Akhlak Bermasyarakat, blogspot.com |
1. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk
berakhlak berkewajiban menunaikan dan menjaga akhlak yang baik serta menjauhi
dan meninggalkan akhlak yang buruk. Akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat
Islam. Kualitas keberagaman justru ditentukan oleh nilai akhlak.
Dalam kehidupan bertetangga, bermasyarakat Individu tidak bisa seenaknya mewujudkan tujuan
hidupnya dengan mengabaikan tujuan hidup masyarakat sekitarnya. Kepedulian
setiap individu terhadap tujuan hidup bersama masyarakatnya akan mempercepat
perkembangan menuju terwujudnya tujuan bersama tersebut tetapi nyatanya
sekarang ini dalam kehidupan bermasyarakat banyak masalah yang dihadapi umat Islam, salah satunya adalah rendahnya rasa kesatuan dan
persatuan sehingga kekuatan mereka menjadi lemah (Sauri S, 2012:152). Sektor
kehidupan yang mengalami kelemahan ini salah satunya adalah sektor sosial dan
budaya. Hal ini tampak pada akhlak pergaulan hidup bertetangga, akhlak bertamu
dan menerimanya, serta akhlak bergaul dengan orang-orang muslim dan non-muslim
secara umum.
Dalam hal tamu bertamu, individu yang
berposisi sebagai tamu cenderung tidak beretika. Ada di antara mereka yang
ketika bertamu, ia meminta ijin kepada tuan rumah dengan berteriak-teriak. Di
samping itu, ada pula yang tampak memaksa masuk ke rumah tuan rumahnya meskipun
tuan rumah tersebut tidak berkenan untuk menerimanya. Ada juga yang berposisi
sebagai penerima tamu tidak memperlakukan tamunya dengan baik. Ia menerima
tamunya dengan muka yang masam, tidak memberikan jamuan kepada tamunya, dan
bahkan tidak mempersilakan tamunya untuk duduk.
Dalam hal bertetangga, individu-individu yang
tinggal berdekatan cenderung acuh dan tidak saling peduli satu sama lain. Hal
ini tampak dari kebiasaan mereka yang ketika bertemu, perbuatan saling sapa pun
tidak terjadi diantara mereka. Ada pula individu yang tampak tidak suka ketika
bertemu dengan tetangganya. Ia menampakan muka masamnya dan berlalu dengan mata
mendelik.
Proses sosialisasi dengan saudara seislam pun
mengalami degradasi yang terlihat dari kebiasaannya yang cuek antara satu
individu dengan individu lainnya. Ketidakpedulian ini terjadi bukan hanya pada
antar-pribadi saja, tapi juga antar-masyarakat. Pun demikian dengan proses
sosialisasi dengan non-muslim. Bergaul dengan mereka yang berbeda agama seperti
dilarang dalam masyarakat. Hubungan baik dengan orang Kristen (contohnya)
dianggap sebagai orang yang sudah terbawa arus buruk.
Berbagai permasalahan di atas melatarbelakangi
kami untuk menyusun makalah yang bertajuk akhlak dalam bermasyarakat ini.
2.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan akhlak?
2. Bagaimana cara bertamu dan menerima tamu?
3. Bagaimana menjalin hubungan dengan
tetangga?
4. Bagaimana menjalin hubungan dengan
masyarakat?
5. Pergaulan muda-mudi?
6. Ukhwah Islamiah?
3.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan
ialah :
1.
Untuk mengetahui akhlak
bertamu dan menerima tamu yang dianjurkan oleh Islam.
2.
Untuk mengetahui
akhlak bertetangga yang baik.
3.
Untuk mengetahui
akhlak terhadap saudara seislam yang seharusnya.
4.
Untuk mengetahui anjuran
dan batasan berakhlak terhadap orang-orang yang berbeda agama.
5.
Untuk mengetahui pergaulan muda-mudi yang
baik
6.
Untuk mengetahui pengertian ukhuwah
islamiah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Akhlak
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang
yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.[1]
Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk,
berasal dari bahasa
Arab yang berarti perangai, tingkah
laku, atau tabiat.[2] cara
membedakan akhlak, moral dan etika yaitu Dalam etika, untuk menentukan nilai
perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok ukur akal pikiran atau
rasio, sedangkan dalam moral dan susila menggunakan tolok ukur norma-norma yang
tumbuh dan berkembang dan berlangsung dalam masyarakat (adat
istiadat), dan dalam akhlaq menggunakan
ukuran Al Qur’an dan Al Hadis untuk menentukan baik-buruknya.
Akhlak adalah suatu
sifat yang tertanam dalam jiwa yang timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah,
dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dulu).[6]
Jika sifat tersebut
timbul dari perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji secara akli dan syar’i,
maka dinamakanlah akhlak yang baik dan jika ia timbul dari perbuatan-perbuatan
yang jelek, maka dinamakanlah akhlak yang buruk. Namun, akhlak bukan ungkapan
dari perbuatan sebab adakalanya seseorang yang pada dasarnya dermawan, tetapi
dia tidak buktikan dengan perbuatan dikarenakan dia sendiri adalah orang
miskin.
Dapat pula dikatakan,
perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan. Orang yang dermawan sudah biasa memberi
tanpa banyak pertimbangan lagi karena sifat tersebut sudah biasa dia lakukan
setiap saat. Akhlak itu haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer, dan
tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar.
Dari definisi yang
disebutkan di atas dapat ditemukan ciri-ciri akhlak antara lain bahwa akhlak
merupakan perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga
menjadi kepribadiannya. Selanjutnya, karena perbuatan yang dilakukannya sudah
mendarah daging, maka pada saat akan mengerjakannya sudah tidak lagi memerlukan
pertimbangan atau pemikiran. Demikian pula bahwa perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada
paksaan atau tekanan dari luar yaitu dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan
keputusan yang bersangkutan.
2. Cara Bertamu dan Menerima Tamu
Dalam hidup bermasyarakat, kita tidak pernah
lepas dari kegiatan bertamu dan menerima tamu. Adakalanya kita mengunjungi
sanak saudara, kerabat, kenalan kita dan adakalanya kita juga dikunjungi teman-teman
kita. Supaya kegiatan tersebut tetap berdampak positif bagi kedua belah pihak,
baik pihak yang mengunjungi maupun pihak yang dikunjungi, maka Islam memberikan
tuntunan bagaimana sebaiknya kegiatan bertamu dan menerima tamu dilakukan.
I.
Bertamu
Sebelum
memasuki rumah seseorang, hendaklah yang bertamu terlebih dahulu meminta izin
dan mengucapkan salam kepada tuan rumah. Sebagaimana Firman Allah SWT (QS.
An-Nur :27)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memasuki rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu (selalu)ingat”.
Meminta izin bisa
dengan kata-kata, dan bisa pula dengan ketukan pintu atau tekan tombol bel atau
cara-cara yang lebih dikenal dalam masyarakat setempat. Bahkan salam itu
sendiri bisa juga dianggap sekaligus sebagai permohinan
izin.
Menurut Rasulullah saw, meminta izin maksimal boleh dilakukan tiga kali. Apabila tidak ada jawaban, sebaiknya yang bertamu kembali pulang. Jangan sekali-kali masuk rumah orang lain tanpa izin, karena disamping tidak menyenangkan bahkan mengganggu tuan rumah, juga dapat berakibat negatif kepada tamu itu sendiri.
Mengapa meminta izin maksimal tiga kali? Karena ketukan pertama, sebagai pemberitahuan kepada tuan rumah akan kedatangan tamu, ketukan kedua, memberikan kesempatan tuan rumah untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan, ketukan ketiga, diharapkan penghuni rumah sudah berjalan menuju pintu. Setelah ketukan ketiga tetap tidak ada yang membukakan pintu, ada kemungkinan tidak ada orang di rumah atau tuan rumah sedang tidak bersedia menerima tamu.
Tamu tidak boleh mendesakkan keinginannya untuk bertamu setelah ketukan ketiga, karena hal tersebut akan mengganggu tuan rumah. Sekalipun tuan rumah dianjurkan untuk menerima dan memuliakan tamu, tapi tetap berhak menolak kedatangan tamu kalau memang dia tidak berkenan.
Menurut QS. An-Nur:28, tidak memaksa masuk pada saat tidak ada orang di rumah, atau ditolak oleh tuan rumah, maka lebih bersih bagi tamu itu sendiri. Artinya lebih menjaga nama baik dan kehormatannya sendiri. Kalau dia mendesak untuk terus bertamu, dia akn dinilai kurang memiliki akhlaq, apabila dia masuk padahal tidak ada tuan rumahnya, bisa-bisa dia dituduh bermaksud mencuri.
Disamping meminta izin dan mengucapkan salam, masih ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang hendak bertamu, diantaranya:
a. Jangan bertamu sembarang waktu. Bertamulah pada saat yang kiranya tuan rumah tidak akan terganggu .
b. Jangan terlalu lama bertamu sehingga merepotkan tuan rumah. Segeralah pulang jika urusan sudah selesai.
c. Jangan melakukan kegiatan yang menyebabkan tuan rumah terganggu. Diizinkan masuk rumah bukan berarti diizinkan segala-galanya.
d. Kalau disuguhi minuman atau makanan, hormatilah jamuan itu. Bahkan Rasulullah saw menganjurkan kepada orang yang berpuasa sunah sebaiknya membukai puasanya untuk jamuan (HR. Baihaqi).
e. Hendaklah pamit ketika akan pulang.
Menurut Rasulullah saw, meminta izin maksimal boleh dilakukan tiga kali. Apabila tidak ada jawaban, sebaiknya yang bertamu kembali pulang. Jangan sekali-kali masuk rumah orang lain tanpa izin, karena disamping tidak menyenangkan bahkan mengganggu tuan rumah, juga dapat berakibat negatif kepada tamu itu sendiri.
Mengapa meminta izin maksimal tiga kali? Karena ketukan pertama, sebagai pemberitahuan kepada tuan rumah akan kedatangan tamu, ketukan kedua, memberikan kesempatan tuan rumah untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan, ketukan ketiga, diharapkan penghuni rumah sudah berjalan menuju pintu. Setelah ketukan ketiga tetap tidak ada yang membukakan pintu, ada kemungkinan tidak ada orang di rumah atau tuan rumah sedang tidak bersedia menerima tamu.
Tamu tidak boleh mendesakkan keinginannya untuk bertamu setelah ketukan ketiga, karena hal tersebut akan mengganggu tuan rumah. Sekalipun tuan rumah dianjurkan untuk menerima dan memuliakan tamu, tapi tetap berhak menolak kedatangan tamu kalau memang dia tidak berkenan.
Menurut QS. An-Nur:28, tidak memaksa masuk pada saat tidak ada orang di rumah, atau ditolak oleh tuan rumah, maka lebih bersih bagi tamu itu sendiri. Artinya lebih menjaga nama baik dan kehormatannya sendiri. Kalau dia mendesak untuk terus bertamu, dia akn dinilai kurang memiliki akhlaq, apabila dia masuk padahal tidak ada tuan rumahnya, bisa-bisa dia dituduh bermaksud mencuri.
Disamping meminta izin dan mengucapkan salam, masih ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang hendak bertamu, diantaranya:
a. Jangan bertamu sembarang waktu. Bertamulah pada saat yang kiranya tuan rumah tidak akan terganggu .
b. Jangan terlalu lama bertamu sehingga merepotkan tuan rumah. Segeralah pulang jika urusan sudah selesai.
c. Jangan melakukan kegiatan yang menyebabkan tuan rumah terganggu. Diizinkan masuk rumah bukan berarti diizinkan segala-galanya.
d. Kalau disuguhi minuman atau makanan, hormatilah jamuan itu. Bahkan Rasulullah saw menganjurkan kepada orang yang berpuasa sunah sebaiknya membukai puasanya untuk jamuan (HR. Baihaqi).
e. Hendaklah pamit ketika akan pulang.
II.
Menerima
tamu
Rasulullah
saw mengaitkan sifat memuliakan tamu itu dengan keimanan terhadap Allah SWT dan
Hari Akhir. Beliau bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Memuliakan tamu dilakukan antara lain dengan menyambut kedatangannya dengan muka manis dan tutur kata yang lemah lembut, mempersilakan duduk di tempat yang baik. Kalau perlu disediakan ruangan khusus menerima tamu yang dijaga kerapihannya.
Kalau tamu dating dari tempat yang jauh dan ingin menginap, tuan rumah wajib menerima dan menjamunya maksimal tiga hari tiga malam. Lebih dari itu terserah tuan rumah tetap menjamunya atau tidak. Menurut Rasulullah saw, menjamu tamu lebih dari tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban. Rasulullah saw bersabda:
“Menjamu tamu itu hanya tiga hari. Jaizahnya sehari semalam. Apa yang dibelanjakan untuk tamu diatas tiga hari adalah sedekah. Dan tidak boleh bagi tamu tetap menginap (lebih dari tiga hari) Karen ahal itu akan memberatkan tuan rumah.” (HR. Tirmidzi)
Menurut Imam Malik, yang dimaksud dengan jaizah sehari semalam adalah memuliakan dan menjamu tamu pada hari pertama dengan hidangan yang istimewa dari hidangan yang biasa dimakan tuan rumah sehari-hari. Sedangkan hari kedua dan ketiga dijamu dengan hidangan biasa sehari-hari.
Sedangkan menurut Ibn al-Atsir, yang dimaksud dengan jaizah sehari semalam adalah memberi bekal kepada tamu untuk perjalanan sehari-semalam. Namun bagaimanapun bentuknya, substansinya tetap sama yaitu anjuran untuk memuliakan tamu sedemikian rupa
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Memuliakan tamu dilakukan antara lain dengan menyambut kedatangannya dengan muka manis dan tutur kata yang lemah lembut, mempersilakan duduk di tempat yang baik. Kalau perlu disediakan ruangan khusus menerima tamu yang dijaga kerapihannya.
Kalau tamu dating dari tempat yang jauh dan ingin menginap, tuan rumah wajib menerima dan menjamunya maksimal tiga hari tiga malam. Lebih dari itu terserah tuan rumah tetap menjamunya atau tidak. Menurut Rasulullah saw, menjamu tamu lebih dari tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban. Rasulullah saw bersabda:
“Menjamu tamu itu hanya tiga hari. Jaizahnya sehari semalam. Apa yang dibelanjakan untuk tamu diatas tiga hari adalah sedekah. Dan tidak boleh bagi tamu tetap menginap (lebih dari tiga hari) Karen ahal itu akan memberatkan tuan rumah.” (HR. Tirmidzi)
Menurut Imam Malik, yang dimaksud dengan jaizah sehari semalam adalah memuliakan dan menjamu tamu pada hari pertama dengan hidangan yang istimewa dari hidangan yang biasa dimakan tuan rumah sehari-hari. Sedangkan hari kedua dan ketiga dijamu dengan hidangan biasa sehari-hari.
Sedangkan menurut Ibn al-Atsir, yang dimaksud dengan jaizah sehari semalam adalah memberi bekal kepada tamu untuk perjalanan sehari-semalam. Namun bagaimanapun bentuknya, substansinya tetap sama yaitu anjuran untuk memuliakan tamu sedemikian rupa
3. HUBUNGAN BAIK DENGAN
TETANGGA
Sesudah anggota keluarga sendiri, orang yang
paling dekat dengan kita adalah tetangga. Merekalah yang diharapkan paling
dahulu memberikan bantuan jika kita membutuhkannya. Jika kita tiba-tiba ditimpa
musibah kematian misalnya, tetanggalah yang paling dahulu datang takziah.
Begitu juga apabila kita mengadakan suatu acara maka tetanggalah yang pertama
datang membantu dibandingkan family kita yang rumahnya lebih jauh. Kepada
tetangga pulalah kita menitipkan rumah kita disaat kita sedang bepergian jauh
ke luar kota.
Rasulullah saw juga mengatakan bahwa tetangga yang baik adalah salah satu dari tiga hal yang membahagiakan hidup:
“Di antara yang membuat bahagia seorang Muslim adalah tetangga yang baik, rumah yang lapang, dan kendaraan yang nyaman.” (HR. Hakim)
Baik buruknya sikap tetangga kepada kita tentu tergantung juga bagaimana sikap kita terhadap mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nyadengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS An-Nisa’:36)
Dengan varian agama dan hubungan kekeluargaan, tetangga dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, tetangga yang punya satu hak, yaitu hak sebagai tetangga. Mereka adalah tetangga yang bukan famili dan bukan pula seagama. Kedua, tetangga yang punya dua hak, yaitu hak tetangga dan hak seagama. Mereka adalah tetangga yang seagama. Ketiga, tetangga yang punya tiga hak, yaitu hak tetangga, seagama dan famili. Mereka adalah tetangga yang seagama dan punya hubungan kekeluargaan. Tetangga yang punya hak lebih banyak, lebih berhak mendapatkan kebaikan dari kita.
- Pentingnya hubungan baik dengan tetangga
Rasulullah saw menjadikan sikap baik dengan tetangga sebagai ukuran keimanan seseorang kepada Allah SWT dan Hari Akhir. Beliau bersabda:
“Demi Allah, dia tidak beriman!” “Demi Allah, dia tidak beriman!” “Demi Allah, dia tidak beriman!” Seorang sahabat bertanya: “Siapa dia (yang tidak beriman itu) ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.” (H. Mutafaqun ‘Alaih)
“Tidak masuk sorga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.” (HR. Muslim)
Semakin kuat iman seseorang, semakin baik dia dengan tetangganya, begitu pula sebaliknya.
- Bentuk-bentuk hubungan baik dengan tetangga
Minimal hubungan baik dengan tetangga diwujudkan dalam bentuk tidak mengganggu atau menyusahkan mereka. Yang lebih baik lagi tidak hanya sekedar menjaga jangan sampai tetangga terganggu, tapi secara aktif berbuat baik kepada mereka. Misalnya dapat dengan bertegur sapa, memberikan pertolongan disaat tetangga butuh pertolongan dan lain sebagainya.
Rasulullah saw bersabda:
“Hak tetangga itu ialah, apabila ia sakit kamu menjenguknya, apabila ia meninggal, kamu mengiringi jenazahnya, apabila ia membutuhkan sesuatu, kamu meminjaminya, apabila ia tidak memiliki pakaian kamu memberinya pakaian, apabila dia mendapat kebajikan kamu mengucapkan selamat kepadanya, apabila ia mendapat musibah, kamu bertakziah kepadanya, jangan engkau meninggikan rumahmu atas rumahnya sehingga angin terhalang masuk rumahnya, dan janganlah kamu menyakitinya dengan bau periukmu kecuali kamu memberikan sebagian dari masakan itu.” (HR. Thabrani)
Seorang muslim harus peduli dan memperhatikan tetangganya. Jangan sampai terjadi seseorang dapat tidur nyenyak sementara tetangganya menangis kelaparan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadits:
“Tidaklah beriman kepadaku orang yang dapat tidur dengan perut kenyang sementara tetangganya kelaparan, padahal dia mengetahui.” (HR. Bazzar)
4. HUBUNGAN BAIK DENGAN MASYARAKAT
Rasulullah saw juga mengatakan bahwa tetangga yang baik adalah salah satu dari tiga hal yang membahagiakan hidup:
“Di antara yang membuat bahagia seorang Muslim adalah tetangga yang baik, rumah yang lapang, dan kendaraan yang nyaman.” (HR. Hakim)
Baik buruknya sikap tetangga kepada kita tentu tergantung juga bagaimana sikap kita terhadap mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nyadengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS An-Nisa’:36)
Dengan varian agama dan hubungan kekeluargaan, tetangga dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, tetangga yang punya satu hak, yaitu hak sebagai tetangga. Mereka adalah tetangga yang bukan famili dan bukan pula seagama. Kedua, tetangga yang punya dua hak, yaitu hak tetangga dan hak seagama. Mereka adalah tetangga yang seagama. Ketiga, tetangga yang punya tiga hak, yaitu hak tetangga, seagama dan famili. Mereka adalah tetangga yang seagama dan punya hubungan kekeluargaan. Tetangga yang punya hak lebih banyak, lebih berhak mendapatkan kebaikan dari kita.
- Pentingnya hubungan baik dengan tetangga
Rasulullah saw menjadikan sikap baik dengan tetangga sebagai ukuran keimanan seseorang kepada Allah SWT dan Hari Akhir. Beliau bersabda:
“Demi Allah, dia tidak beriman!” “Demi Allah, dia tidak beriman!” “Demi Allah, dia tidak beriman!” Seorang sahabat bertanya: “Siapa dia (yang tidak beriman itu) ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.” (H. Mutafaqun ‘Alaih)
“Tidak masuk sorga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.” (HR. Muslim)
Semakin kuat iman seseorang, semakin baik dia dengan tetangganya, begitu pula sebaliknya.
- Bentuk-bentuk hubungan baik dengan tetangga
Minimal hubungan baik dengan tetangga diwujudkan dalam bentuk tidak mengganggu atau menyusahkan mereka. Yang lebih baik lagi tidak hanya sekedar menjaga jangan sampai tetangga terganggu, tapi secara aktif berbuat baik kepada mereka. Misalnya dapat dengan bertegur sapa, memberikan pertolongan disaat tetangga butuh pertolongan dan lain sebagainya.
Rasulullah saw bersabda:
“Hak tetangga itu ialah, apabila ia sakit kamu menjenguknya, apabila ia meninggal, kamu mengiringi jenazahnya, apabila ia membutuhkan sesuatu, kamu meminjaminya, apabila ia tidak memiliki pakaian kamu memberinya pakaian, apabila dia mendapat kebajikan kamu mengucapkan selamat kepadanya, apabila ia mendapat musibah, kamu bertakziah kepadanya, jangan engkau meninggikan rumahmu atas rumahnya sehingga angin terhalang masuk rumahnya, dan janganlah kamu menyakitinya dengan bau periukmu kecuali kamu memberikan sebagian dari masakan itu.” (HR. Thabrani)
Seorang muslim harus peduli dan memperhatikan tetangganya. Jangan sampai terjadi seseorang dapat tidur nyenyak sementara tetangganya menangis kelaparan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadits:
“Tidaklah beriman kepadaku orang yang dapat tidur dengan perut kenyang sementara tetangganya kelaparan, padahal dia mengetahui.” (HR. Bazzar)
4. HUBUNGAN BAIK DENGAN MASYARAKAT
Selain dengan tamu dan tetangga, seorang
Muslim harus dapat berhubungan baik dengan masyarakat yang lebih luas, baik di
lingkungan pendidikannya, lingkungan kerjanya, baik dengan sesama Muslim maupun
dengan non-muslim.
Hubungan baik dengan masyarakat diperlukan, karena tidak ada seorangpun yang dapat hidup tanpa bantuan masyarakat. Lagi pula hidup bermasyarakat sudah merupakan fitrah manusia. Dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling kenal.
- Kewajiban sosial sesama Muslim
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw menyebutkan ada lima kewajiban seorang Muslim atas Muslim lainnya. Beliau bersabda:
“Kewajiban seorang Muslim atas Muslim lainnya ada lima: Menjawab salam, mengunjungi orang sakit, mengiringkan jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang bersin.” (HR. Khamsah)
1. Menjawab salam
Mengucapkan dan menjawab salam hukumnya berbeda. Mengucapkannya sunnah, menjawabnya wajib, karena tidak menjawab salam yang diucapkan, tidak hanya dapat mengecewakan orang yang mengucapkannya tetapi juga dapat menimbulkan kesalahpahaman. Allah SWT berfirman:
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS An-Nisa’: 86)
2. Mengunjungi orang sakit
Menurut Rasulullah saw, orang-orang yang beriman itu ibarat satu batang tubuh, apabila salah satu anggota tubuh sakit, yang lain ikut prihatin. Kunjungan teman, saudara, adalah ‘obat yang mujarab’ bagi si sakit. Dia merasa senang karena masih ada sahabat untuk berbagi duka.
3. Mengiringkan jenazah
Apabila seseorang meninggal dunia, masyarakat secara kifayah wajib memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkannya. Rasulullah saw sangat menganjurkan kepada masyarakat untuk dapat menyalatkan dan mengantarkan jenazah ke kuburan bersama-sama. Beliau bersabda:
“Barangsiapa yang menyaksikan jenazah lalu ikut menyalatkannya, baginya satu qirath. Dan barangsiapa yang menyaksikannya sampai dikuburkan, baginya dua qirath.” Ditanyakan orang: “Apa itu dua qirath?” Beliau bersabda: “Seperti dua gunung yang besar (pahalanya).” (H. Mutafaqun ‘Alaih)
Mengantarkan jenazah sampai ke kuburan dapat mengurangi kedukaan keluarga yang ditinggalkan, juga dapat mengingatkan kita akan kematian yang pasti akan datang.
4 Mengabulkan undangan
Seorang muslim sangat dianjurkan memenuhi berbagai undangan yang diterimanya selama tidak ada halangan, dan acara tersebut tidak bertentangan dengan syariat islam.
5. Menyahuti orang bersin
Orang yang bersin disunatkan membaca Alhamdulillah, bersyukur kepada Allah, karena biasanya bersin merupakan pertanda badan ringan dari penyakit. Bagi yang mendengar seseorang bersin, diwajibkan menyahutinya dengan membaca yarhamukallah (mendo’akan semoga Allah mengasihinya). Orang yang tadi bersin menjawab pula, yahdikumullah wa yushlih balakum (semoga Allah menunjuki dan memperbaiki keadaanmu). Namun jika yang bersin tidak mengucapkan Alhamdulillah, kita tidak boleh menyahutinya.
Toleransi Agama
Islam tidak hanya menyuruh kita membina hubungan baik dengan sesama muslim saja, tapi juga dengan non-muslim. Namun demikian dalam hal-hal tertentu ada pembatasan hubungan dengan non-muslim, terutama yang menyangkut aspek ritual keagamaan.
Dalam berhubungan dengan masyarakat non muslim, Islam mengajarkan kepada kita untuk toleransi, tetap menghormati keyakinan umat lain tanpa berusaha memaksakan keyakinan kita kepada mereka. Toleransi tidaklah berarti mengakui kebenaran agama mereka, tapi mengakui keberadaan agama mereka dalam realitas bermasyarakat. Toleransi juga bukan berarti kompromi dalam keyakinan dan ibadah. Kita sama sekali tidak boleh mengikuti agama dan ibadah mereka dengan alasan apapun. Sikap kita sudah cukup jelas dan tegas sebagaimana terdapat dalam QS Al-Kafirun ayat 6: “La kum dii nukum waliyadiin” yang berarti “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.”
5. PERGAULAN MUDA-MUDI
Hubungan baik dengan masyarakat diperlukan, karena tidak ada seorangpun yang dapat hidup tanpa bantuan masyarakat. Lagi pula hidup bermasyarakat sudah merupakan fitrah manusia. Dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling kenal.
- Kewajiban sosial sesama Muslim
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw menyebutkan ada lima kewajiban seorang Muslim atas Muslim lainnya. Beliau bersabda:
“Kewajiban seorang Muslim atas Muslim lainnya ada lima: Menjawab salam, mengunjungi orang sakit, mengiringkan jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang bersin.” (HR. Khamsah)
1. Menjawab salam
Mengucapkan dan menjawab salam hukumnya berbeda. Mengucapkannya sunnah, menjawabnya wajib, karena tidak menjawab salam yang diucapkan, tidak hanya dapat mengecewakan orang yang mengucapkannya tetapi juga dapat menimbulkan kesalahpahaman. Allah SWT berfirman:
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS An-Nisa’: 86)
2. Mengunjungi orang sakit
Menurut Rasulullah saw, orang-orang yang beriman itu ibarat satu batang tubuh, apabila salah satu anggota tubuh sakit, yang lain ikut prihatin. Kunjungan teman, saudara, adalah ‘obat yang mujarab’ bagi si sakit. Dia merasa senang karena masih ada sahabat untuk berbagi duka.
3. Mengiringkan jenazah
Apabila seseorang meninggal dunia, masyarakat secara kifayah wajib memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkannya. Rasulullah saw sangat menganjurkan kepada masyarakat untuk dapat menyalatkan dan mengantarkan jenazah ke kuburan bersama-sama. Beliau bersabda:
“Barangsiapa yang menyaksikan jenazah lalu ikut menyalatkannya, baginya satu qirath. Dan barangsiapa yang menyaksikannya sampai dikuburkan, baginya dua qirath.” Ditanyakan orang: “Apa itu dua qirath?” Beliau bersabda: “Seperti dua gunung yang besar (pahalanya).” (H. Mutafaqun ‘Alaih)
Mengantarkan jenazah sampai ke kuburan dapat mengurangi kedukaan keluarga yang ditinggalkan, juga dapat mengingatkan kita akan kematian yang pasti akan datang.
4 Mengabulkan undangan
Seorang muslim sangat dianjurkan memenuhi berbagai undangan yang diterimanya selama tidak ada halangan, dan acara tersebut tidak bertentangan dengan syariat islam.
5. Menyahuti orang bersin
Orang yang bersin disunatkan membaca Alhamdulillah, bersyukur kepada Allah, karena biasanya bersin merupakan pertanda badan ringan dari penyakit. Bagi yang mendengar seseorang bersin, diwajibkan menyahutinya dengan membaca yarhamukallah (mendo’akan semoga Allah mengasihinya). Orang yang tadi bersin menjawab pula, yahdikumullah wa yushlih balakum (semoga Allah menunjuki dan memperbaiki keadaanmu). Namun jika yang bersin tidak mengucapkan Alhamdulillah, kita tidak boleh menyahutinya.
Toleransi Agama
Islam tidak hanya menyuruh kita membina hubungan baik dengan sesama muslim saja, tapi juga dengan non-muslim. Namun demikian dalam hal-hal tertentu ada pembatasan hubungan dengan non-muslim, terutama yang menyangkut aspek ritual keagamaan.
Dalam berhubungan dengan masyarakat non muslim, Islam mengajarkan kepada kita untuk toleransi, tetap menghormati keyakinan umat lain tanpa berusaha memaksakan keyakinan kita kepada mereka. Toleransi tidaklah berarti mengakui kebenaran agama mereka, tapi mengakui keberadaan agama mereka dalam realitas bermasyarakat. Toleransi juga bukan berarti kompromi dalam keyakinan dan ibadah. Kita sama sekali tidak boleh mengikuti agama dan ibadah mereka dengan alasan apapun. Sikap kita sudah cukup jelas dan tegas sebagaimana terdapat dalam QS Al-Kafirun ayat 6: “La kum dii nukum waliyadiin” yang berarti “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.”
5. PERGAULAN MUDA-MUDI
Dalam pergaulan sehari-hari di tengah
masyarakat, terutama antar muda-mudi, ada beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian khusus yaitu tentang mengucapkan dan menjawab salam, berjabatan
tangan, dan khalwah.
- Mengucapkan dan Menjawab salam
1. Islam mengajarkan kepada sesama Muslim untuk saling bertukar salam apabila bertemu atau bertamu. Rasulullah saw bersabda:
“Kamu tidak akan masuk sorga sebelum beriman, dan tidak akan beriman sebelum berkasih sayang. Maukah kamu aku tunjukkan suatu amalan yang akan dapat memupuk rasa kasih sayang sesamamu? Yaitu senantiasalah mengucapkan salam sesamamu.” (HR. Muslim)
2. Salam yang diucapkan minimal adalah “Assalamu’alaikum”. Namun akan lebih baik dan lebih besar pahalanya apabila diucapkan secara lebih lengkap.
3. Mengucapkan salam hukumnya sunat, tetapi menjawabnya wajib, minimal dengan salam yang seimbang.
4. Bila bertamu, yang mengucapkan salam terlebih dahulu adalah si tamu, tetapi apabila bertemu, yang terlebih dahulu mengucapkan salam adalah yang berada diatas kendaraan kepada yang berjalan kaki, yang berjalan kaki kepada ynag duduk, yang sedikit kepada yang banyak, dan yanh lebih muda kepada yang lebih tua. Namun hal tersebut tidaklah berlaku mengikat, bahkan Rasulullah saw ,memberikan catatan bahwa yang paling utama adalah yang paling dahulu memberikan salam. Sebagaimana beliau bersabda:
“Seutama-utama manusia bagi Allah ialah yang mendahuluoi memberikan salam.” (HR. Abu Daud)
5. Salam tidak hanya diucapkan saat bertemu, tetapi juga tatkala mau berpisah.
6. Jika dalam rombongan, baik yang mengucapkan maupun yang menjawab salam boleh hanya salah seorang dari anggota rombongan tersebut.
7. Rasulullah saw melarang orang islam mengucapkan dan menjawab salam Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani).
“Jika Ahlul Kitab member salam kepadamu, jawablah dengan “Wa’alaikum”. (H. Mutafaqun ‘alaihi)
Namun bila Ahlul Kitab itu berada satu majelis dengan orang-orang Islam, kita boleh mengucapkan salam kepada majelis itu.
8. Pria boleh mengucapkan salam kepada wanita dan begitu pula sebaliknya.
Salam yang diajarkan Islam adalah salam yang bernilai tinggi, universal, dan tidak terikat dengan waktu. Disebut bernilai tinggi karena mengandung do’a untuk mendapatkan keselamatan, berkah dan rahmat dari Allah SWT. Universal karena berlaku untuk seluruh umat Islam dimanapun berada.
- Berjabatan tangan
Rasulullah saw mengajarkan bahwa untuk lebih menyempurnakan salam dan manguatkan tali ukhuwah islamiyah, sebaiknya ucapan salam diikuti dengan berjabatan tangan jika memungkinkan. Rasulullah bersabda:
“Tidaklah dua orang muslim bertemu, lalu bersalaman, melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa keduanya sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan lain-lain)
Berjabatan tangan haruslah dilakukan dengan penuh keikhlasan. Rasulullah saw mengajarkan kalau menjabat tangan seseorang harus dengan penuh perhatian, keramahan, dan muka manis. Jangan bersalaman sambil memandang objek yang lain. Jangan juga menarik tangan dengan cepat dan tergesa yang mengesankan kita berjabatan tangan tidak dengan senang hati.
Anjuran untuk berjabatan tangan tidak berlaku antar pria dan wanita kecuali antara suami isteri atau seseorang dengan mahramnya. Lebih tegas lagi Rasulullah saw bersabda:
“Sungguh, jika kepala seseorang di antara kamu ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik bagi dia daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Jelaslah bahwa seorang pria tidak boleh berjabatan tangan dengan wanita yang bukan isteri bukan juga mahramnya, begitu pula sebaliknya. Salah satu hikmah larangan tersebut adalah sebagai tindakan preventif dari perzinaan.
Mungkin timbul pertanyaan, apakah menolak berjabat tangan itu tidak menimbulkan kesan angkuh? Penilaian seseorang terhadap sesuatu tergantung nilai atau norma yang menjadi pegangannya. Kalau nilai yang menjadi pegangannya bukan nilai islam, bisa jadi kesan seperti itu akan muncul. Tapi secara umum seorang yang beragama akan menghormati orang lain yang teguh memegang norma agama dalam kehidupannya.
- Khalwah
Yang sangat penting diperhatikan dalam pergaulan pria dan wanita, terutama antar muda-mudi adalah masalah pertemuan diantara mereka, terutama pertemuan-pertemuan pribadi. Rasulullah saw melarang wanita berkhalwah, baik di tempat umum, apalagi di tempat sepi.
Yang dimaksud dengan khalwah adalah berdua-duan antara pria dan wanita yang tidak punya hubungan suami isteri dan tidak pula mahram tanpa ada orang ketiga.
Mengapa Rasulullah saw melarang berkhalwah? Apa bahayanya? Apakah tetap dilarang apabila masing-masing saling mempercayai? Beliau bersabda:
“Jauhilah berkhalwah dengan wanita. Demi (Allah) yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah berkhalwah seorang laki-laki dengan seorang wanita kecuali syaitan akan masuk di antara keduanya.” (HR. Thabrani)
Syaitan akan selalu mencari peluang dan memanfaatkan segala kesempatan untuk menjerumuskan anak cucu Adam.
Dalam hadits lain Rasulullah menjelaskan bahwa zina akan masuk lewat bermacam-macam pintu. Beliau bersabda:
“Sudah menjadi suratan nasib manusia itu senantiasa dibayangi oleh zina dan diapun pasti menyadari hal yang demikian itu: Dua mata, zinanya adalah pandangan; dua telinga, zinanya adalah pendengaran; lidah zinanya adalah pembicaraan; tangan, zinanya adalah berpegangan; dan kaki, zinanya adalah melangkah. Dan hatipun mulai bergejolak dan berkhayal. Akhirnya naluri seksualnya pun terpengaruh untuk menerima atau menolak.” (H. Mutafaqun ‘alaih)
Dalam hadits diatas Rasulullah saw mengingatkan bahwa seseorang bisa terjatuh ke lembah perzinaan disebabkan oleh panca inderancya yang tidak terkendali.
- Mengucapkan dan Menjawab salam
1. Islam mengajarkan kepada sesama Muslim untuk saling bertukar salam apabila bertemu atau bertamu. Rasulullah saw bersabda:
“Kamu tidak akan masuk sorga sebelum beriman, dan tidak akan beriman sebelum berkasih sayang. Maukah kamu aku tunjukkan suatu amalan yang akan dapat memupuk rasa kasih sayang sesamamu? Yaitu senantiasalah mengucapkan salam sesamamu.” (HR. Muslim)
2. Salam yang diucapkan minimal adalah “Assalamu’alaikum”. Namun akan lebih baik dan lebih besar pahalanya apabila diucapkan secara lebih lengkap.
3. Mengucapkan salam hukumnya sunat, tetapi menjawabnya wajib, minimal dengan salam yang seimbang.
4. Bila bertamu, yang mengucapkan salam terlebih dahulu adalah si tamu, tetapi apabila bertemu, yang terlebih dahulu mengucapkan salam adalah yang berada diatas kendaraan kepada yang berjalan kaki, yang berjalan kaki kepada ynag duduk, yang sedikit kepada yang banyak, dan yanh lebih muda kepada yang lebih tua. Namun hal tersebut tidaklah berlaku mengikat, bahkan Rasulullah saw ,memberikan catatan bahwa yang paling utama adalah yang paling dahulu memberikan salam. Sebagaimana beliau bersabda:
“Seutama-utama manusia bagi Allah ialah yang mendahuluoi memberikan salam.” (HR. Abu Daud)
5. Salam tidak hanya diucapkan saat bertemu, tetapi juga tatkala mau berpisah.
6. Jika dalam rombongan, baik yang mengucapkan maupun yang menjawab salam boleh hanya salah seorang dari anggota rombongan tersebut.
7. Rasulullah saw melarang orang islam mengucapkan dan menjawab salam Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani).
“Jika Ahlul Kitab member salam kepadamu, jawablah dengan “Wa’alaikum”. (H. Mutafaqun ‘alaihi)
Namun bila Ahlul Kitab itu berada satu majelis dengan orang-orang Islam, kita boleh mengucapkan salam kepada majelis itu.
8. Pria boleh mengucapkan salam kepada wanita dan begitu pula sebaliknya.
Salam yang diajarkan Islam adalah salam yang bernilai tinggi, universal, dan tidak terikat dengan waktu. Disebut bernilai tinggi karena mengandung do’a untuk mendapatkan keselamatan, berkah dan rahmat dari Allah SWT. Universal karena berlaku untuk seluruh umat Islam dimanapun berada.
- Berjabatan tangan
Rasulullah saw mengajarkan bahwa untuk lebih menyempurnakan salam dan manguatkan tali ukhuwah islamiyah, sebaiknya ucapan salam diikuti dengan berjabatan tangan jika memungkinkan. Rasulullah bersabda:
“Tidaklah dua orang muslim bertemu, lalu bersalaman, melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa keduanya sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan lain-lain)
Berjabatan tangan haruslah dilakukan dengan penuh keikhlasan. Rasulullah saw mengajarkan kalau menjabat tangan seseorang harus dengan penuh perhatian, keramahan, dan muka manis. Jangan bersalaman sambil memandang objek yang lain. Jangan juga menarik tangan dengan cepat dan tergesa yang mengesankan kita berjabatan tangan tidak dengan senang hati.
Anjuran untuk berjabatan tangan tidak berlaku antar pria dan wanita kecuali antara suami isteri atau seseorang dengan mahramnya. Lebih tegas lagi Rasulullah saw bersabda:
“Sungguh, jika kepala seseorang di antara kamu ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik bagi dia daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Jelaslah bahwa seorang pria tidak boleh berjabatan tangan dengan wanita yang bukan isteri bukan juga mahramnya, begitu pula sebaliknya. Salah satu hikmah larangan tersebut adalah sebagai tindakan preventif dari perzinaan.
Mungkin timbul pertanyaan, apakah menolak berjabat tangan itu tidak menimbulkan kesan angkuh? Penilaian seseorang terhadap sesuatu tergantung nilai atau norma yang menjadi pegangannya. Kalau nilai yang menjadi pegangannya bukan nilai islam, bisa jadi kesan seperti itu akan muncul. Tapi secara umum seorang yang beragama akan menghormati orang lain yang teguh memegang norma agama dalam kehidupannya.
- Khalwah
Yang sangat penting diperhatikan dalam pergaulan pria dan wanita, terutama antar muda-mudi adalah masalah pertemuan diantara mereka, terutama pertemuan-pertemuan pribadi. Rasulullah saw melarang wanita berkhalwah, baik di tempat umum, apalagi di tempat sepi.
Yang dimaksud dengan khalwah adalah berdua-duan antara pria dan wanita yang tidak punya hubungan suami isteri dan tidak pula mahram tanpa ada orang ketiga.
Mengapa Rasulullah saw melarang berkhalwah? Apa bahayanya? Apakah tetap dilarang apabila masing-masing saling mempercayai? Beliau bersabda:
“Jauhilah berkhalwah dengan wanita. Demi (Allah) yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah berkhalwah seorang laki-laki dengan seorang wanita kecuali syaitan akan masuk di antara keduanya.” (HR. Thabrani)
Syaitan akan selalu mencari peluang dan memanfaatkan segala kesempatan untuk menjerumuskan anak cucu Adam.
Dalam hadits lain Rasulullah menjelaskan bahwa zina akan masuk lewat bermacam-macam pintu. Beliau bersabda:
“Sudah menjadi suratan nasib manusia itu senantiasa dibayangi oleh zina dan diapun pasti menyadari hal yang demikian itu: Dua mata, zinanya adalah pandangan; dua telinga, zinanya adalah pendengaran; lidah zinanya adalah pembicaraan; tangan, zinanya adalah berpegangan; dan kaki, zinanya adalah melangkah. Dan hatipun mulai bergejolak dan berkhayal. Akhirnya naluri seksualnya pun terpengaruh untuk menerima atau menolak.” (H. Mutafaqun ‘alaih)
Dalam hadits diatas Rasulullah saw mengingatkan bahwa seseorang bisa terjatuh ke lembah perzinaan disebabkan oleh panca inderancya yang tidak terkendali.
6. UKHUWAH
ISLAMIYAH
Ukhuwah islamiyah adalah istilah yang
menunjukkan persaudaraan antar sesama Muslim di seluruh dunia tanpa melihat
perbedaan warna kulit, bahasa, suku, bangsa, dan kewarganegaraan. Persaudaraan
seiman itu ditegaskan Allah SWT dalam Surat Al-Hujurat ayat
10:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antar dua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat:10)
- Menegakkan dan Membina Ukhuwah Islamiyah
Supaya ukhuwah islamiyah dapat tegak dan berdiri kokoh diperlukan empat tiang penyangga, yaitu ta’aruf, tafahum, ta’awun, dan tafakul.
1. Ta’aruf
Saling kenal mengenal, tidak hanya ta’aruf fisik atau identitas belaka, tapi lebih jauh lagi juga ta’aruf latar belakang, pendidikan, budaya, keagamaan; ta’aruf pemikiran, ide, cita-cita; dan ta’aruf problem kehidupan yang dihadapi.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antar dua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat:10)
- Menegakkan dan Membina Ukhuwah Islamiyah
Supaya ukhuwah islamiyah dapat tegak dan berdiri kokoh diperlukan empat tiang penyangga, yaitu ta’aruf, tafahum, ta’awun, dan tafakul.
1. Ta’aruf
Saling kenal mengenal, tidak hanya ta’aruf fisik atau identitas belaka, tapi lebih jauh lagi juga ta’aruf latar belakang, pendidikan, budaya, keagamaan; ta’aruf pemikiran, ide, cita-cita; dan ta’aruf problem kehidupan yang dihadapi.
2. Tafahum
Saling memahami kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga segala macam bentuk kesalahfahaman dapat dihindari.
3. Ta’awun
Tolong menolong atau ta’awun adalah kebutuhan hidup manusia yang tidak dapat dipungkiri. Kenyataan membuktikan, bahwa suatu pekerjaan atau apa saja yang membutuhkan pihak lain, pasti tidak akan dapat dilakukan sendirian oleh seseorang meski dia memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang hal itu. Ini menunjukkan, bahwa tolong-menolong dan saling membantu adalah keharusan dalam hidup manusia.Allah Ta’ala telah berfirman,”Dan tolong-menoolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Maidah: 2)
4. Takaful
Saling memikul resiko diantara sesama muslim sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan (baca ; tabarru’) yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Persoalan akhlak
merupakan suatu hal yang sangat urgen untuk menjadi perhatian sebab ia menjadi
pilar utama untuk tumbuh dan berkembangnya peradaban suatu bangsa. Begitu
pentingnya akhlak, Nabi Muhammad saw diutus untuk memperbaiki akhlak, sehingga
umat Muhammad mendapatkan penghargaan dari Allah dengan gelar khaira
ummah.
Akhlak dalam
bermasyarakat ialah bagaimana kita sebagai umat muslim yang baik memposisikan
diri kita dan menjaga perilaku kita di dalam masyarakat agar dapat menjadi
contoh bagi masyarakat lain.
Di dalam Alquran
segala kehidupan manusia telah diatur yaitu bagaimana selayaknya manusia
bertingkah laku terhadap sesamanya manusia yang biasanya berbentuk perintah
untuk akhlak yang terpuji dan berbentuk larangan untuk akhlak yang tercela.
Dampak dari perintah dan larangan tersebut kembalinya kepada manusia sendiri.
0 komentar:
Post a Comment