Soekarno, gstatic.com |
Pengantar
Puji syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat
kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah serta iradah-Nya, mustahil kami
mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami sumbangkan dari daya pikir yang lemah
ini, terkumpullah kini menjadi satu makalah.
Dalam aspek manapun, makalah ini belum memenuhi kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca
mungkin dengan mudah akan menemukan kesalahan. Itu semua murni karena
ketidaktahuan serta keteledoran kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami
saring menjadi seminimal mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung
dalam penyusunan makalah ini.
Setidaknya, dalam
penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami sendiri, ada
banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan banyak
manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
Pada akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami
persembahkan kepada khususnya Zuhrotul Lathifah, S. Ag., M. Hum. selaku dosen
pengampu mata kuliah Sejarah Islam Indonesia Masa Kemerdekaan yang memberi kami
kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada teman-teman
mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan agama. Semoga
Allah memberkati makalah kami. Aamiin.
Sleman,
13 September 2017
Irfan Hamid
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak peristiwa kemerdekaan dalam hal ini kaitannya dengan merancang
bentuk Negara Indonesia, golongan Nasionalis Islam selalu kalah dalam hal
suara. Akibatnya, cita-cita mendirikan Negara islam pun kandas. Meskipun
Indonesia adalah Negara yang mayoritasnya adalah pemeluk Islam, namun golongan
Nasionalis Islam adalah minoritas politik. [1] Dengan
segala keterbatasannya, umat Islam Indonesia pasca proklamasi sudah mencoba
merumuskan corak masyarakat dan cita-cita politik yang hendak mereka ciptakan
dalam mengisi kemerdekaan. Salah satunya adalah penerapan syariat Islam dalam
kehidupan berbangsa. Namun golongan yang sebenarnya Muslim namun beranggapan
agama dan politik harus dipisah, menolak penerapan syariat Islam, dan lagi-lagi
Golongan Nasionalis Islam kalah dalam jumlah aspirasi.[2]
Dengan kekalahan aspirasi muslim dalam membentuk Negara islam, kekuasaan
Negara diambil alih oleh Presiden Soekarno dan pasukan militer. Ia menciptakan sistem
“Demokrasi Terpimpin” dan merancang pembentukan sebuah kabinet yang di dalamnya
terdapat berbagai golongan, termasuk Nasionalis, Agamis, dan Komunis yang
kemudian dikenal sebagai program ideologi Nasakom.[3]
Konsep Nasakom ini menggambarkan keinginan Soekarno untuk mewujudkan
Negara Indonesia menjadi sebuah Negara yang Demokratis dengan menerima aspirasi
dari semua golongan. Akan tetapi, sampai tahun 1957 percobaan demokrasi
tersebut mengalami kegagalan, korupsi tersebar luas, kesatuan wilayah Negara
terancam, keadilan sosial belum tercapai, masalah-masalah ekonomi belum
terpecahkan, serta masalah lainnya. Percobaan demokrasi tersebut gagal karena
dasar untuk membangun demokrasi perwakilan hampir tidak ditemukan. Masyarakat
Indonesia masih belum terbiasa dengan sistem Demokrasi yang diterapkan, karena
sudah selama ratusan tahun penjajah (Belanda-Jepang) menrapkan sistem yang
otoriter, kendala yang lain adalah karena wilayah Indonesia yang sangat luas
belum diimbangi dengan teknologi informasi seperti sekarang ini.[4]
Akhirnya dengan perlahan Indonesia tumbuh dengan sistem demokrasi, yang sedikit
banyak memengaruhi berbagai golongan termasuk Islam Nasionalis yang harus
tunduk terhadap apa yang dijadikan “kesepakatan”. Dengan bentuk Negara yang tidak
seperti harapan Nasionalis Islam, membuat sebuah persismpangan bahkan tabrakan
antara pendapat golongan-golongan tadi. Hal tersebut pulalah yang mewarnai
sejarah Indonesia pasca kemerdekaan pada umumnya, dan orde lama khususnya yang
akan kami bahas dalam beberapa rumusan masalah di bawah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kebijakan pemerintahan orde lama
terhadap umat islam?
2. Bagaimana tanggapan umat islam menghadapi
kebijakan pemerintahan orde lama?
C. Tujuan
1. Mengetahui kebijakan pemerintahan orde lama
terhadap umat islam
2. Mengetahui tanggapan umat islam menghadapi
kebijakan pemerintahan orde lama.
BAB. II
PEMBAHASAN
Sebagaimana telah disebutkan, sejak awal kebangkitan nasional, posisi
agama sudah mulai dibicarakan dalam kaitannya dengan politik atau Negara. Ada
dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yaitu mereka yang beranggapan
bahwa Negara harus dipisahkan dengan agama (sekuler), dan mereka yang
menghendaki Indonesia menjadi negara Islam.[5] Namun
akhirnya golongan Nasionalis Islam harus mengakui kekalahannya dalam hal
perumusan dasar Negara, ditandai dengan pendeknya usia Piagam Jakarta dalam
sejarah Indonesia.[6]
Untuk meredam keinginan Nasionalis Islam akan bentuk Negara Indonesia
versi mereka, nampaknya para pemimpin Indonesia sudah bergerak jauh ke depan
untuk memikirkan “jalan tengah” dari perndapat yang bersebrangan antara dua golongan
tersebut. Mereka menganjurkan Negara mempunyai dasar keagamaan secara umum,
maka dibentuklah departemen agama.[7]
Departemen agama didirikan pada masa kabinet Syahrir yang mengambil
keputusan tanggal 3 Januari 1946 untuk memberikan sebuah konsesi kepada muslim.
Awalnya pendirian departemen agama mendapat halangan dari para perumus UUD 1945
pada rapat PPKI 19 Agustus 1945. Akan tetapi, Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) pada 11 November 1945 mengusulkan pendiriannya melalui usul K. H.
Abudardiri, K. H. Saleh Su’aidi dan M. Sukoso Wirjosaputro. Usul tersebut
mendapat dukungan dari pihak M. Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan M.
Karto Sudarmo. Dalam beberapa tahun Departemen agama akhirnya berubah nama
menjadi kementerian agama yang di dalamnya terdapat lima seksi dari lima agama
yang diakui dalam Negara Indonesia. Tujuan dan fungsi kementerian agama antara
lain:
1. Mengurus serta mengatur pendidikan agama di
sekolah, dan membimbing perguruan agama
2. Mengikuti dan memperhatikan hal yang
bersangkutan dengan agama dan keagamaan
3. Memberi penerangan dan penyuluhan agama
4. Mengurus dan mengatur peradilan agama serta
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum agama
5. Mengurus dan memperkembangkan IAIN,
perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur, serta mengurus dan mengawasi
pendidikan agama dan perguruan-perguruan tinggi
6. Mengatur, mengurus, dan mengawasi
penyelenggaraan ibadah Haji.[8]
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia secara utuh baru
berakhir pada Desember 1949 setelah Konferensi Meja Bundar ditanda-tangani oleh
Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Belanda di Den Haag. Lewat keputusan rapat,
M. Natsir dan kawan-kawan dalam parlemen pada tahun 1950 dibentuklah Negara
Kesatuan Republik Indonesia di bawah payung UUDS (Undang-Undang Dasar
Sementara) 1950. Menurut UUDS ini hidup mati sebuah kabinet ditentukan oleh
besar kecilnya dukungan yang diperoleh dalam parlemen. Kedudukan presiden
tidaklah mutlak, dan kepala pemerintahan adalah perdana menteri, dan perdana
menteri pertama itu adalah M. Natsir yang dalam hal ini adalah berasal dari
golongan Nasionalis Islam. Berturut-turut setelah kabinet Natsir, bergantilah
beberapa kabinet yaitu kabinet; Soekiman, Wilopo-Prawoto, Ali, dan Baharudin.
Kabinet Baharudin ini mencatat prestasi gemilang yaitu pelaksanaan pemilu
pertama di Indonesia (1955), dan sederet prestasi lainnya.[9]
Pemilu pertama tahun 1955 itu diikuti oleh 28 golongan partai politik,
yang secara keseluruhan memiliki tiga corak utama yaitu Nasionalis, Islamis,
dan Komunis. Pemilu ini dilaksanakan sebagai realisasi dari sistem demokrasi
yang dianut Indonesia. Satu tahun setelah pemilu pertama, kabinet berganti lagi
dari kabinet Baharuddin menjadi kabinet Ali-Roem-Idham yang dilantik pada 24
Maret 1956. Namun kabinet ini tidaklah berumur panjang, pada 14 Maret 1957 Ali
menyerahkan kembali kabinet kepada presiden setelah Roem dan Idham menarik
menteri-menterinya dalam kabinet. Setelah peritiwa itu, dalam tubuh Majlis
Konstituante terdapat perselisihan lagi mengenai bentuk Negara, akhirnya mereka
dibubarkan lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu berisi pemberlakuan kembali
UUD 1945 untuk menggantikan UUDS 1950.[10]
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan berdasarkan hukum darurat perang
atau keadaan Negara yang dalam bahaya. Dekrit presiden tersebut dapat
dibenarkan walaupun tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Setelah
diberlakukannya demokrasi ini, di Indonesia kebebasan menjadi sedikit dibatasi
dengan alasan demi kepentingan rakyat banyak dan keselamatan Negara.[11]
Demokrasi terpimpin sontak didominasi oleh sosok Soekarno, walaupun di dalam ia
tetap berkompromi dengan Angkatan Bersenjata, namun pengamat menganggap
Soekarno sebagai seorang diktator. [12]
Keputusan ini juga diambil karena bung Karno tidak lagi ingin hanya sebatas
menjadi stempel dalam pemerintahan seperti dalam UUDS 1950.[13]
Bersamaan dengan gencarnya propaganda Demokrasi terpimpin, Soekarno
mengkritik secara telak ide dan pelaksanaan demokrasi Liberal yang menurutnya
tidak cocok dengan Indonesia dan mejauhkan Indonesia dengan revolusi menuju
masyarakat yang adil dan makmur. Soekarno sudah muak dengan pertentangan selama
ini, dan menganggap demokrasi liberal barat itulah penyebabnya, karena
Indonesia adalah Negara dunia Timur maka seharusnya demokrasinya pun bercorak
ketimuran. Dan demokrasi ketimuran menurut Soekarno adalah demokrasi yang
didampingi oleh pimpinan. [14]
Rezim baru telah terbentuk, dan mengasingkan beberapa kekuatan penting
di masyarakat. Dalam periode ini juga hutang kepada asing mebengkak dan
mengancam stabilitas ekonomi Negara. Lewat konsep ideology Nasakom rezim
baru ini juga memberikan kesempatan bagi Partai berhaluan Komunis untuk
berkembang dan mengkonsolidasikan kepentingan politik mereka.[15]
B. Tanggapan Umat
Islam Menghadapi Kebijakan Pemerintahan Orde Lama
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia
tidaklah menyurutkan semangat perjuangan politik umat islam. Akhirnya umat
islam sepakat merapatkan barisan dalam politik dengan membentuk satu partai
muslim tunggal yaitu Masyumi. Tentu saja bukanlah Masyumi yang dibuat oleh
Jepang, Masyumi yang berdiri pada 7-8 November 1945 ini murni buatan
pembesar-pembesar Muslim yang terdapat pada kancah politik Indonesia. Adapun
nama yang dipakai tetap menggunakan Masyumi, itu adalah sebuah kesepakatan
rapat pada saat itu karena dirasa nama Masyumi telah melekat pada umat Islam.
Hampir semua partai islam ikut serta dalam Masyumi kecuali Perti. Masyumi hadir
sebagai pembela Islam yang tangguh dalam kancah Demokrasi Indonesia.[16]
Dalam kongres November itu, tercatat sebagai ketua panitia ialah M.
Natsir dengan anggota-anggota; Soekiman, Abikusno, Wahid Hasyim, Hamengkubuwono
IX, Gaffar Ismail, dan Paku Alam VIII. Dengan masa yang begitu banyak dalam
tubuh Masyumi membuat partai ini sangat kuat, namun kelemahannya adalah di sisi
lain mereka lebih mengutamakan semangat golongan dibanding semangat persatuan.
Biarpun begitu kenyataannya, selama empat tahun lebih Masyumi bersama partai
lain berhasil mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia muda dengan
ditandatanganinya perjanjian Den Haag 1949. [17]
Secara umum dapat dikatakan bahwa perilaku politik Masyumi selama
periode itu hampir tanpa cacat. Pemihakannya terhadap martabat bangsa begitu
jelas, konsisten dan penuh perhitungan. Kendati
demikian, ternyata perpecahan dalam internal umat Islam pada umumnya dan
Masyumi khususnya tidak dapat dielakkan lagi. Seperti yang telah diungkapkan di
atas bahwa semangat golongan lebih besar dibanding semangat persatuan Islam.
Hingga mengabaikan tujuan jangka panjang demi tujuan jangka pendek yang
pragmatis dan mengorbankan persatuan umat.[18]
Goncangan besar terjadi dalam tubuh Masyumi pada Mei 1952, saat itu NU
dalam suatu kongres di Palembang bersepakat keluar dari Masyumi dan mendirikan
partai sendiri. Dan menjadi partai dengan jumlah kursi terbanyak ketiga di
parmemen setelah Masyumi dan PNI. [19]
Peran umat islam dalam hal ini NU juga bersebrangan dengan ideology bangsa yang
ditawarkan Soekarno yaitu Nasakom. NU tidak terima atas hasil pemilu
1955 dan menolak berpolitik dengan PKI. Sikap NU ini menuai kemarahan Soekarno
selaku presiden, terjadi adu argument antara NU dan Presiden. Soekarno
menghendaki NU agar mau menerima PKI sebagai anggota kabinet, namun NU tetap
tak setuju dengan hal tersebut karena bagaimanapun PKI membahayakan keamanan
negara.[20]
Hal ini wajar disuarakan NU karena dalam peristiwa sejarah, Komunis pernah
menjadi dalang dari tewasnya santri dan kiyai di berbagai tempat di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, dan sikap NU ini terbukti belakangan saat kejadian G-30-S/PKI
terjadi, dengan dalangnya yang tidak lain adalah Partai Komunis Indonesia.
Kembali ke bahasan mengenai Demokrasi terpimpin Soekarno, Masyumi
menganggap bahwa system tersebut adalah system yang otoriter. Mereka memandang
bahwa ikut serta dalam politik otoriter sebagai penyimpangan dari ajaran Islam.
Seedangkan pihak NU, PSII, dan Perti tetap pada jalur politik demokrasi
terpimpin. Akibat dari sikapnya itu, Masyumi akhirnya perlahan tersingkir dari
kancah perpolitikan Indonesia. Hubungan antara Soekarno selaku presiden dan
Natsir sebagai penggagas Masyumi pun menjadi renggang setelah sebelumnya sempat
baik pada masa awal kemerdekaan (1945-1950).[21] Pada
1960 Masyumi dibubarkan, sedangkan tokoh-tokohnya ditahan dan dipenjara,
sedangkan NU terus dekat dan menjalin hubungan erat dengan Soekarno. Nahdatul
Ulama’ dengan politik yang fleksibel dan menerima otoritas Soekarno justru
lebih dapat bertahan dengan kuasanya dama Kementrian Agama, sedangkan Masyumi
dibubarkan lantaran tuntutan ideologisnya.[22]
Setelah bubarnya Masyumi, partai Islam tinggal NU, PSII, dan Perti.
Partai-partai ini menyesuaikan diri dengan keinginan Soekarno, langkah
akomodatid NU dan partai Islam lain bahkan selalu disandarkan pada ajaran
Agama. NU sebelumnya memang menggelari Soekarno dengan Waliy al-amr
al-Dharuri bi al-Syaukah. Untuk menenangkan hati Soekarno IAIN member gelar
doktor kehormatan dalam ilmu Ushuluddin dengan promoter K. H. Syaifuddin Zuhri.
Walaupun partai-partai tersebut melakukan penyesuaian dengan rezim berkuasa,
namun mereka tidak diberi jabatan menteri yang penting dalam cabinet,
satu-satunya kepentingan Islam yang disetujui dalam cabinet adalah keputusan
MPRS tahun 1960 mengenai pengajaran agama di universitas dan perguruan tinggi. Di
masa demokrasi terpimpin ini Soekarno kembali menyuarakan konsep Ideologi Nasakom,
akan tetapi dalam kenyataannya peran partai mengalami penurunan kecuali
PKI. Hal ini membangkitkan amarah partai Islam dan juga kalangan Nasionalis
Sekuler serta angkatan bersenjata yang kala itu dipimpin oleh Letnan Jendral
Soeharto. Masa demokrasi terpimpin itu akhirnya berakhir saat kegagalan PKI
dalam pemberontakan G-30-S/PKI pada tahun 1965 yang digagalkan oleh Umat Islam
bersama dengan ABRI. [23]
Baca Juga : Kebudayaan Kesultanan Surakarta
Baca Juga : Kebudayaan Kesultanan Surakarta
BAB. III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah
berakhirnya masa Penjajahan oleh Belanda lalu dilanjutkan Jepang, maka Negara
Indonesia menyatakan diri menjadi Negara yang merdeka melalui proklamasi yang
dibacakan oleh Soekarno bersama Hatta. Namun kemerdekaan yang dicapai Indonesia
ini tidaklah serta merta membuat visi dan misi semua golongan dalam merumuskan
dasar Negara Indonesia menjadi sama. Dua golongan yaitu Agamis dan Nasionalis
sekuler beradu argumen dalam perumusan dasar Negara yang akhirnya dimenangkan
oleh Nasionalis Sekuler, sedangkan kepentingan Islam hanya bisa diwakilkan pada
departemen agama yang belakangan menjadi kementerian agama.
Nasionalis
Sekuler dengan bentuk Negara republik meletakan demokrasi sebagai jalan untuk
mereka berpolitik. Di sini tanggapan nyata umat islam adalah dengan membuat
partai politik berbasis Islam agar Islam dapat terus bersaing dalam bidang
politik. Pada awalnya saat diterapkannya demokrasi parlementer, umat islam
mendapat keuntungan besar dengan banyak anggotanya yang mendapat kursi di
parlementer. Namun setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan, maka
demokrasi yang tadinya sudah ideal, menjadi demokrasi yang tidak lagi objektif,
karena prersidenlah yang memegang kuasa besar atas Negara atau bisa dikatakan
otoriter.
Masyumi yang
berpegang teguh pada pendirian Islamnya pun akhirnya dibubarkan pada 1960, yang
sontak menyisakan kekuatan NU yang 8 tahun sebelumnya berpisah dengan Masyumi.
NU lebih bersifat akomodatif terhadp rezim yang berkuasa dan mendapatkan
jabatan dalam kabinet, walaupun tidak diberi jabatan menteri yang penting, dan
kenyataannya memang peran Islam juga dipangkas habis dalam pemerintahan, dan
hanya diberi ruang gerak bebas dalam menentukan urusan pendidikan saja.
Daftar Pustaka
DZ , Abdul Mun’im. 2014. Benturan NU-PKI 1948-1965. Depok:
Langgar Swadaya Nusantara.
Lapidus, Ira M.. 2000. Sejarah Sosial Umat Islam bagian ketiga. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Ma’arif , Syafi’i. 1988. Islam dan Politik di Indonesia. Yogyakarta:
IAIN SUKA Press.
Ricklefs, M. C.. 1994. Sejarah Indonesai Modern. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Wiharyanto, A. Kardiyat. 2011. Sejarah Indonesia Dari Proklamasi
Sampai Pemilu 2009. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
[1] Ira M.
Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam bagian ketiga (Jakarta: Raj Grafindo
Persada, 2000), hlm. 342
[4] M. C.
Ricklefs, Sejarah Indonesai Modern (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1994), hlm. 355-356
[11] A. Kardiyat
Wiharyanto, Sejarah Indonesia Dari Proklamasi Sampai Pemilu 2009 (Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma, 2011), hlm. 93-94
0 komentar:
Post a Comment