Showing posts with label PARADIGMA ILMU SOSIAL. Show all posts
Showing posts with label PARADIGMA ILMU SOSIAL. Show all posts

                 
Peran K.H Masjkur dalam barisan Sabilillah, data:image
A.  
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Kiai Haji Masjkur adalah seorang tokoh Indonesia yang dikaruniai usia panjang serta penuh dengan amal kebaikan, pengabdiannya terhadap perjuangan bangsa, yang didasari dengan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan ajaran agama yang ia percayai.
K.H Masjkur memiliki pribadi yang baik. Kepribadian baiknya itu ia buktikan pada saat kedua orang tuanya meninggal, ia diberi tanggung jawab besar yaitu ia harus mengasuh, membesarkan, merawat, dan menikahkan adik-adiknya. Sejak kecil ia sudah diajarkan kedua orang tuanya untuk hidup sederhana. Sikap yang diajarkan oleh orang tuanya ia turunkan kepada adik-adiknya. Selain itu, Masjkur juga merupakan seorang santri yang pandai seperti ayahnya, Maksum. Masjkur juga mudah sekali untuk bergaul dengan teman-teman barunya dan mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Hal ini ia buktikan dengan banyaknya pesantren yang sudah ia singgahi dan cara beradaptasi dengan cepat pada lingkungan baru, serta dalam bergaul kepada teman-temannya.
Perjuangannya dimulai dari tingkat yang paling bawah, kemudian atas usahanya sendiri ia terus menanjak, hingga pada akhirnya ia berhasil mencapai tataran yang tinggi baik di bidang Pemerintah maupun di bidang organisasi serta dalam tataran masyarakat lainnya. Masjkur telah membuktikan bahwa dengan ketekunan dan keuletan, serta bertakwa sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka segala sesuatu akan dapat dilaksanakan dengan baik.
2.      RUMUSAN MASALAHBagaimana riwayat hidup K.H Masjkur?
a.       Bagaimana kepribadian K.H Masjkur?
b.      Bagaimana peran K.H Masjkur dalam barisan Sabilillah?
3.      TUJUAN MASALAH
a.       Untuk mengetahui riwayat hidup K.H Masjkur.
b.      Untuk mengetahui kepribadian K.H Masjkur.
c.       Untuk mengetahui peran K.H Masjkur dalam barisan Sabilillah.

                   B.     METODOLOGI MAKALAH
1.      Landasan Teori
Pada pembahasan “K.H Masjkur dalam Barisan Sabilillah” penulis menggunakan pendekatan psikologi. Pendekatan psikologi sangat efektif digunakan untuk mengkaji tentang biografi seorang tokoh. Pendekatan psikologi yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia dan proses mental. Kata psikologi berasal dari bahasa Greek (Yunani), pysche dan logos. Pysche, yaitu jiwa atau napas, sebagai sumber mendasar  dari aktivitas makhluk hidup atau prinsip kehewanan dari dunia sebagai suatu keseluruhan, yaitu jiwa dunia. Sedangkan logos, kata atau bentuk yang mengekspresikan suatu prinsip, dapat diartikan sebagai ilmu dalam bidang teologi. Logos digunakan untuk menunjukkan kata Tuhan.[1] Secara etimologi, psikologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”.[2] Dalam Islam, istilah “jiwa” disamakan dengan istilah an-nafs, tetapi ada pula yang menyamakan dengan istilah ar-ruh, meskipun istilah an-nafs lebih populer digunakan dari pada istilah ar-ruh. Psikologi merupakan cabang ilmu yang masih muda atau remaja. Sebab, pada awalnya psikologi merupakan bagian dari ilmu filsafat tentang jiwa manusia.[3]
Penulis dalam menganalisis biografi K.H Masjkur tentunya membutuhkan suatu kerangka konsep yang sesuai dengan substansi persoalan. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan mengenai konsep-konsep yang penulis gunakan dalam menjawab rumusan masalah yang telah tercantum pada bab pendahuluan.
Konsep pertama yang digunakan penulis yaitu riwayat hidup. Riwayat hidup adalah catatan singkat tentang gambaran diri seseorang. Selain berisi data pribadi, gambaran diri paling tidak berisikan tentang keterangan pendidikan dan pengalaman. Dengan data riwayat hidup akan memberikan gambaran atau kualifikasi seseorang. Riwayat hidup ditulis seperti karangan singkat, diawali oleh judul dan ditutup oleh rangkaian tanggal, tanda tangan serta nama. Riwayat hidup juga termasuk surat keterangan, yaitu keterangan pribadi.[4]
Konsep yang kedua yaitu kepribadian. Kepribadian adalah suatu keinginan untuk mengatur perilaku seseorang atau memberi petunjuk kearah tertentu. Hal ini tentunya akan merespon masalah dengan cara wajar sesuai situasi yang dihadapi. Jadi, kepribadian adalah sebuah  cara yang dilakukan seorang dalam merespon situasi atau cara bertindak yang disukai seseorang terhadap keadaan maupun orang tertentu. Kepribadian juga dapat diartikan sebagai kesatuan dari sistem jiwa dan badan dalam diri individu yang bersifat dinamis dalam menyesuaikan diri pada lingkungannya.[5]
Konsep yang terakhir yaitu peran. Menurut KBBI, peran adalah seperangkat tingkah yang diharapkan dimilikioleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat.[6] Menurut para ahli, peran adalah aspek dinamis dari kedudukan atau status. Seseorang melaksanakan hak dan kewajiban, berarti telah menjalankan suatu peran. Kita selalu menulis kata peran teteapi kadang kita sulit mengartikan dan mendefinisikan peran tersebut. Peran dan status  sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Tidak ada peran tanpa kedudukan atau status, begitu pula tidak ada status tanpa peran. Setiap orang mempunyai bermacam-macam peran yang dijalankan dalam pergaulan hidupnya di masyarakat. Peran menentukan apa yang diperbuat seseorang bagi masyarakat. Peran juga menentukan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Peran diatur leh norma-norma yang berlaku.
2.      Metodologi Sejarah
Dalam penulisan makalah ini, metode yang digunakan adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan suatu cara pengumpulan data yang diperoleh dari data tertulis seperti buku, skripsi, jurnal tentang kepemimpinan K.H Masjkur. Metode pengumpulan data dilakukan dengan membaca buku-buku mengenai Kepemimpinan K.H Masjkur.

                  C.     PEMBAHASAN
1.      Riwayat Hidup K.H Masjkur
K.H Masjkur lahir di Singosari, Malang, tahun 1900M / 1315 H.[7] Ia dilahirkan dari pasangan Maksum dan Maemunah. Maksum adalah seorang perantau yang berasal dari sebuah dusun di kaki gunung Muria, Kudus, Jawa Tengah. Ia dating ke Singosari memenuhi perintah ibunya untuk mencari ayahnya yang pergi meninggalkan kampung halaman. Maksum sebagai anak laki-laki yang melajang masa remaja tidak hendak membantah perintah sang ibu. Baginya, apa yang diperintahkan ibunya, merupakan suatu keharusan yang tak dapat dan tak perlu dibantah lagi. Pada masa itu, orang masih belum banyak yang berani keluar kampong halaman, berdagang seorang diri, mengembara di kota orang. Namun ayah Maksum dan teman-temannya meninggalkan desa karena ikut dalam gerakan perlawanan terhadap Belanda. Kemudian, di Singosari, Maksum tinggal di pesantren yang dipimpin Kiai Rohim. Dan menjadi santri di pesantren tersebut. Dalam waktu yang singkat, Maksum sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang santri yang rajin, yang cerdas dan juga tekun serta suka menolong sesame rekannya. Karena itu tidak heran jika Maksum menjadi santri kesayangan Kiai Rohim dan diambil oleh Kiai Rohim untuk dijadikan menantunya., dinikahkan dengan anak perempuannya, Maemunah.[8] Pasangan ini yang akhirnya melahirkan Masjkur bersaudara. Mereka ialah: Masjkur (tertua), Toyib, Hafsah, Barmawi, Toha dan Hassan.
Pada saat usianya sekitar 9 atau 10 tahun, Masjkur diajak oleh ayahnya untuk pergi menunaikan ibadah haji. Setelah kembali dari ibadah hajinya, Masjkur dan ayahnya pergi berziarah dan bertafakur di makam Sunan Giri. Setelah itu, Masjkur memulai proses pendidikannya di dunia pesantren. Ia belajar pada tidak kurang dari tujuh pesantren terkemuka di berbagai daerah dengan konsentrasi keilmuan yang berbeda-beda. Masjkur kecil diantarkan ayahnya ke pesantren Bungkuk Singosari, di bawah pimpinan Kiai Tohir.[9] Selesai belajar di pesantren Bungkuk, Masjkur pindah ke pesantren Sono, yang terletak di Bundaran Sidoarjo, untuk belajar ilmu sharaf dan nahwu. Empat tahun kemudian ia pindah ke pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, untuk belajar ilmu fikih. Selanjutnya, Masjkur pindah ke pesantren Tebuireng Jombang untuk belajar ilmu tafsir dan hadits pada Kiai Hasyim Asy’ari selama dua tahun. Setelah menamatkan pelajaran di Tebuireng, Masjkur berangkat ke pesantren Bangkalan Madura untuk belajar qiraat Al-Qur’an pada Kiai Khalil selama satu tahun. Dan kemudian pindah ke pesantren Jamasaren di Solo.[10]
Selama itu pula, Masjkur mendapat pengalaman bahwa kehidupan di pesantren pada waktu dulu diatur sedemikian rupa oleh kiai masing-masing, sehingga para santri itu selalu saling tolong-menolong baik dalam hal rohani maupun jasmani, lahir dan batin. Mulai dari soal peribadatan, dalam hal belajar, hingga dalam hal tingkah laku, semua diatur dengan sangat baik.
Dari banyak pondok yang sudah ia singgahi, pondok Jamsaren adalah pengalaman yang cukup mengesankan bagi Masjkur. Disana ia berkenalan dengan teman-temannya yang kemudian menjadi ulama terkenal dan pemimpin masyarakat di daerah masing-masing, seperti Kiai Musta’in (Tuban), Kiai Arwan (Kudus), Kiai Abdurrahim (adik dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah, Jombang) dan lain-lain.[11]
Pada usianya yang ke-27 tahun, Masjkur menikah dengan cucu Kiai Thohir di Bungkuk tempat dia menjadi santri pertama kali. Tetapi pada waktu yang bersamaan, ayah dari Masjkur meninggal dunia dan dengan sendirinya beban orang tua dilimpahkan kepada bahu Masjkur. Dialah yang bertugas memebesarkan, mengasuh dan menikahkan adik-adiknya. Sejak kecil Masjkur sudah diajarkan hidup sederhana, dan dia menyaksikan sendiri bagaimana kedua orang tuanya hidup tirakat sepanjang ajaran Jawa dan agama Islam. Segala hasil kerja orang tuanya dipergunakan untuk kepentingan anak-anak, agar mereka nanti dapat maju dalam kehidupan.[12] Ajaran kedua orang tuanya tersebut ia terapkan kepada adik-adiknya. Mereka diajari Masjkur hidup serba hemat, apa adanya, rajin dan tetap beribadah kepada Tuhan.
2.      Kepribadian K.H Maskur
Masjkur memiliki kepribadian yang baik. Sejak kecil ia sudah diajarkan kedua orang tuanya untuk hidup apa adanya dan bertanggung jawab sebagai seorang laki-laki. Bahkan pada saat orang tuanya sudah meninggal, Masjkur diberikan tanggung jawab yang besar, yaitu mengasuh, membesarkan dan menikahkan adik-adiknya. Tanggung jawab itu ia emban sendiri. Baginya, tanggung jawab kedua orang tuanya dulu adalah tanggung jawabnya sekarang untuk merawat adik-adiknya.
Masjkur adalah orang yang senang membantu satu sama lain, ramah terhadap orang disekitarnya. Pada saat ia dimasukkan ke pesantren oleh ayahnya, ia dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan dan teman-temannya yang baru. Hingga tidak heran jika ia dapat beradaptasi dengan baik walaupun ia sudah berpindah-pindah pesantren. Selain mendapatkan pengajaran yang baik dari kedua orang tuanya, Masjkur juga memiliki sikap yang baik karena mendapatkan didikan dari pesantren. Walaupun setiap pesantren memiliki cara masing-masing untuk mendidik para santrinya, Masjkur tetap bisa mengikuti apapun peraturan yang ada di pondok pesantren. Seperti ayahnya dulu, Masjkur juga termasuk anak yang rajin, cerdas dan tekun serta suka menolong sesama temannya. Bahkan pada saat ia menjadi seorang santri, ia memiliki banyak teman dan sering kali melakukan diskusi mengenai kehidupan mereka. Umumnya, para santri dating dari kalangan keluarga yang menderita akibat penjajahan Belanda.
3.      Peran K.H Masjkur dalam Barisan Sabilillah
Salah satu tokoh Nahdhatul Ulama yang layak disematkan gelar pahlawan  adalah K.H Masjkur. K.H Masjkur pernah menjadi Mentri Agama RI yang ikut berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dari tangan para penjajah. Perjuangan ulama yang lahir di Singosari Malang tahun 1900 M / 1315 H ini telah dirintis sejak usia muda di bidang Pendidikan, dengan mendirikan pesantren Misbahul Wathan. Tetapi, sebelum mendirikan pesantren dan terjun langsung ke masyarakat, Masjkur muda telah mempersiapkan diri dengan menuntut ilmu dari beberapa pesantren dengan berbagai konsentrasi keilmuwan, antara lain Pesantren Kresek di Batu, Pesantren Bungkuk Malang, Pesantren Sono Bundaran Sidoarjo dan Pesantren Siwalan Sidoarjo.
Setelah itu, Masjkur ke pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Masjkur menimba ilmu hadits dan tafsir dari Kiai Hasyim Asy’ari. Selain itu, Masjkur juga pernah berguru kepada Syaikhona Khalil Bangkalan Madura. Jadi, lengkap sudah bekal awal Masjkur untuk menjadi calon ulama dan pemimpin masyarakat. Selain itu, Masjkur juga sempat menjadi santri di Pesantren Jamsaren Surakarta dibawah asuhan K.H Idris, seorang Kiai keturunan pasukan Pangeran Diponegoro. Di pesantren ini, ia bertemu dengan teman-temannya yang kemudia menjadi ulama dan pemimpin umat di daerahnya masing-masing.
Selain itu, Masjkur memiliki peran yang penting dalam barisan Sabilillah. Perannya antara lain:
1.      Mendirikan Pesantren
Setelah melalangbuana menuntu ilmu, akhirnya Masjkur kembali ke Singosari dan mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama Misbahul Wathan pada tahun 1923. Kemudian, beberapa tahun berikutnya Nahdhatul Ulama berdiri dan ia pun ikut aktif di dalamnya. Pada tahun 1932 ia menjadi Ketua Cabang NU di Malang. Di organisasi tersebut, ia sering meminta nasihat kepada K.H Wahab Khasbullah. Salah satunya, ketika pesantren yang ia dirikan mendapat gangguan dari pemerintah kolonial. Atas saran yang didapatkannya dari K.H Wahab Khasbullah, ia kemudian mengganti nama pesantrennya dengan nama Nahdhatul Wathan. Sebelumnya, ia bersama K.H Wahab Khasbullah sering mengikuti kegiatan kelompok Tashwirul Afkar yang sering membahas agama, dakwah dan sosial. Lalu pada tahun 1938, Masjkur diangkat sebagai salah satu Pengurus Besar NU yang berkedudukan pusat di Surabaya.
2.      Memimpin NU
Sepetember 1951, menjelang dilaksanakannya Muktamar NU ke-19 yang akan dihelat di Palembang, saat itu NU masih masuk dalam Masyumi. PBNU membentuk sebuah badan yang bernama Majelis Pertimbangan Politik (MPP) PBNU, terdiri dari 9 ulama, termasuk di dalamnya Kiai Masjkur.
Sejak Muktamar NU ke-19, Kiai Masjkur memipin sebagai Ketua Umum Tanfidziyah. Bersama Kiai Wahid Hasyim sebagai ketua muda dan posisi Rais ‘Aam dipegang K.H  Wahab Khasbullah. Setelah Kiai Wahid Hasyim meninggal, Masjkur diangkat kembali menjadi Menag dan posisinya yang sebelumnya dipegang K.H M Dahlan.
Masjkur terus berjuang bersama NU sampai akhir hayatnya. Tercatat selepas menjadi ketua, ia tetap aktif di kepengurusan PBNU yakni anggotatanfidziyah (1954-1956), Ketua Fraksi Konstituante Partai NU (1956-1959), Ketua Sarbumusi (1959-1962), Rais Syuriyah (1967-1971, 1971-1979) dan Musytasyar (1984-1989, 1989-1994). Hingga wafat pada tahun 1992, Kia Masjkur masih tercatat dalam kepengurusan Musytasyar PBNU.
Kiai Masjkur dimakamkan di pemakaman yang terletak di kompleks Masjid Bungkuk Singosari Malang, yang juga terdapat makam k.h Nahrawi Thohir dan Kiai Thohir.[13]



DAFTAR PUSTAKA
            http://annissayudhakusuma.wordpress.com/2014/06/03/pengertian-psikologi/
            http://elfaqir17.blogspot.com/2015/08/kh-masjkur-komandan-barisan-sabilillah.html
            http://googleweblight.com/i?u=http://www.biografiku.com/pengertian-riwayat-hidup-serta-cara/&hl=id-ID
            http://www.kbbi.web.id/peran
            I.N, Soebagijo. (1982). K.H Masjkur, Jakarta: PT Gunung Agung.
            Muin Gazali, H.A., Hj. Nurseha Gazali. (2016). Deteksi Kepribadian, Jakarta: Bumi Aksara.
            Ujam, Jaenudin. (2012). Psikologi Transpersonal, Bandung: CV Pustaka Setia.
          
Baca Juga: Respon Masyarakat Arab Terhadap Dawkah Rasulallah di Makkah


[1] Ujam Jaenudin, Psikologi Transpersonal, 6.
[2] Ibid, 1.
[3] Dikutip dari http://annissayudhakusuma.wordpress.com/2014/06/03/pengertian-psikologi/
[4] Dikutip dari http://googleweblight.com/i?u=http://www.biografiku.com/pengertian-riwayat-hidup-serta-cara/&hl=id-ID
[5] Muin, Nuerseha Gazali, Deteksi Kepribadian, 279.
[6] Dikutip dari http://www.kbbi.web.id/peran
[7] Soebagijo, K.H Masjkur, 3.
[8] Soebagijo, K.H Masjkur, 3.
[9] Ibid, 6.
[10] Ibid, 8.
[11] Soebagijo, K.H Masjkur, 10.
[12] Ibid, 11.
[13] Dikutip dari http://elfaqir17.blogspot.com/2015/08/kh-masjkur-komandan-barisan-sabilillah.html

Respon Masyarakat Arab Terhadap Dakwah Rasulallah SAW Pada Priode Mekkah, http://biayaumroh.org


      1.      LATAR BELAKANG MASALAH
Agama Islam lahir di tanah Arab, tepatnya di kota Makkah. Pada masa itu, kota Makkah sedang mengalami masa kegelapan, kesesatan, dan kemusyrikan yang merajalela. Masa ini disebut masa Jahiliyyah atau masa kebodohan. Dikatakan demikian bukanlah karena masyarakat yang tinggal di kota Makkah pada saat itu bodoh dalam hal ilmu pengetahuan. Mereka sebenarnya sudah sangat maju. Hanya saja kerusakan moral yang dialami lah yang menyebabkan mereka berada dalam masa jahiliyyah.
Allah swt mengutus seorang laki-laki pilihan diantara mereka yang bernama Muhammad saw. Seseorang laki-laki yang berasal dari salah satu kabilah terpandang yaitu Bani Hasyim dari suku Quraisy. Bani Hasyim memang sudah sejak dahulu terkenal akan keshalihannya. Muhammad saw hadir untuk mengadakan perubahan baik dalam hal akidah maupun tatanan kemasyarakatan pada saat itu.
Berbagai upaya ditempuh oleh Rasulullah saw untuk mengembalikan moral bangsa Quraisy yang sudah bobrok. Salah satunya ialah dengan melalui jalan berdakwah. Dakwah tersebut dilakukan Rasulullah saw melalui dua cara. Cara pertama ialah dengan sembunyi-sembunyi menyeru orang-orang di rumah Arqam bin Abil Arqam. Lalu cara kedua ialah secara terang-terangan setelah adanya perintah Allah swt dalam surah AL-Hijr ayat 94.
Perjalanan dakwah Rasulullah saw di tanah Makkah dipenuhi dengan banyak sekali ujian dan rintangan.  Berbagai respon diperlihatkan oleh masyarakat Arab Makkah. Ada beberapa orang yang menerima dakwah yang disampaikan oleh Rasulullah saw dengan tangan terbuka. Namun banyak pula yang menentangnya. Bahkan mereka pun tidak segan-segan melakukan hal buruk dan menyakitkan hati untuk menghalangi dakwah beliau. Orang-orang kafir Quraisy tidak mau ajaran nenek moyang yang telah mereka pertahankan secara turun-temurun hilang digantikan dengan ajaran Islam. Itulah sebabnya mengapa mereka sangat menolak adanya dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Didalam makalah ini penulis akan memaparkan bagaimana reaksi yang diberikan oleh masyarakat Arab Makkah terhadap dakwah Islam yang dibawa Rasulullah saw. Sehingga diakhir dapat ditarik kesimpulan dan diambil pelajaran dari kisah perjuangan beliau.
    2.      RUMUSAN MASALAH
a.       Bagaimana kondisi masyarakat Arab Makkah pada masa sebelum datangnya Islam?
b.      Bagaimana substansi dan strategi dakwah yang digunakan Rasulullah saw pada periode Makkah ?
c.       Bagaimana reaksi yang ditunjukkan masyarakat Arab Makkah terhadap dakwah Rasulullah saw ?



     B.     METODOLOGI SEJARAH
Pembahasan kasus yang menjadi topik dalam makalah ini dikupas dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis sangat efektif digunakan dalam penggambaran peristiwa masa lalu. Secara metodologis, penggunaan sosiologi dalam kajian sejarah, sebagaimana dijelaskan Weber, adalah bertujuan memahami arti subyektif dari kelakuan sosial, bukan semata-mata menyelidiki arti obyektifnya.[1] Selanjutnya konsep serta teori yang digunakan ialah konsep dan teori interaksi sosial, dakwah dan respon.
Interaksi sosial adalah hubungan dan pengaruh timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekamto didalam pengantar sosiologi, interaksi sosial merupakan kunci rotasi semua kehidupan sosial. Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar satu sama lain maka tidak mungkin ada kehidupan bersama.[2]
Konsep dakwah jika ditinjau dari segi bahasa, merupakan mashdar dari kata “da’wah” berarti panggilan, seruan atau ajakan. Sedangkan bentuk kata kerja (fi’il) nya berarti memanggil, menyeru atau mengajak (da’a, yad’u, da’watan). Orang yang berdakwah disebut da’i dan orang yang menerima dakwah disebut dengan mad’u.[3] Sedangkan ditinjau dari segi istilah menurut Prof. Toha Yahya Oemar menyatakan bahwa dakwah Islam sebagai upaya mengajak umat dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat. Jadi, dakwah dipahami sebagai proses internalisasi, transformasi, transmisi, dan difusi ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat.
Kemudian konsep respon berasal dari kata response yang berarti jawaban, balasan atau tanggapan. Menurut Ahmad Subandi, respon dengan istilah umpan balik memiliki peran atau pengaruh yang besar dalam menentukan baik atau tidaknya suatu komunikasi. Dengan adanya respon, yang disampaikan oleh objek dakwah dan subjek dakwah akan meminimalisir kesalahan dalam sebuah proses dakwah dan komunikasi.
Data sejarah yang menjadi sumber informasi dari makalah ini dikumpulkan menggunakan metode sejarah. Melalui tahapan heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Didalam tahapan heuristik atau pengumpulan data, penulis mencari sumber data sejarah melalui studi pustaka di perpustakaan. Tujuannya ialah untuk mendapatkan buku-buku yang memiliki isi relevan dengan topik yang dibahas dalam makalah.
Setelah data sejarah didapatkan, penulis melakukan verifikasi atau kritik sejarah atau keabsahan sumber. Verifikasi ada dua macam, yaitu autentisitas atau keaslian sumber (kritik ekstern) dan kredibilitas atau kebiasaan dipercayai (kritik ekstern.
Tahapan yang ketiga adalah interpretasi atau penafsiran. Interpretasi ada dua macam yaitu analisis dan sintesis. Dalam proses interpretasi sejarah, seorang peneliti harus berusaha mencapai pengertian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa.[4]
Dan tahapan yang terakhir ialah historiografi atau penulisan sejarah. Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.[5] 

C. PEMBAHASAN
      1.      KONDISI MASYARAKAT ARAB PRA-ISLAM
Bangsa Arab adalah penduduk asli Jazirah Arab. Letaknya dibagian barat daya Asia dan sebagian besar wilayahnya terdiri dari hamparan padang pasir. Oleh sebab itu iklimnya termasuk salah satu yang paling panas dan paling kering di muka bumi. Bangsa Arab adalah bangsa yang plural dengan berbagai suku, keyakinan (agama), dan kelompok-kelompok sosial yang dimiliki.
Jazirah Arab terbagi menjadi lima bagian yaitu Hijaz, Yaman, Najed, Tihamah dan Yamamah. Kota Mekkah dan Madinah termasuk kedalam bagian Hijaz. Kekuasaan atas tanah Arab juga dikuasai oleh suku Quraisy yang terdiri dari 10 golongan, yaitu Bani Adi, Bani Hushaish, Bani Yaqtah, Bani Taim, Bani Qushai, Bani Thalhah, Bani Abdul Muthalib, Bani Naufal, Bani Harb bin A Syamsin, dan Bani Harb bin Sufwan. Masing-masing dari bani-bani tersebut menduduki kelompok sosial bangsawan dan rakyat biasa. Bani-bani tersebut merupakan organisasi keluarga besar yang hubungan antar anggotanya diikat oleh pertalian darah (nasab). Namun terkadang ada kalanya hubungan seseorang dengan baninya didasarkan pada ikatan perkawinan, suaka politik, atau sumpah setia. Diluar daripada itu, selain dihuni oleh suku Quraisy tanah Arab pun juga dihuni oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi dan yang tidak beragama.
Kondisi geografis sudah barang tentu sangat mempengaruhi pembentukan sifat, perangai, watak, dan tabiat bangsa Arab. Keadaan gurun pasir yang gersang dan keras membuat mereka bersikap kasar, agresif, berwatak keras kepala, bertingkah laku yang keji, serta suka berperang dan merampas.
  Bangsa Arab dulunya mengikuti ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Namun lama-kelamaan berganti dengan agama buatan sendiri akibat prasangka-prasangka, angan-angan dan khayalan. Pluralisme yang ada ditengah-tengah bangsa Arab pra-Islam merupakan persoalan yang paling krusial yang menyebabkan hilangnya ajaran tauhid Nabi Ibrahim as di kehidupan mereka. Krisis akhlak melanda masyarakatnya. Akibatnya mereka kehilangan moral sehingga berada dalam zaman yang disebut sebagai zaman jahiliyah atau zaman kebodohan. Perbuatan-perbuatan maksiat dan mungkar merupakan hal yang sangat lazim mereka lakukan pada saat itu, seperti menyembah berhala, mengonsumsi khamr, suka berjudi, mencuri, merampok, berkelahi dan berperang, membunuh bayi perempuan yang baru lahir, memandang rendah martabat perempuan, memberlakukan hukum rimba, mempercayai ramalan, jimat, dan lain-lain.
Pada mulanya berhala masuk ke kota Makkah dibawa oleh seorang raja Makkah pada saat itu yaitu Amru bin Luhay. Ia membawa Hubal dan menempatkannya didalam Kakbah. Kemudian menyeru orang-orang untuk menyekutukan Allah swt. Masyarakat pun mengikutinya karena menganggap hal tersebut sebagai suatu kebaikan. Salah satu berhala mereka yang tertua adalah Manat yang ditempatkan di tepi pantai daerah Qudaid. Semua orang Arab menghormatinya, namun suku Auz dan Khazraj lah yang paling menghormatinya melebihi yang lainnya. Mereka juga menempatkan Latta di Thaif dan Uzza di lembah Nakhlah. Ketiga berhala inilah berhala mereka yang terbesar. Kemudian kemusyrikan semakin menjadi-jadi dan berhala pun semakin banyak disetiap bagian di bumi Hijaz.
Akan tetapi, betapapun negatifnya sifat-sifat yang dimiliki masyarakat Arab pra Islam itu, sebagai manusia mereka tentunya memiliki juga sifat-sifat yang positif, yaitu membela marwah, harga diri, martabat, kehormatan, kemerdekaan dan kebebasan mereka apabila diganggu atau dirampas orang lain, menghormati dan menghargai tamu, memotong tangan pencuri, mengafani mayat sebeum dimakamkan, berpuasa pada hari-hari tertentu (misalnya hari Asyura)[6], berani berkorban untuk membela sesuatu yang mereka yakini benar serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip persamaan dan demokrasi.

     2.      SUBSTANSI DAN STRATEGI DAKWAH RASULULLAH SAW
Sejak kecil hingga dewasa Muhammad saw tidak pernah menyembah berhala dan tidak pernah pula makan daging hewan yang disembelih untuk berhala-berhala. Ia sangat benci dan menjauhkan diri dari praktik-praktik kemusyrikan. Setelah menerima wahyu yang memerintahkan untuk berdakwah kepada kaumnya, mulailah Nabi Muhammad saw menyeru mereka untuk mengesakan Allah swt dan mengajak mereka untuk meninggalkan semua perilaku musyrik.
Secara garis besar substansi ajaran Islam yang didakwahkan oleh Rasulullah saw diawal kenabiannya adalah sebagai berikut:
a.       Keesaan Allah swt.
Islam mengajarkan bahwa Allah swt adalah pencipta dan pemelihara alam semesta serta tempat bergantung bagi semua hambanya. Oleh karena itu umat manusia harus beribadah dan hanya menghambakan diri kepada Allah swt. Perbuatan menyekutukan Allah dengan yang lain hukumnya haram dan pelakunya mendapatkan dosa yang paling besar.
b.      Hari kiamat sebagai hari pembalasan.
Kematian akan dialami oleh setiap manusia yang bernyawa. Tetapi hal tersebut bukan merupakan akhir dari segalanya. Justru merupakan awal bagi kehidupan yang panjang yakni kehidupan di alam kubur dan di alam akhirat. Adanya hari akhir merupakan peringatan bahwa kehidupan di dunia ini pun memiliki penghabisan.
c.       Kesucian jiwa.
Islam menyeru umat manusia untuk senantiasa berusaha menyucikan jiwa dan tidak boleh mengotorinya. Karena tujuan Rasulullah saw diutus oleh Allah swt tiada lain dan tiada bukan ialah untuk menyempurnakan akhlak manusia.
d.      Persaudaraan dan persatuan
Persaudaraan memiliki hubungan erat dengan persatuan. Sebab Islam mengajarkan bahwa sesama orang beriman adalah bersaudara. Mereka dituntut untuk saling mengasihi dan menyayangi dibawa naungan ridha ilahi.
            Dalam memulai tugasnya menyiarkan agama Islam di Makkah, pada mulanya Rasulullah saw berdakwah secara sembunyi-sembunyi terhadap keluarganya yang tinggal dalam satu rumah serta mengajak sahabat-sahabatnya yang terdekat. Rasulullah mengajak seorang demi seorang agar meninggalkan agama berhala dan hanya menyembah Allah swt. Beliau aktif memberikan pelajaran, bimbingan, dan pencerahan kepada para pengikutnya di tempat tersembunyi yaitu di rumah Arqam bin Abil Arqam.
Abu bakar merupakan orang yang sangat berjasa membantu jalannya seruan dan dakwah Rasululllah saw. Melalui perantaraanya banyak orang memeluk Islam, antara lain Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah, Arqam bin Abil Arqam, Fatimah binti Khattab beserta suaminya Said bin Zaid al-Adawi. Selain itu ada pula Khadijah binti Khuwailid (istri Rasulullah saw), Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan beberapa orang penduduk Makkah lainnya. Mereka kemudian bergelar Assabiqunal Awwalun yaitu orang-orang yang pertama memeluk agama Islam.
Setelah tiga tahun lamanya berdakwah dengan strategi sembunyi-sembunyi (da’watul afrad), Rasulullah saw mengubah strategi dakwahnya secara terbuka dan terang-terangan. Hal ini disebabkan oleh adanya perintah Allah yang turun dalam QS. Al-Hijr ayat 94. Dengan mengundang kerabatnya dari kabilah Bani Hasyim untuk menghadiri jamuan makan, Rasulullah saw mengajak mereka agar masuk Islam. Selain itu, beliau juga mengumpulkan penduduk Mekkah terutama yang bertempat tinggal disekitar Kakbah untuk berkumpul di bukit Shafa. Disana Rasulullah saw menyeru mereka untuk meninggalkan agama nenek moyangnya dan hanya mengesakan Allah swt saja.

     3.      RESPON MASYARAKAT ARAB MAKKAH
Rasulullah saw menerima wahyu pertama ketika sedang bertahanuts di Gua Hira yaitu QS. Al-Isra ayat 1-5. Kurang lebih dua setengah tahun kemudian, Rasulullah saw menerima wahyu yang kedua yaitu QS. Al-Muddatstsir ayat 1-7. Dengan turunnya wahyu yang kedua tersebut, jelaslah misi yang harus beliau laksanakan yaitu mengajarkan tauhid dan agama Islam.
Dalam melaksanakan misi dakwahnya yang secara sembunyi-sembunyi, Rasulullah saw mendatangi orang demi orang dan melakukan kunjungan dari rumah ke rumah. Cara ini ternyata dapat pula menarik orang-orang miskin dan hamba sahaya kedalam pangkuan Islam sehingga dapat menambah jumlah pengikutnya. Tiga tahun lamanya Rasulullah saw melakukan dakwah sembunyi-sembunyi merupakan waktu yang panjang. Hal ini dilakukan karena takut diketahui dan diancam oleh kaum kafir Quraisy. Pada tahap awal ini Rasulullah saw ekstra hati-hati agar orang-orang kafir Quraisy tidak mendeteksi gerakan dakwah yang dilakukannya.
Dakwah secara terang-terangan baru dilakukan Rasulullah saw setelah turunnya perintah Allah swt melalui QS. Al-Hijr ayat 94. Namun imbauan secara terbuka Rasullah saw terhadap masyarakat Makkah untuk memeluk Islam sama sekali tidak digubris oleh mereka. Dengan perasaan acuh tak acuh dan apatis bercampur sinis, mereka secara bulat menolak dan meninggalkan Nabi Muhammad saw.
Pada suatu hari Rasulullah saw naik ke bukit Shafa kemudian menyeru umatnya untuk meninggalkan kemusyrikan dan menyembah Allah swt. Namun mereka menampik dengan keras ajakan dan imbauan dakwah tersebut. Bahkan salah seorang paman Rasulullah saw yang bernama Abu Lahab dengan gaya congkak, raut muka angkuh dan wajah arogan mengatakan “Celakalah engkau, Muhammad! Hanya untuk inikah engkau mengumpulkan kami ?”.[7] Sedangkan istri Abu Lahab yang bernama Ummu Jamil turut menyebarkan fitnah-fitnah ke masyarakat bahwa Muhammad itu jahat, pendusta besar, pembuat onar, dan tidak boleh dipercaya.[8]
Abu Thalib adalah salah seorang paman Nabi Muhammad saw yang meskipun belum menganut Islam, tetapi menjadi pelindung gigih dan pembela Nabi Muhammad saw. Kaum kafir Quraisy selalu menghasut Abu Thalib agar mau meminta Nabi Muhammad saw untuk menghentikan dakwah, namun selalu ditolaknya. Karena ia tidak sampai hati membuat kemenakannya kecewa atau ditimpa mara bahaya yang dirancang oleh para pemuka Quraisy.
Sebenarnya ada beberapa faktor penting yang melatarbelakangi mengapa kaum kafir Quraisy sangat menentang keras agama Islam yang didakwahkan Rasululllah saw, yaitu :
a.       Mereka berpendapat bahwa beriman dan tunduk kepada seruan Rasulullah saw berarti menyerahkan komando kekuasaan kepada keluarga Muhammad (Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim).
b.      Orang-orang Quraisy memandang diri meerka sebagai kabilah yang paling mulia, super dan tinggi di Jazirah Arab. Sedangkan Islam memandang manusia memiliki hak dan derajat yang sama, kecuali tingkat ketakwaannya kepada Allah swt.
c.       Segala adat istiadat, kepercayan dan agama nenek moyang yang mereka warisi dari leluhur mereka diterima begitu saja tanpa kritik dan dipegangi secara membabi buta. Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw dianggap sebagai kepercayaan dan agama baru yang harus ditolak karena berusaha menggantikan agama nenek moyangnya.
d.      Ajaran Islam tentang kebangkitan dan siksa neraka dinilai sangat kejam oleh para kaum kafir Quraisy.
e.       Bagi sebagian orang Arab, memperjualbelikan patung untuk disembah merupakan salah satu sumber mata penghasilan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kedatangan Islam yang mengajarkan larangan membuat, menjual, dan menyembah patung-patung tersebut dipahami sebagai tindakan politik ekonomi yang secara serius dan sistemik akan menghancurkan serta mematikan sumber pendapatan mereka.
Teror, permusuhan, kebencian dan rongrongan kafir Quraisy terhadap Rasulullah saw dan pengikutnya semakin ganas. Sehingga menyentuh perasaan pamannya yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib. Dengan berani Hamzah menyatakan keislamannya dan kemudian menjadi benteng perlindungan kaum muslimin bersama dengan Umar bin Khattab yang menyatakan keislamannya setelah mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan adiknya.
Melihat hal tersebut kaum kafir Quraisy terus mencari taktik untuk melumpahkan kekuatan Islam. Akhirnya setelah mengadakan rapat penting mereka mengambil keputusan untuk melakukan pemboikotan total terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib yang selama ini menjadi tulang punggung dan inti kekuatan yang mendukung dan membela dakwah Rasulullah saw.
Bentuk pemboikotan total yang dilakukan kaum kafir Quraisy ialah :
      a.       Tidak melakukan perkawinan dengan keluarga Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib.
      b.      Tidak berjual beli dengan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib.
     c.       Tidak berbicara dan tidak menjenguk keluarga Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib yang sakit.
     d.      Tidak mengantarkan ke kuburan keluarga Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib yang meninggal dunia.
Hingga akhir tahun kesepuluh kenabian, dakwah Rasulullah saw di Makkah tidak juga memperlihatkan kemajuan yang signifikan. Beliau menilai kota Makkah sudah tidak cocok lagi untuk dijadikan basis dakwah menyebarkan Islam. Sementara disisi lain kekejaman yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap Rasulullah saw dan pengikutnya semakin bertambah hebat. Akhirnya Rasulullah saw pun memutuskan untuk melakukan hijrah total ke Madinah AL-Munawwaroh. Sebuah kota dimana masyarakatnya sangat terbuka dengan Islam karena memang mereka pun sudah mengetahui akan datangnya nabi akhir zaman yaitu Rasulullah Muhammad saw.



     C.    KESIMPULAN
Masyarakat Arab pra-Islam dikenal sebagai masyarakat jahiliyyah karena kerusakan moral yang mereka miliki. Praktik-praktik kemusyrikan dan berbagai macam perbuatan maksiat sudah seperti hal yang lazim dan menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dari mereka pada saat itu. Akan tetapi tidak berarti mereka merupakan masyarakat yang bodoh dalam hal ilmu pengetahuan. Mereka sudah mengalami kemajuan yang pesat sekali dan hal ilmu pengetahuan. Disamping itu, meskipun banyak sifat dan perilaku buruk yang mereka miliki namun sebagai manusia mereka pun tetap memiliki sifat-sifat positif yang dapat kita contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Rasulullah saw diutus oleh Allah swt untuk menyeru kepada masyarakat Jahiliyyah Makkah untuk menyempurnakan akhlak dan meluruskan akidah mereka. Berbagai macam cara ditempuh Rasulullah saw demi tegaknya syiar Islam. Mulai dari dakwah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maupun dakwah yang dilakukan secara terang-terangan.
Reaksi yang bermacam-macam pun timbul dari masyarakat Arab Makkah  sebagai tanggapan atas apa yang dilakukan Rasulullah saw. Sebagian besar dari mereka menolak dengan keras dakwah Rasulullah saw. Bahkan dengan nekad melakukan hal-hal keji dan kejam untuk menghentikan dakwah beliau. Namun sebagian lainnya yang terbuka pintu hati nuraninya dengan tangan terbuka menyambut dakwah beliau.. Mereka tidak ragu-ragu untuk menyatakan keislamannya. Kemudian bersama-sama dengan Rasulullah saw, mereka bahu-membahu memikul tugas dakwah yang begitu besar serta berat. Hingga akhirnya perjuangan menemukan titik terang dimana Rasulullah saw beserta pengikutnya melakukan hijrah ke Madinah al Munawwaroh. Sebab kota Makkah dinilai sudah tidak cocok lagi untuk dijadikan sebagai tempat berdakwah menyebarkan agama Islam. Dan melalui kota Madinah pula lah agama Islam kemudian berkembang pesat dan tersebar hingga ke berbagai wilayah di dunia.




DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, D. (2011). Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Ombak.
Ismail, F. (2015). Sejarah Dan Kebudayaan Islam Periode Klasik (abad VII - XIII M). Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Saputra, W. (2011). Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: Rajawali.
Wahhab, M. b. (2012). Mukhtashar Sirah Rasul. Surakarta: Al-Qowam.




[1] Abdurrahman, D. (2011). Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Ombak.
[2] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Interaksi _sosial (Diakses pada 24 Oktober 2018, pukul 11:15 WIB)

3 Saputra, W. (2011). Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: Rajawali.
[4] Abdurrahman, D. (2011). Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Ombak.
[5] Ibid, hlm
6 Ismail, F. (2015). Sejarah Dan Kebudayaan Islam Periode Klasik (abad VII - XIII M). Yogyakarta: Gosyen Publishing.
[7] Asbabun Nuzul QS. Al-Lahab ayat 1-3
[8] Asbabun Nuzul QS. Al-Lahab ayat 4-5