Hukum Wadh'i


Hukum Wadh'i, pengertianartidefinisi.com
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Wadh’i” sesuai dengan yang diharapkan. Tujuan dibuatnya makalah ini untuk memenuhi tugas perkuliahan terutama pada mata kuliah Fiqih dan Usul Fiqih.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak penyusunan makalah  ini tidak mungkin terselesaikan dengan baik oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bpk. H.Syihabuddin Qalyubi, selaku Dosen Fiqih dan Ushul Fiqih.
       Penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan, mengingat keterbatasan penulis dalam  hal kemampuan yang masih dalam taraf  belajar oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dalam penulisan karya tulis ini sangat penulis harapkan dan semoga penulisan laporan ini bermanfaat bagi penulis dan dapat menambah bahan referensi bagi orang lain.









                              Yogyakarta


Penulis






DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………...  i
KATA PENGANTAR  ………………………………………………………….     ii 
DAFTAR ISI  ……………………………………………………………………    iii
BAB    I           :  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang  …………………………………….…….…  1
B.     Rumusan Masalah……………………………………….…..  1
C.     Tujuan.................…………………………………………...   1
BAB    II         :  PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Wadh’i.……………………….………..   3
B.     Macam-macam Hukum Wadh’i………………………...….   4
1. Sebab (as-sabab)...………..……………….…………….    6
2. Syarat....................................................………………….    7
3. Mani’...................................................................................
4.  Azimah dan rukhsah.........................................................
5.  Sah dan batal......................................................................
BAB    III        :  PENUTUP
A.    Simpulan  …………………………………………………  10   
B.     Saran  ……………………………………………………..   10
DAFTAR PUSTAKA…………..……………………………..  11


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
            Sebagaimana kita ketahui kehidupan saat ini tak luput dari hukum dan norma yang berlaku menurut hukum syara’. Hukum syara’ ini dibagi menjadi dua bagian yaitu, hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung tuntutan dan kebolehan disebut “hukum takhlifi” dan yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’ disebut “hukum wadh’i”.
B. Rumusan masalah
            1. Apa pengertian hukum wadh’i ?
            2. Apa macam-macam hukum wadh’i ?
C. Tujuan
            1. Untuk mengetahui  pengertian hukum wadh’i
            2. Untuk mengetahui macam-macam hukum wadh’i

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
            Wadh’i ialah buatan atau bikinan. Hukum wadh’i adalah firman Allah SWT yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang dari sesuatu yang lain. Hukum wadh’i merupakan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’. Hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu’), antara hukum yang sah dan hukum yang tidak sah. Ini disebut hukum wadh’i karena saling berhubungan dan berkaitan.  
B. Macam-Macam Hukum Wadh’i
            Hukum wadh’i itu terbagi menjadi lima macam yaitu, sebab, syarat, mani’, azimah dan rukhsah, sah dan batal.
1. Sebab
            Sebab dalam bahasa Indonesia disebut “sebab”, secara etimologis artinya adalah “sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan”. Dari kata inilah yang dinamakan “jalan” karena bisa menyampaikan seseorang kepada tujuan. Secara terminologi sebab adalah sesuatu keberadaannya dijadikan  syari’ (pembuat hukum) sebagai pertanda keberadaan suatu hukum, dan ketiadaan sebab sebagai pertanda tidak adanya hukum. Misalnya, Allah menjadikan perbuatan zina sebagai sebab ditetapkannya hukuman, karena zina itu sendiri bukanlah penyebab ditetapkannnya hukuman, tetapi penetapan hukuman itu adalah syari’. Semua tanda yang melahirkan hukum dan apabila hubungan antara tanda dan hukuman nampak cocok itu disebut dengan “’illat”. Tetapi apabila hubungan keduanya tidak cocok itu disebut sebab. Sebab secara garis besar ada dua macam, sebab yang termasuk perbuatan mukallaf dan yang berasal dari perbuatan mukallaf. Sebab yang termasuk perbuatan mukallaf seperti tibanya waktu sholat dan menimbulkan wajib shalat. Dan sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf seperti pembunuhan secara sengaja merupakan sebab adanya hukum qishahs (hukuman yang setimpal dengan perbuatan). Sebab dari segi objek dibagi menjadi dua, yaitu;
                                   a.          Sabab al-waqti, seperti tergelincirnya matahari sebagai pertanda wajibnya shalat zhuhur, sebagaimana  yang difirmankan Allah dalam (QS. Al-Isra’: 78)


Dirikanlah shalat karena (telah) tergelincir matahari...

                                   b.         Sabab al-ma’nawi, seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamar, sebagaimana sabra Rasulullah saw:


Setiap yang memabukkan itu adalah haram. (H.R. Muslim, Ahmad ibn Hanbal dan Ashhab al-sunan).




2. Syarat
            Secara etimologi berarti ‘alamah (pertanda). Secara terminologi adalah apa yang tergantung adanya hukum dengan adanya  syarat dan dengan tidak adanya syarat mana hukum tidak ada. Syarat letaknya diluar hakikat sesuatu maka apabila ia tidak  ada maka masyrut pun tidak ada tetapi tidak mesti adanya masyrut.  Akad nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri, namun agar akad nikah itu sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi. Demikianlah dalam semua perjanjian dan tindakan baru dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak apabila terpenuhi syarat-syaratnya. Syarat-syarat dalam kegiatan hukum kadang-kadang ditetapkan syara’ yang seperti ini dinamakan syarat syar’i dan kadang-kadang ditetapkan oleh mukallaf sendiri yang dinamakan syarat ja’li. Contoh syarat syar’i seperti syarat yang ditetapkan sahnya akad nikah yang dihadiri oleh dua orang saksi dan contoh syarat ja’li seperti jatuhnya talak apabila kedua belah pihak mempunyai ikatan perkawinan.
Syarat syar’i dapat dibagi menjadi 2 macam:
·         Syarat yang terkandung dalam khitab taklifi yang kadang-kadang dalam bentuk tuntutan untuk memperbuatnya seperti wudhu dalam shalat. Dan kadang-kadang dalam bentuk tuntutan untuk tidak memperbuatnya seperti akad nikah tahlil, ialah nikah yang dilakukan sebagai syarat untuk memperbolehkan suami pertama menikahi kembali istrinya yang ditalak tiga.
·         Syarat yang terkandung dalam kitab wadh’i. Contohnya haul bagi yang memiliki harta kekayaan yang cukup nisab menjadi syarat wajib mengeluarkan zakat.
Syarat ja’li dapat dibagi menjadi 3 macam:
·         Syarat yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah sesuatu perbuatan hukum dan tidak bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
·          Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan hukum yang dimaksud bahkan bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
·         Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan hukum. Syarat yang seperti ini kalau terjadi dalam bidang ibadah tidak berlaku karena tidak ada seorang juapun yang berhak menetapkan syarat dalam ibadah. Namun, kalau terjadi dalam bidang muamalah dapat diterima.

3. Mani’
            Secara etimologi mani’ berarti berhenti dari sesuatu, dalam bahasa indonesia “halangan”. Secara etimologi menurut ulama ushul fiqh yaitu sifat zhahir yang dapat diukir yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau ketiadaann sebab. Maksudnya, dengan adanya mani’ maka hukum menjadi tidak ada, tetapi tidak mesti keberadaannya dan ketiadaannya adanya hukum. Misalnya ada perbedaan agama contohnya,  apabila istri seorang musyrikb maka ia tidak mendapatkan warisan dari suaminya, karena adanya mani’ yaitu perbedaan agama.  Para ulama dari mazhab Hanafiyah membagi mani’ kepada lima macam;
·         Mani’ yang menyebabkan tidak berlakunya akad, seperti objek jual beli tidak ada.
·         Mani’ yang menyebabkan akad tidak sempurrna bagi orang ketiga diluar akad, seperti bay’ al-fudhuli. Jual beli sebenarnya telah sempurna dilakukan seseorang atas nama orang lain, tetapi akad tersebut belum sempurna sebelum mendapatkan persetujuan orang yang menjadi pemiliknya.
·         Mani’ memulai hukum dalam jual beli. Sudah berlakunya akad bagi kedua pihak tetapi adanya hak memilih mani’ terhadap pemilikkan barang bagi pihak pembeli.
·         Mani’ untuk penyempurna hukum. Jual beli telah berlangsung, namun jual beli tidak sempurna sebelum barang yang dibeli harus dilihat terlebih dahulu.
·         Mani’yang menghalangi sifat mengikat suatu hukum, seperti adanya cacat dalam barang yang  
dibeli. Setelah berlangsungnya akad jual beli, hak pembei telah tetap pada harta tersebut, tetapi dengan adanya cacat pada barang itu, akad tersebut menjadi tidak mengikat karena pembeli memiliki hak untuk membatalkan jual beli tersebut.





4. Azimah dan Rukhsah
            Secara etimologi azimah berarti tekad yang kuat. Menurut ulama fiqh yaitu hukum yang diisyaratkan Allah semenjak semula bersifat umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu.
Jadi azimah ini hukum sejak semula pensyari’atannya tidak berubah dan berlaku untuk seluruh umat, tempat dan masa tanpa kecuali. Misalnya, shalat lima waktu diwajibkan setiap orang, diwajibkan kepada semua keadaan asalkan mukallaf dapat  melaksanakannya.
            Secara etimologi rukhsah yaitu kemudahan, kelapangan, dan kemurahan. Secara terminologi, hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan. Ada empat macam rukhsah;
·         Rukhsah terhadap yang wajib, yaitu memakan bangkai bagi orang yang didalam keadaan darurat. Hukum ini wajib menurut ujumhur ulama.
·         Rukhsah bersifat mandub, seperti mengqasar sholat bagi musafir. Menurut jumhur ulama fiqh, mengqasar shalat dalam perjalanan hukumnya mandub, tetapi menurut hanafiyyah ini termasuk azimah.
·         Rukhsah bersifat mubah, bagi para dokter boleh melihat aurat orang lain laki-laki maupun wanita, ketika berlangsungnya pengobatan.
·         Rukhsah bersifat makruh, apabila seseorang terpaksa mengatakan kalimat kufur sedangkan dalam hatinya masih beriman, maka hukumnya bagi umat islam ini haram. Karena ini sejenis ancaman untuk mengucapkannya.


5. Sah dan Batal
            Lafal “sah” dapat diartikan lepas dari tanggung jawab atau gugur kewajiban dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan perbuatan itu akan mendatangka pahala diakhirat. Sebaliknya, lafal “batal” yang dapat diartikan tidak melepas tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban didunia dan diakhirat tidak memperoleh pahala. Secara umum bahwa sah adalah perbuatan yang dilakukan mukallaf dengan memenuhi rukun dan syaratnya, dengan tata cara yang ditetapkan syara’, tanpa ada halangan, dan tujuan dari perbuatan yang ditentukan syara’ tercapai. Apabila perbuatan itu tidak tercapai maka itu disebut bathil. 

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
            Hukum wadh’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu. Hukum wadh’i ini terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat, mani, rukhsah dan azimah, sah dan batalnya.

Baca Juga: Hukum Takhlifi

0 komentar:

Post a Comment