Showing posts with label ANTROPOLOGI. Show all posts
Showing posts with label ANTROPOLOGI. Show all posts
Jamaah al-Khidmah, blogspot.com


Pendahuluan
Shalawat adalah ungkapan cinta dari umat Islam kepada Nabinya, yakni Nabi Muhammad. Shalawat kebanyakan berupa pujian pada Nabi dan kisah hidup Nabi yang biasa dikenal dengan nama Maulid. Shalawat juga termasuk dalam kategori dzikir yang mendapat pahala jika dibacakan. Alasan umat Islam membaca shalawat adalah mengharap syafaat dari Nabi yang dipercaya dapat memberi keberkahan dalam hidup di dunia dan di akhirat. Sholawat juga merupakan bentuk penghormatan atas jasa Nabi semasa hidupnya. Tradisi pembacaan shalawat ini sangat erat kaitannya dengan akulturasi antara budaya Arab dan Nusantara yang bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat Diharapkan juga dari tradisi shalawat ini adalah dapat mengambil nilai-nilai kemuliaan dari Nabi untuk diteladani, diamalkan dan melanjutkan perjuangannya.
Salah satu di antara tradisi shalawat ini adalah tradisi shalawat rutin yang dilakukan pada hari Ahad Wage oleh Jamaah Al-Khidmah Bantul, Yogyakarta. Dan pada dasarnya pembacaan shalawat ini adalah ekspresi keagamaan yang berasal dari hadis-hadis Nabi, khususnya hadis yang menjelaskan keutamaan mencintai Nabi. Dengan demikian, tulisan ini akan membahas sekilas penjelasan tentang shalawat Nabi dan fenomena tradisi shalawat Ahad Wage oleh Jamaah Al-Khidmah Bantul.

Sekilas Tentang Shalawat Nabi
Shalawat berasal dari kata shalat dan bentuk jamaknya menjadi shalawat yang berarti doa untuk mengingat Allah secara terus menerus. Shalawat kepada Nabi memiliki dua bentuk, yaitu shalawat ma’surat dan shalawat ghair ma’surat. Shalawat ma’surat adalah shalawat yang redaksinya langsung diajarkan oleh Nabi, seperti shalawat yang dibaca dalam tasyahud akhir dalam shalat. Sedangkan shalawat ghair ma’surat adalah shalawat yang disusun oleh selain Nabi, yakni para sahabat, tabi’in, auliya’, ulama, atau yang lainnya dari kalangan umat Islam. Susunan shalawat ini mengeskpresikan permohonan, pujian dan sanjungan yang disusun dalam bentuk syair.[1] Sedangkan Maulid yang dibaca dalam tradisi shalawat ini termasuk dalam shalawat ghair ma’surat. Maulid ini berisi tentang sejarah kehidupan Nabi, keutamaan-keutamaan, kisah-kisah luar biasa, dan lain-lain.
Maulid bagi kalangan umat Islam merupakan ritual istimewa untuk menunjukkan cinta mereka pada Nabi. Tradisi ini muncul sebagai wujud cinta sekaligus pengingat akan riwayat hidup sang Nabi. Memperingati kehidupan Nabi bukanlah hanya sekadar mengingat jasa-jasanya. Tetapi juga sebagai penumbuh rasa cinta yang berdampak pada keinginan untuk meneladani sosok paling berpengaruh di dunia itu. Tradisi Maulid begitu digalakkan untuk tujuan tersebut, terlebih di tengah hantaman paham yang mencoba menghapus tradisi ini.[2] Sebab dengan mencintai Nabi hakikatnya adalah mencintai Allah. Dan salah satu mencintai Allah adalah mencintai yang dicintai Allah, yakni Nabi Muhammad.
Memperingati Maulid sendiri merupakan ungkapan rasa syukur umat Islam kepada Allah. Umat Islam mengenang sejarah beliau bertujuan untuk mengerti yang haqq. Utamanya, kebenaran dalam berprilaku. Umat Islam perlu mengerti sejarah beliau untuk mengerti apa yang beliau larang. Agar umat Islam bisa menghindar dan menjauhinya.[3]

Mengenal Jamaah Al-Khidmah
Jamaah Al-Khidmah di Bantul ini tidak bisa terlepas dari pusat Jamaah Al-Khidmah sendiri yang berada di Surabaya. Sejarah lahir dan berkembangnya Perkumpulan Jamaah Al-Khidmah di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya sebenarnya sudah dimulai sejak beliau bertempat tinggal di Kelurahan Kedinding. Selain itu, nama Al-Khidmah sudah dikenalkan oleh KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy dengan menggunakan nama Jamaah Al-Khidmah Surabaya pada setiap buku-buku yang diterbitkan oleh beliau. Setelah secara resmi dideklarasikan pada 25 Desember 2005 Perkumpulan Jamaah Al-Khidmah membentuk struktur kepengurusan dari tingkat pusat, tingkat Provinsi, tingkat Kota/Kabupaten, tingkat Kecamatan dan tingkat Desa/koordinator. Dari situlah dibentuk kepengurusan secara resmi di Kota Surabaya yang pada saat itu diketuai oleh KH. Ali Tamim, di era kepemimpinan KH. Ali Tamim kegiatan Perkumpulan Jamaah Al-Khidmah masih bertumpu di Pondok Pesantren Assalafi Al Fitrah hingga tahun 2006 KH. Ali Tamim digantikan oleh Ust. Rohli, SH. Saat Ust. Rohli menjabat sebagai Ketua, kegiatan Perkumpulan Jamaah Al-Khidmah sudah tidak bertumpu di Pondok Pesantren Assalafi Al Fitrah melainkan sudah mulai diadakan dirumah-rumah pengurus yang dikenal dengan istilah tarikan. Selain itu, majlis dhikir juga sudah diselenggarakan di rumah-rumah jamaah. Pada tahun 2008 kepemimpinan Ust. Rohli, SH digantikan oleh Pak Zein, saat dipimpin oleh Pak Zein beliau membagi Surabaya kedalam empat kepengurusan yaitu Surabaya Utara, Selatan, Timur dan Barat hingga tahun 2012 kepemimpinan diganti oleh Ust. Ali Mastur, M. Pd. Ust. Ali Mastur membentuk pengurus baik di tingkat Kecamatan maupun Kelurahan. Di Kecamatan Kenjeran juga dibentuk kepengurusan yang diketuai oleh H. Jabbar, SH dan disetiap kelurahan juga dibentuk koordinator. Di era kepemimpinan Ust. Ali Matur inilah Perkumpulan Jamaah Al-Khidmah berkembang dengan pesat yang tidak lain juga disebabkan oleh pergerakan yang dilakukan oleh para koordinator di setiap Kelurahan. Hingga tahun 2014 Perkumpulan Jamaah Al-Khidmah sudah bisa diterima dengan baik oleh masyarakat Kecamatan Kenjeran dan juga sudah masuk pada pemerintahan tingkat Kelurahan maupun Kecamatan Kenjeran dengan mengisi berbagai acara-acara yang diselenggarakan oleh pihak-pihak tersebut. Selain itu, sekarang Jamaah Al-Khidmah juga berpartisipasi dengan memberikan bantuan jika ada bencana alam.[4]
Perkumpulan Jamaah Al-Khidmah juga mempunyai beberapa ajaran yang diajarkan langsung oleh KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy. Namun ajaran-ajaran itu ada yang berupa sebuah teori dan juga praktek keagamaan yang berupa amaliah-amaliah yang dilakukan secara kontinue oleh Perkumpulan Jamaah Al-Khidmah. Ajaran-ajaran itu antara lain, yaitu: menjunjung tinggi kefitrahan, mengabdi kepada Allah Swt, menyontoh Rasul, meneruskan amaliah ulama salafus salih, berbakti kepada nusa dan bangsa, dalam naungan ahlus sunnah wal jamaah, memiliki tujuan yang tulus, memiliki sifat cinta dan benci karena Allah Swt, penuh rendah hati dan toleransi, memiliki perilaku yang jujur dan terbuka, memiliki sifat kepekaan yang tinggi terhadap sesama, mempunyai sikap yang lapang dada dan besar hati dalam menerima saran, dan memiliki sifat yang konsisten dalam menjalankan amaliah. Sedangkan ajaran yang diimplementasikan dengan amaliah bisa dibagi menurut pelaksanaannya, ada yang dilaksanakan setiap hari seperti salat sunah sehari semalam dan juga dhikir selepas salat wajib, ada yang dilakukan setiap satu minggu sekali seperti khususi, ada amaliah yang dilakukan setiap satu bulan sekali seperti manaqib sebelasan dan juga manaqib minggu awal, dan ada juga amaliah yang dilakukan setiap satu tahun sekali seperti haul akbar, majlis awal dan akhir tahun, shalat tanggal 27 Ramadhan, majelis ashuro dan majlis Maulid Nabi.[5]
Strategi yang digunakan oleh Perkumpulan Jamaah Al-Khidmah dalam menyiarkan ajaran KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy adalah dengan melakukan pendekatan terhadap masyarakat melalui mengisi acara-acara tasyakuran dan ritual-ritual keagamaan yang sesuai dengan pedoman dari KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy, mendekati para elite di setiap daerah, menggunakan irama laguyang khas dan seragam, mengorangkan sesepuh tempat diadakannya majlis dan juga menggunakan sound sistem beserta dekorasi panggung yang indah sekaligus berkualitas agar bisa membuat nyaman hingga menarik simpati hati para Jamaah.[6]
Adapun Jamaah Al-Khidmah Bantul sendiri awal berdirinya menurut salah seorang narasumber yang tidak menyebutkan namanya mengatakan bahwa Al-Khidmah Bantul ini berasal dari mimpi salah seorang jamaahnya yang bertemu dengan KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy. Setelah mimpi tersebut, jamaah tersebut mengajak “calon” jamaah yang lain untuk ikut sowan ke Pondok Pesantren Al Fitrah di Surabaya. Setelah itu, ada inisiatif untuk mendirikan Jamaah Al-Khidmah cabang Bantul. Dan hingga kini akhirnya jamaah Al-Khidmah Bantul telah resmi menjadi bagian dari keluarga besar jamaah Al-Khidmah di seluruh Indonesia.  Jamaah Al-Khidmah sendiri telah tersebar di beberapa tempat seperti Al-Khidmah Gresik, Al-Khidmah Malang, Al-Khidmah Blitar, dan lain-lain.

Praktik Tradisi Ahad Wage Jamaah Al-Khidmah Bantul
Tradisi ini dilaksanakan di suatu lahan kosong berupa perbukitan yang masih dalam tahap pembangunan di daerah Kentolan Kidul, Pajangan, Bantul. Lahan tersebut cukup luas dengan hanya terdapat satu bangunan yakni pendopo, tempat pelaksanaan tradisi tersebut. Rencananya di tempat tersebut akan didirikan masjid dan Pondok Pesantren Al-Fitrah yang menyesuaikan dengan Pondok Pesantren Al-Fitrah yang ada di Surabaya. Bahkan pada awal mulanya, pondok pesantren tersebut akan mendapatkan pasokan tenaga pengajar langsung dari Surabaya. Upaya penggalangan dan telah dilakukan dengan cara mohon infaq dari para jamaah yang hadir diberi celengan atau kotak amal kecil yang nantinya tiap rutinan Ahad Wage kotak amal tersebut dibawa dan disetorkan.
Acara pembacaan Maulid ini dimulai sejak pukul 07.00 WIB hingga selesai. Susunan acara dimulai dengan pembacaan wasilah kepada Nabi, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, para auliya dan pada para ulama. Acara dilanjutkan dengan pembacaan tahlil yang ditutup dengan doa tahlil yang dipimpin oleh salah seorang jamaah yang dipercaya untuk duduk bersama di depan majelis dengan menghadap para jamaah yang lain.
Selanjutnya acara inti berlanjut pada pembacaan Maulid. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Maulid sendiri ada banyak versi. Di antaranya adalah Maulid al-Diba’i, Maulid Simtud Durar, Maulid Syaraful Anam, dll. Dan Maulid yang dibaca di majelis ini adalah Maulid al-Diba’i, meskipun di lain tempat Jamaah Al-Khidmah Surabaya dan Gresik misalnya, yang dibaca adalah Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Pembacaan Maulid dibaca secara bergilir oleh golongan pemuda dan orang tua di majelis ini. Dan khusus untuk pembacaan shalawat bi al-qiyam dipimpin oleh para pemuda dengan diiringi musik rebana yang iramanya agak berbeda dengan pembacaan mahall al-qiyam di tempat lain. Dan pembacaan Maulid ini juga diakhiri dengan pembacaan doa Maulid yang dipimpin oleh orang yang dipercaya dalam majelis ini yang duduk di depan menghadap jamaah yang lain.
Acara tersebut ditutup dengan mauidhah hasanah oleh salah seorang jamaah yang berada di depan yang khususnya berisi rasa syukur dan ajakan agar para jamaah tetap istiqomah dalam mengikuti rutinan ini. Dan mungkin hanya pada saat kami mengikuti acara ini, ditambah dengan seorang jamaah yang menceritakan kisah berdirinya majelis ini disertai dengan ajakan untuk ikut menyumbang dana dan tenaga agar bangunan tersebut cepat selesai sesuai yang dicita-citakan para jamaah. Dan setelah berakhirnya acara ada jamuan makan berupa nasi bungkus dan teh hangat pada para jamaah yang hadir.
Peserta yang hadir berasal dari semua golongan, baik laki-laki, perempuan, tua dan muda. Mereka berpakaian serba putih sebagaimana para Jamaah Al-Khidmah di Surabaya. Mereka yang hadir nampaknya juga dari berbagai macam daerah dengan asumsi terdapat rombongan yang naik bis dengan mayoritas yang menggunakan motor.
Meskipun Jamaah Al-Khidmah ini tergolong baru, para jamaah yang hadir termasuk banyak dan cukup loyal dalam menyumbang demi kemaslahatan bersama. Hal ini dirasa cukup wajar karena tradisi semacam ini cukup jarang ditemukan di DIY. Dan nampaknya para cultural broker serta para agent cukup sukses dalam tradisi ini.

Majelis Shalawat Al-Khidmah Bantul Sebagai Fenomena Living Hadis
Sebelum membahas lebih jauh, penulis akan menjelaskan pengertian dari living hadis, yakni penafsiran yang kontinyu dan progresif atas hadis yang memunculkan sebuah praktik yang disepakati secara bersama.[7] Adapun fokus kajian ini adalah pada satu bentuk kajian atas fenomena praktik, tradisi, ritual, atau perilaku yang hidup di masyarakat yang memiliki landasannya di hadis Nabi.[8]
Banyak ditemukan hadis tentang anjuran membaca shalawat dari Nabi, dibuktikan dengan adanya beberapa shalawat yang malah diajarkan sendiri oleh Nabi dan ada yang telah menjadi rukun sholat. Tetapi banyak dari kalangan umat Islam yang melaksanakannya tanpa mengetahuinya dan bahkan sebenarnya tidak perlu untuk mengetahuinya. Shalawat di kalangan masyarakat telah menjadi bagian dari kehidupan mereka dan tetap juga dianggap sebagai bagian dari agama.
Kebanyakan hadis yang disampaikan pada masyarakat tentang shalawat adalah keutamaan membacanya, seperti hadis:
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ عَنْ أَبِي الْأَشْعَثِ الصَّنْعَانِيِّ عَنْ أَوْسِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلَاتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ يَقُولُونَ بَلِيتَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ
Telah menceritakan kepada kami Harun bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Husain bin Ali dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir dari Abu Al Asy'Ats Tsauri Ash Shan'ani dari Aus bin Aus dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya di antara hari-harimu yang paling utama adalah hari Jum'at, pada hari itu Adam di ciptakan, pada hari itu beliau wafat, pada hari itu juga ditiup (sangkakala) dan pada hari itu juga mereka pingsan. Maka perbanyaklah shalawat kepadaku -karena- shalawat kalian akan disampaikan kepadaku." Aus bin Aus berkata; para sahabat bertanya; "Wahai Rasulullah Shalallahu, bagaimana mungkin shalawat kami bisa disampaikan kepadamu, sementara anda telah tiada (meninggal)? -atau mereka berkata; "Telah hancur (menjadi tulang) "- Beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi." (HR. Abu Daud no 883)
Selain hadis di atas, alasan masyarakat membaca shalawat adalah meningkatkan rasa cinta mereka pada Nabi, sebagaimana hadis:
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ حَاتِمٍ الْأَنْصَارِيُّ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بُنَيَّ إِنْ قَدَرْتَ أَنْ تُصْبِحَ وَتُمْسِيَ لَيْسَ فِي قَلْبِكَ غِشٌّ لِأَحَدٍ فَافْعَلْ ثُمَّ قَالَ لِي يَا بُنَيَّ وَذَلِكَ مِنْ سُنَّتِي وَمَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Hatim Al Anshari Al Bashri telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah Al Anshari dari Ayahnya dari Ali bin Zaid dari Sa'id bin Al Musayyaib ia berkata; Anas bin Malik berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku: "Wahai anakku, jika kamu mampu pada pagi hari dan sore hari tanpa ada kecurangan dalam hatimu kepada seorangpun maka lakukanlah, " kemudian beliau berabda kepadaku: "Wahai anakku, itu termasuk dari sunnahku, barangsiapa menghidupkan sunnahku, berarti dia mencintaiku dan barangsiapa mencintaiku, maka dia akan bersamaku di surga." (HR. Al-Tirmidzi no 2602)
Dikarenakan masyarakat melakukan pembacaan shalawat atas dasar cinta dan mengharap syafaatnya, mereka tidak perlu tahu atas kualitas hadis dan penjelasan yang rumit dari para ahli hadis yang sependapat maupun yang tidak sependapat. Oleh karena itu, pelaksanaan tradisi yang telah dipraktikkan oleh masyarakat ini dapat dikategorikan sebagai upaya menghidupkan hadis di tengah masyarakat yang dalam hal ini adalah Jamaah Al-Khidmah Bantul.

Kesimpulan
Jamaah Al-Khidmah Bantul ini adalah salah satu dari sekian majelis shalawat yang tersebar di seluruh Indonesia. Majelis shalawat yang berasal dari Surabaya ini berkembang pesat dengan tokoh pendirinya yakni KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy. Majelis shalawat ini menggunakan Maulid al-Diba’i sebagai bacaan utamanya yang berisi tentang pujian pada Nabi, kisah hidup Nabi, keutamaan Nabi serta kisah-kisah luar biasa yang lain. Majelis shalawat yang dilatarbelakangi kerinduan dan rasa cinta pada Nabi ini diterima sangat baik di kalangan masyarakat, bahkan di antara mereka ada yang sukarela menyumbangkan harta dan tenaga mereka untuk keberlangsungan rutinan ini. Landasan atas pelaksanaan acara ini adalah hadis Nabi yang menjelaskan keutamaan memperbanyak membaca shalawat dan mencintai Nabi. Implementasi dari hadis tersebut nampak dari perilaku masyarakat sekitar yang menjalankan sunnah Nabi dalam rutinitas kesehariannya.


Daftar Pustaka
Aini, Adrika Fithrotul. “Living Hadis dalam Tradisi Malam Kamis Majelis Shalawat Diba’ Bil-Mustofa.” Ar-Raniry, 1, 2 (2014).
Dermawan, Dony. “Sejarah Lahir dan Berkembangnya Perkumpulan Jama’ah Al Khidmah Dalam Menyiarkan Ajaran-ajaran KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqy Di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya Pada Tahun 2005-2014.” Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016.
Mahrus, Abdullah Kafabihi. “Pengantar.” Dalam Sejarah Maulid Nabi: Meneguhkan Semangat Keislaman dan Kebangsaan Sejak Khaizuran (173 H.) Hingga Habib Luthfi bin Yahya (1947 M. - Sekarang), oleh Ahmad Tsauri. Pekalongan: Menara Publisher, 2015.
Nasif, Muhammad. Pesona Maulid Diba’. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2013.
Qudsy, Saifuddin Zuhri. “Living Hadis: Genealogi, Teori, dan Aplikasi.” Living Hadis, 1, 1 (2016).
Suryadi. “Dari Living Sunnah ke Living Hadis.” Dalam Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, disunting oleh Syamsuddin Sahiron. Yogyakarta: Teras, 2007.



[1] Adrika Fithrotul Aini, “Living Hadis dalam Tradisi Malam Kamis Majelis Shalawat Diba’ Bil-Mustofa,” Ar-Raniry, 1, 2 (2014). Hlm. 222-223.
[2] Muhammad Nasif, Pesona Maulid Diba’ (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2013). Hlm. v.
[3] Abdullah Kafabihi Mahrus, “Pengantar,” dalam Sejarah Maulid Nabi: Meneguhkan Semangat Keislaman dan Kebangsaan Sejak Khaizuran (173 H.) Hingga Habib Luthfi bin Yahya (1947 M. - Sekarang), oleh Ahmad Tsauri (Pekalongan: Menara Publisher, 2015).
[4] Dony Dermawan, “Sejarah Lahir dan Berkembangnya Perkumpulan Jamaah Al Khidmah Dalam Menyiarkan Ajaran-ajaran KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqy Di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya Pada Tahun 2005-2014” (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016). Hlm. 79-80.
[5] Dermawan. Hlm. 80-81.
[6] Dermawan. Hlm. 81.
[7] Suryadi, “Dari Living Sunnah ke Living Hadis,” dalam Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, ed. oleh Syamsuddin Sahiron (Yogyakarta: Teras, 2007). Hlm. 93.
[8] Saifuddin Zuhri Qudsy, “Living Hadis: Genealogi, Teori, dan Aplikasi,” Living Hadis, 1, 1 (2016). Hlm. 182.

Ringin Seyengan, harianmerapi.com


Pendahuluan
Ilmu sosiologi dan antropologi merupakan ilmu yang menjadikan masyarakat sebagai objek kajiannya, dan agar ilmu ini tidak sebatas hanya berada di bayang-bayang dan teori-teori pengkajinya maka diperlukan peninjauan-peninjauan langsung di lapangan sebagaimana ilmu-ilmu sains yang perlu pengujiannya di laboratorium, ilmu-ilmu sosial laboratoriumnya adalah masyarakat. Dikarenakan ini adalah studi sosiologi dan antropologi agama, maka diperlukan juga pendekatan-pendekatan dari sisi agama atau teologis dalam memahami suatu permasalah tetapi bukan digunakan sebagai pembenaran atau penyalahan di dalamnya, melainkan sebagai sarana untuk memahami konteks yang terjadi dalam ruang lingkup masyarakat.
Permasalahan ini merupakan sebuah tradisi atau adat yang melibatkan agama Islam dan tokoh-tokohnya serta kepercayaan masyarakat yang kuat dan agak berbeda dengan apa yang tersurat dalam teks-teks ajaran Islam. Yaitu suatu ritual wajib di sebuah daerah di Seyegan, Sleman, Yogyakarta ketika menjalani prosesi pernikahan. Ritual tersebut adalah mengelilingi pohon beringin tua sebanyak tiga kali yang masing-masing putaran diharuskan untuk membaca syahadat, sholawat dan surah al-Fatihah sebanyak tiga kali. Tradisi ini merupakan warisan dari Mbah Bregas, seorang tokoh yang sangat berpengaruh dan dihormati di daerah tersebut yang masih memiliki hubungan dengan Sunan Kalijaga.

Rumusan Masalah
1.         Apa ritual tersebut, bagaimana teknis dan pembawanya?
2.         Bagaimana menyikapinya dilihat secara teologis dan sosio-antropologis?


Kerangka Teoritis
Untuk menyikapi fenomena tersebut secara ilmiah maka diperlukan teori-teori dan metodologis untuk memahami dan memandangnya secara bijak. Secara teologis maka diperlukan pandangan dalam agama dan pasti mengandung benar atau salah dan aturan atau batasan-batasan pembolehan dan pelarangannya.
Sedangkan jika dilihat secara sosio-antropologis maka fenomena tersebut bukanlah merupakan kesalahan karena sudah menjadi realitas sosial. Dalam hal ini penulis mencoba menggunakan teori dari Emile Durkheim, ilmuwan dari Perancis tentang teori Fungsionalisnya.
Teori Fungsionalis merupakan paradigma sosiologis yang secara asli berusaha menjelaskan institusi sosial sebagai alat kolektif untuk memenuhi kebutuhan biologis individu, fokus pada cara institusi sosial memenuhi kebutuhan sosial, khususnya stabilitas sosial. Jadi karena durkheim melihat masyarakat sebagai sebuah analogi organisme tubuh, yakni semua bagian bekerja sama untuk mempertahankan keseimbangan secara keseluruhan, agama dipahami sebagai perekat yang mengikat masyarakat. [1] Dan pandangan fungsionalisme ini menyatakan bahwa masyarakat ada karena terpenuhinya AGIL, singkatan dari Adaptation (adaptasi), Goal Attainment (pencapaian tujuan), Integration (integrasi), dan Latency (pemeliharaan sosial), yang merupakan skema sosiologis yang memperlihatkan bagaimana masyarakat bekerja sendiri mempertahankan stabilitasnya dan manusia semata-mata menjadi aktor-aktor pelaksana mekanisme objektif ini.[2]   
Durkheim mendefinisikan agama dalam karyanya Elementary Forms, sebagai suatu sistem kesatuan kepercayaan dan praktik-praktik relatif suci (sakral) yang dapat dikatakan seperangkat pemisahan dan larangan kepercayaan-kepercayaan serta praktik-praktik yang menyatu ke dalam komunitas moral tunggal. Definisi ini memiliki arti yang menjelaskan peran agama dalam kehidupan sosial. Durkheim mendefinisikan agama sebagai sebuah oposisi briner, yakni antara sakral dan profan, akibatnya hal itu paralel dengan pembedaan antara Tuhan dan manusia. Dan sakral baginya merupakan salah satu karakteristik agama.[3]
Selanjutnya penulis juga mencoba menggunakan teori Konstruksi Sosial Relitas milik Peter Berger dalam memandang kasus ini. Berger memandang realitas sosial bergerak dalam tiga proses utama: eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.[4]
Eksternalisasi yaitu sebuah pengungkapan diri manusia dan pengaruhnya pada masyarakat. Eksternalisasi menganggap masyarakat sebagai realitas objektif. Dan meskipun eksternalisasi dilakukan manusia secara terus-menerus, tidak berarti bahwa aktivitas manusia itu terus mengalami perubahan karena manusia cenderung mengulangi aktivitas yang pernah dilakukannya.[5]
Objektivasi adalah ekspresisivitas manusia yang dapat menjadi realitas objektif. Keeratan hubungan antara objektivitas dan realitas yaitu keberadaan realitas kehidupan sehari-hari hanya dapat dimungkinkan adanya objektivasi.[6]
Dan internalisasi dapat diartikan sebagai proses manusia menyerap dunia yang sudah dihuni oleh sesamanya. Internalisasi menganggap masyarakat sebagai realitas subjektif. Namun internalisasi tidak berarti menghilangkan kedudukan objektif dunia tersebut dan menjadikan persepsi individu berkuasa atas realitas sosial. Internalisasi hanya menyangkut penerjemahan realitas objektif menjadi pengetahuan yang hadir dan bertahan dalam kesadaran individu, atau menerjemahkan realitas objektif menjadi realitas subjektif.[7]
Dengan teori inilah penulis mencoba mencocokkannya dengan fenomena tradisi ini dengan menjelaskan posisi masing-masing dari fenomena realitas sosial tersebut.

Pembahasan
Sebelum menganalisa, kita perlu tahu apa itu tradisi pernikahan yang terdapat di daerah Seyegan tersebut agar dapat memahaminya dengan baik.
Tradisi tersebut adalah mubeng ringin, yaitu tradisi mengeliling pohon beringin tua yang menjadi kewajiban bagi pasangan pengantin di daerah tersebut sebelum melakukan pernikahan mereka. Pohon tersebut diyakini sangat mempunyai pengaruh terhadap kehidupan masyarakat setempat. Pohon tersebut tumbuh di simpang empat dusun Seyegan. Tepatnya sebelah barat SMPN Seyegan.
Pengaruh yang ditimbulkan dari pohon ini adalah jika ada pengantin yang melewati perempatan Seyegan maka harus melakukan ritual khusus untuk penunggu pohon dari pohon beringin tersebut. Prosesinya adalah si pengantin harus mengelilingi pohon tersebut sebanyak tiga kali. Dan pengelilingan pohon beringin tersebut juga tergantung cara pengantin melewati pohon terseebut. Jika pengantin berjalan kaki, maka berkeliling dengan berjalan kaki. Dan jika pengantin menggunakan kendaraan mobil misalnya, maka pengantin juga tetap harus mengelilinya dengan mobil pengantin. Kalau dilihat sekilas memang sepertinya tidak berhubungan dengan agama, melainkan hanya adat kebiasaan dari daerah tersebut. Karena memang penjelasannya belum selesai.
Hubungannya dengan agama yaitu dalam prosesi pengelilingan pohon beringin tersebut. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas kalau pengantin mengelilingi pohon beringin tersebut sebanyak tiga kali. Putaran pertama dilakukan dengan niat ditujukan kepada Allah, putaran kedua dengan niat ditujukan kepada Rasulullah dan putaran ketiga ditujukan untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Dan di setiap putaran pengantin diharuskan untuk membaca syahadat, sholawat dan surah al-Fatihah sebanyak tiga kali. Ritual ini dimaksudkan untuk bersopan santun pada penunggu pohon beringin dan juga sebagai tanda permisi karena telah melewati jalan di dekat pohon beringin tersebut.
Ritual ini berlaku bagi seorang pengantin dari manapun mereka berasal, baik saat akan melakukan ijab qabul ataupun akan melakukan boyongan, baik saat berangkat atau pulang dalam proses pernikahan. Ritual ini diyakini masyarakat agar pernikahan tersebut berjalan lancar dan tidak mengalami gangguan dan juga untuk keselamatan pengantin. Dengan adanya ritual ini, menyebabkan beberapa pengantin yang enggan melaksanakan ritual ini lebih memilih jalan lain agar tidak melewati pohon beringin tersebut.[8]
Tradisi ini bagi masyarakat merupakan warisan dari Mbah Bregas, seorang tokoh penyebar Islam di Seyegan yang memiliki hubungan dengan Sunan Kalijaga. Latar belakang Mbah Bregas ini juga adalah seorang tentara di era Majapahit yang menyelamatkan diri setelah kerajaan tersebut mengalami kekalahan. Selain itu asal usul Mbah Bregas diyakini sebagai cikal bakal dusun ngino –dusun tempat ritual dan lokasi pohon beringin- yang saat itu mengalami musim paceklik. Mbah Bregas datang di dusun tersebut dan memberi kesembuhan pada masyarakat.[9]
Selain ritual mubeng ringin, terdapat juga tradisi yang berhubungan dengan Mbah Bregas yaitu bersih-bersih awal tahun, arak-arakan dan wayang kulit. Ritual ini diadakan tiap tahun dan cukup ramai karena antusias masyarakat menganggap penting acara ini dan berusaha untuk melestarikannya.
Dengan adanya mitos Mbah Bregas, masyarakat mempercayai tempat peninggalan Mbah Bregas memiliki daya mistis yang dianggap sakral di kalangan masyarakat hingga saat ini. Pandangan masyarakat terhadap mitos Mbah Bregas memberikan keyakinan yang berarti bagi warga daerah tersebut. Masyarakat memandang mitos Mbah Bregas dan ritual mubeng ringin merupakan suatu bentuk untuk mengenang sosok tersebut sebagai cikal bakal dusun Ngino dan juga penyebar agama di daerah tersebut.
Adat di atas menujukkan bukti bahwa hukum adat masyarakat itu bersifat religiomagis, yaitu masyarakat tidak hanya percaya dengan hal-hal religius agama melainkan juga percaya dengan hal-hal yang bersifat magis.
Analisa dimulai, pertama-tama kita membahas dari aspek teologisnya, dan otomatis menyangkut benar dan salah menurut agama. Dalam realitas sekarang ini banyak ditemukan golongan dalam Islam yang sering menyalahkan golongan lain karena dianggap telah menyeleweng dari ajaran agama dan yang paling parah terjadi fenomena kafir-mengkafirkan sesama muslim. Karena ini berhubungan dengan teologis maka penulis akan menggunakan keyakinan yang diyakininya.
Tentang pengkeramatan pohon beringin dan benda-benda atau tempat peninggalan Mbah Bregas merupakan wajar saja terjadi di lingkungan Nusantara ini karena pada dasarnya masyarakat Indonesia masih melekat pemahaman tersebut secara turun-temurun disadari atau tidak, dan terutama masyarakat Yogyakarta yang dikenal sebagai Islam abangan.
Tapi sebelum itu kita perlu memahami bahwa realitas sekarang sudah berbeda dengan pada masa-masa terdahulu dikarenakan perkembangan zaman dan masuknya budaya dari luar termasuk Islam yang mempengaruhi perubahan corak keyakinan masyarakat.
Pengkeramatan tersebut sekarang telah berbeda dari dulu yang berupa pemujaan sekarang hanya sebagai penghormatan. Dan istilah keramat sendiri merupakan serapan dari bahasa arab yaitu karamah yang berarti kemuliaan, yang juga berarti bahwa keramat merupakan sesuatu yang dianggap mulia dan dihormati. Maka dalam kasus ini juga seperti itu, pohon beringin dan juga petilasan dari Mbah Bregas dianggap masyarakat sebagai sesuatu yang harus dihormati.
Dalam prosesi mubeng ringin terdapat yang unik yaitu dalam pengelilingannya diharuskan untuk membaca syahadat, sholawat dan surah al-Fatihah yang tidak lain adalah salah satu dari bacaan sehari-hari umat Islam dan pada putaran pertama ditujukan pada Allah, yang kedua pada Rasulullah dan yang untuk kemaslahatan bangsa dan negara pada putaran yang terakhir.
Di sini kita dapat melihat islamisasi dari tradisi lokal, dan masyarakat menerimanya sebagai suatu bacaan khusus untuk ritual tersebut. Fenomena ini biasa dinamakan dengan istilah Living Quran dan Hadis, yaitu studi tentang al-Quran atau hadis, tetapi tidak bertumpu pada eksistensi tekstualnya, melainkan studi tentang fenomena sosial yang lahir terkait dengan kehadiran al-Quran atau hadis dalam wilayah geografi tertentu dan mungkin masa tertentu pula.[10]    
Masyarakat melihat bacaan syahadat, sholawat dan surah al-Fatihah bukan dari sisi substansinya, melainkan dari fungsinya. Syahadat yang pada dasarnya merupakan persaksian akan ketuhanan Allah dan kenabian Nabi Muhammad, sholawat yang merupakan doa kepada rasulullah dan surah al-Fatihah yang merupakan salah satu surah dalam al-Quran digunakan masyarakat sebagai bacaan untuk kelancaran prosesi pernikahan dan keselamatan bagi pengantin.
Dan permasalahan yang paling banyak disorot masyarakat mengenai fenomena ini adalah apakah fenemona tersebut termasuk dalam kategori perbuatan syirik atau tidak. Oleh karena itu kita perlu tahu bentuk-bentuk kemusyrikan yang berhubungan dengan fenomena tersebut yaitu, memakai azimat untuk menolak balak dan meminta perlindungan dan berdoa pada selain Allah. [11]
Mari kita lihat pada bentuk kemusyrikan pertama, azimat disini adalah bacaan-bacaan tersebut. Jika dilihat dari penggunaannya maka hal tersebut bukanlah sebuah kemusyrikan karena bisa dikatakan sebagai bentuk dzikir kepada Allah selama tidak meyakini bahwa bacaan itulah yang menyebabkan keselamatan atau sebaliknya. Dan pada bentuk kemusyrikan kedua juga bukan kemusyrikan karena masyarakat pada dasarnya tetap meminta perlindungan dan berdoa pada Allah.
Tapi ada juga aspek yang perlu disoroti yaitu keyakinan masyarakat bahwa apabila tidak melakukan ritual tersebut akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Inilah yang melekat dalam keyakinan masyarakat, maka perlu dijelaskan pada mereka bahwa hal itu tidak benar menurut keyakinan penulis. Dibolehkan melakukan perbuatan tersebut selama biasa-biasa saja dan tidak meyakini bahwa ritual itulah yang mendatangkan keselamatan, melainkan keselamatan itu hakikatnya dari Allah. Dan selama masih dalam batas tersebut maka boleh-boleh saja ritual itu dilaksanakan apalagi dengan niat dzikir pada Allah.
Dan mengenai penghormatan terhadap penunggu pohon beringin tersebut boleh dilakukan selama dalam batas kewajaran yakni sebagaimana menghormati sesama makhluk Allah dan tidak lebih dari itu, karena sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa keselamatan dan kecelakaan hakikatnya dari Allah semata.
Lalu fenomena ini jika dilihat dari aspek sosio-antropologis maka menggunakan teori-teori yang dikemukakan para ahli dalam bidang ini. Penulis mengambil teori dari Emile Durkheim dan Peter Berger.
Dalam teori fungsionalis seperti yang digunakan oleh Durkheim dijelaskan bahwa merujuk pada fungsi agama dalam masyarakat. Dan fungsi tersebut merujuk pada sumbangan yang diberikan oleh agama atau lembaga sosial untuk mempertahankan keutuhan masyarakat dengan usaha yang utuh dan terus menerus.
Dalam usaha menganalisa fungsi-fungsi sosial dari tingkah laku keagamaa, kita harus berhati-hati membedakan antara yang ingin dicapai oleh anggota-anggota suatu kelompok pemeluk tertentu dan akibat yang tidak dikehendaki dari tingkah laku nereka dalam kehidupan masyarakat. Tetapi sarjana sosiologi berpendapat bahwa akibat-akibat yang tidak disengaja dari tingkah laku mereka seringkali lebih penting bagi pemeliharaan masyarakat daripada tujuan-tujuan mereka yang disadari, yakni bukan tujuan resmi atau bukan fungsi nyata melainkan fungsi tersembunyi dari lembaga-lembaga tersebut.[12]
Maka fungsi dari ritual tersebut adalah untuk mencari keselamatan dan selamat dari hal-hal yang tidak diinginkan dan untuk mengenang jasa-jasa dari Mbah Bregas yang memberikan pengaruh dan jasa yang besar bagi masyarakat Seyegan. Dan akibatnya bisa berupa pengkeramatan terhadap peninggalan Mbah Bregas meskipun apabila pengkeramatan ini dilihat sebenarnya juga merupakan bentuk pemeliharaan terhadap budaya itu sendiri. Dan posisi agama di sini adalah sebagai penguat kesakralan ritual tersebut dan juga merupakan  perekat dari kesinambungan organisme masyarakat yang memiliki posisi penting di masing-masing perannya.
Dan dalam teori Konstruksi Sosial Realitas Berger yang memiliki tiga proses utama yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Ekternalisasi ini bisa dilihat pada peran dan upaya Mbah Bregas dalam memberikan pengaruh dan penyampaian nilai-nilai keislaman yang dibawanya yang dilakukan secara terus menerus hingga akhir hayatnya dan berdampak besar bagi masyarakat Seyegan.
Proses objektivasi di masyarakat Seyegan dapat diamati dari tingkah laku atau ekspresivitas masyarakat tersebut yang berupa tradisi dan ritual yang merupakan warisan dari Mbah Bregas yang terus menerus dan berulang kali dilakukan masyarakat Seyegan hingga menjadi sebuah realitas kehidupan.
Dan internalisasi di masyarakat Seyegan ini berupa penerimaan dan penyerapan pengaruh yang dibawa oleh Mbah Bregas dan tradisi yang diamalkan oleh masyarakat secara terus menerus yang meresap dan tertanam pada masing-masing individu masyarakat dan juga menjadi pengetahuan yang hadir bagi masyarakat akibat dari realitas kehidupan.

Kesimpulan
Dari kedua cara pendekatan tersebut, yakni secara teologis dan secara sosio-antropologis, maka dapat disimpulkan bahwa secara teologis ritual mubeng ringin tersebut mengandung benar dan salah dalam pelaksanaannya. Dianggap benar apabila tetap dalam batas sewajarnya dan dianggap salah apabila telah melewati batas kewajaran sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.

Baca Juga: Sejarah Tari Saman

Dan secara sosio-antropologis, maka dalam ritual tersebut tidak mengandung benar dan salah dalam prosesinya karena ini merupakan realitas sosial. Tetapi dianggap salah apabila salah seorang individu melanggar realitas sosial yang telah berjalan, karena dianggap telah melanggar aturan adat yang disepakati dalam masyarakat. Dan juga individu dianggap melanggar apabila tidak melakukan tradisi yang hidup di masyarakat dikarenakan tradisi atau budaya adalah sesuatu yang hidup apabila dilaksanakan oleh masyarakat. Oleh karena itu marilah kita menjaga keindahan dan keanekaregaman budaya agar tidak terjadi kepunahan atau perubahan corak budaya yang khas di bumi Nusantara ini.

Daftar Rujukan
Haryanto, Sindung. 2015. Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Post Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Samuel, Hanneman. 2012. Peter Berger: Sebuah Pengantar Ringkas. Depok: Kepik.
Idamatussilmi, Vida. TT. “Ritual Adat Pernikahan”. Artikel Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Mufiani, Iftahuul. 2014. “Mitos Mbah Bregas di Dusun Ngino Desa Margoagung Seyegan Sleman Yogyakarta (Studi terhadap Klasifikasi Pandangan dan Fungsi Mitos)”. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Yusuf, Muhammad. 2007. Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Quran. dalam Sahiron Syamsuddin “Metodologi Penelitian Living Quran dan Hadis”. Yogyakarta: TH-Press.
Madjrie, Abdurrahman. 1997. Meluruskan Akidah. Yogyakarta: Titian Ilahi Press
Nottingham, Elizabeth K.. 1990. Agama dan Masyarakat. Abdul Muis Naharong (terj.). Jakarta: Rajawali.




[1] Sindung Haryanto, Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Post Modern, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, hlm. 62.
[2] Hanneman Samuel, Peter Berger: Sebuah Pengantar Ringkas, Depok: Kepik, 2012, hlm. 27.
[3] Sindung Haryanto, Sosiologi Agama, hlm. 59.
[4] Hanneman Samuel, Peter Berger, hlm. 41.
[5] Hanneman Samuel, Peter Berger, hlm. 27-28.
[6] Hanneman Samuel, Peter Berger, hlm. 22-23.
[7] Hanneman Samuel, Peter Berger, hlm. 34-35.
[8] Vida Idamatussilmi, “Ritual Adat Pernikahan”, Artikel Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, TT.
[9] Iftahuul Mufiani, “Mitos Mbah Bregas di Dusun Ngino Desa Margoagung Seyegan Sleman Yogyakarta (Studi terhadap Klasifikasi Pandangan dan Fungsi Mitos)”, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014, hlm. 40.
[10] Muhammad Yusuf, Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Quran, dalam Sahiron Syamsuddin “Metodologi Penelitian Living Quran dan Hadis”, Yogyakarta: TH-Press, 2007, hlm. 39.
[11] Abdurrahman Madjrie, Meluruskan Akidah, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997, hlm. 129-131.
[12] Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Abdul Muis Naharong (terj.), Jakarta: Rajawali, 1990, hlm. 31-33.