Al-Ushul Al-Khamsah Mu'tazilah | Lima Ajaran Dasar Teologi Mu'tazilah, encrypted-tbn0.gstatic.com |
A.
Latar
Belakang
Aliran
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filofofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa aliran
Khawarij dan Murji’ah.
Aliran
ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada tahun 105-110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul
Malik. Pendirinya adalah Washil bin Atho’ yang pernah berguru pada Hasan
Al-Basri. Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas perdebatan antara
kaum Murji’ah dengan kaum Khawarij mengenai status orang mukmin yang melakukan
dosa besar, apakah dia di hukumi sebagai orang kafir ataukah masih mukmin.
B.
Rumusan
Masalah
a.
Pengertian
Mu’tazilah
b.
Latar
belakang kemunculan Mu;tazilah
c.
Al-Ushul
Al-Khamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
d.
Nama-nama
aliran Mu’tazilah
e.
Ciri-ciri
aliran Mu’tazilah
C.
Tujuan
a.
Mengetahui
aliran Mu’tazilah
b.
Mengetahui
sejarah aliran Mu’tazilah
c.
Mengetahui
ajaran dasar aliran Mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mu’tazilah
Secara harifiah Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang
berarti “berpisah” atau “memisahkan diri” yang berarti juga Mu’tazilah adalah
“menjauhkan diri”. Sedangkan kaum Mu’tazilah adalah orang-orang yang memisahkan
diri. Mereka (Mu’tazilah) mengartikan “memisahkan diri” adalah
meninggalkan/menyingkir dari kedzaliman dan bid’ah menuju kebenaran atau
menyingkir dari fitnah dan ahli bid’ah agar tidak tersesat kedalam fitnah dan
bid’ah itu sendiri.
B.
Latar
Belakang Kemunculan Mu’tazilah
Ada
beberapa versi mengenai awal kemunculan faham Mu’tazilah
Versi pertama dikemukakan oleh As-Syahrastani (474-548 H) yaitu berawal dari
persetruan antara Washil bin Atho’ (131 H) dengan gurunya Hasan Al-Basri
(30-110 H) yang mendebatkan posisi orang yang melakukan dosa besar, apakah dia dikategorikan
kafir atau masih mukmin. Washil bin Atho’ berpendapat bahwa orang yang
melakukan dosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin, pelaku dosa besar
tersebut menempati tempat diantara keduanya yaitu fasiq. Persetruan tersebut
tidak menemui titik akhir yang akhirnya membuat Washil bin Atho’ memilih
menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri, menurut As-Syahrastani peristiwa tersebut
membuat Washil bin Atho’ dan pengikutnya dijuluki Mu’tazilah “orang-orang yang
memisahkan diri”.
Versi kedua yang dinyatakakan oleh Al-Baghdadi (w.409 H) menyatakan bahwa Washil
bin Atho’ dan temannya Amr bin ‘Ubaid diusir oleh Hasan Al-Basri karena ada
pertikaian diantara mereka mengenai orang yang melakukan dosa besar, apakah
kafir atau mukmin dan mengenai qodho’
dan qodar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa
orang yang berbuat dosa besar itu mukmin dan tidak kafir. Oleh karena itu,
golongan tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Teori baru yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin (1886-1954 M) menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah ada sebelum
peristiwa Washil bin Atho’ dan Hasan Al-Basri, dan sebelum timbulnya pendapat
tentang posisi diantara dua posisi. Nama Mu;tazilah diberikan kepada golongan
orang-orang yang tidak mau intervensi dalam pertikaian politik yang terjadi
pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka menjumpai pertikaian
tersebut tetapi mereka memilih menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila
kharbita). Oleh karena itu, dalam surat yang dikirim Qais kepada Ali bin
Abu Thalib menamakan golongan yang menjauhkan diri tersebut dengan Mu’tazilin.
Dengan demikian, kata i’tazala
dan Mu’tazilah telah digunakan sejak seratus tahun sebelum peristiwa
Wahil denga Hasan Al-Basri, yaitu dalam arti golongan yang tidak mau ikut
campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.
C.
Al-Ushul
Al-Khamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
1.
At-Tauhid
Sebenarnya,
setiap madzhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Akan tetapi, bagi
Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari
segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Untuk memurnikan
keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki
sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan (antropomorfisme/tajassum),
dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Menurut Mu’tazilah Tuhan itu Esa,
tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Tuhan Maha Melihat, Mendengar, Kuasa,
Mengetahui, dan sebagainya. Akan tetapi hal tersebut bukanlah sifat Tuhan
melainkan dzat-Nya (karena sifat adalah sesuatu yang melekat). Apabila sifat
Tuhan itu qadim, Tuhan akan memiliki dua hal yang qadim, yaitu dzat dan
sifat-Nya. Washil bin Atho’ mengatakan, “Siapa yang mengatakan sifat Tuhan itu
qadim berarti dia telah menduakan Tuhan.” Ini tidak dapat diterima karena
merupakan perbuatan syirik.
Mengenai
Al-Qur’an, Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an itu baru (diciptakan) bukan
kalamullah, karena dalam Al-Qur’an terdapat semua unsur ciptaannya, kalimat dan
huruf yang dapat dibaca dan didengar, memiliki permulaan dan akhiran. Maka
tidak mungkin Al-Qur’an itu azali.
Doktrin
tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat
menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya, Tuhan tidak seupa dengan mahluk-Nya,
Tuhan adalah immateri. Karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi.
Segala yang mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi Mu’tazilah tidak dapat
diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Tegasnya, Mu’tazilah menolak
antropomorfisme. Penolakan tersebut bukan atas pertimbangan akal, melainkan
memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an, yaitu (Q.S. Asy-Syura
[42]:11).
Untuk
menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi ta’wil
terhadap ayat-ayat yang secara lahiriah menggambarkan kejisiman Tuhan, yaitu
dengan cara memalingkan arti kata-kata tersebut ke arti lain sehingga hilang
kejisiman Tuhan. Ada beberapa contoh, misalnya kata tangan (Q.S. Shad
[38]:75) diartikan kekuasaan dan pada konteks yang lain tangan (Q.S.
Al-Ma’idah [5]:64) dapat diartikan nikmat. Kata wajah (Q.S. Ar-Rahman
[55]:27) diartikan esensi dan dzat, sedangkan al-arsy (Q.S. Thaha
[20]:5) diartikan kekuasaaan.
Penolakan
Mu’tazilah terhadap pendapat Tuhan dapat dilihat oleh mata kepala merupakan
konsekuensi logis dari penolakannya terhadap antropomofisme. Tuhan adalah
immater, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan
tidak berbentuk. Yang dapat dilihat adalah yang bebentuk dan memiliki ruang.
Karena itu, kata melihat (Q.S. Al-Qiyamah [75]:22-23) dita’wilkan dengan
arti mengetahui.
2.
Al-Adl
Adil
adalah suatu atribut yang paling jelas untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena
Tuhan Mahasempurna, sudah pasti Dia adil. Mu’tazilah bertujuan ingin
menempatkan Tuhan adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta
diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak
hanya yang baik. Begitu pula Tuhan itu adil apabila tidak melanggar janji-Nya.
Ajaran
tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, anatara lain sebagai
berikut.
a.
Perbuatan
manusia
Manusia
menurut Mu’tazilah, benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya,
baik ataupun buruk. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Tuhan hanya menyuruh dan
menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang diperintahkan Tuhan
pastilah baik dan yang dilarang pastilah buruk, Tuhan berlepas diri dari
perbuatan yang buruk. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan
Tuhan, yaitu apa pun nanti yang akan diterima manusia di akhirat merupakan
balasan perbuatannya di dunia.
b.
Berbuat
baik dan terbaik (ash-shalah wal ashlah)
Tuhan
tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan bahwa Tuhan
penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan
berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berartia Ia
tidak adil. Dengan sendirinya, Tuhan juga tidak Mahasempurna.
c.
Mengutus
Rasul
Mengutus Rasul
kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini.
·
Tuhan
wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, keculai
dengan mengutus Rasul kepada manusia.
·
Al-Qur’an
secara tegas mengatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada
manusia (Q.S. Asy-Syu’ara [26]:29). Cara terbaik unutk maksud tersebut adalah
dengan pengutusan Rasul.
·
Tujuan
diciptakannya manusia untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut
berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus Rasul.
3.
Al-Wa’d
wa Al-Wa’id
Janji
Tuhan untuk memberi pahala masuk surga bagi yang berbuat baik dan mengancam
dengan siksa neraka atas orang yang berbuat durhaka pasti terjadi, begitu pula
janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti
benar adanya. Ini sesuai dengan prinsip keadilan, siapa pun berbuat baik akan dibalas
dengan kebaikan, siap yang berbuat jahat akan dibalas dengan siksa yang sangat
pedih.
Tidak
ada harapan bagi pendurhaka, kecuali jika dia bertobat nasuha. Bahkan
Mu’tazilah juga menolak konsep syafa’at Rasul yang kelak akan didapat umat
Islam di hari akhir. Menurut Mu’tazilah konsep syafa’at bertolak belakang
dengan janji Tuhan yang memberi pahala bagi yang berbuat baik dan menghukum
dengan siksa bagi orang yang berbuat kejahatan. Mu’tazilah tampaknya bertujuan
mendorong manusia berbuat baik dan tidak main-main dengan perbuatan dosa besar.
4.
Al-Manzilah
Bain Al-Manzilatain
Ajaran
ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar.
Seperti tercatat dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut sebagai
kafir, bahkan musyrik. Sementara Murji’ah berpendapat orang tersebut tetap
mukmin dan dosanya diserahkan kepada Tuhan, mungkin dosa tersebut diampuni
Tuhan. Pendapat Washil bin Atha’ lain lagi. Orang tersebut berada diantara dua
posisi (al-manzilah bain al-manzilatain).
Menurut
pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin
secara mutlak karena iman menuntu adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup
hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan, melainkan
kedurhakaan. Orang tersebut juga tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak
karena masih percaya kepada Tuhan, Rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang
baik. Orang yang melakukan dosa besar tersebut dikategorikan sendiri sebagai
orang fasiq. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka, sedangkan
orang fasiq dimasukkan ke neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan daripada
orang kafir. Mengapa ia tidak dimasukkan ke surga dengan “kelas” yang lebih
rendah dari mukmin sejati? Tampaknya Mu’tazilah ingin mendorong manusia
agar tidak menyepelekan perbuatan dosa,
terutama dosa besar.
5.
Al-Amr
bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy ‘an Al-Munkar
Ajaran
ini menekankan keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan
konsekuensi logis dari keimanan seseorang seseorang. Pengakuan keimanan
dibuktikan dengan perbuatan baik di antaranya dengan menyuruh orang berbuat
baik dan mencegahnya dari kejahatan.
Perbedaan
aliran Mu’tazilah dengan aliran lain mengenai ajaran ini terletak pada tatanan
pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat
ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarah telah mencatat kekerasan
yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.
D.
Nama-Nama
Aliran Mu’tazilah
1.
Ahlul
‘Adli wa At-Tauhid
Mereka
mengklaim mereka kelompok yang paling menjunjung tinggi keadilan dan ketauhidan,
yang dimaksud ketauhidan adalah dengan memurnikan sifat-sifat Tuhan.
2.
Ahlul
Haqqi
Mereka
mengklaim bahwa mereka lah yang palig benar sedangkan yang lain adalah salah
dan dalam kebathilan.
3.
Firqoh
Najiyah
Mereka
mengklaim bahwa kelompok mereka lah yang akan selamat seperti sedangkan yang
lain adalah sesat dan akan celaka.
4.
Al
Munazzihunallah
Mereka berpendapat
bahwa dengan meniadakan sifat Tuhan berarti mereka telah mensucikan Tuhan dari
sifat-sifat makhluk.
E.
Ciri-Ciri
Aliran Mu’tazilah
1.
Akal
merupakan hukum tertinggi, baik dan buruk ditentukan oleh akal.
2.
Bila
terjadi perbedaan akal dan Al-Qur;an serta Hadits maka yang diambil adalah
ketentuan akal.
3.
Tidak
mempercayai adanya mukjizat bagi Nabi Muhammad SAW, selain Al-Qur’an.
4.
Tidak
mempercayai siksa dan nikmat kubur, sebab manusia setelah dikubur sudah menyatu
dengan tanah.
F.
Kesimpulan
Aliran
Mu’tazilah muncul berawal dari persetruan antara Washil bin Atho’ dengan
gurunya Hasan Al-Basri mengenai posisi
orang yang melakukan dosa besar, apakah dia kafir ataukah masih mukmin. Washil
bin Atho’ berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak kafir dan
tidak pula mukmin, pelaku dosa besar tersebut menempati tempat diantara
keduanya yaitu fasiq. Persetruan tersebut tidak menemui titik akhir yang
akhirnya membuat Washil bin Atho’ memilih menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri,
menurut As-Syahrastani peristiwa tersebut membuat Washil bin Atho’ dan
pengikutnya dijuluki Mu’tazilah “orang-orang yang memisahkan diri”.
Aliran
Mu’tazilah memiliki lima ajaran dasar teologi, antara lain :
1.
At-Tauhid
(Keesaan Allah)
2.
Al-Adl
(Keadilan)
3.
Al-Wa’d
wa Al-Wa’id (Janji dan ancaman)
4.
Al-Manzilah
Bain Al-Manzilatain (Posisi diantara dua posisi)
5.
Al-Amr
bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy ‘an Al-Munkar (Mengajak kepada kebaikan dan mencegah
kemunkaran)
Baca Juga: Mu'tazilah
Ya
ReplyDelete