imam sudah keluar dan mu’adzin telah mengumandangkan adzan, maka hal itu menandakan seruan kepada kita untuk segera melaksanakan sholat”.
Allah berfirman, 
“Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan meninggalkan jual beli”
Dalam hadits Nabi, telah diriwayatkan az-Zuhri dari Ibnu Musayyib dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda : “Apabila hari Jum’at tiba, maka disetiap pintu masjid terdapat malaikat yang mencatat siapa saja yang hadir lebih dahulu (untuk menghadiri sholat jum’at). Apabila imam telah duduk (di atas mimbar), mereka menutup lembaran catatan untuk turut mendengarkan khutbah. Misal orang yang datang pada awal jum’at bagaikan orang yang berkurban seekor unta, kemudian (orang yang datang berikutnya) bagaiakan orang yang berkorban seekor sapi, kemudian (orang yang datang berikutnya) bagaikan orang yang berkurban seekor domba, kemudian (orang yang datang berikutnya) bagaikan orang yang berkurban seekor ayam, kemudian (orang yang datang berikutnya) bagaikan orang yang berkurban sebutir telur”

2.3.1 Jumlah Minimal Jama’ah
Adapun hukum berjama’ah dalam shalat Jum’at adalah wajib. Sedangkan mengenai jumlah minimal jamaah dalam shalat Jum’at terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Pertama, Abu Hanifah, Zafar, dan Muhammad berpendapat bahwa jumlah minimal jama’ah dalam shalat Jum’at adalah empat (tiga selain imam).
Kedua, menurut Abu Yusuf minimal jama’ah adalah tiga termasuk imam. 
Ketiga, Ats-Tsauri berpendapat minimal dua termasuk imam.
Abu Bakar berkata: Jabir meriwayatkan bahwa Nabi Saw pernah berkhutbah ketika hari Jumat. Kemudian datang kafilah dan manusia pun berlari menuju kafilah itu sehingga hanya tersisa 12 laki-laki bersama nabi Saw. Lalu Allah menurunkan ayat, dan ketika mereka melihat dagangan atau permaian maka merekapun akan menuju kepadanya. Telah diketahui bahwa Nabi Saw tidak pernah meninggalkan shalat Jumat semenjak berada di Madinah dan tidak pernah mengingatkan perihal kembalinya kaum, sehingga shalat Jumat wajib didirikan oleh (minimal) 12 orang laki-laki. Dan ahli sejarah menukil bahwa shalat Jumat yang pertama kali didirikan di Madinah adalah shalat Mus’ab bin Umair dengan 12 laki-laki atas perintah Nabi Saw. Dan hal itu terjadi sebelum hijrah. Maka dapat dikatakan gugur (bathal) jumlah syarat 40 orang laki-laki. Dan juga, tiga seperti halnya empat puluh merupakan angka plural yang sah. Dan yang kurang dari tiga masih diperselisihkan kesahannya sebagai angka plural. Maka bisa dicukupkan dengan tiga dan tidak mensyaratkan yang lebih dari tiga.

2.3.2 Hukum Transaksi Jual Beli 
Dan firman Allah tinggalkanlah jual beli, Abu Bakar berkata bahwa terdapat perselisihan di antara ulama salaf dalam waktu pelarangan jual beli. Masyruq, Dhahaq, dan Muslim bin Yasar meriwayatkan jual beli hukumnya haram ketika matahari condong ke arah barat (zawal asy syams). Adapun Mujahid dan Zuhdi berpendapat haramnya ketika adzan dikumandangkan. Ada suatu komentar yang menyatakan bahwa pertimbangan waktu dengan zawal asy syams itu lebih baik, sebab hukum pelarangan jual beli tidak akan gugur sebab adzan yang diakhirkan. 
Para ulama berselisih pendapat dalam pelegalan (sah) jual beli ketika adzan shalat jumat. 
Pendapat pertama, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Zafar, Muhammad, dan Syafi’i berpendapat bahwa jual beli tersebut sah tapi dilarang. Kedua, Imam Malik mengatakan batal (tidak sah). 
Abu bakar berkata, Allah berfirman janganlah kalian memakan harta kalian dengan batil kecuali hasil perdagangan yang saling ridho; dan Nabi bersabda, tidak halal harta serang muslim kecuali atas kerelaan hatinya; bahwa kedua dalil ini menyatakan transaksi jual beli hukumnya sah dilakuakn di waktu kapanpun. Apabila ada komentar bahwa Allah berfirman tinggalkanlah jual beli, maka kami menggapi bahwa kami menkombinasikan dua dalil tadi sehingga hukum transaksi tersebut sah tapi haram. Adapun kepemilikian dihukumi dengan ayat dan hadis lain.
Pelarangan (haram) jual beli tidak berhubungan dengan transaksi tersebut, tetapi berhubungan dengan hal di luar transaksi yakni keharusan melaksanakan sholat. Maka hukum jual beli tetap sah. Sama juga seperti jual beli di akhir waktu shalat yang ditakutkan akan habis waktunya jika tetap dilaksanakan jual beli. Hukumnya sah tetapi haram sebab keharusan untuk segera melakukan shalat. Dan juga sama (sah tapi haram dilakukan) seperti talaqqiyil jalab, transaksi orang kota kepada orang desa, dan transaksi yang dilakukan di lokasi yang tidak mendapatkan izin (maghsub). Diriwayatkan Abdul Aziz Ad Darowardi dari Yazid bin Khushaifah dari Muhammad bin Abdurrahman bin Tsauban dari Abu Hurairah, jika kamu melihat seseorang yang melakukan jual beli di masjid, maka katakanlah kepadanya semoga Allah tidak memberi keuntungan untukkmu. Dan jika kamu melihat orang yang mencari barang yang hilang di masjid maka katakanlah kepadanya, semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu. Kemudian Muhammad bin ‘Ajlan meriwayatkan dari Amru bin Syua’ib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah melarang bertransaksi jual beli, mencari barang yang hilang dan melantunkan syair di dalam masjid. Dan Nabi juga melarang memotong rambut di hari jumat sebelum sholat. Kemudian Muhammad bin Muslim bercerita kepada kami dari Abdu Rabbihi bin Abaidillah dari Makhul dari Muaz bin Jabal bahwa Rasulullah bersabda jauhkan anak anak kecil kalian, orang gila kalian dari masjid-masjid kalian.

2.3.3 Safar Ketika Hari Jumat
Adapun pendapat mengenai safar dihari Jum’at yaitu:
1. Atha’ dan Qasim bin Muhammad bahwa beliau tidak suka untuk keluar untuk keluar di tengah hari Jumat.
2. Al Hasan dan Ibnu Sirin mengatakan tidak mengapa bepergian di waktu Jumat selagi belum masuk waktu atau belum didirikan shalat Jumat. 
3. Israil dari Ibrahim bin Muhajir dari An Nakh’i menyatakan bahwa ketika seseorang ingin bepergian ketika hari Kamis, maka bepergianlah ketika pagi menjelang siang. Jika dan ketika hari menjelang sore maka jangan pergi sehingga dia shalat Jumat. 
4. Atha’ dari Aisyah bahwa ketika seseorang menemui malam Jumat maka jangan pergi sampai menunaikan shalat Jumat. 
5. Ibrahim, Allah berfirman Dialah yang menjadikan bumi dhalulan maka berjalanlah di manakibiha, bahwa ayat ini mengindikasikan bolehnya bepergian di waktu kapanpun tanpa ada batas waktu.
Hal tersebut sudah dhahir (jelas) dalam hukum malam jumat, sebelum masuk waktu zawal asy syams, dan bolehnya safar ketika keduanya. Yang pasti dilarang adalah setelah zawal asy syams, sebab seseorang akan menjadi orang yang terikat kewajiban shalat (ahlul khitab). Dan mengenai Firman Allah, ketika telah dikumandangkan shalat di hari Jumat maka menujulah untuk megingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, terdapat suatu komentar: tidak ada perselisihan dalam ayat ini bahwa perintah tersebut tidak dikhususkan untuk musafir, tetapi hukum fardhu shalat berkaitan dengan akhir waktu masuk waktu sholat. Maka ketika seseorang bepergian dan ketika masuk sholat dia dalam keadaan musafir, maka dia tidak termasuk ahlul khitab.
Ketika sholat itu telah ditunaikan maka betebarlah di muka bumi dan carilah anugerah Allah. Al Hasan dan Dhahak berkata bahwa ini merupakan izin dan keringanan yang Allah berikan. Abu Bakar mengatakan ketika ayat sebelumnya menerangkan tentang keharaman jual beli, maka ayat setelahnya menjelaskan tentang kebolehan dan terlepas dari hukum haram. Seperti ayat ketika kalian sudah bertahalul maka berburulah. Ada sebuah komentar: mencari anugerah Allah itu dengan cara taat dan berdoa kepada Allah. Ada lagi yang berkomentar mencari anugerah Allah itu dengan berdagang dan semacamnya. Dan pendapat kedua merupakan pendapat yang lebih kuat, sebab indikasi ayat sebelumnya melarang transaksi. 
Abu bakar berkata secara kontekstual ayat carilah anugerah Allah itu merupakan kebolehan berjual beli. Allah berfirman, ada orang-orang yang mencari anugerah Allah dan ada juga yang berperang di jalan allah. Maka ayat carilah anugerah Allah adalah carilah anugerah Allah dengan berdagang. Hal ini juga diindikasikan oleh potongan ayat setelahnya yakni dan ingatlah Allah selalu. Dan dalam ayat betebarlah di muka bumi dan carilah anugerah Allah juga menunjukkan hukum bolehnya bepergian setelah shalat Jumat. 

2.3.4 Berdiri Ketika Khutbah
Diriwayatkan dari Jabir bin Hasan bahwa para sahabat melihat kafilah makanan datang ke madinah dan mereka dalam kelaparan saat itu. Jabir berpendapat bahwa al lahwu di sini adalah seruling, sedangkan menurut Mujahid adalah drum. Katakanlah sesuatu yang disisi allah yakni pahala untuk mendengarkan khutbah dan mauidhah, itu lebih utama dari pada senda gurau dan berdagang.
Dan mereka meninggalkanmu dalam keadaaan berdiri. Ayat ini menunjukkan bahwa khutbah itu berdiri. A’mas bin Ibrahim meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Alqomah, apakah Nabi khutbah berdiri atau duduk? Dia menjawab apakah Kau tidak membaca ayat dan mereka meninggalkanmu dalam keadaaan berdiri. Hashin dari Salim dari Jabir meriwayatkan bahwa dulu pernah datang kafilah dari Syam ketika Rasulullah sedang berkhutbah. Kemudian sahabat berpaling kepadanya dan meninggalkan Nabi dan 12 lelaki. Maka turun ayat ini. Ja’far bin Muhammad meriwayatkan dari ayahnya dari Jabir bahwa Nabi saat itu sedang khutbah kemudian datang kafilah dan manusia pun keluar untuk menuju kafilah tersebut sehingga tersisa dua belas laki-laki. Abu Bakar berkata bahwa Ibnu Fudhail dan Ibnu Idris berselisih pendapat pada hadis pertama. Ibnu Fuhdail mengatakan bahwa matan hadisnya adalah kami shalat dengan Nabi. Ibnu Idris menyatakan bahwa matan hadis itu adalah Nabi berkhutbah. Mungkin yang dikehendaki dengan sholat menurut pendapat Ibnu Fudhail adalah akan melaksanakan shalat, sebab orang yang menunggu shalat itu hukumnya sama dengan orang sedang shalat. Kemudian Abdullah bin Muhammad bercerita dari Hasan dari Abdurrazak berkata bahwa Abdullah bin Mu’ammar dari Al Hasan, bahwa saat itu sahabat lapar dan harga barang mahal; kafilah datang ketika Nabi berkhutbah; kemudian mereka berpaling kepada kafilah itu dan Nabi ditinggal berdiri; Nabi berkata, andaikan orang-orang yang tersisa mengikuti orang-orang itu, maka sungguh lembah ini akan terbakar oleh api.
2.4 Syarat-syarat Shalat Jum’at 
2.4.1 Syarat Wajib Shalat Jum’at 
 Syarat yang mewajibkan seseorang mengerjakan shalat jum’at ada 7, yaitu  :
1. Beragama Islam
2. Dewasa
3. Berakal Sehat
4. Merdeka
5. Laki-laki 
6. Sehat Jasmani
7. Bermukim (bukan musafir)


2.4.2 Syarat Sah Shalat Jum’at 
 Syarat-syarat sahnya melakukan shalat jum’at ada 3, yaitu  :
1. Tempat pelaksanaannya ada di kota atau di desa
2. Jumlah orang yang berjama’ah sekurang-kurangnya 40 orang yang kesemuanya telah memenuhi syarat 
3. Dilakukan dalam waktu Dzuhur
2.4.3 Fardhu Shalat Jum’at 
 Hal-hal yang harus dipenuhi dalam mengerjakan shalat jum’at ada 3, yaitu  :
1. Adanya 2 khutbah yang dilakukan dengan berdiri dan ke-2 nya dipisah dengan duduk
2. Dilakukan sebanyak 2 raka’at
3. Dilakukan secara berjama’ah 
2.4.4 Syarat-syarat Khutbah 
 Syarat-syarat dalam khutbah jum’at ada 4, yaitu  :
1. Isi rukun khutbah dapat didengar oleh 40 orang
2. Berturut-turut antara khutbah pertama dengan khutbah kedua
3. Menutup aurat
4. Badan, pakaian dan tempatnya suci dari hadats dan najis
2.4.5 Sunnah-sunnah Hai’at Shalat Jum’at
 Sunnah-sunnah hai’at dalam shalat jum’at ada 4, yaitu  :
1. Mandi
2. Membersihkan Tubuh
3. Memakai Baju Putih
4. Memotong Kuku, dan memakai pengharum

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan 
Shalat jum’at dihukumi wajib bagi semua kaum muslim laki-laki. Di dalam makalah kami kali ini, telah dijelaskan mengenai syarat-syarat wajib, syarat-syarat sah, fardhu dalam shalat jum’at, serta sunnah-sunnah hai’at dalam shalat jum’at. Hukum berjama’ah dalam shalat Jum’at adalah wajib. Sedangkan mengenai jumlah minimal jamaah dalam shalat Jum’at terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Hukum transaksi ketika hari jum’at serta safar ketika hari jum’at masih terdapat perbedaan pendapat dari para Ulama. Dalam tafsir al-jasas ini juga telah dijelaskan mengenai seruan adzan, serta keutamaan-keutamaan pahala yang diperoleh bagi orang yang berangkat terlebih dahulu ke masjid untuk menunaikna shalat jum’at.

DAFTAR PUSTAKA

Daib Al-Bigha, Musthafa. (2008). Komplikasi Hukum Islam Ala Madzhab Syafi’i. Sa’id An-Nadwi, Fadlil. Al-Hidayah. Surabaya 
Rifa’i, Moh. (2004). Risalah Tuntunan Shalat. PT Karya Toha Putra. Semarang  
Seto, Wiyonggo.  “Sejarah Akan Terus Jadi Inspirasi”. http://wiyonggoputih.blogspot.co.id/2017/01/imam-abu-bakr-ahmad-bin-ali-ar-rozi-al.html, diakses pada tanggal 15 April 2017 pukul 09.42
Terjemahan Kitab Fathul Qarib