LDDI Pusat, .googleusercontent.com |
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembentukan organisasi keagamaan pada waktu itu bisa dikatakan merupakan
sebuah hal biasa. Organisasi dibentuk pada umumnya untuk menjawab tantangan dan
masalah yang ada dalam masyarakat khususnya Islam dan Pribumi. Contohnya Budi
Utomo yang didirikan 1908 untuk meningkatkan pendidikan pribumi, 1912 Sarekat
Islam untuk meningkatkan perekonomian dan perpolitikan, 1912 Muhammadiyah untuk
kesejahteraan social dan aktivitas pendidikan, dan masih banyak lagi
organisasi-organisasi lainnya dalam skala lokal. Organisasi yang akhirnya terus
ada dan meluaskan pengaruhnya sampai ke skala Nasional biasanya adalah
organisasi yang didirikan di kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung,
Jakarta, dan Yogyakarta.[1]
Persatuan Islam (Persis) adalah salah satu organisasi yang berdiri pada
sekitaran tahun 1920. Sejalan dengan latar bekalang pembentukan
organisasi-organisasi yang dijelaskan pada paragraph sebelumnya. Persis juga
didirikan sebagai jawaban dari kebutuhan umat Islam akan kajian dan aktivitas
keagamaan.[2]
Umat Islam yang terbelenggu kolonialisme Belanda membuat mereka terperosok
dalam kejumudan (kemandegan berfikir) karena Belanda dengan segala upaya ingin
memadamkan cahaya Islam.[3]
Hal ini mengilhami munculnya gerakan reformis Islam seperti salah satunya
Persis.
Di tempat dan waktu yang lain, ternyata ada kasus dan corak yang berbeda
terkait pendirian organisasi Islam. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)
ternyata kemunculan dan perkembangannya identik dengan tuduhan sebagai aliran
sesat. Berdirinya organisasi ini dikaitkan dengan Islam Jama’ah (IJ) yang resmi
dilarang tahun 1971 karena terindikasi sesat dengan konsep imamahnya terhadap
seseorang bernama Nur Hasan Al-Ubaidah. Pasca pembubaran lewat SK Jaksa Agung
RI No. Kep-089/D.A/10/1971 tanggal 29 Oktober 1971, IJ beberapa kali berganti
wajah. Tahun 1972 IJ menjadi Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI), selanjutnya 1981
menjadi Lembaga Karyawan Dakwah Islam dengan singkatan sama LEMKARI, dan
selanjutnya baru pada 1990 menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia.[4] Lantas
bagaimakah perjuangan Pesis dan LDII dalam masa kemerdekaan. Kami selaku
penyusun makalah membuat rumusan masalah sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdirinya Persis?
2. Bagaimana perjuangan Persis masa
kemerdekaan?
3. Bagaimana sejarah berdirinya LDII?
4. Bagaimana perjuangan LDII masa kemerdekaan?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah berdirinya Persis
2. Mengetahui perjuangan Persis masa kemerdekaan
3. Mengetahui sejarah berdirinya LDII
4. Mengetahui perjuangan LDII masa kemerdekaan
BAB. II
SEJARAH BERDIRINYA PERSIS
Persatuan
Islam didirikan secara formal pada tanggal 11 September 1923 di Bandung oleh
sekelompok umat Islam yang tertarik pada kajian dan aktivitas keagamaan.
Pendirian Persatuan Islam merupakan usaha sejumlah umat Islam untuk memperluas
diskusi-diskusi tentang topik-topik keagamaan yang telah dilakukan pada basis
informal selama beberapa bulan. Umat islam yang terlibat dalam diskusi ini
adalah kelas pedagang yang merupakan transmigran dari Palembang karena alasan
perdagangan. Dua tokoh utama dalam diskusi ini adalah Haji Zamzam dan Haji
Junus. Haji Zamzam adalah seorang guru Madrasah Muta’alimin di Bandung tahun
1910 setelah sebelumnya tiga tahun setengah menuntut ilmu di Darul Ulum Mekkah.
Sedangkan Haji Junus adalah seorang pedagang yang tertarik akan masalah-masalah
keagamaan dan mengoleksi banyak buku tentang islam.[5]
Diskusi yang
dikembangkan bukan menyangkut hal-hal yang bersifat mendasar, mereka lebih
mengarahkan diskusi ke pembedahan isi Al-Manar[6]
dan Al-Munir[7].
Mereka juga mengikuti perdebatan antara Al-Irsyad dan Djamiyat Chair. Keanggotaan
Persis pada awalnya hanya 20 orang dan kegiatannya hanyalah meliputi Sholat
Jum’at. Sebelum 1926 sebenarnya tidak ada kecenderungan Persis ke arah Islam
Modernis atau Tradisionalis, namun Haji Zamzam dengan kecenderungannya membawa
Islam Fundamentalis ke dalam Persis. Perkembangan ke arah Modernis ini membuat
anggota-anggota yang berpandangan Tradisionalis kesal.[8]
Ditambah lagi masuknya nama baru yaitu Ahmad Hassan yang jelas-jelas
menunjukkan bahwa dirinya adalah Modernis Islam, membuat kaum Tradisionalis
semakin terpojok.[9]
Orientasi ke
arah Islam yang lebih modernis mulai diterima oleh sebagian besar anggota Persis
dan secara otomatis makin membuat kalangan tradisionalis terpinggirkan.
Menjelang 1926, perbedaan-perbedaan antara dua golongan ini semakin menunjukkan
bentuk polarisasi yang jelas, kaum Tradisionalis akhirnya mendirikan organisasi
tandingan yang bernama Pemoefakatan Islam sedangan kaum Muda Modernis tetap ada
di bawah Persatuan Islam.[10]
Anggaran dasar Persis pasca perpecahan antara dua kubu ialah mendukung
“Pengembangan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah” dan “Dakwah dan
Pendidikan Islam”, dijalankan dengan maksud membersihkan agama dari Bid’ah.[11]
BAB. III
PERJUANGAN PERSIS MASA KEMERDEKAAN
Sedikit
dijelaskan sebelum masuk ke masalah perjuangan Persis setelah merdeka, akan
disinggung tentang peran persis pada masa sebelum kemerdekaan. Pada laporannya di
1931, pemerintahan Hindia Belanda menyatakan bahwa Persatuan Islam bukanlah
organisasi politik, tetapi banyak anggotanya aktif secara politik dan bisa
ditemukan di dua partai utama yang ada pada waktu itu: Sarekat Islam dan Partai
Nasionalis. Pada umumnya pandangan politik Persatuan Islam adalah Nasionalis
Muslim dan sangat bersebrangan dengan pemikiran-pemikiran sekuler. Semua
pemikiran Persatuan Islam ini dituangkan dalam artikel Pembela Islam dan
Al-Lisan pada kurun waktu 1930an. Artikel tersebut berisi tentang
pentingnya persatuan Islam atau Panislamisme untuk menghadapi penjajah, dan
juga pentingnya kerjasama Muslim Timur Tengah dan Asia.[12]
Sebelum
kemerdekaan, kegiatan Persis lebih menekankan aktivitas individual dibanding
aktivitas organisatoris. Barulah pada pertengahan 1950an timbul perhatian untuk
mengarah ke program pendidikan. Struktur organisasi Persatuan Islam dipusatkan
pada badan pusat di Bandung. Di markas pusat ini terdapat beberapa bagian yang
menangani dan mengkoordinasi kegiatan-kegiatan organisasi. Ada lima bagian
dalam struktur organisasi Persis, yaitu bagian tabligh, bagian pendidikan,
bagian penyiaran, bagian wanita, dan bagian pemuda yang masing-masing memiliki
tugas berbeda.[13]
Untuk lebih lengkapnya, akan kami jelaskan perjuangan Persis pada masa
kemerdekaan lewat poin-poin dibawah ini.
A. Pendidikan
Sistem pendidikan yang ada dalam Persatuan Islam lebih banyak
menempatkan materi keagamaan dibanding mata pelajaran umum. Pada 1955 didirikan
pusat pendidikan Persis di Bandung yang mengatur dan memastikan bahwa kualitas
dan standarisasi semua sekolah Persatuan Islam sama. Pada 1963 tercatat ada 20
sekolah yang ditangani Persatuan Islam, yang tersebar di Jawa Barat dan Jawa
Tengah bagian barat. Materi keagamaan yang diberikan dalam sekolah cukup besar,
sebagai contoh di sekolah dasar milik Persis, di dua tahun pertama 75% adalah
materi agama, dan tahun-tahun setelahnya 50%. Sedangkan sekolah menengah
menedapat 60% materi agama, yang menekankan pada Hadits, Bahasa Arab, dan Fiqih.
Selain itu ada juga Universitas Pesantren Persatuan Islam yang memiliki program
pendidikan 5 tahun bagi yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Pendidikan tingkat Universitas ini dimaksudkan untuk mencetak petugas-petugas
keagamaan untuk mengisi jabatan Departemen Agama.[14]
B. Penerbitan
Persatuan Islam menerbitkan beberapa majalah sejak tahun 1948. Majalah
pertama Persatuan Islam adalah Aliran Islam yang terbit 1948, walau
tidak secara keseluruhan dibuat oleh Persatuan Islam namun peran anggota
Persatuan Islam besar dalam penulisan majalah ini. Majalah Al-Muslimun terbit
pada tahun 1954-1963, majalah Pembela Islam diterbitkan di Bangil tahun
1956 oleh Ahmad Hassan. Majalah resmi Persatuan Islam pertama terbit pada 1962
berjudul Risalah. Selain itu ada juga majalah yang terbit setiap bulan
yaitu Suara Ahlis Sunnah wal Djama’ah, walau penerbitannya hanya ada
pada tahun 1956 saja, dan masih banyak lagi.[15]
C. Peran Penting Fiqih
Tekanan Persatuan Islam pada fiqih telah menghidupkan organisasi itu
dari upaya pembekuan selama masa perang kemerdekaan. Permasalahan fiqih atau
fatwa-fatwa banyak dikeluarkan oleh ulama Persatuan Islam di Pesantren Bangil.
Ulama yang dimaksud adalah Ahmad Hassan, Abdulqadir Hassan, Abdulah Ahmad, dan
Haji Moenawar Chalil. Fatwa-fatwa ini dikeluarkan pada pasca perang kemerdekaan
dan menghasilkan sebuah corak fatwa yang cenderung ke arah politik. Fatwa yang
dihasilkan merefleksikan gagasan umum nasionalisme, dasar filosofis Negara, dan
kecaman terhadap kecenderungan politik yang bertentangan dengan tujuan-tujuan
politik umat Islam.[16]
D. Ekonomi
Dari kalangan Persatuan Islam ini yang bersuara mengenai ekonomi adalah
Muhammad Natsir. Ia meyakinin sistem sosialis yang di dasarkan pada prinsip
islam untuk digunakan pada masa kini. Hal ini ia dasarkan pada ayat Al-Qur’an
Surat At-Taubah ayat 34 yang menjadikan malapetaka yang menyiksa bagi
orang-orang yang tidak menggunakan kekayaan mereka sesuai dengan jalan yang
diridhai Allah. Natsir juga menyatakan bahwa ayat ini menolak paham kapitalis
yang disebutnya sebagai “jiwa yang tamak... menumpuk harta, emas dan berlian
hanya untuk kesenangan dirinya sendiri tanpa memperhatikan masyarakat”.[17]
E. Peran Wanita Dalam Masyarakat
Persatuan Islam berpendapat bahwa terdapat perbedaan karakter yang pokok
antara pria dan wanita sehingga setiap jenis kelamin memiliki kegunaan
sendiri-sendiri. Persatuan Islam berpendapat pria dan wanita hanya berbeda
dalam pembagian tugas saja, dan tidak berarti bahwa salah satu lebih unggul
dibanding yang lain. Pria memiliki beberpa fungsi yang tidak bisa dilaksankan
wanita, begitupun sebaliknya. Tetapi untuk kesejahteraan dua jenis kelamin itu,
bantuan dan kerjasama yang baik sangatlah essensial. Persatuan Islam menyatakan
bahwa dalam kehidupan masyarakat pria dan wanita tidak boleh bercampur atau
berkumpul satu sama lain secara bebas, selain dalam lingkungan keluarga dan
melalui perkawinan.[18]
F. Masalah Poligini (Poligami)
Persatuan Islam tidak banyak berbicara tentang Poligini, namun mereka
betul-betul mempertahankan praktek ini karena diperbolehkan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah. Dalam perdebatannya dengan kalangan sekuler, Persatuan Islam membalas
pernyataan mereka yang menganggap monogami cocok untuk masyarakat Indonesia,
dengan menyerukan bahwa kalangan sekuler berpendapat seperti itu semata-mata
hanya meniru pemikiran barat tanpa ada pertimbangan. Menurut yang dituliskan
dalam majalah Pembela Islam, mereka yang menerapkan pemikiran barat
disebut “Bersekongkol dengan paham Barat”.[19]
G. Politik Praktis Kader Persis
Pemimpin Persatuan Islam menekankan pada dasarnya merupakan organisasi
keagamaan, tetapi untuk membangun ideologi Islam dalam masyarakat maka
Persatuan Islam perlu terlibat dalam kegiatan politik. Persatuan Islam
berpendapat bahwa semua umat Islam memiliki tugas untuk terlibat dalam
perpolitikan yang merupakan bagian dari tugas agama. Karena Islam tidak
terhenti pada aktivitas aqidah dan ibadah, namun juga perjuangan da;am medan
politik agar mencapai kemenangan ideologi Islam. Menurut Muhummad Natsir “kita
umat islam tidak bisa memisahkan diri kita sendiri dari politik, dan sebagai
aktivis politik kita tidak mampu memisahkan diri dari ideologi islam. Bagi
kita, keberadaan Islam tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masyarakat,
bangsa dan kebebasan”.
Atas dasar argument-argumen seperti itu, kebanyakan anggota Persis
akhirnya bergabung dengan Masyumi, bahkan ada yang menduduki posisi penting
dalam Masyumi. Muhammad Natsir menjadi tokoh terjenal di Masyumi, dan pada
tahun 1949 setelah memegang jabatan-jabatan menteri muda, ia menjadi pimpinan
umum Masyumi. Secara umum ia adalah pemimpin yang dapat diterima kaum modernis
partai Masyumi. Pada 1951, sebagai pimpinan Partai, ia menyususn kabinet yang
berlangsung hingga tahun berikutnya dan terkenal karena keseriusannya dalam
menyelesaikan masalah-masalah administrasi dan ekonomi bangsa Indonesia.[20]
BAB. IV
SEJARAH BERDIRINYA LDII
Lembaga
Dakwah Islam Indonesia atau yang sering disingkat dengan LDII merupakan organsisai
kemasyarakatan yang mengalami pergantian nama beberapa kali. Lahirnya LDII
tidak lepas dari tokoh yang sangat berperan dalam memperjuangkan keberlangsungan organisasi
ini. Pada
tahun 1951, Nur Hasan Ubaidah Lubis mendirikan Darul Hadits, bertempat di desa Burengan Banjaran, Kedriri, Jawa
Timur bersamaan dengan pesantren yang sedang dirintisnya. Namun dalam
perjalanannya, ajaran yang disampaikan Ubaidah Lubis mulai membawa keresahan di
masyarakat. Pada tahun 1968, PAKEM (Pengurus Aliran Kepercayaan Masyarakat)
Jawa Timur melarang lembaga ini. Setelah pelarangan yang dilakukan oleh PAKEM
Jawa Timur Darul Islam berganti nama
menjadi Islam Jama’ah. Sebagaimana Darul
Hadits, Islam Jama’ah juga mendapat respon yang tidak senang. Sehingga,
pada 29 Oktober 1971 pemerintah melarang lembaga ini dengan dikeluarkannya
Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. 089/DA/X/1971, karena
dianggap ada ajaran-ajaran yang menyimpang dari ajaran Islam. Dikeluarkannya
surat keputusan tersebut menjadikan IJ organisasi terlarang di Indonesia.[21]
Disela-sela
Islam Jama’ah secara formal mendapat larangan pemerintah, mantan anggota IJ
mendirikan Jama’ah motor club atau duta motor. Club ini dibentuk memperbaiki
hubungan dengan pemerintah. Sejak dibentuknya club ini, mereka mulai mengadakan
aktivitas-aktivitas peringatan pada hari-hari besar nasional, seperti 17
Agustus. Mereka juga pernah bergabung menjadi tim sukses Golkar pada Pemilihan
Umum (Pemilu) tahun 1971.[22]
Selain
itu, beberapa diantara mantan anggota IJ meminta kesempatan kepada pemerintah
untuk diberi ijin mendirikan lembaga yang dapat menampung dan memberikan
bimbingan kepada mereka. Terutama Ubaidah Lubis dan rekannya Nurhasyim. Kemudian
pada 1 Januari 1972 didirikanlah LEMKARI (Lembaga Karyawan Islam atau Lembaga
Karyawan Dakwah Islam) di Jawa Timur.LEMKARI didirikan untuk menampung mantan
anggota Islam Jama’ah atau sejenisnya. Dengan berdirinya LAMKARI, maka Ubaidah
Lubis sebagai pendiri IJ mengundurkan diri dari kepemimpinan formal termasuk
dipesantrennya.[23]
Islam
Jama’ah yang telah menyebar seperti di Jawa Tengah mempunyai nama Yayasan
Karyawan Islam (YAKARI), Jawa Barat dengan nama Lembaga Karyawan Dakwah Islam
(LDKI), sedangkan di Jakarta bernama Karyawan Dakwah Islam (KADIM). Pada
Februari 1975 atas saran yang diberikan ketua umum DPP Golkar, Amir Murtono, S.
H untuk meyamakan nama lembaga-lembaga tersebut dengan nama LAMKARI. Saran itu
diterima, dengan digantinya nama-nama disetiap daerah tadi menjadi LAMKARI
seperti nama LAMKARI pusat di Jawa Timur.[24]
Pada
musyawarah besar LEMKARI IV tahun 1990 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta,
LEMKARI berganti nama menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia).
Penggantian nama ini atas anjuran Menteri Dalam Negeri Jendral Rudini, dengan
alasan agar tidak rancu dengan Lembaga Karatedo Republik Indonesia.[25]
BAB. V
PERJUANGAN LDII MASA KEMERDEKAAN
LDII
merupakan organisasi kemasyarakat resmi dan legal yang mengikuti ketentuan UU
No. 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan, serta pelaksanaanya
meliputi Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1986 dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 5 tahun 1986. LDII memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah
Tangga (ART), program kerja dan pengurus mulai dari tingkat pusat sampai dengan
tingkat desa. LDII juga sudah tercatat dalam Badan Kesatuan Bangsa dan
Perlindungan Masyarakat (Bakesbang dan Linmas) Dapertemen Dalam Negeri.[26]
Dalam
perkembangannya, LDII semakin mengeratkan hubungannya dengan pemerintah Orde
Baru dalam hal ini partai Golkar. Dengan adanya hubungan ini telah
memberikan kekuatan kultural dan social
dalam pengembangan organisasi ini di tengah-tengah masyarakat. Semenjak
dinaungi Golkar LDII semakinberkembang dengan semakin banyaknya dukungan dari masyarakat. Peran Golkar memang tidak
bisa dihilangkan dalam keberlangsungan organisasi ini. Terlihat pada Rakernas 1
tahun 2000 Dewan Pengurus Daerah (DPD) Provinsi sebanyak 30, DPD Kabupaten/Kota
302, PC 1.637, serta PAC 4.500. secara keseluruhan, terutama ditingkat PAC
kenaikannya mencapai 15-20% dari dua tahun sebelumnya.[27]
LDII
saat ini masih terus melakukan proses sosialisasi identitas sebagai kelompok
social berbasis agama. Populasi masa yang memang tidak besar, namun solidaritas
dan efektivitas pola kerja mereka sangat bagus. LDII juga menjalani komunikasi
intensif dengan ormas-ormas lainnya seperti NU, MUI, Muhammadiyah, Peris, dan
lain-lain. LDII juga menjadikan Pondok Pesantren Burengan sebagai basis
ideology dan pusat persemaian kader ideology organisasi.[28]
LDII
mempunyai tujuan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang Islami serta untuk mejadi wadah partisipasi masyarakat yang
terpanggil dan berkewajiban meningkatkan kualitas iman dan taqwa, serta amal
soleh dalam rangka mewujudkan masyarakat madani yang demokrasi dan berkeadilan
social baik material maupun spiritual berdasarkan Pancasila.[29]
Dalam
rangka mewujudkan tujuannya itu, LDII mulai membenahi diri dan membuka diri
terhadap masyarakat. LDII
berusaha meningkatkan kinerja organisasi dengan menata dan meningkatkan
eksistensi LDII sebagai organisasi kemasyarakatan yang menitik beratkan pada
kegiatan keagamaan dan pendidikan masyarakat. Ini diwujudkan dengan berdirinya
pondok-pondok pesantren mini, seperti Pondok Pasantren (PP) Siman didirikan
untuk korban tsunami, PP Nurul Huda Kresek, PP Nurul Hakim Kelurahan Bandar
Kidul, PP Nurul Hakim Kelurahan Ngino, PP Nurul Muttaqien Desa Banjar Anyar, PP
Blawe Desa Blawe, dan PP Nurul Azizah Desa Balong Jeruk. Pondok pesantren
tersebut sering diadakan pengajian tiga kali seminggu dan terbuka untuk umum.[30]
Pendirian sekolah-sekolah
umum yang dipadukan dengan pondok-pondok pesantren LDII. Misalnya SMA Budi
Utomo meyatu dengan PP Gading Mangu di Kecamatan Perak, Jombang. Yangmana
kurikulum SMA Budi Utomo sama dengan kurikulum SMA pada umumnya. Selain bidang pendidikan,
perhatian LDII juga tertuju pada pentingnya peningkatan sumber daya manusia
dengan mendirikan tempat-tempat pelatihan, seperti bengkel kerajinan dan
keterampilan bangunan serta kursus-kursus bahasa Inggris dan computer. LDII
juga menggerakkan kelompok usaha bersama di bidang pemenuhan kebutuhan pokok
dengan pemberdayaan potensi umat. Melalui perbengkelan, perusahaan kontraktor,
peternakan, dan pengembangan usaha perkebunan cengkeh.[31] Usaha-usha yang dilakukan
LDII ini juga dalam rangka mendukung program pemerntah. Ada pula program
penghijauan yang dilakukan oleh warga LDII.
LDII
yang diawal kemunculannya telah menjalin kerjasama dengan Golkar. Yangmana
Golkar merupakan partai politik besar masa Orba. Pengaruh Golkar dalam
pemerintahan saat itu, sangat baik untuk keberlangsungan LDII. Namun, setelah
masa Orba, di era reformasi LDII merubah pola hubungannya dengan negara. LDII
tidak semata berpartisispasi pada partai Golkar, tapi anggota LDII diberi
kebebasan untuk bergabung partai politik lain.
Baca Juga: Kebijakan Orde Lama Terhadap Islam
Dalam
rakernas LDII, juga menegaskan tentang perlunya peran para anggota LDII di
masyarakat, untuk menghilangkan stigma negative masa lalu mereka di masyarakat.
LDII melakukannya dengan cara berpartisipasi dan ikut dalam program-program
pemerintah. Dalam pemilu 2009 misalnya, LDII menyediakan Pondok Pesantren LDII
Burengan sebagai lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dalam memilih pun para
anggota diberi kebebsan untuk menentukan pilihannya. Para anggota dihimbau agar
menggunakan hak pilihnya dan tidak golput.[32]Masih banyak lagi
usaha-usaha LDII dalam menumbuhkan modal social dan menjadi bagian dari
struktur social di Indonesia.
BAB. VI
PENUTUP
Kesimpulan
Tidak
seperti kelahiran Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama yang memang telah memiliki
arah untuk kecenderungan organisasi, Persatuan Islam lahir karena kebutuhan
masyarakat pedagang akan diskusi-diskusi keagamaan. Diskusi-diskusi inilah yang
menghantarkan terlihatnya dua kubu kecenderungan modern dan kecenderungan
tradisional. Dua pengaruh ini mewarnai tiga tahun pertama Persatuan Islam yang
pada akhirnya kecenderungan Modernlah yang menang pengaruh dan membuat
organisasi ini memiliki corak modernis. Peran persatuan Islam dalam kemerdekaan
Indonesia juga tidak sedikit, walau lingkupnya organisasi namun mereka berhasil
menjalankannya dengan baik dan terorganisir seperti pendidikan, ekonomi,
penerbitan, dll. Di kancah perpolitikan, Persatuan Islam secara tegas bergabung
dengan Masyumi sebagai wadah politik pemersatu umat Islam, dan mereka berhasil
menjalankannya dengan baik.
LDII
menupakan organisasi yang lahir dari perjuangan tokohnya Nur Hasan Ubaidah,
sepak terjangnya diawali dari pendirian Daarul Hadits tahun 1951 di Desa
Burengan, Banjaran, Kediri bersamaan dengan pesantren. Namun dalam
perjalanannya, Daarul Hadits menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, dan
akhirnya namanya berganti menjadi Islam Jama’ah. Pergantian nama ini tidak
banyak merubah nasib organisasi ini, sampai ex-anggota Islam Jama’ah mendekati
pemerintah dan berhasil mendirikan organisasi yang legal bernama LEMKARI
(Lembaga Karyawan Islam), lalu berganti lagi Lembaga Karyawan Dakwah Islam yang
juga disingkat LEMKARI, sampai akhirnya 1990 berganti menjadi LDII. Dengan
wajah baru ini, selain menghilangkan kesan buruk di masa lalu LDII menjadi
lebih dapat bekerjasama dengan pemerintah dan diterima lapisan masyarakat.
Daftar Pustaka
Abdul
Aziz, dkk, Gerakan Islam Kontemporer di
Indonesia (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hlm. 43, dan Devi Asidah
Arivianti, Organisasi Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) Jawa Timur Tahun
1972-1989.
Devi
Asidah Arivianti, Organisasi Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) Jawa Timur
Tahun 1972-1989, dalam Skripsi,
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga
Surabaya, 2016.
DPP
LDII, Sejarah, dalam http://www.ldii.or.id/id/organisasi/organisasi-2/sejarah-organisasi-26.html,
diakses Sabtu 25 November 2017, pukul 10:23 WIB.
Ety
Susilawati, Sikap Keberagamaan Jama’ah LDII di Desa Ngawi Kecamatan Ngawi
Kabupaten Ngawi Jawa Timur, dalam Skripsi,
Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2005, hlm. 37-38.
Federspiel, Howard M.. 1996. Persatuan
Islam Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, terj. Yudian W. Asmin dan Afandi
Mochtar. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hilmi,
M, Pergulatan Komunitas Lembaga Dakwah Islam Indonesia di Kediri Jawa Timur,
dalam Disertasi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Departemen Antropologi, Program Studi Pascasarjana,
Universitas Indonesia, Depok, 2012, hlm.
104.
https://brainly.co.id/tugas/7593209
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Al-munir_(majalah)
Kopral Cepot, Sejarah Persatuan Islam,
dalam serbasejarah.wordpress.com/2009/05/31/sejarah-persatuan-islam/, diakses
pada 22 November 2017, pukul 21.52 WIB.
LIPPI. 1998. Bahaya Islam Jama’ah
Lemkari LDII. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam,.
Muhammad, Nur Hidayat. 2012. Benteng Ahlussunah wal Jamaah: Menolak Faham Salafi, Wahabi, MTA,
Hizbut Tahrir dan LDII. Kediri: Nasyrul ‘Ilmi Publishing.
[1] Howard M. Federspiel, Persatuan Islam Pembaharuan
Islam Indonesia Abad XX, terj. Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press), hlm. 15.
[3] Kopral Cepot, Sejarah Persatuan Islam, dalam
serbasejarah.wordpress.com/2009/05/31/sejarah-persatuan-islam/, diakses pada 22
November 2017, pukul 21.52 WIB.
[4] LIPPI, Bahaya Islam Jama’ah Lemkari LDII (Jakarta:
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 1998), hlm. 51.
[6] Al-Manar adalah salah satu kitab Tafsir yang banyak
berbicara tentang sastra-budaya dan kemasyarakatan. Suatu corak penafsiran yang menitikberatkan
penjelasan ayat Al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksinya, kemudian
menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penekanan
pada tujuan utama turunnya Al-Qur’an, yakni memberikan petunjuk bagi kehidupan
Manusia. Lihat https://brainly.co.id/tugas/7593209
[7] Al-Munir adalah majalah islam dwi-mingguan berbahasa
Arab-Melayu yang pernah terbit di Padang. Terbit perdana atas prakarsa Abdullah
Ahmad pada awal April 1911. Al-Munir tercatat sebagai media Islam pertama di
Indonesia. Lihat https://id.m.wikipedia.org/wiki/Al-munir_(majalah)
[19] Ibid.,
hlm. 195-196.
[20] Ibid.,
hlm. 197-201.
[21] Nur Hidayat
Muhammad, Benteng Ahlussunah wal Jamaah:
Menolak Faham Salafi, Wahabi, MTA, Hizbut Tahrir dan LDII (Kediri: Nasyrul
‘Ilmi Publishing), hlm. 13-14.
[22] Devi Asidah Arivianti, Organisasi Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI)
Jawa Timur Tahun 1972-1989, dalam Skripsi,
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga
Surabaya, 2016, hlm. 26.
[24] Abdul Aziz, dkk, Gerakan
Islam Kontemporer di Indonesia (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hlm. 43, dan
Devi Asidah Arivianti, Organisasi Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) Jawa Timur
Tahun 1972-1989, hlm. 38.
[25] DPP LDII, Sejarah, dalam http://www.ldii.or.id/id/organisasi/organisasi-2/sejarah-organisasi-26.html,
diakses Sabtu 25 November 2017, pukul 10:23 WIB.
[26] Ety
Susilawati, Sikap Keberagamaan Jama’ah LDII di Desa Ngawi Kecamatan Ngawi
Kabupaten Ngawi Jawa Timur, dalam Skripsi,
Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2005, hlm. 37-38.
[27] Hilmi, M, Pergulatan Komunitas Lembaga Dakwah Islam Indonesia di
Kediri Jawa Timur, dalam Disertasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Antropologi, Program Studi
Pascasarjana, Universitas Indonesia, Depok, 2012, hlm. 104.
[29] Ety
Susilawati, Sikap Keberagamaan Jama’ah LDII di Desa Ngawi Kecamatan Ngawi
Kabupaten Ngawi Jawa Timur, hlm. 41-42.
0 komentar:
Post a Comment