Islam di Era Orde Lama (1959-1966)


Soekarno, http://cdn2.tstatic.net

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, membawa Indonesia menuju babak baru dalam sejarah. Setelah memerdekaan diri, Indonesia terus berusaha membenahi dan memperbarui sistem dan stabilitas negara agar menjadi negara yang berdaulat. Sebagai negara yang sudah merdeka dan berdaulat, dibutuhkan suatu dasar negara yang bisa untuk menjalankan sistem pemerintahan.
Dalam pembentukan dasar negara ini, melibatkan berbagai jenis elemen masyarakat termasuk umat Islam. Seperti halnya yang terjadi pada pembahasan Piagam Jakarta yang memerlukan Umat Islam dalam penyusunannya. Namun, dalam akhir dari pembentukan dasar negara ini justru menimbulkan kekecewaan pada umat Islam. Banyak kalangan umat Islam yang menilai bahwa kebijakan Presiden Soekarno saat itu tidak banyak berpihak pada umat Islam. Padahal jika diingat, banyak sekali peranan umat Islam sejak dari masa perjuangan sampai kemerdekaan.
B.     Rumusan masalah
1.    Bagaimana politik Islam di Era Orde Lama?
2.    Bagaimana sistem kebijakan pemerintahan Indonesia masa orde lama?
3.    Bagaimana reaksi umat islam terhadap kebijakan politik masa Orde lama?

C.    Tujuan Penulis
1.      Mengetahui politik Islam di Era Orde Lama.
2.      Mengetahui sistem kebijakan politik Indonesia masa orde lama.
3.      Mengetahui  reaksi umat islam terhadap kebijakan politik masa orde lama.

BAB II
PEMBAHASAN
Berakhirnya era demokrasi liberal sejak keluarnya Dekrit Presiden 1959 menandai bermulanya era baru politik Indonesia yang disebut dengan era Demokrasi Terpimpin. Era ini dapat dianggap sebagai masa-masa sulit bagi partai Islam. Setelah mengeluarkan dekrit, Soekarno yang sudah terobsesi untuk menjadi penguasa mutlak di Indonesia memaksa pembubaran Partai Masyumi pada 17 Agustus 1960. Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno ternyata menimbulkan respont yang beragam dari kalangan partai Islam. Era Demokrasi Terpimpin yang berumur hingga September 1965 ini bisa membagi menjadi 2 periode yaitu periode proses kristalisasi (hingga Desember 1960) dan periode kolaborasi (hingga pecahnya pemberontakan G-30-S/PKI 1965). Periode kristalisasi ditandai dengan pemilihan kawan dan lawan, pendukung dan oposisi terhadap kebijakan Soekarno tersebut. Sementara periode kolaborasi ditandai dengan kerja sama partai-partai Islam yang ikut bersama demokrasi terpimpin, termasuk dengan komunis, yang merupakan salah satu pilar penyangganya.[1]
Pada masa orde lama ini, kekuatan politik umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan Soekarno. Kebijakan itu terutama berkaitan dengan system Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan. Sebab sistem ini, memberikan keleluasaan lebih besar kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk bergerak dan menguasai panggung politik Nasional. Juga, kebijakan Soekarno tentang keputusannya membubarkan Masyumi Agustus 1960.

Baca Juga : Kerajaan Pajang

B.     Kebijakan Pemerintahan Masa Orde Lama
Pendeknya usia piagam jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat perjuangan politik umat Islam di alam kemerdekaan. Gerak politik di kalangan organisasi dan partai-partai Islam dirasa tidak memadai sebagai wahana perjuangan, maka umat Islam membuat partai Masyumi sebagai partai politik umat Islam. Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam yang keanggotaannya terdiri  dari berbagai organisasi Islam maupun perorangan. Namun, belum lama partai ini berjalan, keutuhan keanggotaan. Masyumi terguncang dengan keluarnya PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) dari Masyumi. Kemudian guncangan besar dalam tubuh Masyumi terjadi pada Mei 1952, saat NU yang merupakan pendukung terbesar Masyumi menyatakan keluar dari partai tersebut[2].
Pada awal masa Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memegang peran penting dalam politik. Hal ini terlihat baik pada masa Kabinet Natsir maupun Kabinet Soekiman, posisi Menteri Agama masih berada di tangan KH Wahid Hasyim (tokoh NU dalam Masyumi). Tapi pada masa Kabinet Wilopo-Prawoto, posisi Menteri Agama dipegang oleh KH Fakih Usman (tokoh Muhammadiyah dalam Masyumi). Pada masa Kabinet Wilopo ini, unsur NU memang tidak terwaliki, sementara Masyumi mendapat empat kursi dan PSII satu kursi.
Pada pertengahan 1953, Kabinet Wilopo jatuh, dan digantikan oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam Kabinet ini, NU ( setelah jadi partai) mula-mula mendapatkan tiga kursi. Namun, setelah terjadi perubahan kabinet, kursi NU menjadi empat kursi, meliputi kursi Wakil Perdana I, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama,dan Menteri Agraria. Namun, Kabinet Ali I jatuh pada tahun 1955 dan digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi). Dimana kabinet ini merupakan kabinet Masyumi terakhir sampai partai itu bubar pada tahun 1960.[3]
Secara resmi, periode Demokrasi Terpimpin bermula dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dekrit ini menyatakan bahwa berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Majelis Konstituante yang dibentuk pada 1956. Soekarno memilih Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk demokrasi Indonesia karena menurutnya Demokrasi Parlementer tidak bisa mewujudkan cita-cita demokrasi bangsa Indonesia. Kekecewaan Soekarno dengan keadaan, sebenarnya juga berpangkal pada kegagalannya untuk membentuk kabinet gotong-royong.  Kemudian Soekarno membentuk Dewan Nasional pada 11 Juli 1959 yang diketuai oleh Soekarno sendiri. Lalu pada 22 Juli 1959, Dewan Nasional diganti dengan Dewan Pertimbangan Agama Sementara (DPAS) yang diketuai oleh Soekarno, namun penanganan sehari-hari DPAS diserahkan oleh wakilnya, Roeslan Abdoelgani.  DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar pidato kenegaraan Presiden 17 Agustus 1959 dijadikan sebagai Manifesto Politik.[4]
Dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959, Soekarno menyampaikan dasar-dasar Demokrasi Terpimpin.[5] Yaitu:
·      Tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan budaya;
·      Tiap-tiap orang berhak mendapatkan penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa dan negara.
Pada tanggal 20 Maret 1960, Soekarno membubarkan parlemen dan menggantikannya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Anggota DPRGR yang dipilih ini merupakan mereka yang mengiakan Soekarno. Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI tidak dimasukkan. Jika diteliti dengan cermat, keanggotaan DPRGR terdiri dari 94 kursi pihak Nasionalis-Sekuler, 81 kursi kelompok Komunis, dan wakil Islam hanya 67 kursi.[6]
                                                                                                             
  1. Reaksi Umat Islam Terhadap Pemerintahan Orde Lama
Bentuk Demokrasi Terpimpin yang dipilih oleh Soekarno telah mempersempit gerak Umat Islam. Kekecewaan Soekarno yang hanya sebagai Presiden simbol sebagaimana ditentukan oleh UUDS 1950 yang menjadi dasar konstitusional bagi pelaksanaan demokrasi parlementer di Indonesia. Keinginan Soekarno untuk berkuasa langsung disampaikan pertama kali pada 28 Oktober 1956 pada saat ia mengemukakan konsepsi Bung Karno. Move politik yang telah dianggap sebagian orang sebagai penyimpangan dalam UUDS 1950 pada waktu itu. Di antara reaksi terhadap move politik Bung Karno itu disampaikan oleh Isa Anshary, anggota DPR.[7]
Dalam pandangan Umat Islam sendiri, mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap Demokrasi Terpimpin. Dimana secara garis besar, ada dua kelompok partai Islam yaitu ada yang kontra dan ada yang bergabung dengan Demokrasi Terpimpin. Kelompok pertama, Masyumi yang memandang bahwa Demokrasi Terpimpin merupakan sistem demokrasi yang otoriter, yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Kemudian kelompok kedua, yaitu kelompok Liga Muslim (NU, PSII, dan Perti) yang berpandangan bahwa dengan turut serta dalam sistem Demokrasi Terpimpin merupakan sikap realitas dan pragmatis.
Kehadiran Demokrasi Terpimpin bukan hanya dilawan oleh Masyumi dan PSI. Selain mereka terdapat juga beberapa tokoh politik yang menentangnya, termasuk KH M. Dachlan dan Imron. Mereka bergabung dengan Liga Demokrasi , suatu badan perlawanan terhadap Demokrasi Terpimpin. Selain mereka, Liga ini ditokohi oleh figur-figur Masyumi, PSI, Partai Katolik, Parkindo (Partai Kristen Indonesia), dan IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpilan
Sebagai negara yang telah merdeka, Indonesia menginginkan sebuah bentuk negara demokrasi yang bisa memperbarui sistem stabilitas politik dan negara menjadi lebih baik. Soekarno sebagai pemimpin terpilih negeri ini telah menjalankan sistem pemerintahan dengan berbagai macam ide gagasannya. Demokrasi Terpimpin yang dipilihnya, justru membatasi gerak politik umat Islam seperti Masyumi yang awalnya merupakan satu-satunya partai politik umat islam namun harus kehilangan peran dalam politik setelah Demokrasi Terpimpin diterapkan.
Reaksi Umat Islam terhadap Soekarno terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pertama adalah mereka yang mendukung Demokrasi Terpimpin (NU, PSII, dan Perti). Kelompok kedua adalah mereka yang tidak mendukung atau tidak setuju terhadap diterapkannya sistem Demokrasi Terpimpin (Masyumi dan PSI).
B.     Kritik dan Saran
Pemakalah sangat menyadari bahwasanya tulisan dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu disaran kepada pembaca agar dapat membaca juga buku referensi lain agar lebih dapat memahami lebih dalam lagi materi yang ada dalam makalah ini. Selain itu, seandainya dalam penulisan makalah ini ada terdapat kesalahan, baik secara penulisan maupun isi materi, kami mohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Maarif, Ahmad Syafi’i. 1996. Islam dan Politik : Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta: Gema Insani Press.
Maarif, Ahmad Syafi’i. 1998. Islam dan Poltik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Yogyakarta: PT Pustaka Parama Abiwara.
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution. 2010. Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer). Cet. I. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Syafiie Drs. Inu Kencana. 1994. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Media Online:
Indonesia Investments. “Orde Lama Soekarno - Sejarah Politik Sukarno” https://www.indonesia-investments.com › ... › Orde Lama Soekarn, (diakses 18 September 2017, jam 11.15 WIB).






[1] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010)  Hlm. 267-268
[2] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik : Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) hlm. 31-39
[3] Ibid,. hlm. 41
[4] Ibid., hlm. 49-50
[5] Drs. Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994) hlm. 40
[6] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Poltik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Yogyakarta: PT Pustaka Parama Abiwara, 1998) hlm. 61-62.
[7] Ibid., hlm. 51

0 komentar:

Post a Comment