Kesultanan Surakarta (Solo) | Sejarah dan Kebudayaanya


Keraton Kesultanan Surakarta, i2.wp.com

Pengantar


            Puji syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah serta iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu makalah.
            Dalam aspek manapun, makalah ini belum memenuhi kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah ini.
            Setidaknya, dalam penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami sendiri, ada banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan banyak manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
            Pada akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada khususnya Prof. Dr. H. Mundzirin Yusuf, M. Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Islam dalam Kebudayaan Jawa yang memberi kami kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada teman-teman mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan agama. Semoga Allah memberkati makalah kami. Aamiin.

                                                                                                Sleman, 11 April 2017


                                                                                                Irfan Hamid




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak awal abad Miladiyah sudah ada rute perdagangan melintasi wilayah barat Nusantara. Pelabuhan Sumatra dan Jawa kerap disinggahi pedagang Islam, diantaranya Persia, Arab, dan juga India.[1] Kontak pertama ini nampaknya hanya sebatas kontak dagang, barulah pada zaman berikutnya penduduk Nusantara masuk Islam. Wilayah yang mula-mula menjadi daerah kekuasaan Islam adalah Pasai di Sumatra,[2] sampai akhirnya menyebar ke wilayah lain.
Masuknya Islam di Jawa sampai sekarang masih menimbulkan hasil telaah yang sangat beragam. Ada yang mengatakan Islam masuk ke Jawa sebagaimana Islam masuk Sumatra, yakni abad pertama Hijriyah atau abad 7 Miladiyah. Pendapat ini didukung oleh Hamka, karena pada saat itu Muawiyah mengirimkan dutanya ke Kalingga. Pendapat yang lain adalah ditemukannya nisan Islam milik Fatimah binti Maimun yang bertuliskan akhir abad 5 H/11 M tepatnya tahun 475 H/1082 M (Zaman Kerajaan Kediri 1042-1222 M). Pendapat selanjutnya adalah abad 15 Miladiyah, didukung oleh penemuan makam Malik Ibrahim bertuliskan tahun 822 H/1419 M.[3]
Perkembangan selanjutnya di Pulau Jawa adalah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Dalam buku Sejarah Ummat Islam IV karya Hamka disebutkan kerajaan Islam di Jawa, diantaranya Giri, Demak, Pajang, Banten, dan Mataram.[4] Makalah kami menekankan pembahasan tentang kerajaan Islam Mataram, khususnya Mataram setelah perjanjian Gianti 1755, yang membuat Mataram terbagi menjadi dua bagian: Yogyakarta yang dipimpin Hamengkubuwono dan Surakarta dibawah kekuasaan Pakubuwono,[5] dan lebih spesifik lagi pembahasan tentang kebudayaan islam yang ada dalam Kesultanan Surakarta. Berdasar latar belakang di atas, kami selaku pemakalah mengangkat beberapa rumusan masalah sebagai berikut.

B. Rumusan Masalah

1.    Bagaimana letak geografis Kasunanan Surakarta?
2.    Apa sebab terjadinya perjanjian Giyanti 1755?
3.    Bagaimana kondisi masyarakat Kasunanan Surakarta?
4.    Apa saja kebudayaan Islam Jawa yang ada di Kasunanan Surakarta?

C. Tujuan

1.    Mengetahui letak geografis Kasunanan Surakarta
2.    Mengetahui sebab terjadinya perjanjian Giyanti 1755
3.    Mengetahui kondisi masyarakat Kasunanan Surakarta
4.    Mengetahui kebudayaan Islam Jawa yang ada di Kasunanan Surakarta

BAB II
LETAK GEOGRAFIS KASUNANAN SURAKARTA


Sebelum membahas letak geografis Surakarta, marilah kita memulainya dari letak geografis Mataram Islam pada akhir abad 16 sampai akhir abad 17. Kerajaan mataram Islam menurut peta yang terdapat dalam situs Wikipedia meliputi Cilacap dan Tegal sebagai batas barat. Kediri, Pati, dan Blitar sebagai batas Timur. Pantai utara dari Tegal dibarat sampai Pati di Timur adalah batas utara yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Pantai selatan dari Cilacap di barat sampai Blitar di Timur menjadi batas selatan kerajaan Mataram, sekaligus batas dengan samudra Hindia. Namun lebih dari itu, di masa kejayaannya, Mataram Islam pernah menguasai wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakartta (DIY), dan Pulau Madura pada masa Sultan Agung.[6] Tentunya nama wilayah-wilayah di atas adalah proyeksi wilayah di era modern.
Ketika kendali pimpinan beralaih ke tangan Susuhunan Amangkurat I yang pro kepada Belanda, martabat Mataram menjadi merosot kembali, wilayah kekuasaannya pun semakin menciut.[7] Ditambah lagi pasca peristiwa Geger Pecinan yang di dalamnya ada campur tangan VOC. Pada saat itu masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono (PB) II, ia meminta bantuan kepada VOC untuk menghentikan pemberontakan Geger Pecinan. Setelah berhasil, VOC dan PB II melakukan kesepakatan, di antaranya tentang wilayah Madura, Jawa Timur, pesisir Bengawan Solo dan Brantas, Surabaya sekitarnya, Semarang, Rembang, Jepara, Ambarawa, dll menjadi hak VOC.[8]
Setelah perjanjian Giyanti pada 1755 yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya, kerajaan Mataram yang tinggal sedikit itu akhirnya terbagi dua menjadi Kasunanan Surakarta di Timur, dan Kasultanan Yogyakarta di Barat. Adapun wilayah Kasunanan Surakarta meliputi daerah Sragen, Karanganyar, Wonogiri, Boyolali, Klaten dan Sukoharjo. Sedangkan wilayah Kasultanan Yogyakarta meliputi seluruh provinsi DIY, yang terdiri dari Sleman, Bantul, Yogyakarta, Gunung Kidul, dan Kulon Progo. Selanjutnya yang akan kami perdalam tentang keadaan Sosial dan Kebudayaan Islam Jawanya adalah Kasunanan Surakarta dengan wilayah-wilayah tersebut di atas.

BAB III
SEBAB TERJADINYA PERJANJIAN GIYANTI 1755


Perjanjian Giyanti merupakan cikal bakal lahirnya Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Perjanjian ini secara de facto dan de jure menandai berakhirnya era kerajaan Mataram Islam.[9] Peristiwa terpecahnya kerajaan Mataram ini dilatarbelakangi berbagai konflik yang melibatkan tidak hanya kalangan keraton saja, tetapi juga pihak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).[10] Nama Giyanti berasal dari sebuah nama desa bernama Giyanti (sekarang berada di Dukuh Kerten, Desa Jantiharji), sebelah tenggara kota Karanganyar Jawa Tengah.[11]
Keterlibatan VOC dalam bidang politik Mataram dimulai sejak ditandatanganinya perjanjian antara PB II dengan VOC pada 1733. Salah satu isi perjanjian ini adalah memberi kuasa penuh kepada VOC untuk mendirikan sebuah badan pengadilan independen. Kontrak ini mengawali masuknya pengaruh VOC dalam kehidupan politik kerajaan Mataram. Sejak saat itu kerajaan semakin bergantung pada bantuan VOC. Seperti pada 1742 terjadi Geger Pecinan, Susuhunan PB II kewalahan menghadapi pemberontakan ini dan akhirnya meminta bantuan VOC. Setelah berhasil meredam pemberontakan, Susuhunan memberikan imbalan hak monopoli kepada VOC atas perdagangan kerajaan. Hal ini sudah tentu menimbulkan kekecewaan beberapa bangsawan kerajaan.[12]
Raden Mas (RM) Said yang kecewa atas sikap PB II, mengadakan pemberontakan di daerah Sukowati. PB II yang kewalahan menghadapi pemberontakan tersebut, akhirnya mengadakan sayembara. Sayembara ini berisi barang siapa yang dapat menghentikan pemberontakan RM Said, akan diberikan hadiah wilayah Sukowati. Adik dari PB II yaitu Pangeran Mangkubumi berhasil meredam pemberontakan RM Said dan menagih janji imbalan, namun janji itu tak dipenuhi PB II. Hal tersebut membuat Mangkubumi akhirnya memutar haluan dan balik memihak RM Said, dengan alasan seorang Raja yang tidak menepati janjinya tidaklah pantas untuk ditaati, bahkan dianggap pengkhianat.[13]
Dua kubu politik pun terbentuk, yaitu kubu VOC-PB II dan kubu RM Said-Mangkubumi. RM Said-Mangkubumi melakukan serangan yang membuat PB II –yang saat itu telah tua– kewalahan. VOC juga merasa kewalahan melawan gabungan kekuatan RM Said dan Mangkubumi. Dalam suasana ini, akhirnya PB II berhasil didesak oleh VOC agar menandatangani perjanjian yang menyatakan Susuhunan menyerahkan kerajaan kepada VOC, dengan catatan yang menjadi pewaris tahta adalah keturunan PB II. Sembilan hari setelah perjanjian penyerahan Mataram kepada VOC, PB II wafat dan diangkatlah PB III sebagai Susuhunan. Pada hari yang sama saat PB III diangkat, ternyata Mangkubumi juga ditahbiskan menjadi Susuhunan Mataram, bahkan jumlah bangsawan yang hadir dalam penobatan ini lebih banyak dari penobatan PB III.[14]
Strategi baru diterapkan VOC untuk mengalahkan RM Said dan Mangkubumi, yaitu menerapkan usulan Nicholas Hartingh untuk mengadu domba antara RM Said dan Mangkubumi. Strategi ini terbukti berhasil menghancurkan persekutuan Menantu dan Mertua ini, dan akhirnya saling serang. Baik RM Said maupun Mangkubumi ternyata sama-sama berunding dengan VOC terkait pertikaian mereka. Dalam suasana ini Susuhunan PB III tidak punya andil apa-apa karena Mataram sudah ada di tangan VOC dan dia hanyalah boneka saja.
Suasana makin kacau dan di Mataram sekarang memiliki dua Susuhunan, yang pertama Susuhunan PB III yang diangkat oleh VOC, dan yang kedua adalah Susuhunan Mangkubumi yang diangkat oleh rakyat dan sebagian besar bangsawan Mataram. Pertikaian dua kubu ini juga tidak kunjung mendapat titik temu, maka solusi yang paling logis adalah dengan membagi dua wilayah Mataram. Perundingan pun digelar antara VOC (diwakili Hartingh) dengan Susuhunan Mangkubumi. Awalnya VOC menawarkan wilayah Timur untuk Mangkubumi, namun ia menolak dan akhirnya Mangkubumi diberi wilayah barat. Dua gelar Susuhunan menurut Hartingh tidak pantas berada dalam satu negara, maka gelar Sultan diberikan pada Mangkubumi untuk Mataram wilayah barat, dan Susuhunan pada PB III untuk wilayah Mataram timur. Baik PB III maupun Mangkubumi menyetujui pembagian wilayah itu, akhirnya konflik ini dapat diselesaikan dengan perjanjian Giyanti 13 Februari 1755.[15] Berikut adalah beberapa isi perjanjian Giyanti:
1.    Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja dengan gelar Sampeyan dalem ingkang Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senapati Ingalaga Ngabdurrachman Sajidin Panotagama Kalifatullah di atas separuh kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun pada warisnya.
2.    Akan senantiaasa diusahakan adanya kerjasama antara rakyat yang berada di bawah kekuasan VOC dengan rakyat kesultanan.
3.    Melakukan sumpah setia pada VOC di tangan Gubernur.
4.    Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
5.    Sri Sultan akan mengampuni para Bupati yang selama dalam peperangan memihak VOC.
6.    Sri Sultan tidak akan menuntut haknya terhadap Madura dan pesisir yang telah diserahkan Susuhunan PB II kepada VOC, dan sebagai gantinya VOC akan memberi 10.000 real tiap tahunnya kepada Mataram Barat (Ngayojokarto Hadiningrat).
7.    Sri Sultan berjanji akan memberi bantuan pada Susuhunan PB III sewaktu-waktu diperlukan.
8.    Sri Sultan berjanji menjual bahan makanan kepada VOC dengan ketentuan harga dibawah kuasa VOC.
9.    Sri Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan raja-raja Mataram terdahulu (1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749).[16]

BAB IV
KONDISI MASYARAKAT KASUNANAN SURAKARTA


Secara garis besar masyarakat dalam kerajaan Mataram, termasuk juga setelah menjadi Negara Surakarta dan Yogyakarta, dapat dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah masyarakat atas (Wong gedhe, priyayi luhur), sebagian besar adalah golongan yang memerintah, seperti raja, bangsawan, dan para pejabat pemerintahan. Yang kedua adalah rakyat biasa (Wong cilik, kawula alit) yang jumlahnya jauh lebih besar dari lapisan atas dan merupakan golongan yang diperintah, tingkat pejabat kelurahan ke bawah adalah termasuk dalam golongan ini. Selain itu golongan bawah juga dihuni oleh golongan pedangan, petani, pekerja kerajinan, buruh dan budak.
Pada masa pemerintahan Mataram, golongan petani adalah jumlah yang terbesar, karena kerajaan ini adalah kerajaan berlatarbelakang agraris. Kedudukan pedagang dalam masyarakat kerajaan masih di bawah kedudukan abdi-dalem keraton. Golongan pekerja kerajinan meliputi para pembuat barang-barang kesenian seperti ukiran-ukiran, perhiasan, tenun, dll. Selain itu juga ada para pembuat peralatan sehari-hari di antaranya alat rumah tangga, genteng, bata, alat-alat dari besi dan lainnya. Dari kalangan bawah juga terdapat orang yang meski jumlahnya sedikit, namun tetap masuk dalam kategori tersendiri, yaitu budak. Ada juga disebut golongan yang dicela oleh masyarakat seperti para pembegal, pencuri, berandal, dan sebagainya.[17]
Masyarakat Jawa di Surakarta dibedakan pula menurut penghayatan agama Islam masing-masing. Seorang muslim yang saleh disebut santri (murid agama) atau orang putihan yang berasal dari kata ‘putih’. Mereka yang menganut agama Islam yang bercampur unsur Hindu-Budha dan Animisme disebut abangan yang berasal dari kata Jawa ‘abang’ yang berarti merah. Sebagian dari rakyat biasa dan aristokrat adalah abangan dan umumnya orang muslim yang taat rupanya tidak banyak berpengaruh di Surakarta pada masa kolonial.[18]
Agama yang dianut oleh sebagian besar anggota komunitas kraton adalah agama Islam yang bersifat sinkretik, yang disebut dengan istilah agama Jawi atau Kejawen. Agama ini merupakan agama Islam yang bercampur dengan keyakinan dan konsep Hindu-Buddha yang cenderung kea arah mistik, serta unsur-unsur yang berasal dari zaman pra-Hindu. Kraton sendiri didalamnya terdapat kiai, haji, atau Ulama yang bertugas sebagai penasihat raja dalam bidang agama.[19]

BAB V
KEBUDAYAAN ISLAM JAWA YANG ADA DI KASUNANAN SURAKARTA


Pengembangan kebudayaan Jawa oleh kerajaan Mataram disesuaikan dan diperkaya dengan unsur-unsur Agama Islam. Pada masa Surakarta diperintah oleh Paku Buwana III (1749 – 1788) dan R. Ng. Yasadipura I berkedudukan sebagai pujangga kraton, kesusastraan suluk[20] sangat berkembang. Suluk ini walaupun sebagian besar bahannya berasal dari Agama Islam, namun coraknya bersifat Jawa. Beberapa contoh suluk seperti Suluk tambangraraas (serat centhini), Suluk Saloka Jiwa, Suluk Supanalaya, daan Suluk Sukma Lelana.[21] Selain suluk juga dikenal primbon, yaitu naskah Islam yang berasal dari abad XVI, ditulis dalam bahasa jawa dan merupakan catatan tentang berbagai macam hal, seperti jimat, doa, keterangan masa bahagia dan tidak bahagia, pralambang, tafsir mimpi, ramalan dan sebagainya. Primbon juga memuat pandangan yang bersifat magis dan magis-mistisisme.
Ada pula sebuah tradisi yang dilakukan pada hari kamis atau yang disebut dengan hari paseban. Terdapat pembuatan sajian berupa nasi dan lauk pauk, bunga dan kemenyan yang digunakan untuk selamatan yang bertujuan untuk  memuliakan arwah para nabi, waali, dan raja. Kenduri ini dilangsungkan di Paningrat pada pukul 21.00 oleh abdi dalem dan ki Juru Suranata bertugas memberikan doa.[22]

A.  Upacara Adat

Kerajaan Surakarta dalam setahunnya melangsungkan tiga kali upacaara yang berhubungan dengan agama Islam, yang disebut garebeg. Ada tiga macam garebeg yaitu, Garebeg Mulud untuk memperingati kelahiran Rasul SAW., Garebeg Syawalan adalah upacara yang dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur untuk mengakhiri bulan suci Ramadhan dan memasuki bulan Syawal, dan Grebeg Besar untuk merayakan Idul Adha. Pada dasarnya garebeg di kraton Surakarta dan Yogyakarta tidak berbeda. Raja, abdi dalem, prajurit mengenakan pakaian kebesaran. Jika ada upacara yang dilakukan secara besar-besaran, disebut bahwa kostum yang digunakan adalah grebegan.[23]
Perlengkapan yang harus ada dalam garebeg adalah gunungan, yaitu tumpukan hasil bumi yang dibentuk menyerupai gunung. Gunungan dibawa ke depan pintu dibawa ke depan pintu Kemandhungan, lewat halaman kedhaton dan halaman Srimanganti. Selain itu juga dikeluarkan pada waktu upacara garebeg, tedhak loji dan waktu menyaksikan rampogan harimau. Gamelan kadipaten, kepatihan dan kabupaten diatur di pagongan yang telah disiapkan di Alun-alun Utara.[24] Gamelan merupakan aba-aba supaya gunungan mulai dijalankan. Sesudah gunungan mulai bergerak, tidak lama dua orang penewu gedhong Kiwa Tengen menyampaikaan ganten wanig[25] ke hadapan Sunan.
Sementara gunungan telah saampai di Alun-alun. Benda-benda upacara dan ampilan milik raja, termasuk dhampar dibawa oleh abdi dalem pria. Sekembalinya dari mesjid acara dilanjutkan dengan meninggalkan sitihinggil menuju kedhaton.[26] Ada kekhususan pada Garebeg Mulud Dal, yaitu tingkah laku sunan dan permaisuri menanak nasi pada malam garebeg. Rakyat pada umumnya sangat tertarik untuk menyaksikan upacara garebeg. Hal ini karena beberapa alasan. Pertama, mereka ingin memperoleh sesuatu yang terdapat pada gunungan yang dianggap mempunyai magis. Kedua, mereka ingin menyaksikan prosesi yang sangat megah menuju ke mesjid dan melihat raja dari dekat, ratusan abdi dalem canthangbalung, prajurit panyutra.[27]
Gunungan sebagai alat komunikasi yang sangat menonjol mengandung arti. Pertama bentuknya yang menyerupai gunung menunjuk pada kesakralan. Kedua sebagai hajat dalem, makan gunungan di buat di Magangan itu, dianggap mempnyai kekuatan magis, untuk dapat sampai ke mesjid jalannya gunungan itu diserati upacara resmi dan melewati ruang-ruang halaman kraton. Ketiga gunungan yang terdiri atas buah-buahan, sayuran, makanan dari beras dan daging, melambangkan suatu negara agraris yang makmur. Keempat, penerapan klasfikasi dualism yang saling melengkapi dengan dibuatnya gunungan laki-laki dan perempuan. Kelima gunungan yang berbentuk lingga dan yoni melambangkan kesuburan dan dibawa ke mesjid untuk diberikan doa secara Islam oleh seorang penghulu menunjukan adanya sinkretisme dalam kehidupan beragama kraton. Keenam lewat gunungan ini sunan mengadakan selamaatan, makanan yang telah disucikan mengandung magis. Gunungan sebagian dibagikan kepada priyayi tingkat tinggi, para pangeran, pembesar kerajaan, dan sebagian lainnya untuk rakyat yang mana untuk mendapatkannya rakyat pada umumnya berebutan. Tradisi saling berebut dimaksudkan untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, melalui simbol-simbol yang diwuudkan dari aneka hasil bumi dan makanan yang menghiasi kedua gunungan.[28]

B.  Bangunan Fisik

1)    Masjid: Masjid Agung dibangun oleh Sunan Paku Buwono III tahun 1763M atau 1689 tahun Jawa dan selesai pada tahun 1768. Masjid Agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180 meter persegi yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka.
2)   Makam: Makam raja-raja Mataram di Imogiri atau dikenal juga dengan nama Pajimatan Girirejo Imogiri, adalah suatu kompleks khusus sebagai area pemakaman raja-raja keturunana Mataram Islam (Surakarta-Yogyakarta). Selain itu ada juga Makam keluarga besar kasunanan Surakarta yang ada di Kota Gedhe.[29]

C.  Pandangan Hidup

1)   Lembah Manah: Artinya adalah sikap rendah hati yang ditanamkan pada seluruh masyarakat Kasunanan Surakarta. Terkhusus pada masyarakat keraton, yaitu saat PB XII menasehati cucunya agar selalu memupuk sikap lembah manah.[30] Dalam islam, rendah hati adalah sikap yang juga harus diterapkan seorang Muslim, dasarnya adalah dalam hadits yang berarti “Tidak akan berkurang harta seseorang dengan bershadaqah, tidak akan bertambah maaf dari Allah pada seorang hamba kecuali kemuliaan, dan tidak ada sikap rendah hati seseorang pada Allah kecuali akan ditinggikan derajatnya” (H. R. Muslim).
2)   Aja Sulapan: artinya adalah jangan mudah silau terhadap barang-barang yang bukan miliknya. Dengan kata lain kita diajarkan untuk tidak memiliki penyakit iri.[31] Penyakit iri ini sudah dijelaskan juga dalam Hadits yang berarti “Apabila seseorang melihat dirinya, harta miliknya atau saudaranya sesuatu yang menarik hatinya (dikaguminya) maka hendaklah dia mendoakannya dengan limpahan barokah. Sesungguhnya pengaruh iri adalah benar (H. R. Abu Ya’la).
3)   Ngumpulke balung pisah: artinya adalah, sanak saudara yang jarang bertemu agar terus menjalin hubungan dengan pertemuan trah.[32] Konsep ini bisa dikatakan sama dengan Silaturahmi dalam Islam.

BAB VI
PENUTUP

Kesimpulan


Kerajaan Mataram dalam letak geografis pernah mencapai masa dimana mereka memiliki wilayah yang sangat luas. Mereka hampir menguasai semua pulau jawa, ditambah pulau Madura. Namun karena intervensi VOC akhirnya wilayahnya semakin menciut dan adanya perebutan kekuasaan maka kerajaan terbagi dua, Surakarta dan Yogyakarta. Keadaan sosial masyarakat terbagi atas 2 golongan besar, pertama yaitu Raja besarta bangsawan dan pejabat keraton, dan yang kedua adalah rakyat biasa. Keadaan politik yang semakin kacau akibat intervendi VOC, membuat terjadinya perang saduara antara kubu Pakubuwono dan Mangkubumi. Konflik ini yang pada akhirnya memecah kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta karena disetujuinya perjanjian Giyanti. Peninggalan Budaya Islam Jawa dalam Kasunanan Surakarta meliputi tiga macam, yaitu: peninggalan yang berbentuk upacara adat, bangunan fisik, dan nilai-nilai kehidupan.

Baca Makalah Lainya : Kumpulan Makalahku

Daftar Pustaka



Abimanyu, Soedjipto. 2015. Kitab Terlengkap Sejarah Mataram. Jakarta: Saufa.

Hamka. 1976. Sejarah Ummat Islam jilid IV. Jakarta: Bulan Bintang.

Harun, Yahya. 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII. Bandung: Kurnia Kalam Sejahtera.

Jamil, Abdul, dkk.. 2002. Islam & Kebudayaan Jawa Yogyakarta: Gama Media.

Larson, George D.. 1990. Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Luthfi , Ahmad Nashih.  2014. Keistimewaan Yogyakarta Yang Diingat dan Yang Dilupakan. Yogyakarta: Ombak.

Poerwikoesoemo, Soedarisman. 1985. Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.

Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Tamansiswa Yogyakarta.

Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers.

Sumber Internet








[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Rajawali Pers,2003), hlm. 191
[2] Ibid., hlm. 193
[3] Abdul Jamil, dkk., Islam & Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 28-29
[4] Hamka, Sejarah Ummat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 13
[5] Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII (Bandung: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 28
[7] Yahya Harun, Kerajaan, hlm. 29-30
[8] Soedarisman Poerwikoesoemo, Kadipaten Pakualaman (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985), hlm. 5-6.
[9] Soedjipto Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram (Jakarta: Saufa, 2015), hlm. 135.
[10] Ahmad Nashih Luthfi, Keistimewaan Yogyakarta Yang Diingat dan Yang Dilupakan (Yogyakarta: Ombak, 2014), hlm. 41.
[11] Soedjipto Abimanyu, Kitab, hlm. 135.
[12] Ahmad Nashih Luthfi, Keistimewaan, hlm. 41-42.
[13] Ibid., hlm. 42-43.
[14] Ibid., hlm. 43-44.
[15] Ibid., hlm. 46-47
[16] Soedarisman Poerwikoesoemo, Kadipaten, hlm. 4-5.
[17] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 25-26.
[18] George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), hlm. 24.
[19] Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830 - 1939, (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Tamansiswa Yogyakarta, 1989), hlm. 99.
[20]  Suluk merupakan tembang (nyanyian) yang ditulis dalam bahsa jawa dan berisi mistik.
[21] Darsiti Soeratman, Kehidupan, hlm. 102. 
[22] Ibid., hlm. 102.
[23] Ibid., hlm. 139.
[24] Ibid hlm. 141.
[25] Ganten wangi adalah sirih yang berbau harum.
[26] Darsiti Soeratman, Kehidupan1939 , hlm. 142. 
[27] Ibid., hlm. 148.
[28] Ibid., hlm. 149.
[29] Dikutip dari www.kerajaannussantara.com/id/surakarta-hadiningrat/makam, pada 8/5/17, pukul 14:34
[30] Darsiti Suratman, Kehidupan, hlm. 156
[31] Ibid.
[32] Ibid., hlm. 159

0 komentar:

Post a Comment