Gotong Royong Sebagai Kepentingan Bersama (Maslahatul Musrsalah), bp.blogspot.com |
Pengantar
Puji syukur tetap hanya milik
Allah semata, begitupun shalawat berbingkai salam tiada yang berhak menjadi
hilir kecuali baginda Rasulullah SAW. Tanpa nikmat, hidayah,
inayah serta iradah-Nya, mustahil penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah
ini. Beberapa kalimat yang kami sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini,
terkumpullah kini menjadi satu makalah.
Dalam hal apapun, makalah ini
belum memenuhi kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan
mudah akan menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta
keteledoran kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi
seminimal mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penulisan
makalah ini.
Setidaknya, dalam penulisan
makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami sendiri, ada banyak
maraji’ yang kami petik, sehingga kami mengharap akan banyak manfaat yang dapat
pembaca ambil dari makalah ini.
Pada akhirnya, makalah ini kami
persembahkan kepada orang tua kami yang telah merelakan darah juang kami dalam
petualangan akademik, kepada khususnya Prof. Dr. Syihabuddin Qalyubi, Lc, M. Ag
selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh yang memberi kami kesempatan untuk
menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada teman-teman mahasiswa yang
seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan agama. Semoga Allah
memberkati makalah kami. Aamiin.
BAB. I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Ushul Fiqh
memiliki tujuan utama adalah mengetahui dalil-dalil syara’, yang menyangkut
persoalan aqidah, ibadah, uqubah dan akhlaq. Pengetahuan tentang dalil-dalil
tersebut pada gilirannya dapat diamalkan, sesuai dengan kehendak syar’I (Allah
dan Rasulnya). Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa ushul
fiqh bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mengetahui
hukum-hukum Allah pada setiap kasus sehingga dapat dipedomani dan diamalkan
sebaik-baiknya. Dengan demikian, yang menjadi tujuan sebenarnya adalah
mempedomani dan mengamalkan hukum-hukum Allah yang diperoleh melalui
kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut.[1]
Penentuan
hukum syara seharusnya memiliki dalil dan dasar yang kuat dengan persoalan yang
dikaji. Dalam islam sendiri, kedudukan sumber syara tertinggi adalah Alquran,
lalu diperinci dan diperjelas oleh hadis dan sunnah. Setelah itu ada Ijma’ atau
kesepakatan para mujtahid dalam menetukan hukum syara’, setelah itu ada qiyas
yang menentukan hukum syara’ dengan membandingkan kasus baru dengan kasus yang
telah memiliki hukum syara’, setelah
qiyas ada istihsan yang menentukan hukum syara’ dengan kejadian yang telah
memiliki hukum syara’ dengan menggunakan nash yang ada. Lalu bagaimana jika
Dalil tidak dapat menentukan hukum syara’ suatu kejadian? Dan tidak ada pula padanan kasus untuk
dijadikan dasar menentukan hukum sebuah kasus baru.
Salah
satu metode yang dikembangkan ulama ushul fiqh dalam mengistinbatkan hukum dari
Alquran dan Hadis adalah Mashlahah Mursalah, yaitu suatu kemashlahatan yang
tidak ada nash juz’I (rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang
menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungnya, tetapi kemashlahatan ini
didukung oleh sejumlah nash melalui istiqra’ (induksi dari sejumlah nash).
Sebagaimana dikemukakan dalam bab Qiyas, bahwa sesuatu yang bisa dijadikan
illat itu mesti sesuai dengan hukum dan tujuan-tujuan yang dikehendaki syara’.[2]
Mashlahat
mursalah ialah suatu kemashlahatan yang tidak disingung oleh syara’ dan tidak
pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya,
sedangkan jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau
kemashlahatan. Mashlahat mursalah disebut juga mashlahat yang mutlak. Karena
tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentukan hukum
dengan cara mashlahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan
kerusakan bagi manusia.[3]
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian Mashlahah?
2.
Apa saja ragam Mashlahah?
3.
Bagaimana Legalitas Mashlahah
Mursalah?
4.
Bagaimana pengaplikasian
Mashlahah Mursalah pada masa sekarang?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian Mashlahah
2.
Mengetahui ragam Mashlahah
3.
Mengetahui Legalitas Mashlahah
Mursalah
4.
Mengetahui pengaplikasian
Mashlahah Mursalah pada masa sekarang
BAB. II
Isi
A.
Pengertian Mashlahah
Secara
etimologi, Mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun
makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung
manfaat. Secara terminologi, Mashlahat Mursalah yang dimaksud oleh ahli ushul
fiqh adalah:
اَن يُو جَدَ مَعنًى
يُشعِرُ بِالحُكمِ مُنَا سِبٌ عَقلاً وَ لاَ يُو جَدُ اَصلٌ مَتَّفَقٌ
“Bahwa
terdapat suatu makna yang dirasa ketentuan itu cocok dengan akal sedang dalil
yang disepakati tentang (hal tersebut) tidak terdapat”.[4]
Imam
Al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah “mengambil
manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan tujuan syara”. Imam
Al-Ghazali memandang bahwa suatu kemashlahatan harus sejalan dengan tujuan
syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena
kemashlahatan manusia tidak selamanya didasarkan kehendak syara’, tetapi sering
didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.
Tujuan
syara’ yang harus dipelihara tersebut, lanjut Al-Ghazali ada 5 bentuk yaitu:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan
suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’
diatas, maka dinamakan mashlahah. Disamping itu, upaya untuk menolak segala
bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara tersebut,
juga dinamakan mashlahah. Dalam kaitan ini, imam As-Syathibi mengatakan
bahawa kemashlahatan tersebut tidak dibedakan antara kemashlahatan dunia maupun
kemashlahatan akhirat, karena dua kemashlahatan tersebut apabila bertujuan
untuk memelihara kelima tujuan syara’ diatas termasuk ke dalam konsep
mashlahat. Dengan demkian, kemashlahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah
harus berorientasi pada kemashlahatan Akhirat.[5]
Imam
Ar-Razi berpendapat bahwa Mashlahah ialah perbuatan bermanfaat yang telah
diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada Hamba tentang pemeliharaan agamanya,
jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.
Menurut Muhammad
Hasbi As-Shiddiqi mashlahat ialah memelihara tujuan syara’ dengan jalan
menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.[6]
B. Ragam
Mashlahah
1. Segi Kualitas
Dan Kepentingan Kemaslahatan[7]
a.
Mashlahah al-Dharuriyyah
Yaitu
kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan
akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu memelihara agama, memelihara
jiwa, memelihara akal, memelihara
keturunan, dan memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalahih
al-khamsah.
Memeluk
suatu agama merupakan fitrah dan naluri insani yang tidak bisa diingkari dan
sangat dibutuhkan umat manusia. Untuk kebutuhan tersebut, Allah mensyari’atkan
agama yang wajib dipelihara setiap orang, baik yang berkaitan dengan ‘aqidah,
ibadah, maupun mu’amalah.
Hak
hidup juga merupakan hak paling asasi bagi setiap manusia. Dalam kaitan ini,
untuk kemaslahatan, keselamatan jiwa dan kehidupan manusia Allah mensyari’atkan
berbagai hukum yang terkait dengan itu, seperti syari’at qishash,
kesempatan mempergunakan hasil sumber alam untuk dikonsumsi manusia, hukum
perkawinan untuk melanjutkan generasi manusia, dan berbagai hukum lainnya.
Akal
merupakan sasaran yang menentukan bagi seseorang dalam menjalani hidup dan
kehidupannya. Oleh sebab itu, Allah menjadikan pemeliharaan akal itu sebagai suatu
yang pokok.
Berketurunan
juga merupakan masalah pokok bagi manusia dalam rangka memelihara kelangsungan manusia
di muka bumi ini. Untuk memelihara dan melanjutkan keturunan tersebut Allah
mensyari’atkan nikah dengan segala hak dan kewajiban yang diakibatkannya.
Terakhir,
manusia tidak bisa hidup tanpa harta. Oleh sebab itu, harta merupakan sesuatu
yang dharuri (pokok) dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkannya Allah
mensyari’atkan hukuman pencuri dan perampok.
b.
Mashlahah al-Hajiyah
Yaitu kemashlahatan
yang di butuhkan dalam menyempurnakan kemashlahatan pokok (mendasar) sebelumnya
yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan
mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas
(qashr) shalat dan bebrbuka puasa bagi orang yang sedan musafir, dalam bidang
mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik,
dibolehkan melakukan jual beli pesanan (bay‘al-salam), kerjasama dalam
pertanian (muzara’ah) dan perkebunan (musaqqah). Semuanya ini
disyari’atkan Allah untuk mendukung
kebutuhan mendasar al-mashalih al-khamsah.
c.
Mashlahah al-Tahsiniyah
Yaitu
kemashlahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat
melengkapi kemashlahatan sebelumnya.
Misalnya , dianjurkan untuk memakan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus,
melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara
mengjilangkan najis dari badan manusia.
2. Segi Kandungan
Mashlahah[8]
a.
Mashlahah al-‘Ammah
Yaitu
kemashlahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemashlahatan umum itu
tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan
mayoritas umat dan kebanyakan umat. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh
penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah umat, karena menyangkut kepentingan
orang banyak.
b.
Mashlahah al-Khashshah
Yaitu
kemashlahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemashlahatan yang
berkaitan dengan pemusatan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud). Pentingnya
pembagian kedua kemashlahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus
didahulukan apabila antara kemashlahatan umum bertentangan dengan kemashlahatan
pribadi. Dalam pertentangan kemashlahatan ini, Islam mendahulukan kemashlahatan
umum daripada kemashlahatan pribadi.
3. Segi
Berubah Atau Tidaknya Mashlahah[9]
a.
Mashlahah al-Tsabitah
Yaitu kemashlahatan yang bersifat
tetap, tidak berubah sampai akhir jaman. Misalnya berbagai ibadah, seperti
sholat, zakat, puasa, dan haji.
b.
Mashlahah al-Mutaghayyirah
Yaitu kemahlahatan yang berubah-ubah
sesuai dengan perubahan tempat, waktu dan subjek hukum. Biasanya kemashlahatan
ini berkaitan dengan mu’amalah dan adat kebiasaan. Seperti makanan yang berbeda
antara daerah satu dengan yang lainnya.
4. Segi Keberadaan
Mashlahah Menurut Syara’[10]
1.
Mashlahah al-Mu’tabarah
Yaitu
kemashlahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang
menjadi dasar bentuk dan jenis kemashlahatan tersebut. Misalnya, hukuman atas
orang neminum minuman keras dalam hadits Rasulullah SAW, dipahami secara
berlainan oleh para ulama fiqh, disebabkan perbedaaan alat pemukul yang
dipergunakan Rasulullah SAW, ketika melaksanakan hukuman-hukuman bagi
orang-orang yang meminum minuman keras. Ada hadits yang menunjukkan bahwa alat
yang digunakan Rasulullah Saw, adalah sandal atau alas kakinya lainnya sebanyak
40 kali dan adakalanya dengan pelepah pohon kurma juga sebanyak 40 kali.
2.
Mashlahah al-Mulghah
Yaitu
kemashlahatan yang di tolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan
syara’. Misalnya, syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual
di siang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau
puasa dua bulan berturut-turut., atau memberi makan 60 orang fakir miskin. Para
ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadits Rasulullah, karena
bentuk-bentuk hukuman itu harus diterapkan secara berturut-turut. Apabila tidak
mampu memerdekakan budak, baru dikenakan hukuman puasa dua bulan secara
berturut-turut dari memerdekakan budak yang bertentangan dengan kehendak syara’
; hukumnya batal.
3.
Mashlahah al-Mursalah
Yaitu
kemashlahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula
dibatalkan atau ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemashlahatan dalam
bentuk ini terbagi dua, yaitu:
i.
Mashlahah al-Gharibah, yaitu
kemashlahatan yang asing, atau kemashlahatan yang sama sekali tidak ada
dukungan dari syara’, baikm secara rinci maupun umum. Para ulama ushul fiqh
tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam al-Syatbihi mengatakan
kemashlahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktil, sekalipun ada dalam
teori.
ii.
Mashlahah al-Mursalah, kemashlahatan
yang tidak di dukung dalil syara’ atau nash (ayat atau hadits).
C.
Legalitas Mashlahah Mursalah
Terkait
legalitas atau dasar hukum penggunaan Mashlaha Mursalah, pada prinsipnya Jumhur
Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’,
sekalipun dalam penerapan dan penempatan sayaratnya, mereka berbeda pendapat.
Menurut Ulama Hanafiyyah mengatakan
bahwa untuk menjadikan mashlahah mursalah sebagai dalil yang disyaratkan mashlahah
tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadis atau ijma’ yang
menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemashahatan itu merupakan ‘illat
(motivasi hukum), dalam penetapan suatu
hukum. Contoh sifat yang dijadikan motivasi dalam suatu hukum adalah, Rasulullah
SAW. melarang pedagang menghambat para petani di perbatasan kota dengan maksud
untuk membeli barang mereka, sebelum para petani itu memasuki pasar (H. R.
Al-Bukhari dan Abu Daud). Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari
“kemudaratan bagi petani” dengan terjadinya penipuan harga oleh para pedagang
yang membeli barang petani tersebut di batas kota.
Menghilangkan
kemudaratan bagaimanapun bentuknya merupakan tujuan syara’ yang wajib
dilakukan. Menolak kemudaratan itu termasuk kedalam konsep maslahah mursalah,
dengan demikian, Ulama Hanafiyyah menerima mashlahah mursalah sebagai dalil
dalam menetapkan hukum; dengan syarat kemashlahatan tersebut terdapat dalam
nash atau ijma’.[11]
Menurut Ulama Malikiyyah dan
Hanabilah menerima
mashlahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap
sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka
mashlahah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari
nash yang rinci seperti yang berlaku pada qiyas. Bahkan Imam Syathibi mengatakan
bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah mursalah itu bersifat pasti, sekalipun
dalam penerapannya bisa bersifat relatif.[12]
Kendati
demikian untuk bisa menjadikan mashlahat mursalah sebagai dalil dalam
menetapkan hukum, ulama Malikiyah dan Hanabilah mensyaratkan 3 syarat yaitu:
1. Kemashlahatan
itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemashlahatan yang
didukung nash secara umum.
2. Kemashlahatan
itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan
melalui mashlahah mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari
atau menolak kemudaratan.
3. Kemashlahatan
itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau
kelompok kecil tertentu.
Munurut
Ulama Syafi’iyyah menganggap
bahwa mashlahat mursalah dapat dijadikan hujjah, tetapi harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan:[13]
1. Mashlahah
itu harus hakikat, bukan dugaan.
2. Mashlahah
harus bersifat umum dan menyeluruh.
3. Mashlahah
harus sejalan dengan hukum syara’.
4. Mashlahah
itu bukan mashlahah yang tidak benar.[14]
Menurut
Syeikh ibn Taimiyah Allah
mengutus Rosul-rosul bertujuan untuk kemashlahatan dan kemanfaatan manusia.
Demikian juga Allah menurunkan syariatnya adalah untuk kemashlahatan manusia.
Sedangkan mashlahatul mursalah sama pula tujuannya. Oleh karena itu Syeikh ibn
Taimiyah berkata bahwa: “apabila seorang mendapat kesulitan dan memerikasa
hukum sesuatu, apakah hukumnya mubah atau haram, maka lihatlah mashlahat
(kebaikan) dan mafsadah (kerusakan)nya sebagai dasar.[15]
Menurut Najm al-Din al-Thufi seorang
Ahli fiqih, ushul fiqh, bahasa arab, ilmu mantiq, ilmu kalam, hadis, tafsir,
sejarah, dan ilmu berdiskusi (jadal). Pemikiran al-Thufi tentang mashlahah
(kemashlahatan) yang amat bertentangan dengan arus umum mayoritas ulama ushul
fiqh ketika itu. Diantaranya dalam menafsirkan hadis dibawah:
لاَضَرَرَوَضِرَفِي
الإِسلاَمِ
Tidak boleh memudaratkan dan
tidak boleh (pula) dimudaratkan (orang lain).
H. R. Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Daruquthni,
Ibnu Majah, dan Ahmad ibn Hanbal.
Menurutnya, inti dari seluruh
ajaran islam yang termuat dalam nash adalah mashlahah bagi umat manusia.
Karenanya, seluruh bentuk kemashlahatan disyariatkan dan kemashlahatan itu
tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik oleh nash tertentu maupun oleh
makna dalil yang dikandung oleh sejumlah nash. Mashlahat menurutnya, merupakan
dalil yang paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam
menentukan hukum syara’.[16]
D. Ruang
Lingkup dan Pengaplikasian Mashlahah Mursalah Pada Masa Sekarang
1. Ruang
Lingkup Mashlahat Mursalah
Lapangan atau ruang lingkup
penerapan maslahah mursalah selain yang berlandaskan pada hukum syara secara
umum, juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang
lainnya, dengan kata lain
maslahah mursalah hanya meliputi kemaslahatan yang berhubungan dengan muamalah.[17]
Sedangkan masalah ibadah bukanlah termasuk dalam lapangan
tersebut. Alasannya karena maslahah
mursalah didasarkan pada pertimbangan akal tentang baik buruk suatu masalah,
sedangkan akal tidak dapat melakukan
hal itu untuk masalah ibadah.
Segala bentuk perbuatan kita hanya
mengikuti secara apa adanya sesuai dengan petunjuk syar’i dalam
nash, dan akan sama sekali tidak dapat mengetahui kenapa demikian. Misalnya
mengenai shalat dhuhur empat rakaat dan dilakukan setelah tergelincir matahari,
tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.
Diluar wilayah
ibadah, meskipun diantaranya ada
yang tidak dapat diketahui alasan hukumnya,
namun secara umum bersifat
ta’aqquli (rasional) dan oleh karenanya
dapat dinilai baik dan buruknya
oleh akal. Umpamanya minum khamr itu
adalah buruk karena merusak akal; penetapan sanksi atas pelanggar
hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari kerusakan
akal yang dapat mengarah
pada tindak kekerasan.[18]
2. Contoh
Mashlahat Mursalah
a.
Didalam penerapan realita penulis akan mengambil sebuah contoh mengenai
P.2. (2) UU No. 1/ 1974. Jpo. P.2 PP. No. 9/1975 bahwa demi terjaminnya
ketertiban tiap-tiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan meskipun
secara harfiyah tidak diatur dalam nash syari dan tidak pula dijumpai nash yang
melarangnya, tetapi ketentuan itu memberikan dampak yang positif bagi umat
manusia. Ini jelas, keharusan mencatatkan nikah itu tidak bertentangan dengan
tujuan umum pembentukan hukum, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh
karena ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tidak didasarkan pada nash-nash
tertentu, maka dasarnya adalah maslahah mursalah.
b.
Demikian juga Pasal 7 (1) UUP No. 1/1974 jo. Pasa1.15 (1) kompilasi hukum
Islam tentang batasan umur kawin. Seperti halnya pencatatan nikah, Islam juga
tidak mengatur secara harfiyah batasan umur untuk boleh melakukan pernikahan,
namun demi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga yang bahagia, perkawinan
boleh dilakukan oleh orang-orang yang sudah mencapai umur dewasa yaitu 19 tahun
untuk pria dan 16 tahun untuk wanita yang secara lahiriyah mereka itu sudah
matang jiwa dan raganya. Ketentuan ini jelas kemaslahatan yang besar bagi umat
manusia.[19]
c.
Memasang rambu-rambu lalu lintas,
lampu isyarat, lampu penerangan jalan, dalam nash tidak dijumpai adanya
perintah ini, tetapi demi kemashlahatan dan kenyamanan pengendara kendaraan
maka harus dipasang rambu-rambu lalu lintas tersebut dan demi menghindari
kerusakan, seperti kecelakaan, perampokan dan sebagainya. Ini jelas, keharusan memasang
rambu-rambu lalu lintas itu tidak bertentangan dengan syari’at, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh karena ketentuan memasang rambu-rambu
lalu lintas tersebut tidak
didasarkan pada nash-nash tertentu, maka dasarnya adalah maslahah mursalah.
d.
Rekayasa genetik pada hewan Ayam agar daging
yang dihasilkan berkuantitas besar dalam waktu panen yang relatif singkat. Hal
ini tidak ada syariat yang menganjurkannya dan dalil yang melarangnya. Namun,
dalam hal rekayasa genetik ini jelas mengandung kemashlahatan bagi manusia.
Maka dari itu mashlahat mursalah lah yang menjadi dalil untuk menentukan
permasalahan ini.
Makalah Terlengkap Lainya : Kumpulan Makalahku >
Makalah Terlengkap Lainya : Kumpulan Makalahku >
Daftar
Pustaka
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
Basiq
Djalil, Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Grup, 2010
Chaerul
Umam, Ushul Fiqih 1 Bandung: Pustaka Setia, 2000
Harun,
Nasrun, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Publishing House, 1996
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia, 1998
Umar,
Muin, dkk., Ushul Fiqh 1. Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Depag, 1986
[16] Harun, Ushul, 1996,
hlm. 125
[19] Dikutip
dari: http://wwwbloggercopai.blogspot.co.id/2012/09/maslahah-mursalah-sebagai-dalil-hukum.html
pada: 22/4/2016, 22:34
0 komentar:
Post a Comment