Nyadran Sebagai Budaya Islam Jawa | Studi Kasus Nyadran Dusun Gambiran Sleman

Nyadran Sebelum Puasa di Sleman, http://jogja.semberani.com

A.      Definisi Nyadran
            Pengertian Nyadran adalah “Nyadran iku salah siji prosèsi adat budhaya Jawa awujud kagiyatan setaun sepisan ing sasi Ruwah wiwit saka resik-resik saréan leluhur, mangsak panganan tertamtu kaya déné apem, ater-ater lan slametan utawa kenduri. Jeneng nyadran iki asalé saka tembung sraddha, nyraddha, nyraddhan, banjur dadi nyadran”. Artinya kurang lebih ” ‘Nyadran adalah salah satu prosesi adat jawa dalam bentuk kegiatan tahunan di bulan ruwah (sya’ban), dari mulai bersih-bersih makam leluhur, masak makanan tertentu, seperti apem, bagi-bagi makanan, dan acara selamatan atau disebut kenduri. Nama nyadran sendiri berasal dari kata Sradha – nyradha – nyradhan, kemudian menjadi nyadran.
            Dalam keterangan versi indonesia, dinyatakan, Nyadran merupakan reminisensi dari upacara sraddha Hindu yang dilakukan pada zaman dahulu kala. Upacara ini dilakukan oleh orang Jawa pada bulan Jawa-Islam Ruwah sebelum bulan Puasa, Ramadan, bulan di mana mereka yang menganut ajaran Islam berpuasa. Upacara sadran ini dilakukan dengan berziarah ke makam-makam dan menabur bunga (nyekar). Selain itu upacara ini juga dilaksanakan oleh orang Jawa yang tidak menganut ajaran Islam.[1]

B.       Posisi Nyadran Sebagai Budaya Islam Jawa
            Islam dalam budaya tertentu adalah hal yang lumrah, karena islam yang dibawa ke wilayah tertentu akan bertemu dengan budaya setempat. Tentu yang di maksud bertemu dengan budaya setempat adalah budaya yang tidak bertentangan dengan hukum islam dan tidak mengubah makna dari ajaran islam. Budaya Islam dan budaya lokal yang bertemu bergerak dari 2 arah. Pertama teori A, ajaran islam yang datang dan didukung budaya lokal tanpa merubah makna ajaran itu, contoh: wudhu adalah syarat sahnya sholat, namun teknologi menejemen pengaliran airnya dibuat oleh budaya lokal. Kedua teori B, budaya lokal yang diluruskan oleh ajaran islam, contoh: wayang adalah kesenian jawa yang bercerita tentang Hindu, setelah islam datang wayang tetap dijalankan dan isi ceritanya berkaitan dengan ajaran islam.
            Dalam masyarakat Jawa juga berlaku hal yang demikian. Ajaran islam masuk mengajarkan Aqidah, Syariah, dan Akhlak dengan pendekatan budaya. Salah satunya adalah Nyadran. Seperti yang telah dijelaskan pada bahasan pertama, Nyadran adalah sisa ajaran agama Hindu dengan mengunjungi makam. Inti upacara ini untuk membersihkan makam leluhur, kenduri, membuat dan membagi makanan dengan warga dusun yang lain, sesuai ajaran Hindu. Dalam perkembangannya ajaran Nyadran ini lebih bersatu dalam kebudayaan jawa dan tidak terbatas bagi penganut Hindu, serta sarat akan pemujaan akan roh leluhur hingga islam datang meluruskan hal ini.
            Islam datang dan menyikapi Nyadran selaras dengan Teori B, yaitu datang dengan meluruskan budaya lokal yang menyimpang. Nyadran yang intinya mengunjungi makam leluhur dengan segala pernak-pernik dan upacaranya di luruskan oleh islam dengan ziarah. Dalam islam ada ajaran tentang ziarah kubur, seperti yang didasarkan pada beberapa riwayat hadits berikut:
-       “Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, namun kini berziarahlah kalian! Karena sesungguhnya itu mengingatkan kalian pada Akhirat” (HR. Muslim)
-        “Dahulu saya melarang kalian menziarahi kubur, sekarang dengan diizinkan dengan Muhammad untuk berziarah pada kubur ibunya, karena itu berziarahlah ke perkuburan sebab hal itu dapat mengingatkan pada akhirat” (HR. Muslim, abu Dawud, An-Nasa’I, Ahmad)
Dengan dasar Hadist tersebut, islam berhasil mengarahkan upacara adat Hindu yang jauh dari nilai ketauhidan menjadi ibadah yang berdasar namun tidak serta merta menentang pula.
C.      Pelaksanaan Nyadran di Dusun Gambiran
            Gambiran adalah sebuah dusun kecil ditengah desa Pakembinangun, Kec. Pakem, Kab. Sleman. Seperti dusun lain yang ada di Sleman, Gambiran juga masih menerapkan budaya Nyadran setiap bulan Ruwah (Sya’ban) sebelum datangnya bulan Poso (Ramadhan). Di dusun ini Nyadran telah berkembang dari waktu ke waktu. Seperti penuturan salah satu warga dusun yang sejak kecil sekitar tahun 1970-1990 menilai sudah banyak yang berubah dengan prosesi Nyadran yang berkembang tahun sesudahnya


Nyadran di Dusun Gambiran (1990-sekarang):
-          Waktu: Upacara adat Nyadran dilakukan pada bulan Ruwah atau sebelum memasuki bulan Poso. Penentuan tanggal biasanya diputuskan pada hari libur nasional atau hari minggu. Hal ini bertujuan agar jumlah warga yang berpartisipasi maksimal. Sedangkan pelaksanaan dalam satu hari biasanya memakan waktu kurang lebih 5 jam.
-          Tempat: Tempat pelaksanaan nyadran berada di sebelah selatan kompleks pemakaman dusun Gambiran, yaitu sepanjang jalan aspal yang melintang dari barat ke timur. Di lokasi tersebut digelar tikar-tikar milik warga sejak pagi untuk memperoleh tempat ternyaman. Dilengkapi juga dengan tenda besi & terpal untuk menutupi dari panas atau hujan (tenda inventaris warga).
-          Perlengkapan: Sejak sehari sebelum pelaksanaan biasanya warga sudah memasak atau menyiapkan makanan untuk dibawa ke makam esok harinya. Makanan terdiri dari nasi, lauk pauk, buah, dan minuman, jenisnya pun sudah sangat variatif berbeda dengan dahulu yang biasanya seragam antara warga satu dengan yang lainnya. Bahkan ada warga yang tidak ingin bersusah payah memasak, maka cukuplah memesan nasi kotak. Selain itu tidak lupa perlengkapan upacara yaitu kembang yang dibawa diatas nampan dalam kondisi basah, buku yasin, dan uang sumbangan untuk operasional kegiatan warga lainnya.
-          Prosesi: sejak pagi sekitar jam 6 warga sudah mempersiapkan tempat dengan menggelar tikar dibawah tenda yang sudah dipersiapkan. Hal ini sudah secara alamiah dilakukan warga setiap upacara nyadran, mungkin karena sudah terbiasa dengan kebiasaan sejak dahulu. Setelah itu sambil menunggu dimulainnya nyadran, ada semacam absensi dengan mengisi nama kepala keluarga sekaligus menyumbangkan sejumlah uang untuk operasional kegiatan dusun. Acara dimulai jam 8 pagi diawali dengan membersihkan makam leluhur dan nyekar diatas makam dilanjutkan mendoakan Alm/h. Setelah semua warga selesai, maka dibukalah acara dengan sambutan ketua RT dan Kaum/Rais Dusun Gambiran. Acara dilanjutkan dengan pembacaan yasin dan ayat-ayat dalam Alqur’an serta lantunan syair jawa ditutup dengan doa keselamatan dan mendoakan leluhur yang telah wafat. Setelah itu warga menyantap makanan yang telah dibawanya diawali dengan doa yang dipimpin Kaum, sesekali warga saling tukar makanan yang dibawanya dengan warga lain. Biasanya rangkaian prosesi ini akan berakhir jam 11 atau paling lambat sebelum zuhur. Barulah sore harinya warga kembali ke makam dan membongkar tenda setelah digunakan untuk acara nyadran.

Nyadran di Dusun Gambiran (1970-1990):
-          Waktu: waktu dalam pelaksanaan Nyadran pada periode ini sama dengan tahun 1990-sekarang, yaitu sebelum datangnya bulan Poso. Namn perbedaannya penentuan harinya tidaklah mengambil tanggal merah atau haari minggu, namun dengan perhitungan hari jawa (hari baik). Sedangkan pelaksanaan Nyadran tetap sama, yaitu dimulai sekitar jam 6 pagi yaitu persiapan menggelar tikar di area luar makam, sampai ditutupnya dengan makan bersama yang berakhir jam 11.
-          Tempat: tempat pelaksaan Nyadran yang sekarang ada dibagian selatan makam/di depan gerbang makam, ternyata dahulu berada di sebelah Timur makam. Lebih tepatnya dibawah pohon besar berumur ratusan tahun. Pohon ini bernama pohon Benda, kata warga setempat bernama Mbah Suradi “Wit e iki wes ono saka biyen, jamane simbah e simbah biyen” yang artinya “Pohon ini sudah ada dari dulu, jaman kakek nya kakek dahulu”, ini menunjukkan bahwa usia pohon sudah sangatlah tua. Saat itu lokasi Nyadran di sebelah timur makam belumlah dilengkapi dengan tenda, dan makam juga belum dikelilingi tembok seperti sekarang. Area di sekitar makam juga belum ada jalan besar, hanya sekedar jalan setapak tanpa semen.
-          Perlengkapan: perlengkapan yang dibawa sebenarnya sama, kembang untuk nyekar dan makanan sebagai hidangan setelah nyekar. Kembang yang dibawa adalah selasih, mawar merah putih, melati, kenanga, kanthil, dll. Sedangkan makanan yang dibuat biasanya lebih sederhana dari apa yang sekarang berkembang. Makanan yang dibuat oleh warga kala itu didominasi makanan lokal, salah satu contoh warga menuturkan bahwa Simbahnya dahulu membuat santapan dari mie kuning dan bandeng, lalu buahnya hanyalah pisang. Disini nampak jelas perbedaan kuliner yang ternyata bergeser dari waktu ke waktu dalam Nyadran di dusun Gambiran. Makanan ini dibawa dengan wadah yang bernama Jodhang yang saat ini dipastikan sudah tidak pernah ada yang menggunakan. Jodhang ini semacam wadah kayu persegi panjang yang di dua ujungnya diberi tali yang ditopsng oleh satu batang bambu panjang.
-          Prosesi: cenderung sama, namun pada saat itu belum ada pembacaan yasin, yang ada hanyalah lantunan syair berbahasa jawa tentang peringatan siksa kubur, kematian, perintah beribadah, dan ketauhidan.



0 komentar:

Post a Comment