Modernisasi di Al-Jazair

Bendera Al-Jazair, www.kemlu.go.i

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia memiliki kepercayaan terhadap religi yang berbeda, dan setiap religi pastinya memiliki hal positif dan semua agama pastinya mengajarkan kebaikan, tidak ada agama yang menyuruh berbuat kejahatan, bila ditelaah secara mendalam tidak ada hal-hal negatif, namun dalam kehidupan pastinya ada hal-hal yang bergesekan atau berbenturan karena sudut pandang kepercayaan yang berbeda dan membuat kasus ataupun konflik.
Persebaran kekuasaan Islam pada masa pertengahan memiliki dampak yang dikatakan besar karena wilayah kekuasaan dinasti-dinasti yang berlatar belakang Islam bertebaran dimana-dimana, banyak orang non-muslim di Barat yang beranggapan bahwa Islam menyebar lewat kekuasaan atau pedang bisa juga disebut Islam tersebar karena kekuasaan.
Dinasti-dinasti Islam pernah berkuasa di benua Afrika, akan tetapi pastinya kalau kita menggunakan rasional, kekuasaan Islam menyebar bukan karena pedang ataupun kekerasan namun karena dogma atau ajaran, menurut kami pemikiran seperti Islam menyebar lewat pedang karena orang diluar dari agama Islam memiliki pandangan yang kurang baik hanya melihat dari lapisan luar saja dan tidak ingin membahas mendetail mengenai kejadian-kejadian mengapa hal itu terjadi, salah santunya contohnya ada di Afrika Utara dimana sejarahnya sampai masa kontemporer masih bisa terlihat hawa-hawa keberadaan agama Islam disalah satu Negara di Afrika Utara yaitu Aljazair.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana kondisi Islam di Aljazair masa modern-kontemporer ?
BAB II
KONDISI ISLAM DI ALJAZAIR MASA MODERN
Pada tahun 1830, pemerintahan Charles X (Perancis), karena dorongan untuk meraih kemenangan militer dan memulihkan wibawa politiknya setelah mengalami kemunduran dalam perang kemerdekaan Yunani dan keperntingan komersil di Marseille, Perancis menyerbu Aljazair.
Diluar keguncangan ini, muncul sebuah negara Muslim di Aljazair barat. Abdul Qadir seorang pemimpin dari suku Barbar, yang ayahnya seorang pemimpin tariqat Qadiriya, berusaha mendirikan sebuah negara Muslim. Pada tahun 1832 ia memproklamirkan diri sebagai Amir al-Mukminin sebagai sultan bangsa Arab dan mengklaim dirinya bertanggung jawab dalam penerapan hukum Islam di wilayah kekuasaannya untuk berjuang melawan Perancis.[1] Mayoritas suku di wilayahnya menerima otoritasnya, dikarenakan penilaian penduduk setempat terhadap keberanian, kecakapan diplomasi, dan kecakapan mengurus organisasinya.[2]
Dari tahun 1832 sampai 1841 Abdul Qadir secara silih berganti melancarkan perang dan menciptakan perdamaian dengan pihak Perancis sebagai bagian dari perjuangan yang kompleks untuk memperlihatkan loyalitas terhadap suku-suku Aljazair. Namun pada 1841, Bugeaud seorang Jenderal Perancis meraih kemenangan absolut dalam mendominasi Aljazair dan membuka upaya kolonisasi Perancis di Aljazair. Abdul Qadir sempat mendapat bantuan dari Maroko akan tetapi pada 1844, mereka dikalahkan oleh Perancis dan pada 1847 Abdul Qadir diasingkan ke Perancis dan kemudian ke Damaskus.[3] Satu persatu wilayah  Aljazair pun jatuh ke tangan Perancis.
Sebagai respon atas kolonisasi Perancis di Aljazair, terjadilah perlawanan bangsa Aljazair dalam skala lokal. Dalam perlawanan ini keyakinan dan loyalitas umat Muslim memainkan peranan yang sangat penting. Pada tahun 1849, Bu Zian seoran syaikh lokal yang sebelumnya menyokong Abdul Qadir melancarkan pemberontakan terhadap pendudukan Perancis. Tahun 1858 Sidi Sadok ibn al-Hajj, bersekutu dengan Bu Zian melancarkan gerakan jihad, namun ia ditangkap beserta 88 pengikutnya.[4] Dan masih banyak perlawanan-perlawnan yang dilakukan oleh penduduk Aljazair.
Beberapa pemberontakan seringkali dibangkitkan oleh masyarakat bawah tanah. Para sufi dan juru dakwah eksatatik (zuhud) yang mengklaim perpanjangan dari al Mahdi menciptakan situasi kehidupan ekstatik dan memainkan peran penting dalam memobilisir serangkaian pemberontakan.
Pada tahun 1870-1871 perlawanan lokal sendiri-sendiri akhirnya dipusatkan menjadi sebuah pemberontakan Aljazair dalam skala besar. Pemberontakan ini dipimpin oleh al-Muqrani, didukung oleh tarekat Rahmaniyah, namun akhirnya dapat dikalahkan oleh Perancis.[5]
Dalam bidang pendidikan, sebelum penaklukan Perancis, terdapat sejumlah sekolah dan badan sosial yang cukup kaya untuk mendanai bangunan keagamaan. Namun, penaklukan Perancis menyebabkan perampasan sejumlah penghasilan dan menghancurkan lembaga pendidikan. Sekolah-sekolah tersebut dipaksa digantikan dengan sekolah Perancis untuk mengasimilasi anak-anak Aljazair kedalam peradaban Eropa. Pada tahun 1890, sejumlah palajar mencapai dua persen dari jumlah penduduk, memasuki sekolah-sekolah Perancis. Dan pada tahun 1945, jumlah mereka kira-kira mancapai 15 persen. Pada tahun 1945 hanya tiga pemukiman dari satu persen anak-anak Muslim yang mengenyam pendidikan di sekolah lanjutan. Sistem pendidikan yang sangat minim ini ditentang oleh sejumlah koloni dan juga oleh pihak Muslim.
Dalam sosial kemasyarakatan, masyarakat yang terbentuk di Perancis mulai berspekulasi di Aljazair. Warga pemukim dipaksa melepaskan propert mereka. Pemerintah Perancis segera mengambil keputusan untuk mengambil alih pertanahan Aljazair dalam skala besar-besaran. Pihak perancis juga memaksa kelompok-kelompok kesukuan meninggalkan daerah mereka  yang lama atau meminta mereka untuk menduduki wilayah yang lebih sempit, sehingga kelebihan tanah yang dirampas bisa menjadi tanah pertanian kolonial. Hasil akhir dari regulasi ini adalah tersedianya wilayah tanah yang sangat luas bagi para pemukim Perancis. Pada tahun 1900 warga Eropa menguasai 1.700.000 hektar tanah dan pada tahun 1940 jumlah tanah yang mereka kuasai meningkat menjadi 2.700.000 hektar, yakni sekitar 35 sampai 40 persen dari tanah subur di Aljazair.[6]

Kota Pesis Al-Jazair, hidayatullah.com

B.     GERAKAN REFORMASI DI ALJAZAIR DIBAWAH IBN BADIS
Setelah pemberontakan yang dipimpin oleh al-Muqrani dapat dikalahkan oleh penguasa Perancis. Semangat penduduk Aljazair untuk menentang kolonialisme semakin jelas. Namun demikian, para elite mereka terbagai ke dalam tiga komponen. Pertama, para alumni sekolah Perancis-Arab yang berharap penuh adanya integrasi dengan masyarakat Perancis dengan menjaga identitas merka sebagai seorang Muslim. Kedua, elite yang lebih radikal dan lebih nasionalis orientasinya. Ketiga,  para pemimpin geraan reformasi Islam. Pemimpin dari kelompok ketiga ini adalah Abdul Hamid ibn Badis.[7]
Ibn Badis adalah alumni lembaga pendidikan Zaetuna di Tunis. Dia adalah salah satu pemimpin gerakan reformasi Islam dan gerakan kebangkitan identitas budaya Arab yang cukup penting. Pemikirannya banyak terinspirasi oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Di mata orang Barat dia dianggap sebagai Muslim radikalis-fundamentalis. Pada tahun 1931, ia mendirikan Asosiasi Ulama Aljazair dengan tujuan untuk melakukan reformasidan membangkitkan Islam di Aljazair.


Gerakan reformasi juga satu konsep politik tersendiri. Mereka menyatakan bahwa meskipun Aljazair merupakan bagian dari jajahan Perancis, Aljazair adalah merupakan satu bangsa Arab Muslim. Gerakan reformasi Islam, secara jelas tidak hanya bergerak dalam bidang keagamaan, tapi juga bidang-bidang lain seperti bidang pendidikan dan politik.[8]

C.    ALJAZAIR PASCA MERDEKA
Pada bulan Juli 1962 kongres Tripoli menghasilkan biro politis yang dipimpin oleh oleh ibn Bella. Selanjutnya biro politis ini membentuk Majelis Konstintunte Nasional untuk membuat satu konstitusi. Ibn Bella kemudian ditetapkan sebagai presiden dan meresmikan satu Konstitusi Sosialis. Ibn Bella melakukan kontrol yang cukup ketat terhadap lawan politiknya, akan tetapi kontrol tersebut tidak berhasil untuk meredam munculnya kudeta. Pada tahun 1965 Jenderal Boumedienne memimpin kudeta tersebut, dan dia menjadi presiden Aljazair di tahun yang sama. Setelah Boumedienne wafat, pada tahun 1978, Chadli ibn Jadid menggantikannya, dia banyak mengubah kebijakan-kebijakan penguasa terdahulu.
Setelah mengalami tiga kepemimpinan nasional, orientasi ideologis Aljazair semakin memberikan kejelasan. Kader ibn Bella mendukung modernisasi negara dan pembentukan satu tatanan ekonomi sosialis. Mereka pun menjaga bahasa Perancissebagai bahasa pemerintahan, bisnis, dan bahkan bahasa diskusi ideologis. Sementara Boumedienn, meninggalkan warisan untuk identitas Muslim-Arab untuk mmpererat hubungan antara Aljazair, Tunisia, Maroko dan Arab Timur. Arabisme dan Islam adalah satu-satunya basis dasar sosial dan identitas nasional.[9]



BAB III
KESIMPULAN
Aljazair merupakan negara di wilayah di Afrika utara yang pada masa abad ke 19 merupakan wilayah jajahan dari Perancis. Dominasi Perancis sangat besar di negara Aljazair. Mulai dari kondisi perpolitikan yang sangat banyak dikuasai oleh Perancis sehingga muncul berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh penduduk Aljazair, meskipun pada akhirnya dapat dikalahkan. Pendidikan pun demikian, penduduk asli Aljazair yang sebelumnya mempunyai sekolah-sekolah berbasis keislaman kemudian di hapuskan dan diganti dengan sekolah Perancis yang belajar tentang Eropa untuk memuluskan kolonialisasi Perancis terhadap Aljazair.
Begitupun dalam kondisi sosial kemasyarakatan di Aljazair yang juga mendapat dominasi yang kuat oleh Perancis. Banyak dari para penduduk Aljazair yang dipaksa pindah ke tempat lain yang lebih sempit agar tanah-tanah bisa dikuasai oleh penduduk Perancis sehingga Perancis berhasil menguasai sebagian besar tanah yang subur di Aljazair.
Beberapa gerakan reformasi muncul ketika itu, dengan semangat keislaman yang kuat, ibn Badis melakukan grakan pembangkitan identitas budaya Arab yang kemudian ia dianggap oleh orang Barat sebagai fundamentalis-radikalis. Sekelipun setelah merdeka pada 1962, situasi dan kondisi Aljazair masih belum sepenuhnya tenang. Masih banyak terjadi kudeta-kudeta yang dilakukan oleh suatu kelompok untuk menggulingkan pemerintahan yang ada dan mengangkat dirinya sebagai pemimpin yang baru.



DAFTAR PUSTAKA
Lapidus, Ira M. 1999, Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian Ketiga, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Maryam, Siti dkk. 2013, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: Lesfi.



[1] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam bagian ketiga. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 202-203.
[2] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. (Yogyakarta: Lesfi, 2012), hlm. 239.
[3] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial, hlm. 203.
[4] Ibid., hlm. 204.
[5] Ibid., hlm. 205-206.
[6] Ibid., hlm. 208-209.
[7] Siti Maryam, Sejarah Peradaban, hlm. 240.
[8] Ibid., hlm 240-241.
[9] Siti Maryam, Sejarah dan Peradaban, hlm. 242.

0 komentar:

Post a Comment