Sejarah Tari Saman

Tari Saman, steemitimages.com


Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Tari adalah gerakan badan yang berirama, biasanya diiringi bunyi-bunyian musik, gamelan, dan sebagainya. John Martin seorang penulis dan kritikus tari dari Amerika Serikat mengatakan bahwa, substansi baku tari adalah gerak, dan gerak merupakan pengalaman fisik yang paling elementer dari kehidupan manusia. Seorang ahli tari Jawa yaitu Pangeran Suryodiningrat mengatakan bahwa tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta mempunyai maksud tertentu. Definisi ini dipertajam oleh Soedarsono. Secara umum pengertian dari para ahli tentang tari dapat disimpulkan sebagai gerakan badan yang diiringi suara yang ritmis dengan teratur.
Saman merupakan tari tradisonal masyarakat Gayo atau suku Gayo yang mendiami Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tenggara, dan masyarakat Gayo yang berada di Kabupaten Aceh Timur (daerah Lukup atau Serbejadi). Sejarah tari Saman secara pasti belum dapat diketahui. Hal ini disebabkan oleh kurangnya, bahkan belum ada, para peneliti mengkaji masalah ini secara ilmiah. Selain itu, faktor utama penyebab tidak diketahuinya asal usul tari Saman adalah disebabkan oleh rendahnya budaya tulis baca pada masyarakat Gayo, pemilik asli saman ini. Masyarakat Gayo, selain yang tinggal di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, belum memiliki budaya tulis baca sehingga cerita mengenai Saman hanya disampaikan dari mulut ke mulut (istilah orang Gayo kené bekené yang artinya konon kata orang).[1]
Secara umum ada beberapa pendapat mengenai asal mula Tari saman, di antaranya yaitu:
a.       Catatan Marcopolo tahun 1292
b.      Dibuat oleh ulama bernama Syeh Saman
              c.       Seni yang dipengaruhi tarekat Samaniyah

Gayo adalah salah satu tarian tradisional yang mengakar pada suku masyarakat Gayo, yang ditarikan secara berkelompok dengan berjejer oleh kaum pria. Adapun elemen-elemen posisi atau kedudukan peserta atau pemain yang ada dalam tari Saman adalah penangkat, pengapit, penyepit, dan penupang. Karena syarat elemen tersebut harus dipenuhi, maka jumlah minimal penari saman untuk satu penampilan adalah 7 orang. 1 penangkat, sedangkan pengampit, penyepit, dan penumpang masing-masing 2.

Simbol elemen penari saman[2]
Posisi
Tugas
Penangkat
Tokoh utama dalam tari Saman atau orang yang menjadi komando dalam Saman. Penangkat secara umum melantunkan salam, sek, jangin atau syair-syair, dan memberi perintah dengan sek.
Pengapit
Tokoh pembantu penangkat yang posisinya berada di sebelah kiri dan kanan penangkat. Tugas utama
pengapit adalah membantu penangkat dalam segala hal.
Penyepit
Penari biasa yang mendukung tari atau gerak tari yang diarahkan penangkat. Sebagai penari, ia sangat berperan menjepit (menghimpit), yakni membuat kerapatan antara penari sehingga penari menyatu tanpa antara dalam posisi banjar/bersaf (horizontal).
Penupang
Penari yang berposisi paling ujung kanan dan kiri dari barisan penari yang duduk berbanjar. Penupang, selain berperan sebagai bagian dari pendukung tari, juga berperan menopang/menahan keutuhan posisi tari agar tetap rapat dan lurus

Simbol gerakan tari saman[3]
Gerakan
Pengertian
Lengek
adalah gerakan menggelengkan kepala ke kiri atau ke kanan dan juga sering dilakukan sambil melakukan gelengan dengan bentuk kepala melengkung.
Linggang
adalah gerakan yang berupa goyangan badan ke kiri dan ke kanan.
Singkih
adalah gerakan memiringkan badan ke kiri atau ke kanan.
Tungkuk
adalah gerakan menundukkan kepala ke bawah.
Langak
adalah gerakan yang menadah kepala ke atas dengan sambil memukul dada.
Angguk
adalah gerakan yang berupa angguk.
Girik
adalah kepala berputar-putar seperti setengah baling-baling.
Tepok
adalah tepukan tangan. Tepok ini sangat variatif dalam Saman karena posisinya berbaur dalam lagu Saman.
Tebah
adalah pukulan ke dada. Pukulan ke dada juga bervariasi karena kadang-kadang lambat dan tidak keras, tetapi kadang-kadang cepat dan keras.
Gerutup
adalah gerak tangan tepukan yang menggebu-gebu, menepuk dada maupun hempasan tangan di paha, dengan posisi badan duduk berlutut atau berdiri di atas lutut.
Guncang
adalah gerak yang bergoyang, perpaduan gerak badan dan tepukan tangan menerpa dada dalam kualitas gerak yang tinggi dan menggebu-gebu.
Surang Saring
adalah pola gerak selang-seling atau bergantian baik untuk posisi atas (ke atas bawah) maupun selang-seling ke depan-belakang.

3.    Perkembangan tari saman
Masyarakat Gayo yakin bahwa tari Saman sudah merupakan seni yang berlangsung turun-temurun dalam masyarakat Gayo. Hal ini dapat dibuktikan bahwa di setiap kampung di daerah Gayo pasti ada tari Saman. Lebih dari itu, bahwa kampung di Daerah Gayo, terutama di Gayo Lues, selalu ada belah (bagian terkecil dari kampung). Jumlah belah pada setiap kampung berbeda-beda, tergantung pada besar kecilnya kampung tersebut, ada kampung terdiri atas dua, tiga, empat, lima, dan enam belah.[4]
Dari keberadaan tari Saman dalam masyarakat Gayo, dapat dipastikan bahwa kesenian ini mempunyai berbagai fungsi sehingga dapat berlanjut hingga kini, walaupun (mungkin saja) pada awalnya hanya dilakukan oleh masyarakat untuk hiburan semata. Kesenian Saman ini berasal dari kesenian rakyat yang mengandalkan tepuk tangan dan juga pukulan ke dada dan paha dengan bernyanyi. Kegiatan seperti ini tentu merupakan hiburan bagi anak muda yang sedang tidak bekerja.
Dalam perkembangan selanjutnya mungkin saja fungsi ini berkembang sesuai dengan kebutuhan yang ada pada masyarakat sendiri dan tidak mustahil dimanfaatkan oleh pendakwah sebagai sarana penyebaran agama. Dengan demikian, fungsi hiburan bisa berubah menjadi media pengembang agama Islam. Sebagai media pengembang agama Islam, sampai kini masih bisa kita rasakan dalam syair-syairnya, terutama sekali dalam langkah-langkah awalnya selalu dimulai dengan salam. Syair-syair Saman masih banyak yang berkaitan dengan konsep agama.[5]
Selanjutnya, Saman berfungsi sebagai hiburan atau sebagai tontonan sehingga kegiatan Saman muncul pada acara tertentu seperti hari ulang tahun, peringatan maulid, hari raya idul fitri, dan juga acara-acara peresmian. Akan tetapi, fungsi Saman sebagai hiburan tidak bisa dipisahkan fungsi ini satu-persatu karena dalam konteks hiburan syair Saman juga masih banyak yang berbau nasihat atau adat istiadat, atau juga penerapan peraturan pemerintahan. Dengan demikian, mungkin hanya wujud fisiknya saja sebagai hiburan, sedangkan wujud hakikatnya masih dapat berjalan sebagai fungsi lain.[6]
4.    Filosofi
a.       Filosofi Gerak
Duduk dengan dua bentuk mengarah kepada duduk tahiyyatul awal dan tahiyyatul akhir dalam salat.
Gerak salam artinya setiap umat muslim diwajibkan untuk selalu memberi salam kepada sesama muslim ketika bertemu.
Gerakan tunduk bermakna penghormatan terhadap sesama manusia.
Memukul dada bermakna simbol rasa patriotik atau rasa kepahlawanan yang dimiliki oleh setiap orang Gayo.
Kertek atau ketrip jari bermakna keceriaan.
Memakai daun kepies artinya menyebarkan wewangian (kebaikan).
Selang seling merupakan simbol kemajemukan sebagai khazanah dan bukan penghalang dalam mewujudkan sebuah kehidupan yang indah dalam masyarakat.
Gerak anguk atau angguk artinya berzikir. Ini bermakna kewajiban seorang hamba untuk terus selalu berzikir kepada- Nya.
Girik (kepala berputar) bermakna bahwa dunia selalu berputar. Gerak ini juga melambangkan bahwa kehidupan ini selalu bergerak dan berubah.
Lingang artinya pohon yang dihembus angin, yang bermakna bahwa segala sesuatu benda atau makhluk yang bergerak di bumi ini, tidak terjadi dengan kesendiriannya.
Tungkuk artinya bersujud berserah diri, yang bermakna bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT. Oleh karena itu, sepatutnyalah ia bersujud dan berserah diri hanya kepada Allah semata.
Gerak singkih artinya gerak yang menyerupai bentuk “salam” dalam shalat ke kiri dan ke kanan.
Gerak Langak artinya menadah tangan ke atas atau berdoa.
Tepuk tangan merupakan simbol dari ungkapan senang atau bahagia.[7]

b.      Filosofi Syair
Kadang berdosa péh kite ku Tuhen, negon perbueten i wasni ingin ini (mungkin berdosa juga kita kepada Tuhan, melihat tingkah laku pada malam ini).
Ike gere becaya ko kén Tuhen, rui wasni uten sahan keta nejemé (kalau kamu tidak percaya kepada Tuhan, duri di hutan siapa gerangan menajamkannya).
Barik sideh péh carongni beru, baju bamu turah seluk ko. Barik sideh péh carongni bujang, songkok lintang turah cube ko (bagaimana pun cantiknya gadis, baju warna abu-abu pasti kau pakai, bagaimana pun gantengnya laki-laki, kopiah melintang pasti kau coba).
I akérat kahé dedete reman kerna tukang saman atasni denie (di akhirat nanti dada kita lembam karena pemain saman di atas dunia).
I belang laén dih edet gere ninget asal agama (di Belangkejeren lain sekali adat tidak ingat tentang agama).
I denie enti ko jengkat, i akerat kona sikse (di dunia jangan kamu sombong, di akhirat kena siksa).
I denie gati semiang kati senang kite lang-lang ho (di dunia sering sembahyang agar senang kita nanti/di akhirat) Syair ini juga mengingatkan masyarakat tentang agama.
Kén ama ine kite turah hurmet kati endepet sapaat ari Tuhente (kepada bapak dan ibu kita harus hormat agar mendapat syafaat dari Tuhan kita).[8]

Baca Juga: Divinisi dan Ruang Lingkup Kesenian Uslam Indonesia


[1] Rajab Bahry, dkk., SAMAN: Kesenian dari Tanah Gayo (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014), hlm. 15.
[2] Rajab Bahry, dkk., SAMAN: Kesenian dari Tanah Gayo (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014), hlm. 60.
[3] Rajab Bahry, dkk., SAMAN: Kesenian dari Tanah Gayo (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014), hlm. 61.
[4] Rajab Bahry, dkk., SAMAN: Kesenian dari Tanah Gayo (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014), hlm. 19
[5] Rajab Bahry, dkk., SAMAN: Kesenian dari Tanah Gayo (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014), hlm. 20
[6] Rajab Bahry, dkk., SAMAN: Kesenian dari Tanah Gayo (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014), hlm. 21
[7] Ibid., hlm. 62-63.
[8] Ibid., hlm. 65-68.

0 komentar:

Post a Comment