Maslahatul Mursala

Gotong Royong Sebagai Kepentingan Bersama (Maslahatul Musrsalah), bp.blogspot.com

Pengantar

             Puji syukur tetap hanya milik Allah semata, begitupun shalawat berbingkai salam tiada yang berhak menjadi hilir kecuali baginda Rasulullah SAW. Tanpa nikmat, hidayah, inayah serta iradah-Nya, mustahil penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini. Beberapa kalimat yang kami sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu makalah.
             Dalam hal apapun, makalah ini belum memenuhi kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penulisan makalah ini.
             Setidaknya, dalam penulisan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami sendiri, ada banyak maraji’ yang kami petik, sehingga kami mengharap akan banyak manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
            Pada akhirnya, makalah ini kami persembahkan kepada orang tua kami yang telah merelakan darah juang kami dalam petualangan akademik, kepada khususnya Prof. Dr. Syihabuddin Qalyubi, Lc, M. Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh yang memberi kami kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada teman-teman mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan agama. Semoga Allah memberkati makalah kami. Aamiin.


BAB. I
Pendahuluan

A. Latar Belakang

          Ushul Fiqh memiliki tujuan utama adalah mengetahui dalil-dalil syara’, yang menyangkut persoalan aqidah, ibadah, uqubah dan akhlaq. Pengetahuan tentang dalil-dalil tersebut pada gilirannya dapat diamalkan, sesuai dengan kehendak syar’I (Allah dan Rasulnya). Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa ushul fiqh bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah pada setiap kasus sehingga dapat dipedomani dan diamalkan sebaik-baiknya. Dengan demikian, yang menjadi tujuan sebenarnya adalah mempedomani dan mengamalkan hukum-hukum Allah yang diperoleh melalui kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut.[1]
          Penentuan hukum syara seharusnya memiliki dalil dan dasar yang kuat dengan persoalan yang dikaji. Dalam islam sendiri, kedudukan sumber syara tertinggi adalah Alquran, lalu diperinci dan diperjelas oleh hadis dan sunnah. Setelah itu ada Ijma’ atau kesepakatan para mujtahid dalam menetukan hukum syara’, setelah itu ada qiyas yang menentukan hukum syara’ dengan membandingkan kasus baru dengan kasus yang telah memiliki hukum  syara’, setelah qiyas ada istihsan yang menentukan hukum syara’ dengan kejadian yang telah memiliki hukum syara’ dengan menggunakan nash yang ada. Lalu bagaimana jika Dalil tidak dapat menentukan hukum syara’ suatu kejadian?  Dan tidak ada pula padanan kasus untuk dijadikan dasar menentukan hukum sebuah kasus baru.
          Salah satu metode yang dikembangkan ulama ushul fiqh dalam mengistinbatkan hukum dari Alquran dan Hadis adalah Mashlahah Mursalah, yaitu suatu kemashlahatan yang tidak ada nash juz’I (rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungnya, tetapi kemashlahatan ini didukung oleh sejumlah nash melalui istiqra’ (induksi dari sejumlah nash). Sebagaimana dikemukakan dalam bab Qiyas, bahwa sesuatu yang bisa dijadikan illat itu mesti sesuai dengan hukum dan tujuan-tujuan yang dikehendaki syara’.[2]
          Mashlahat mursalah ialah suatu kemashlahatan yang tidak disingung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemashlahatan. Mashlahat mursalah disebut juga mashlahat yang mutlak. Karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentukan hukum dengan cara mashlahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia.[3]

B. Rumusan Masalah

1.    Bagaimana pengertian Mashlahah?
2.    Apa saja ragam Mashlahah?
3.    Bagaimana Legalitas Mashlahah Mursalah?
4.    Bagaimana pengaplikasian Mashlahah Mursalah pada masa sekarang?

C. Tujuan

1.    Mengetahui pengertian Mashlahah
2.    Mengetahui ragam Mashlahah
3.    Mengetahui Legalitas Mashlahah Mursalah
4.    Mengetahui pengaplikasian Mashlahah Mursalah pada masa sekarang



BAB. II
Isi

A. Pengertian Mashlahah

          Secara etimologi, Mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Secara terminologi, Mashlahat Mursalah yang dimaksud oleh ahli ushul fiqh adalah:
اَن يُو جَدَ مَعنًى يُشعِرُ بِالحُكمِ مُنَا سِبٌ عَقلاً وَ لاَ يُو جَدُ اَصلٌ مَتَّفَقٌ
          “Bahwa terdapat suatu makna yang dirasa ketentuan itu cocok dengan akal sedang dalil yang disepakati tentang (hal tersebut) tidak terdapat”.[4]
          Imam Al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan tujuan syara”. Imam Al-Ghazali memandang bahwa suatu kemashlahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemashlahatan manusia tidak selamanya didasarkan kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.
          Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, lanjut Al-Ghazali ada 5 bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ diatas, maka dinamakan mashlahah. Disamping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara tersebut, juga dinamakan mashlahah. Dalam kaitan ini, imam As-Syathibi mengatakan bahawa kemashlahatan tersebut tidak dibedakan antara kemashlahatan dunia maupun kemashlahatan akhirat, karena dua kemashlahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara kelima tujuan syara’ diatas termasuk ke dalam konsep mashlahat. Dengan demkian, kemashlahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus berorientasi pada kemashlahatan Akhirat.[5]
          Imam Ar-Razi berpendapat bahwa Mashlahah ialah perbuatan bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada Hamba tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.
          Menurut Muhammad Hasbi As-Shiddiqi mashlahat ialah memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.[6]

B. Ragam Mashlahah

1. Segi Kualitas Dan Kepentingan Kemaslahatan[7]

a.    Mashlahah al-Dharuriyyah
          Yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa,  memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalahih al-khamsah.
          Memeluk suatu agama merupakan fitrah dan naluri insani yang tidak bisa diingkari dan sangat dibutuhkan umat manusia. Untuk kebutuhan tersebut, Allah mensyari’atkan agama yang wajib dipelihara setiap orang, baik yang berkaitan dengan ‘aqidah, ibadah, maupun mu’amalah.
          Hak hidup juga merupakan hak paling asasi bagi setiap manusia. Dalam kaitan ini, untuk kemaslahatan, keselamatan jiwa dan kehidupan manusia Allah mensyari’atkan berbagai hukum yang terkait dengan itu, seperti syari’at qishash, kesempatan mempergunakan hasil sumber alam untuk dikonsumsi manusia, hukum perkawinan untuk melanjutkan generasi manusia, dan berbagai hukum lainnya.
          Akal merupakan sasaran yang menentukan bagi seseorang dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Oleh sebab itu, Allah menjadikan pemeliharaan akal itu sebagai suatu yang pokok.
          Berketurunan juga merupakan masalah pokok bagi manusia dalam rangka memelihara kelangsungan manusia di muka bumi ini. Untuk memelihara dan melanjutkan keturunan tersebut Allah mensyari’atkan nikah dengan segala hak dan kewajiban yang diakibatkannya.
          Terakhir, manusia tidak bisa hidup tanpa harta. Oleh sebab itu, harta merupakan sesuatu yang dharuri (pokok) dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkannya Allah mensyari’atkan hukuman pencuri dan perampok.
b.    Mashlahah al-Hajiyah
          Yaitu kemashlahatan yang di butuhkan dalam menyempurnakan kemashlahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan bebrbuka puasa bagi orang yang sedan musafir, dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan melakukan jual beli pesanan (bay‘al-salam), kerjasama dalam pertanian (muzara’ah) dan perkebunan (musaqqah). Semuanya ini disyari’atkan  Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-mashalih al-khamsah.
c.    Mashlahah al-Tahsiniyah
          Yaitu kemashlahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi  kemashlahatan sebelumnya. Misalnya , dianjurkan untuk memakan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara mengjilangkan najis dari badan manusia.

2. Segi Kandungan Mashlahah[8]

a.    Mashlahah al-‘Ammah
          Yaitu kemashlahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemashlahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat dan kebanyakan umat. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
b.    Mashlahah al-Khashshah
          Yaitu kemashlahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemashlahatan yang berkaitan dengan pemusatan hubungan perkawinan seseorang  yang dinyatakan hilang (maqfud). Pentingnya pembagian kedua kemashlahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemashlahatan umum bertentangan dengan kemashlahatan pribadi. Dalam pertentangan kemashlahatan ini, Islam mendahulukan kemashlahatan umum daripada kemashlahatan pribadi.

3. Segi Berubah Atau Tidaknya Mashlahah[9]

a.    Mashlahah al-Tsabitah
          Yaitu kemashlahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir jaman. Misalnya berbagai ibadah, seperti sholat, zakat, puasa, dan haji.
b.    Mashlahah al-Mutaghayyirah
          Yaitu kemahlahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu dan subjek hukum. Biasanya kemashlahatan ini berkaitan dengan mu’amalah dan adat kebiasaan. Seperti makanan yang berbeda antara daerah satu dengan yang lainnya.

4. Segi Keberadaan Mashlahah Menurut Syara’[10]

1.    Mashlahah al-Mu’tabarah
               Yaitu kemashlahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemashlahatan tersebut. Misalnya, hukuman atas orang neminum minuman keras dalam hadits Rasulullah SAW, dipahami secara berlainan oleh para ulama fiqh, disebabkan perbedaaan alat pemukul yang dipergunakan Rasulullah SAW, ketika melaksanakan hukuman-hukuman bagi orang-orang yang meminum minuman keras. Ada hadits yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan Rasulullah Saw, adalah sandal atau alas kakinya lainnya sebanyak 40 kali dan adakalanya dengan pelepah pohon kurma juga sebanyak 40 kali.
2.    Mashlahah al-Mulghah
               Yaitu kemashlahatan yang di tolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya, syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut., atau memberi makan 60 orang fakir miskin. Para ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadits Rasulullah, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus diterapkan secara berturut-turut. Apabila tidak mampu memerdekakan budak, baru dikenakan hukuman puasa dua bulan secara berturut-turut dari memerdekakan budak yang bertentangan dengan kehendak syara’ ; hukumnya batal.
3.    Mashlahah al-Mursalah
               Yaitu kemashlahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan atau ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemashlahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu:
i.      Mashlahah al-Gharibah, yaitu kemashlahatan yang asing, atau kemashlahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baikm secara rinci maupun umum. Para ulama ushul fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam al-Syatbihi mengatakan kemashlahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktil, sekalipun ada dalam teori.
ii.   Mashlahah al-Mursalah, kemashlahatan yang tidak di dukung dalil syara’ atau nash (ayat atau hadits).

C. Legalitas Mashlahah Mursalah

          Terkait legalitas atau dasar hukum penggunaan Mashlaha Mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan sayaratnya, mereka berbeda pendapat.
          Menurut Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah mursalah sebagai dalil yang disyaratkan mashlahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadis atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemashahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum),  dalam penetapan suatu hukum. Contoh sifat yang dijadikan motivasi dalam suatu hukum adalah, Rasulullah SAW. melarang pedagang menghambat para petani di perbatasan kota dengan maksud untuk membeli barang mereka, sebelum para petani itu memasuki pasar (H. R. Al-Bukhari dan Abu Daud). Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari “kemudaratan bagi petani” dengan terjadinya penipuan harga oleh para pedagang yang membeli barang petani tersebut di batas kota.
          Menghilangkan kemudaratan bagaimanapun bentuknya merupakan tujuan syara’ yang wajib dilakukan. Menolak kemudaratan itu termasuk kedalam konsep maslahah mursalah, dengan demikian, Ulama Hanafiyyah menerima mashlahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum; dengan syarat kemashlahatan tersebut terdapat dalam nash atau ijma’.[11]
          Menurut Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima mashlahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka mashlahah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang rinci seperti yang berlaku pada qiyas. Bahkan Imam Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah mursalah itu bersifat pasti, sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat relatif.[12]
          Kendati demikian untuk bisa menjadikan mashlahat mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyah dan Hanabilah mensyaratkan 3 syarat yaitu:
1.    Kemashlahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemashlahatan yang didukung nash secara umum.
2.    Kemashlahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui mashlahah mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.
3.    Kemashlahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
          Munurut Ulama Syafi’iyyah menganggap bahwa mashlahat mursalah dapat dijadikan hujjah, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan:[13]
1.    Mashlahah itu harus hakikat, bukan dugaan.
2.    Mashlahah harus bersifat umum dan menyeluruh.
3.    Mashlahah harus sejalan dengan hukum syara’.
4.    Mashlahah itu bukan mashlahah yang tidak benar.[14]
          Menurut Syeikh ibn Taimiyah Allah mengutus Rosul-rosul bertujuan untuk kemashlahatan dan kemanfaatan manusia. Demikian juga Allah menurunkan syariatnya adalah untuk kemashlahatan manusia. Sedangkan mashlahatul mursalah sama pula tujuannya. Oleh karena itu Syeikh ibn Taimiyah berkata bahwa: “apabila seorang mendapat kesulitan dan memerikasa hukum sesuatu, apakah hukumnya mubah atau haram, maka lihatlah mashlahat (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan)nya sebagai dasar.[15]
          Menurut Najm al-Din al-Thufi seorang Ahli fiqih, ushul fiqh, bahasa arab, ilmu mantiq, ilmu kalam, hadis, tafsir, sejarah, dan ilmu berdiskusi (jadal). Pemikiran al-Thufi tentang mashlahah (kemashlahatan) yang amat bertentangan dengan arus umum mayoritas ulama ushul fiqh ketika itu. Diantaranya dalam menafsirkan hadis dibawah:
لاَضَرَرَوَضِرَفِي الإِسلاَمِ      
Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh (pula) dimudaratkan (orang lain).
H. R. Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Daruquthni, Ibnu Majah, dan Ahmad ibn Hanbal.
Menurutnya, inti dari seluruh ajaran islam yang termuat dalam nash adalah mashlahah bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemashlahatan disyariatkan dan kemashlahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik oleh nash tertentu maupun oleh makna dalil yang dikandung oleh sejumlah nash. Mashlahat menurutnya, merupakan dalil yang paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syara’.[16]

D. Ruang Lingkup dan Pengaplikasian Mashlahah Mursalah Pada Masa Sekarang

1. Ruang Lingkup Mashlahat Mursalah

          Lapangan  atau  ruang  lingkup  penerapan  maslahah  mursalah  selain yang berlandaskan pada hukum syara secara umum, juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang lainnya, dengan kata lain maslahah mursalah hanya meliputi kemaslahatan yang berhubungan dengan muamalah.[17]
          Sedangkan masalah ibadah bukanlah termasuk dalam lapangan tersebut. Alasannya karena maslahah mursalah didasarkan pada pertimbangan akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu untuk masalah ibadah.
          Segala bentuk perbuatan kita hanya mengikuti secara apa adanya sesuai dengan petunjuk syar’i dalam nash, dan akan sama sekali tidak dapat mengetahui kenapa demikian. Misalnya mengenai shalat dhuhur empat rakaat dan dilakukan setelah tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.
          Diluar  wilayah  ibadah,  meskipun  diantaranya  ada  yang  tidak  dapat diketahui alasan hukumnya, namun secara umum bersifat ta’aqquli (rasional) dan oleh karenanya dapat dinilai baik dan buruknya oleh akal. Umpamanya minum khamr itu adalah buruk karena merusak akal; penetapan sanksi atas pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari kerusakan akal yang dapat mengarah pada tindak kekerasan.[18]

2. Contoh Mashlahat Mursalah

a.    Didalam penerapan realita penulis akan mengambil sebuah contoh mengenai P.2. (2) UU No. 1/ 1974. Jpo. P.2 PP. No. 9/1975 bahwa demi terjaminnya ketertiban tiap-tiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan meskipun secara harfiyah tidak diatur dalam nash syari dan tidak pula dijumpai nash yang melarangnya, tetapi ketentuan itu memberikan dampak yang positif bagi umat manusia. Ini jelas, keharusan mencatatkan nikah itu tidak bertentangan dengan tujuan umum pembentukan hukum, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh karena ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tidak didasarkan pada nash-nash tertentu, maka dasarnya adalah maslahah mursalah.
b.    Demikian juga Pasal 7 (1) UUP No. 1/1974 jo. Pasa1.15 (1) kompilasi hukum Islam tentang batasan umur kawin. Seperti halnya pencatatan nikah, Islam juga tidak mengatur secara harfiyah batasan umur untuk boleh melakukan pernikahan, namun demi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga yang bahagia, perkawinan boleh dilakukan oleh orang-orang yang sudah mencapai umur dewasa yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita yang secara lahiriyah mereka itu sudah matang jiwa dan raganya. Ketentuan ini jelas kemaslahatan yang besar bagi umat manusia.[19]
c.   Memasang rambu-rambu lalu lintas, lampu isyarat, lampu penerangan jalan, dalam nash tidak dijumpai adanya perintah ini, tetapi demi kemashlahatan dan kenyamanan pengendara kendaraan maka harus dipasang rambu-rambu lalu lintas tersebut dan demi menghindari kerusakan, seperti kecelakaan, perampokan dan sebagainya. Ini jelas, keharusan memasang rambu-rambu lalu lintas itu tidak bertentangan dengan syari’at, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh karena ketentuan memasang rambu-rambu lalu lintas tersebut tidak didasarkan pada nash-nash tertentu, maka dasarnya adalah maslahah mursalah.
d.   Rekayasa genetik pada hewan Ayam agar daging yang dihasilkan berkuantitas besar dalam waktu panen yang relatif singkat. Hal ini tidak ada syariat yang menganjurkannya dan dalil yang melarangnya. Namun, dalam hal rekayasa genetik ini jelas mengandung kemashlahatan bagi manusia. Maka dari itu mashlahat mursalah lah yang menjadi dalil untuk menentukan permasalahan ini.

Makalah Terlengkap Lainya : Kumpulan Makalahku >

Daftar Pustaka

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Grup, 2010
Chaerul Umam, Ushul Fiqih 1 Bandung: Pustaka Setia, 2000
Harun, Nasrun, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Publishing House, 1996
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia, 1998
Umar, Muin, dkk., Ushul Fiqh 1. Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Depag, 1986



[1] Harun, Nasrun, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm. 5
[2] Harun, Ushul, 1996, hlm. 113
[3] Umar, Muin, dkk., Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Depag, 1986), hlm, 146
[4] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media Grup, 2010), hlm. 160
[5] Harun, Ushul, 1996, hlm. 114
[6] Chaerul Umam, Ushul Fiqih 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 137
[7] Harun, Ushul, hlm. 115
[8]  Harun, Ushul, hlm. 116
[9]  Harun, Ushul, hlm. 117
[10]  Harun, Ushul, hlm. 117
[11] Harun, Ushul, 1996, hlm. 120-121
[12] Harun, Ushul, 1996, hlm. 121
[13] Chaerul, Ushul, 2000, hlm. 141
[14] Chaerul, Ushul, 2000, hlm. 139
[15] Basiq, Ilmu, 2010, hlm. 161
[16] Harun, Ushul, 1996, hlm. 125
[17] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998)  hlm. 121
[18] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 323

0 komentar:

Post a Comment