Showing posts with label ILMU TAUHID. Show all posts
Showing posts with label ILMU TAUHID. Show all posts
Al-Ushul al-’Isyrun (20 ajaran dasar) Fundamentalisme  (Hasan al-Banna), mmc.tirto.id



Puji syukur kami ucapkan kepada Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayahNya sehingga makalah dengan tema Al-Ushul al-’Isyrun (20 ajaran dasar) fundamentalisme (Hasan al-Banna) ini dapat tersusun dengan lancar.
                        Atas dukungan moral maupun materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Bapak Dr. H. Hamim Ilyas, MA selaku Dosen Pembimbing mata kuliah Tauhid.
2.      Teman-teman Prodi Hukum Ekonomi Syariah kelas A.
Harapan kami semoga makalah yang kami susun ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah yang kami susun ini masih terdapat kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar kami dapat menyempurnakan makalah ini.




Yogyakarta, Oktober 2017


PENYUSUN


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................  i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................  iii
1.1 LATAR BELAKANG .......................................................................
1.2. RUMUSAN MASALAH ..................................................................
1.3. TUJUAN PENULISAN ....................................................................
BAB II PEMBAHASAN  ...............................................................................
2.1. AL-USHUL AL-ISYRIN FUNDAMENTALISME (HASAN AL-BANNA)     
BAB III PENUTUP .........................................................................................
3.1. KESIMPULAN .................................................................................
3.2. SARAN .............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Imam Hasan Al Banna adalah tokoh agama, ulama, dan pemimpin gerakan Islam Ikhwanul Muslimin. Beliau dianggap sebagai pemimpin para Da’i (pendakwah) Islam dunia. Imam Hasan Al Banna lahir di daerah perdesaan diwilayah Mahmudiyah (Mesir) tahun 1906, putra seorang ulama besar Mesir. Sejak kecil telah akrab dengan pendidikan Islam, pengkajian Alqur’an, hadist dan ilmu fiqih dengan berguru pada orang tuanya. Kecerdasan otaknya dibuktikan dengan kemampuannya menghafal kitab suci Alqur’an pada usia 14 tahun.

            Prestasi Hasan Al-Banna tidak hanya dam ilmu keagamaan, tapi juga dalam pendidikan formal. Pada pendidikan menengah, ia lulus dengan predikat terbaik di sekolahnya dan lulusan terbaik nomor 5 di seantero Mesir. Ia kemudian melanjutkan ke Universitas Darul Ulum Mesir saat berumur 16 tahun dan lulus pada usia 21 tahun. Setelah tamat beliau berkiprah dalam dunia pendidikan sebagai tenaga pengajar di perguruan Isma’iliyah. Saat itu, dunia Islam masih mengalami masa krisis karena Dinasti Utsmaniyah (Turki) sebagai pusat kekuatan Islam dunia mengalami keruntuhan dan Turki dijadikan Negara sekuler oleh Mustafa Kemal Attaturk. tidak hanya itu, banyak tokoh Islam, Ulama besar, dan Pemuka agama dijebloskan dalam tahanan oeleh pemerintah sekuler Turki. Penjajahan dan imperalisme bangsa Eropa pun semakin meluas ke berbagai belahan dunia.

            Melihat kenyataan tersebut, Hasan Al-Banna kemudian berjuang membangkitkan semangat, nasionalisme, dan ukhuwah Islamiyyah melalui dakwah dengan berbagai cara mulai dari kedai-kedai kopi, pengajian rutin dan mimbar-mimbar agama. Akhirnya Beliau bersama para pegikutnya mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin yang bergerak dalam bidang dakwah, social keagamaan, serta menggalang kekuatan politik. Upaya beliau kemudian mendapat sambutan luas di masyarakat Mesir dari berbagai kelangan mulai kalangan petani, buruh, pengusaha,intelektual, ilmuwan ulama dan praktisi social. Dakwah beliau tidak hanya dalam lingkup Mesir, namun sudah berskala internasional. Beliau juga dikenal dekat dengan ulma, dan tokoh-tokoh Indonesia. Ini terbukti ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Hasan al Banna segera menyatakan dukungannya dan melakukan kontak dengan ulama Indonesia. Bahkan Perdana Menteri M. Natsir pernah berpidato didepan rapat Ikhwanul Muslimin. 
1.2. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan makalah ini kami membahas masalah yang berkaitan dengan Al-Ushul al-’Isyrun (20 ajaran dasar) Fundamentalisme (Hasan al-Banna).

a. Apa itu Al-Ushul al-’Isyrun (20 ajaran dasar) Fundamentalisme (Hasan al-Banna).
b. Memahami Al-Ushul al-’Isyrun (20 ajaran dasar) Fundamentalisme (Hasan   al-Banna).

1.3. Tujuan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
a. Mengetahui apa itu Al-Ushul al-’Isyrun Fundamentalisme (Hasan al-Banna).
b. Dapat memahami Al-Ushul al-’Isyrun Fundamentalisme (Hasan al-Banna).



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Al-Ushul al-’Isyrun (20 ajaran dasar) fundamentalisme (Hasan al-Banna
Secara etimologis Ushul berarti “hal-hal pokok, hal-hal prinsip”, sedangkan ‘Isyrin berarti “dua puluh”. Sedangkan secara terminologis Ushul ‘Isyrin dapat diartikan sebagai 20 hal-hal yang prinsipil yang berisi hal-hal pokok  dalam beragama. Adapun Ushul ‘Isyrin adalah sebagai berikut ;

1. Kesempurnaan Islam
Islam adalah sistem yang syamil (menyeluruh), mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam adalah negara dan pemerintah dan ummat. Akhlak dan kekuatan atau rahmat dan keadilan. Pengetahuan dan undang!undang atau ilmu dan kehakiman. kebendaan dan harta atau usaha dan kekayaan. jihad dan dakwah atau tentara dan fikrah.Akidah yang lurus dan ibadah yang benar.
2. Memeperkenalkan sumber-sumber hukum islam dan kaedah-kaedah  memahaminya
Al-Qur’an dan Sunnah yang suci adalah rujukan setiap muslim dalam mengenali hukum-hukum Islam. Al-Qur’an harus dipahami sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, tanpa takalluf (memaknakan suatu ayat hingga melampaui arti yang sewajarnya) dan ta’assuf (serampangan).Sedangkan Sunnah yang suci harus dipahami melalui para ahli hadits yang terpercaya.
3. Pengaruh iman, ibadah dan mujahadah
Keimanan yang murni, ibadah yang benar, dan mujahadah (bersungguh-sungguh dalam beribadah) adalah cahaya dan kelezatan yang Allah curahkan pada hati hamba-hamba-Nya yang dia kehendaki.
4. Menggunakan sebab (sarana) selama bukan sarana jahiliyah
Jimat, jampi (ruqyah), wada’ (semacam keong yang dikalungkan di leher anak kecil sebagai jimat), ramal (meramal nasib dengan membuat garis di pasir), perdukunan, mengaku tahu akan hal-hal ghaib, dan semisalnya adalah kemungkaran yang wajib diberantas. Kecuali jimat yang berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an, nama-nama Allah, dan sifat-sifatnya atau jampi yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW.

5. Pendapat imam adalah pemutus masalah-masalah yang tidak ada nashnya dan yang membedakan antara ibadah dengan kebiasaan
Pendapat imam (pimpinan) dan wakilnya tentang hal-hal yang tidak ada teks hukumnya, hal-hal yang mengandung beragam interpretasi, dan hal-hal yang membawa kemaslahatan umum (Al-Maslahah Al-Mursalah), harus diamalkan sepanjang tidak bertentangan kaidah-kaidah syariat. Pendapat tersebut mungkin akan berubaah sejalan dengan situasi, adat, atau tradisi. Pada dasarnya ibadah adalah kepatuhan total, tanpa mempertimbangkan makna-maknanya. Sedangkan adat istiadat (urusan selain ibadah ritual) harus mempertimbangkan rahasia-rahasianya, hikmah, maksud, dan tujuannya.

6. Neraca untuk menimbang pendapat-pendapat para ulama dan tata etika kepada para pendahulu umat ini
Setiap orang dapat ditolak ucapannya, kecuali Al-Ma’shum (Rasulullah SAW). Segala hal yang datang dari para pendahulu yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, kita terima. Bila tidak, maka Al-Qur’an dan Sunnah lebih utama untuk diikuti. Namun demikian, kita tidak boleh mencaci maki dan menjelek-jelekkan pribadi mereka (Ulama) dalam masalah-masalah yang masih diperselisihkan, serahkan saja kepada niat mereka masing-masing. Sebab mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka kerjakan.
7. Ijtihad, taklid dan kemazhaban
Setiap muslim yang belum mencapai kemampuan telaah terhadap dalil-dalil hukum furu’ (cabang), hendaklah mengikuti salah satu imam (Uama/pemimpin agama).
Namun lebih baik lagi kalau sikap mengikuti tersebut diiringi dengan upaya semampunya dalam memahami dalil-dalil yang dipergunakan oleh imamnya, dan hendaklah ia mau menerima setiap masukan yang disertai dalil, bila ia percaya pada keshahihan dan kapasitas orang yang memberi masukan tersebut.
Bila ia termasuk ahli ilmu, maka hendaklah selalu berusaha menyempurnakan kekurangannya dalam keilmuan, sehingga dapat mencapai derajat penelaah (mujtahid).
8. Perbedaan dalam masalah furu’ dan etika dalam perbedaan
Perbedaan paham dalam masalah-masalah furu’ (cabang), hendaklah tidak menjadi faktor perpecahan dalam agama, tidak menyebabkan permusuhan, dan tidak juga kebencian, setiap mujtahid akan mendapatkan pahala masing-masing.
Tidak ada larangan melakukan studi ilmiah yang jujur dalam persoalan-persoalan khilafiyah (masalah-masalah fiqih yang masih diperselisihkan oleh para ulama), dalam suasana saling mencintai karena Allah dan tolong-menolong untuk mencapai kebenaran yang sebenarnya. Namun studi tersebut tidak boleh menyeret pada debat yang tercela dan fanatik buta.
9. Mempersulit diri dalam beragama adalah dilarang
Memperdalam pembahasan tentang masalah-masalah yang amal tidak dibangun di atasnya (tidak menghasilkan amal nyata) adalah sikap takalluf (memaksakan diri) yang dilarang Islam.
Misalnya memperluas pembahasan tentang berbagai hukum bagi masalah-masalah yang tidak benar-benar terjadi, memperbincangkan makna ayat-ayat Al-Qur’an yang belum dijangkau oleh ilmu pengetahuan, perdebatan dalam membandingkan keutamaan Sahabat RA, atau memperbincangkan perselisihan yang terjadi di antara mereka.
10. Iman kepada Allah dan sifat-sifat –Nya
Ma’rifah (mengenal) Allah SWT, meng-Esa-kan-Nya, dan me-Maha Suci-kan-Nya adalah setinggi-tingginya tingkatan aqidah Islam. Kita wajib mengimaninya sebagaimana adanya, tanpa men-takwilkan dan tanpa pengingkaran (ta’thil) serta tidak perlu memperuncing perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hal tersebut.
Kita mencukupkan diri seperti apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami”. (Q.S. Ali Imran: 7).
11. Bid’ah dalam agama Allah adalah kesesatan
Segala bentuk bid’ah dalam agama yang tidak mempunyai dasar pijakan, tetapi dianggap bagus oleh hawa nafsu manusia, baik berupa penambahan maupun pengurangan, adalah kesesatan yang wajib diperangi dan diberantas dengan menggunakan cara yang sebaik-baiknya, yang tidak menimbulkan kejelekan yang lebih parah.

12. Perbedaan dalam masalah bid’ah idlafiyah adalah perbedaan dalam masalah fiqih
Bid’ah Idhafiyah (amalan yang disyariatkan tanpa ada keterangan tentang tata caranya, lalu dilakukan dengan cara-cara tertentu), terhadap ibadah-ibadah yang muthlaqah (ibadah yang tidak ditentukan waktu, tempat, dan bilangannya) adalah masalah khilafyyah dalam bab fiqih. Masing-masing orang mempunyai pendapat dalam masalah tersebut. Namun tidak mengapa jika dilakukan penelitian untuk sampai pada hakikatnya dengan dalil dan argumentasi.

13. Kriteria mencintai orang-orang saleh, batas-batas kewalian dan hukum menetapkan karamah bagi mereka
Mencintai orang-orang shalih, menghormati mereka, dan memuji mereka karena amal-amal baik mereka  yang tampak adalah bagian dari taqarrub kepada Allah SWT. Sedangkan para wali adalah orang-orang yang disebut dalam firman Allah SWT, “Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka itu bertakwa”. Karamah yang sesuai dengan syarat-syarat syariat itu benar adanya.
Namun harus diyakini bahwa mereka (para wali) tidak memiliki mudharat maupun manfaat bagi diri mereka sendiri, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia, apalagi bagi orang lain.

14. Disyari’atkan ziarah  kubur dan bid’ah yang dimunculkan orang di dalamnya
Ziarah kubur adalah sunah yang disyariatkan dengan cara-cara yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Akan tetapi, meminta pertolongan kepada penghuni kubur, siapapun mereka berdoa kepadanya, memohon pemenuhan hajat dari dekat maupun dari jauh, bernazar untuknya, membangun kuburnya, menghiasinya, memberi penerangan, dan mengusapnya (untuk mengharap berkah), juga bersumpah dengan selain Allah SWT dan segala bid’ah yang serupa dengannya adalah dosa besar yang wajib diperangi.
15. Do’a dan tawasul
Berdoa kepada Allah disertai tawassul (perantara) dengan salah satu makhluk-Nya adalah perbedaan dalam masalah furu’ tentang tata cara berdoa, bukan termasuk masalah aqidah.
16. Tradisi dan adat istiadat dapat dijadikan landasan selama tidak mengubah prinsip-prinsip syari’at
Tradisi yang salah tidak dapat mengubah hakikat arti lafazh-lafazh dalam syariat. Kita harus mengkaji lafazh-lafazh syariat sesuai makna yang dikandungnya dan mencukupkan diri dengannya. Sebagaimana kita juga wajib berhati-hati terhadap berbagai istilah yang menipu dalam pembahasan masalah-masalah dunia dan agama. 
17. Akidah dan perbuatan hati
Aqidah adalah asas bagi aktivitas, amal hati itu lebih penting daripada amal anggota badan. Namun, upaya mencapai kesempurnaan pada kedua hal tersebut merupakan tuntutan syariat, meskipun kadar tuntutan masing-masing berbeda.

18. Kedudukan akal, pengaruh dan batas wilayah kerjanya
Islam itu membebaskan akal pikiran, menganjurkan untuk melakukan penelitian pada alam, mengangkat derajat ilmu dan para ulama, dan menyambut kehadiran segala sesuatu yang baik dan bermanfaat. Namun akal tidak boleh membahs tentang berbagai hukum bagi masalah-masalah yang tidak benar-benar terjadi, karena itu termasuk Mempersulit diri dalam beragama yang dimana hal itu di larang oleh agama sebagaimana telah di jelaskn pada poin sebelumnya.
19. Syari’at lebih didahulukan daripada akal
Pandangan syar’i dan pandangan logika memiliki wilayah sendiri-sendiri yang tidak dapat saling memasuki secara sempurna. Namun demikian, keduanya tidak akan pernah berbeda dalam hal-hal yang qath’i (absolut).Hakikat ilmiah yang benar tidak mungkin bertentangan dengan kaidah syariat yang shahih
Sesuatu yang masih bersifat zhanni (interpretable), harus ditafsiri agar sejalan dengan qath’i. Bila kedua-duanya bersifat zhanni, maka pandangan syariat lebih utama untuk diikuti, sampai logika mendapatkan legalitas kebenarannya, atau gugur sama sekali.
20. Kriteria dan batas-batas pengkafiran menurut ahlul haqq
Kita tidak mengkafirkan seorang muslim yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, mengamalkan tuntutan-tuntutannya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya, baik karena pendapatnya maupun kemaksiatannya, kecuali jika ia mengatakan kata-kata kufur, atau mengingkari sesuatu yang telah diakui sebagai asas dari agama, atau mendustakan ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah jelas maknanya, atau mentafsirkannya dengan cara yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau melakukan suatu perbuatan yang tidak mungkin diinterpretasikan kecuali kekufuran. 

BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Al-Ushul Al-Isyrin ditulis oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna sebagai jawaban atas kondisi umat ketika Imam Syahid Hasan Al-Banna hidup, sehingga isinya adalah solusi atau jawaban atas kondisi umat Islam Mesir pada waktu itu yang mengalami perpecahan. Apabila seorang muslim memahami ajaran agamanya dengan batasan kaidah-kaidah  di atas, berarti ia telah mengetahui makna syiarnya: ‘Al-Qur’an adalah dustur(undang-undang) kami dan Rasul adalah qudwah(panutan) kami.” Namun demikian, Ushul Isyrin masih relevan untuk umat islam pada zaman sekarang.

3.2. SARAN

Mengingat makalah ini sangatlah jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang dapat menunjang kesempurnaan akan kami terima dengan kelapangan dada.

3.3 DAFTAR FUSTAKA

1. Print out Dr. H. Hamim Ilyas, MA
2. //mymurabbi.wordpress.com/2014/08/29/ushul-isyrin-20-prinsip/
3. //id.scribd.com/doc/212249582/Ushul-Isyrin-20-Prinsip-Hasan-Al-Banna/

Mu'tazilah, www.tongkronganislami.net

BAB I
PENDAHULUAN

Banyak aliran dan mahzab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran politik berlatar belakang politik, yang kemudian alira tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mahzab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu keislaman lainnya. Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam, tidak sedikit yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantaranya adalah Mu’tazilah.
Aliran Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dn bersiat filosofis dari persoalan-persoalan yang dibawa kaum Murji’ah dan Khawarij. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mendapat nama “Kaum Rasionalis Islam”. Oleh karena itu, perlunya dibahas dan dikaji lebih dalam lagi tentang pemikiran Mu’tazilah, dengan tujuan agar diketahui penyimpangannya dari agama Islam.
1.2  RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari Mu’tazilah?
2.      Apa sebab munculnya aliran Mu’tazilah?
3.      Apa pokok ajaran dari aliran Mu’tazilah?
4.      Siapa tokoh dari aliran Mu’tazilah?
5.      Bagaimana perkembangan aliran Mu’tazilah?

1.3  TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui pengertian dari Mu’tazilah
2.      Mengetahui sebab munculnya aliran Mu’tazilah
3.      Mengetahui pokok ajaran dari aliran Mutazilah
4.      Mengetahui perkembangan aliran Mu’tazilah





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN MU’TAZILAH
            Nama Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri, pemberian nama Mu’tazilah dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi ketika Wasil bin Atha’ yang tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan Al-Bashri.[1] Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian disetujui leh pengikut Mu’tazilah dan digunakan sebagai nama dari aliran teologi mereka.
            Kenapa Hasan al-Bashri mengatakan “I’tazala anna washil” bukan dengan “In’azala anna washil” ini dikarenakan konotasi yang kedua menunjukkan perpisahan secara menyeluruh, sedangkan Washil terpisah hanya dari pengajian gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya wafat.
            Aliran Mu’tazilah menyebutu dirinya sendiri sebagai “Ahlul Adli wat Tauhid” (golongan keadilan dan ketauhidan), sebutan ini diambil dari dua prinsip dari lima prinsip yang menjadi dasar semua ajaran dan kepercayaan aliran Mu’tazilah. Dua prinsip tersebut ialah Keadilan Tuhan dan Keesaan-Nya.[2]

2.2 SEBAB MUNCULNYA ALIRAN MU’TAZILAH
     Aliran Mu’tazilah pertama kali muncul di kora Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, tahun 105-110 H. Tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya ialah seorang penduduK Bashrah mantan murid Hasan al-Bashri yang bernama Wasil bin Atha’ al-Makhzumi al-Ghozzal.
     Terjadi perbedaan pendapat antara Hasan al-Bashri dengan Wasil bin Atha’ mengenai orang yang berbuat dosa besar (Murtakib al-Kabair). Mengenai pelaku dosa besar Khawarij menyatakan kafir, sedangkan Murji’ah menyatakan mukmin. Ketika al-Hasan sedang berpikir, tiba-tiba Wasil tidak setuju dengan kedua pendapat tersebut. Menurutnya, pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi ia berada dinatara posisi keduanya (al manzilah baina al manzilataini). Kemudian ia berdiri dan meninggalkan Hasan al-Bashri karena tidak setuju dengan pendapat gurunya dan membentuk pengajian baru. Sedangkan Imam Abu Zahrah berpendapat terdapat tiga sebab lahirnya aliran Mu’tazilah[3], yaitu:
a)      Golongan Mu’tazilah mulai timbul sebagai satu kelompok di kalangan pengikut Ali, mereka mengasingkan diri dari masalah-masalah politik dan beralih pada masalah aqidah ketika Hasan turun dari jabatan khalifah untuk digantikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan.
b)      Adanya perbedaan pendapat antara Wasil bin Atha’ sebagai pendiri aliran Mu’tazilah dengan Hasan al-Bashri, gurunya. Wasil bin Atha’ kemudian meninggalkan Hasan al-Bashri, meghindari kajian-kajiannya dan membentuk forum kajian baru di masjid yang sama.
c)      Menurut pendapat Ahmad Amin dalam bukunya Fajr Islam yang ditemukan dari catatan al-Maqrizi, bahwa diantara sekte Yahudi yang berkembang pada waktu itu dan sebelumnya, ada satu sekte yang bernama Frosyen yang berarti Mu’tazilah (mengasingkan diri), diantara mereka ada yang mengatakan bahwa sekte tersebut membicarakan masalah al-Qadr, dan berpendapat bahwa tidak semua perbuatan manusia diciptakan manusia sendiri. Jadi bisa dikatakan Mu’tazilah digunakan untuk memberi nama umat Islam yang sedang mengasingkan diri.

2.3 POKOK AJARAN ALIRAN MU’TAZILAH
Adapun pokok ajaran aliran Mu’tazilah dikenal dengan al-Ushul al-Khamsah berarti lima ajaran dasar Mu’tazilah. Menurut Muhammad Abed al-Jabiiri seorang filosof kelahiran Maroko, sebagaimana dikutip dari Adeng Muchtar Gazali menanggapi doktrin Mu’tazilah yang menggambarkan bukan hanya sebagai doktrin dari aliran teologi saja, namun juga mengandung secara implist muatan-muatan sosial politik.[4] Doktrin itu pada awalnya merupakan ungkapan teologis dari sebuah gerakan oposisi terhadap kekuasaan Umayyah yang korup. Lima ajaran dasar yaitu:
a)      Al-Tauhid (Pengesaan Allah)
Tauhid dalam pandangan Mu’tazilah berarti meng-Esakan Allah dari segala sifat dan af’alnya yang menjadi pegangan bagi akidah Islam. Dalam mempertahankan paham keesaan Allah SWT, mereka meniadakan segala sifat Allah, yaitu bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat yang berdiri di luar Dzat-Nya  Kaum Muktazilah enggan mengakui adanya sifat Tuhan dalam pengertian sesuatu yang melekat pada Dzat Tuhan. Jika Tuhan dikatakan Maha Mengetahui maka itu bukan sifat-Nya tapi Dzat-Nya. Muktazilah juga meyakini bahwa Al Qur’an adalah mahluk.
b)      Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Paham keadilan yang dikehendaki Muktazilah adalah bahwa Allah SWT tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya dengan qudrah (kekuasaan) yang ditetapkan Allah SWT pada diri manusia itu. Allah tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendakiNya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkanNya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarangNya.
c)      Al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
Al Wa’du WalWa’id (janji dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah SWT untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam surga, dan melaksanakan ancaman-Nya (alwa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam neraka, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah SWTuntuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah
d)      Al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara tempat)
e)      Adalah suatu tempat antara surga dan neraka sebagai konsekwensi dari pemahaman yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah fasiq, tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, dia tidak berhak dihukumkan mukmin dan tidak pula dihukumkan Kafir.
f)        Amar ma’ruf nahi mungkar
Dalam pandangan Muktazilah, dalam keadaan normal pelaksanaan al amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan tertentu perlu kekerasan.

2.4 TOKOH ALIRAN MU’TAZILAH
     Tokoh aliran Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan ajaran-ajaran sendiri yang berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya atau tokoh pada masanya. Dari segi geogrsfis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu Mu’tazilah Baghdad dan Basrah.[5] Menurut Ahmad Amin, pengaruh filsafat Yunani pada aliran Mu’tazilah Baghdad lebih nampak, karena adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat di Baghdad. Sedangkan Mu’tazilah Basrah lebih menekan segi teori dan keilmuan.
     Tokoh aliran Basrah antara lain Wasil bin Atha’, Abdul Huzail al-Allaf, dan al-Jubbai. Sedangkan tokoh aliran Baghdad adalah Bisyr bin al-Mu’tamir dan al-Chayyat.
a)      Wasil bin Atha’ (80-131 H/699-748 M)
Ialah seorang yang pertama kali meletakkan kerangka dasar ajaran Mu’tazilah. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-Manzilah bain al-Manzilatain, paham Qadariyah, dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran tesebut kemudian menjadi doktrin Mu’tazilah.
b)      Abdul Huzail al-Allaf (135-226 H/752-840 M)
Puncak kebesarannya dicapainya pada masa al-Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama dan aliran-aliran pada masanya. Hidupnya penuh dengan perdebatan dengan orang yang zindiq (orang yang pura-pura masuk Islam), skeptis, Majusi, Zoroaster, dan menurut riwayat ada 3000 orang yang masuk Islam di tangannya. Ia banyak membaca buku dan banyak haalan tentang syair bahasa Arab. Ia banyak berhubungan dengan filosof dan buku filsafat. Boleh jadi pertalian antara filsafatlah yang menyebabkan ia sanggup mngatur dan menysun ajaran Mu’tazilah.
c)      Al-Jubabai (wafat 303 H/915 M)
Merupakan guru Abu Hasan al-Asyari. Pendapatnya yang masyhur mengenai kalam Allah, Sifat Allah, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah ia menerangkan bahwa Allah tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui berati hal tersebut melalui esensi-Nya bukan dengan sifat-Nya. Tentang kewajiban manusia ia membaginya menjadi dua, yaitu: kewajiban yang diketahui manusia melalui akal (wajibah aqliah) dan kewajiban melalui ajaran yang dibawa para nabi dan rasul (wajibah syariah).
d)      Bisyr bin al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M)
Ia pendiri aliran Mu’tazilah di Baghdad. Pandangannya mengenai kesusasteraan, sebagaimana ynag banyak dikutip oleh al-Jahiz dalam bukunya al-Bayan wat-Tabyin, menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orang yang pertama mengadakan ilmu Balaghah. Beberapa penapatnya mengenai Mu’tazilahan ialah soal tawallud yang dimaksudkan untuk menmcari batas-batas pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya.
e)      Al-Chayyat (wafat 300 H/ 912 M)
Merupakan pengarang buku al-Intisar yang dimaksudkan untuk membela aliran Mu’tazilah dari serangan Ibnu ar-Rawandi. Berpendapat bahwa kehendak bukanlah suatu sifat yang melekat pada zat Tuhan dan Tuhan berkehendak dengan zat-Nya.

2.5 PERKEMBANGAN ALIRAN MU’TAZILAH
 Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati dari umat Islam, khususnya dikalangan masyarakat awam, karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Muktazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain adalah kaum muktazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah dan para sahabat. Aliran Muktazilah baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Al Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/ 813-833M).[6] Kedudukan Muktazilah semakin kuat setelah al-Ma’mun menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan Ilmu pengetahuan dan filsafat.
Peristiwa yang paling menggemparkan dalam sejarah perjalanan Mu`tazilah ini adalah peristiwa Al-Quran ialah makhluk. Sebuah peristiwa yang telah menelan ribuan korban dan kaum muslimin, yaitu mereka yang tidak setuju pada pendapat bahwa Al-Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika Al-quran itu dikatakan kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain Allah SWT dan hukumnya Musyrik. Mereka yang tidak sependapat tetap tetap bersikukuh pada pendapat mereka, bahwa Al-Quran adalah kalamullah sebagaimana yang dipahami oleh para salaf. Termasuk ulama yang mendapatkan ujian berat dari peristiwa Al-Quran makhluk ini adalah Imam Syafi`ie dan Imam Ahmad.
Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut Al Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Quran adalah kadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya aparat pemerintah yang diperiksa melainkan juga tokoh-tokoh masyarakat.Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam Hanbali, bahkan ada ulama yang dibunuh karena tidak sepaham dengan ajaran muktazilah. Peristiwa ini sangat menggoncang umat Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil (memerintah 232-247H/ 847-861M).
Dimasa Al Mutawakkil, dominasi aliran muktazilah menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Muktazilah sebagai mazhab resmi Negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah. Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Muktazilah muncul kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak berlangsung lama.
Selama berabad-abad, kemudian Muktazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlusunah waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini ialah buku-buku mereka tidak lagi dibaca di perguruan-perguruan Islam. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya Muktazilah ditemukan kembali dan dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam seperti universitas al-Azhar.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa pergerakan kaum Mu'tazilah yang meminjam tangan-tangan penguasa dan dengan menggunakan kekerasan dalam melancarkan faham dan ajarannya telah menimbulkan kebencian dikalangan masyarakat. Kondisi ini menjadi bumerang bagi dirinya, karena mosi tidak percaya yang dilancarkan oleh ummat Islam bukan saja menimbulkan kondisi yang chaos tetapi juga membahayakan bagi stabilitas negara.
Menyadari kondisi ini dan untuk menyelamatkan posisinya, pada tahun 234 hijriyah setelah al-Mutawakkil naik ke singasana kekholifahan menggantikan al-Watsik, dia mengemumkan tentang batalnya pendapat tentang kemahlukan Al Qur’an. Dia juga mengecam pendapat itu dan   menetapkan untuk mengahiri perdebatan seputar kemahlukan Al Qur’an. Dia mencabut kebijakan pendahulunya yang telah menjadikan Mu'tazilah sebagai madzhab negara. Dia lebih menampakkan kecondongannya pada madzhab Ahlus Sunnah (muhadditsin)
Al Mutawakkil juga memberikan ruang yang lebar dan atmosfir kebebasan kepada kelompok sunni untuk menyampaikan pandangan-pandangannya yang bertolak belakang dengan Mu'tazilah. Dan mulai saat itulah pengajian-pengajian yang dimotori oleh para muhadditsin kembali semarak dilakukan dan mendapatkan tempat dihati masyarakat dan kalangan istana.  
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
     Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah oleh para kelompok dan aliran Mu’tazilah muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah tahun 105-110 H, tepatnya pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelolpornya adalah Wasil bin Atha’ karena terjadinya perbedaan pendapat antara dia dengan gurunya, Hasan al-Bashri.
     Mu’tazilah memiliki lima ajaran dasar, perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan hanya oleh kaum Mu’tazilah saja namun juga seluruh kaum muslimin. Aliran mu’tazilah diangap sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam, dengan demikian kurang disenangi oleh sebagian besar umat Islam. Pandangan demikian timbul karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak percaya dengan wahyu dan hanya mengakui kebenaran dari rasio.
     Sebagai pengetahuan kaum Mu’tazilah tidak hanya memakai argumen rasional saja, yang condong kearah filsafat Yunani saja, namun juga memakai ayat-ayat Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka.
DAFTAR PUSTAKA


Hanafi. 1995. Pengantar Teologi Islam. Al-Husna Zikra: Jakarta
Hidayati, Wiji. 2013. Ilmu Kalam. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Universitas Indonesia: Jakarta
Putra, Muhammad Arif. Aliran Mu’tazilah. Diakses pada 20 November 2017 pukul 2.27
http://otaklapar.blogspot.com/2016/03/aliran-mutazilah.html

Nurhidayat, Muhammad. Mu’tazilah: Pengertian, Asal-usul, dan ajaran pokok. Diakses pada 21 November 2017 pukul 15.42
http://artikelpiyekabare.blogspot.co.id/2014/01/mutazilah.html

Baca Juga: Khawarij


[1]  Nur Hadi, Ilmu Kalam, Bandung, 2013, hlm. 98
[2] Hanafi, Pengantar teologi Islam, Al-Husna Zikra, Jakarta, 1995, hlm. 69
[3]  Wiji Hidayati, llmu Kalam, Fak. Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013, hlm. 42
[4] Wiji Hidayati, Ilmu Kalam, hlm. 41
[5]  Hanafi, Pengantar Teologi Islam, hlm. 70
[6]  Nur Hadi, Ilmu Kalam, Bandung,  2013, hlm. 65