Keraton Kesultanan Surakarta, i2.wp.com |
Pengantar
Puji syukur Alhamdulillah
kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi
hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga
rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah
serta iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami
sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu
makalah.
Dalam
aspek manapun, makalah ini belum memenuhi
kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan
menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran
kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal
mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah
ini.
Setidaknya,
dalam penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami
sendiri, ada banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan
banyak manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
Pada
akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada khususnya Prof.
Dr.
H. Mundzirin Yusuf, M. Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Islam dalam Kebudayaan
Jawa yang memberi kami kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir
kepada teman-teman mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita
bangsa dan agama. Semoga Allah memberkati makalah kami. Aamiin.
Sleman,
11 April 2017
Irfan
Hamid
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak awal abad Miladiyah sudah ada rute perdagangan melintasi wilayah
barat Nusantara. Pelabuhan Sumatra dan Jawa kerap disinggahi pedagang Islam,
diantaranya Persia, Arab, dan juga India.[1]
Kontak pertama ini nampaknya hanya sebatas kontak dagang, barulah pada zaman
berikutnya penduduk Nusantara masuk Islam. Wilayah yang mula-mula menjadi
daerah kekuasaan Islam adalah Pasai di Sumatra,[2]
sampai akhirnya menyebar ke wilayah lain.
Masuknya Islam di Jawa sampai sekarang masih menimbulkan hasil telaah
yang sangat beragam. Ada yang mengatakan Islam masuk ke Jawa sebagaimana Islam
masuk Sumatra, yakni abad pertama Hijriyah atau abad 7 Miladiyah. Pendapat ini
didukung oleh Hamka, karena pada saat itu Muawiyah mengirimkan dutanya ke
Kalingga. Pendapat yang lain adalah ditemukannya nisan Islam milik Fatimah
binti Maimun yang bertuliskan akhir abad 5 H/11 M tepatnya tahun 475 H/1082 M
(Zaman Kerajaan Kediri 1042-1222 M). Pendapat selanjutnya adalah abad 15
Miladiyah, didukung oleh penemuan makam Malik Ibrahim bertuliskan tahun 822
H/1419 M.[3]
Perkembangan selanjutnya di Pulau Jawa
adalah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Dalam buku Sejarah Ummat Islam IV
karya Hamka disebutkan kerajaan Islam di Jawa, diantaranya Giri, Demak, Pajang,
Banten, dan Mataram.[4] Makalah
kami menekankan pembahasan tentang kerajaan Islam Mataram, khususnya Mataram
setelah perjanjian Gianti 1755, yang membuat Mataram terbagi menjadi dua bagian: Yogyakarta yang dipimpin
Hamengkubuwono dan Surakarta dibawah kekuasaan Pakubuwono,[5] dan lebih spesifik lagi pembahasan tentang
kebudayaan islam yang ada dalam Kesultanan Surakarta. Berdasar latar belakang
di atas, kami selaku pemakalah mengangkat beberapa rumusan masalah sebagai
berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana letak geografis Kasunanan
Surakarta?
2. Apa sebab terjadinya perjanjian Giyanti
1755?
3. Bagaimana kondisi masyarakat Kasunanan
Surakarta?
4. Apa saja kebudayaan Islam Jawa yang ada di Kasunanan
Surakarta?
C. Tujuan
1. Mengetahui letak geografis Kasunanan
Surakarta
2. Mengetahui sebab terjadinya perjanjian Giyanti
1755
3. Mengetahui kondisi masyarakat Kasunanan
Surakarta
4. Mengetahui kebudayaan Islam Jawa yang ada
di Kasunanan Surakarta
BAB II
LETAK GEOGRAFIS KASUNANAN SURAKARTA
Sebelum membahas letak geografis Surakarta, marilah kita memulainya dari
letak geografis Mataram Islam pada akhir abad 16 sampai akhir abad 17. Kerajaan
mataram Islam menurut peta yang terdapat dalam situs Wikipedia meliputi Cilacap
dan Tegal sebagai batas barat. Kediri, Pati, dan Blitar sebagai batas Timur.
Pantai utara dari Tegal dibarat sampai Pati di Timur adalah batas utara yang
berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Pantai selatan dari Cilacap di barat
sampai Blitar di Timur menjadi batas selatan kerajaan Mataram, sekaligus batas
dengan samudra Hindia. Namun lebih dari itu, di masa kejayaannya, Mataram Islam
pernah menguasai wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakartta (DIY),
dan Pulau Madura pada masa Sultan Agung.[6]
Tentunya nama wilayah-wilayah di atas adalah proyeksi wilayah di era modern.
Ketika kendali pimpinan beralaih ke
tangan Susuhunan Amangkurat I yang pro kepada Belanda, martabat Mataram menjadi merosot kembali, wilayah kekuasaannya pun semakin menciut.[7] Ditambah lagi
pasca peristiwa Geger Pecinan yang di dalamnya ada campur tangan VOC.
Pada saat itu masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono (PB) II, ia meminta bantuan kepada
VOC untuk menghentikan pemberontakan Geger Pecinan. Setelah berhasil,
VOC dan PB II melakukan kesepakatan, di antaranya tentang wilayah Madura, Jawa
Timur, pesisir Bengawan Solo dan Brantas, Surabaya sekitarnya, Semarang,
Rembang, Jepara, Ambarawa, dll menjadi hak VOC.[8]
Setelah
perjanjian Giyanti pada 1755 yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya,
kerajaan Mataram yang tinggal sedikit itu akhirnya
terbagi dua menjadi Kasunanan Surakarta di Timur, dan Kasultanan Yogyakarta di
Barat. Adapun
wilayah Kasunanan Surakarta meliputi daerah Sragen, Karanganyar, Wonogiri, Boyolali,
Klaten dan Sukoharjo. Sedangkan wilayah Kasultanan Yogyakarta meliputi seluruh
provinsi DIY, yang terdiri dari Sleman, Bantul, Yogyakarta, Gunung Kidul, dan
Kulon Progo. Selanjutnya yang akan kami perdalam tentang keadaan Sosial dan
Kebudayaan Islam Jawanya adalah Kasunanan Surakarta dengan wilayah-wilayah
tersebut di atas.
BAB III
SEBAB TERJADINYA PERJANJIAN GIYANTI 1755
Perjanjian Giyanti merupakan cikal bakal lahirnya Kasunanan Surakarta
dan Kesultanan Yogyakarta. Perjanjian ini secara de facto dan de jure
menandai berakhirnya era kerajaan Mataram Islam.[9]
Peristiwa terpecahnya kerajaan Mataram ini dilatarbelakangi berbagai konflik
yang melibatkan tidak hanya kalangan keraton saja, tetapi juga pihak Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC).[10]
Nama Giyanti berasal dari sebuah nama desa bernama Giyanti (sekarang berada di
Dukuh Kerten, Desa Jantiharji), sebelah tenggara kota Karanganyar Jawa Tengah.[11]
Keterlibatan VOC dalam bidang politik Mataram dimulai sejak
ditandatanganinya perjanjian antara PB II dengan VOC pada 1733. Salah satu isi
perjanjian ini adalah memberi kuasa penuh kepada VOC untuk mendirikan sebuah
badan pengadilan independen. Kontrak ini mengawali masuknya pengaruh VOC dalam
kehidupan politik kerajaan Mataram. Sejak saat itu kerajaan semakin bergantung pada
bantuan VOC. Seperti pada 1742 terjadi Geger Pecinan, Susuhunan PB II
kewalahan menghadapi pemberontakan ini dan akhirnya meminta bantuan VOC.
Setelah berhasil meredam pemberontakan, Susuhunan memberikan imbalan hak
monopoli kepada VOC atas perdagangan kerajaan. Hal ini sudah tentu menimbulkan kekecewaan
beberapa bangsawan kerajaan.[12]
Raden Mas (RM) Said yang kecewa atas sikap PB II, mengadakan
pemberontakan di daerah Sukowati. PB II yang kewalahan menghadapi pemberontakan
tersebut, akhirnya mengadakan sayembara. Sayembara ini berisi barang siapa yang
dapat menghentikan pemberontakan RM Said, akan diberikan hadiah wilayah
Sukowati. Adik dari PB II yaitu Pangeran Mangkubumi berhasil meredam
pemberontakan RM Said dan menagih janji imbalan, namun janji itu tak dipenuhi
PB II. Hal tersebut membuat Mangkubumi akhirnya memutar haluan dan balik
memihak RM Said, dengan alasan seorang Raja yang tidak menepati janjinya
tidaklah pantas untuk ditaati, bahkan dianggap pengkhianat.[13]
Dua kubu politik pun terbentuk, yaitu kubu VOC-PB II dan kubu RM
Said-Mangkubumi. RM Said-Mangkubumi melakukan serangan yang membuat PB II –yang
saat itu telah tua– kewalahan. VOC juga merasa kewalahan melawan gabungan
kekuatan RM Said dan Mangkubumi. Dalam suasana ini, akhirnya PB II berhasil
didesak oleh VOC agar menandatangani perjanjian yang menyatakan Susuhunan
menyerahkan kerajaan kepada VOC, dengan catatan yang menjadi pewaris tahta
adalah keturunan PB II. Sembilan hari setelah perjanjian penyerahan Mataram
kepada VOC, PB II wafat dan diangkatlah PB III sebagai Susuhunan. Pada hari
yang sama saat PB III diangkat, ternyata Mangkubumi juga ditahbiskan menjadi
Susuhunan Mataram, bahkan jumlah bangsawan yang hadir dalam penobatan ini lebih
banyak dari penobatan PB III.[14]
Strategi baru diterapkan VOC untuk mengalahkan RM Said dan Mangkubumi,
yaitu menerapkan usulan Nicholas Hartingh untuk mengadu domba antara RM Said
dan Mangkubumi. Strategi ini terbukti berhasil menghancurkan persekutuan
Menantu dan Mertua ini, dan akhirnya saling serang. Baik RM Said maupun
Mangkubumi ternyata sama-sama berunding dengan VOC terkait pertikaian mereka.
Dalam suasana ini Susuhunan PB III tidak punya andil apa-apa karena Mataram
sudah ada di tangan VOC dan dia hanyalah boneka saja.
Suasana makin kacau dan di Mataram sekarang memiliki dua Susuhunan, yang
pertama Susuhunan PB III yang diangkat oleh VOC, dan yang kedua adalah Susuhunan
Mangkubumi yang diangkat oleh rakyat dan sebagian besar bangsawan Mataram.
Pertikaian dua kubu ini juga tidak kunjung mendapat titik temu, maka solusi
yang paling logis adalah dengan membagi dua wilayah Mataram. Perundingan pun
digelar antara VOC (diwakili Hartingh) dengan Susuhunan Mangkubumi. Awalnya VOC
menawarkan wilayah Timur untuk Mangkubumi, namun ia menolak dan akhirnya
Mangkubumi diberi wilayah barat. Dua gelar Susuhunan menurut Hartingh tidak
pantas berada dalam satu negara, maka gelar Sultan diberikan pada Mangkubumi
untuk Mataram wilayah barat, dan Susuhunan pada PB III untuk wilayah Mataram
timur. Baik PB III maupun Mangkubumi menyetujui pembagian wilayah itu, akhirnya
konflik ini dapat diselesaikan dengan perjanjian Giyanti 13 Februari 1755.[15] Berikut
adalah beberapa isi perjanjian Giyanti:
1. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja
dengan gelar Sampeyan dalem ingkang Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senapati
Ingalaga Ngabdurrachman Sajidin Panotagama Kalifatullah di atas separuh
kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun pada
warisnya.
2. Akan senantiaasa diusahakan adanya
kerjasama antara rakyat yang berada di bawah kekuasan VOC dengan rakyat
kesultanan.
3. Melakukan sumpah setia pada VOC di tangan
Gubernur.
4. Sri Sultan tidak akan
mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan
persetujuan dari VOC.
5. Sri Sultan akan mengampuni para Bupati yang
selama dalam peperangan memihak VOC.
6. Sri Sultan tidak akan menuntut haknya
terhadap Madura dan pesisir yang telah diserahkan Susuhunan PB II kepada VOC,
dan sebagai gantinya VOC akan memberi 10.000 real tiap tahunnya kepada Mataram
Barat (Ngayojokarto Hadiningrat).
7. Sri Sultan berjanji akan memberi bantuan
pada Susuhunan PB III sewaktu-waktu diperlukan.
8. Sri Sultan berjanji menjual bahan makanan
kepada VOC dengan ketentuan harga dibawah kuasa VOC.
9. Sri Sultan berjanji akan menaati segala
macam perjanjian yang pernah diadakan raja-raja Mataram terdahulu (1705, 1733,
1743, 1746, dan 1749).[16]
BAB IV
KONDISI MASYARAKAT KASUNANAN SURAKARTA
Secara garis besar masyarakat dalam kerajaan Mataram, termasuk juga
setelah menjadi Negara Surakarta dan Yogyakarta, dapat dibagi menjadi dua. Yang
pertama adalah masyarakat atas (Wong gedhe, priyayi luhur), sebagian
besar adalah golongan yang memerintah, seperti raja, bangsawan, dan para
pejabat pemerintahan. Yang kedua adalah rakyat biasa (Wong cilik, kawula
alit) yang jumlahnya jauh lebih besar dari lapisan atas dan merupakan
golongan yang diperintah, tingkat pejabat kelurahan ke bawah adalah termasuk
dalam golongan ini. Selain itu golongan bawah juga dihuni oleh golongan
pedangan, petani, pekerja kerajinan, buruh dan budak.
Pada masa pemerintahan Mataram, golongan petani adalah jumlah yang
terbesar, karena kerajaan ini adalah kerajaan berlatarbelakang agraris.
Kedudukan pedagang dalam masyarakat kerajaan masih di bawah kedudukan abdi-dalem
keraton. Golongan pekerja kerajinan meliputi para pembuat barang-barang
kesenian seperti ukiran-ukiran, perhiasan, tenun, dll. Selain itu juga ada para
pembuat peralatan sehari-hari di antaranya alat rumah tangga, genteng, bata,
alat-alat dari besi dan lainnya. Dari kalangan bawah juga terdapat orang yang
meski jumlahnya sedikit, namun tetap masuk dalam kategori tersendiri, yaitu
budak. Ada juga disebut golongan yang dicela oleh masyarakat seperti para
pembegal, pencuri, berandal, dan sebagainya.[17]
Masyarakat Jawa di Surakarta
dibedakan pula menurut penghayatan agama Islam masing-masing. Seorang muslim
yang saleh disebut santri (murid agama) atau orang putihan yang berasal dari
kata ‘putih’. Mereka yang menganut agama Islam yang bercampur unsur Hindu-Budha
dan Animisme disebut abangan yang berasal dari kata Jawa ‘abang’ yang berarti
merah. Sebagian dari rakyat biasa dan aristokrat adalah abangan dan umumnya
orang muslim yang taat rupanya tidak banyak berpengaruh di Surakarta pada masa
kolonial.[18]
Agama yang dianut oleh sebagian besar anggota
komunitas kraton adalah agama Islam yang bersifat sinkretik, yang disebut
dengan istilah agama Jawi atau Kejawen. Agama ini merupakan agama Islam yang
bercampur dengan keyakinan dan konsep Hindu-Buddha yang cenderung kea arah
mistik, serta unsur-unsur yang berasal dari zaman pra-Hindu. Kraton sendiri
didalamnya terdapat kiai, haji, atau Ulama yang bertugas sebagai penasihat raja
dalam bidang agama.[19]
BAB V
KEBUDAYAAN ISLAM JAWA YANG ADA DI KASUNANAN SURAKARTA
Pengembangan kebudayaan Jawa oleh kerajaan Mataram disesuaikan dan
diperkaya dengan unsur-unsur Agama Islam. Pada masa Surakarta diperintah oleh
Paku Buwana III (1749 – 1788) dan R. Ng. Yasadipura I berkedudukan sebagai
pujangga kraton, kesusastraan suluk[20]
sangat berkembang. Suluk ini walaupun sebagian besar bahannya berasal dari
Agama Islam, namun coraknya bersifat Jawa. Beberapa contoh suluk seperti Suluk
tambangraraas (serat centhini), Suluk Saloka Jiwa, Suluk Supanalaya, daan Suluk
Sukma Lelana.[21]
Selain suluk juga dikenal primbon, yaitu naskah Islam yang berasal dari abad
XVI, ditulis dalam bahasa jawa dan merupakan catatan tentang berbagai macam
hal, seperti jimat, doa, keterangan masa bahagia dan tidak bahagia, pralambang,
tafsir mimpi, ramalan dan sebagainya. Primbon juga memuat pandangan yang
bersifat magis dan magis-mistisisme.
Ada pula sebuah tradisi yang dilakukan pada hari kamis atau yang disebut
dengan hari paseban. Terdapat
pembuatan sajian berupa nasi dan lauk pauk, bunga dan kemenyan yang digunakan
untuk selamatan yang bertujuan untuk
memuliakan arwah para nabi, waali, dan raja. Kenduri ini dilangsungkan
di Paningrat pada pukul 21.00 oleh abdi dalem dan ki Juru Suranata bertugas
memberikan doa.[22]
A. Upacara Adat
Kerajaan Surakarta dalam setahunnya melangsungkan tiga
kali upacaara yang berhubungan dengan agama Islam, yang disebut garebeg. Ada tiga macam garebeg yaitu, Garebeg Mulud untuk
memperingati kelahiran Rasul SAW., Garebeg Syawalan adalah
upacara yang dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur untuk mengakhiri bulan suci
Ramadhan dan memasuki bulan Syawal, dan Grebeg Besar untuk merayakan Idul Adha. Pada dasarnya garebeg
di kraton Surakarta dan Yogyakarta tidak berbeda. Raja, abdi dalem,
prajurit mengenakan pakaian kebesaran. Jika ada upacara yang dilakukan secara
besar-besaran, disebut bahwa kostum yang digunakan adalah grebegan.[23]
Perlengkapan yang harus ada dalam garebeg adalah
gunungan, yaitu tumpukan hasil bumi yang dibentuk menyerupai gunung. Gunungan
dibawa ke depan pintu dibawa ke depan pintu Kemandhungan, lewat halaman
kedhaton dan halaman Srimanganti. Selain itu juga dikeluarkan pada waktu
upacara garebeg, tedhak loji dan waktu menyaksikan rampogan harimau. Gamelan
kadipaten, kepatihan dan kabupaten diatur di pagongan yang telah disiapkan di
Alun-alun Utara.[24]
Gamelan merupakan aba-aba supaya gunungan mulai dijalankan. Sesudah gunungan
mulai bergerak, tidak lama dua orang penewu
gedhong Kiwa Tengen menyampaikaan ganten
wanig[25]
ke hadapan Sunan.
Sementara gunungan telah saampai di Alun-alun.
Benda-benda upacara dan ampilan milik raja, termasuk dhampar dibawa oleh
abdi dalem pria. Sekembalinya dari mesjid acara dilanjutkan dengan meninggalkan
sitihinggil menuju kedhaton.[26]
Ada kekhususan pada Garebeg Mulud Dal, yaitu tingkah laku sunan dan permaisuri
menanak nasi pada malam garebeg.
Rakyat pada umumnya sangat tertarik untuk menyaksikan upacara garebeg. Hal ini
karena beberapa alasan. Pertama, mereka ingin memperoleh sesuatu yang terdapat
pada gunungan yang dianggap mempunyai magis. Kedua, mereka ingin menyaksikan
prosesi yang sangat megah menuju ke mesjid dan melihat raja dari dekat, ratusan
abdi dalem canthangbalung, prajurit panyutra.[27]
Gunungan sebagai
alat komunikasi yang sangat menonjol mengandung arti. Pertama bentuknya yang
menyerupai gunung menunjuk pada kesakralan. Kedua sebagai hajat dalem, makan
gunungan di buat di Magangan itu, dianggap mempnyai kekuatan magis, untuk dapat
sampai ke mesjid jalannya gunungan itu diserati upacara resmi dan melewati
ruang-ruang halaman kraton. Ketiga gunungan yang terdiri atas buah-buahan,
sayuran, makanan dari beras dan daging, melambangkan suatu negara agraris yang
makmur. Keempat, penerapan klasfikasi dualism yang saling melengkapi dengan
dibuatnya gunungan laki-laki dan perempuan. Kelima gunungan yang berbentuk
lingga dan yoni melambangkan kesuburan dan dibawa ke mesjid untuk diberikan doa
secara Islam oleh seorang penghulu menunjukan adanya sinkretisme dalam
kehidupan beragama kraton. Keenam lewat gunungan ini sunan mengadakan
selamaatan, makanan yang telah disucikan mengandung magis. Gunungan sebagian
dibagikan kepada priyayi tingkat tinggi, para pangeran, pembesar kerajaan, dan
sebagian lainnya untuk rakyat yang mana untuk mendapatkannya rakyat pada
umumnya berebutan. Tradisi saling berebut dimaksudkan
untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, melalui simbol-simbol yang diwuudkan
dari aneka hasil bumi dan makanan yang menghiasi kedua gunungan.[28]
B. Bangunan Fisik
1) Masjid: Masjid Agung dibangun oleh Sunan Paku Buwono
III tahun 1763M atau 1689 tahun Jawa dan selesai pada tahun 1768. Masjid Agung
merupakan kompleks bangunan seluas 19.180 meter persegi yang dipisahkan dari
lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Bangunan Masjid Agung Surakarta
secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan
berpuncak mustaka.
2) Makam: Makam raja-raja Mataram di Imogiri
atau dikenal juga dengan nama Pajimatan Girirejo Imogiri, adalah suatu kompleks
khusus sebagai area pemakaman raja-raja keturunana Mataram Islam
(Surakarta-Yogyakarta). Selain itu ada juga Makam keluarga besar kasunanan
Surakarta yang ada di Kota Gedhe.[29]
C. Pandangan Hidup
1) Lembah Manah: Artinya adalah sikap rendah
hati yang ditanamkan pada seluruh masyarakat Kasunanan Surakarta. Terkhusus
pada masyarakat keraton, yaitu saat PB XII menasehati cucunya agar selalu
memupuk sikap lembah manah.[30]
Dalam islam, rendah hati adalah sikap yang juga harus diterapkan seorang
Muslim, dasarnya adalah dalam hadits yang berarti “Tidak akan berkurang harta
seseorang dengan bershadaqah, tidak akan bertambah maaf dari Allah pada seorang
hamba kecuali kemuliaan, dan tidak ada sikap rendah hati seseorang pada Allah
kecuali akan ditinggikan derajatnya” (H. R. Muslim).
2) Aja Sulapan: artinya adalah jangan mudah
silau terhadap barang-barang yang bukan miliknya. Dengan kata lain kita
diajarkan untuk tidak memiliki penyakit iri.[31]
Penyakit iri ini sudah dijelaskan juga dalam Hadits yang berarti “Apabila
seseorang melihat dirinya, harta miliknya atau saudaranya sesuatu yang menarik
hatinya (dikaguminya) maka hendaklah dia mendoakannya dengan limpahan barokah.
Sesungguhnya pengaruh iri adalah benar (H. R. Abu Ya’la).
3) Ngumpulke balung pisah: artinya adalah,
sanak saudara yang jarang bertemu agar terus menjalin hubungan dengan pertemuan
trah.[32]
Konsep ini bisa dikatakan sama dengan Silaturahmi dalam Islam.
BAB VI
PENUTUP
Kesimpulan
Kerajaan
Mataram dalam letak geografis pernah mencapai masa dimana mereka memiliki
wilayah yang sangat luas. Mereka hampir menguasai semua pulau jawa, ditambah
pulau Madura. Namun karena intervensi VOC akhirnya wilayahnya semakin menciut
dan adanya perebutan kekuasaan maka kerajaan terbagi dua, Surakarta dan
Yogyakarta. Keadaan sosial masyarakat terbagi atas 2 golongan besar, pertama
yaitu Raja besarta bangsawan dan pejabat keraton, dan yang kedua adalah rakyat
biasa. Keadaan politik yang semakin kacau akibat intervendi VOC, membuat
terjadinya perang saduara antara kubu Pakubuwono dan Mangkubumi. Konflik ini
yang pada akhirnya memecah kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta karena disetujuinya perjanjian Giyanti. Peninggalan
Budaya Islam Jawa dalam Kasunanan Surakarta meliputi tiga macam, yaitu:
peninggalan yang berbentuk upacara adat, bangunan fisik, dan nilai-nilai
kehidupan.
Baca Makalah Lainya : Kumpulan Makalahku
Daftar Pustaka
Abimanyu,
Soedjipto. 2015. Kitab Terlengkap Sejarah Mataram. Jakarta: Saufa.
Hamka. 1976.
Sejarah Ummat Islam jilid IV. Jakarta: Bulan Bintang.
Harun, Yahya.
1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII. Bandung: Kurnia
Kalam Sejahtera.
Jamil,
Abdul, dkk.. 2002. Islam & Kebudayaan Jawa Yogyakarta: Gama Media.
Larson, George D..
1990. Masa
Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Luthfi ,
Ahmad Nashih. 2014. Keistimewaan
Yogyakarta Yang Diingat dan Yang Dilupakan. Yogyakarta: Ombak.
Poerwikoesoemo,
Soedarisman. 1985. Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Poesponegoro,
Marwati Djoened, dan Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia
Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Soeratman,
Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Tamansiswa Yogyakarta.
Yatim, Badri.
2003. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali
Pers.
Sumber Internet
[1] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Rajawali
Pers,2003), hlm. 191
[5] Yahya
Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII (Bandung: Kurnia
Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 28
[6] Dikutip
dari https://id.m.wikipedia.org./wiki/kesultanan_mataram pada pukul 21.03,
tanggal (5/5/17)
[8] Soedarisman
Poerwikoesoemo, Kadipaten Pakualaman (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1985), hlm. 5-6.
[10] Ahmad
Nashih Luthfi, Keistimewaan Yogyakarta Yang Diingat dan Yang Dilupakan (Yogyakarta:
Ombak, 2014), hlm. 41.
[17] Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
Jilid IV (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 25-26.
[18] George D. Larson, Masa
Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), hlm. 24.
[19] Darsiti
Soeratman, Kehidupan Dunia
Kraton Surakarta 1830 - 1939, (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Tamansiswa
Yogyakarta, 1989), hlm. 99.
[29] Dikutip
dari www.kerajaannussantara.com/id/surakarta-hadiningrat/makam,
pada 8/5/17, pukul 14:34
0 komentar:
Post a Comment