Showing posts with label LOGIKA. Show all posts
Showing posts with label LOGIKA. Show all posts

 
wahanahajiumrah.com
Merupakan bagian dari keindahan-keindahan syariat Al-Quran dan hukum-hukum Islam adalah bahwa sesama muslim adalah saudara dan umat yang satu, berkumpul, baik di waktu lapang maupun sempit, membangun kehidupan dengan kekuatan, kemuliaan dan bermartabat berdasarkan metode Al-Quran yang telah menyatukan barisan muslimin, mengajak mereka untuk komitmen pada satu kata dalam politik, hukum dan kontitusi, perekonomian dan sosial, kedutaan politik luar negeri, pemeliharaan dan pendidikan, informasi, jihad, penjagaan pada hak-hak umum dan khusus, pada kepribadian yang islami, jasmani, rohani, bersatu-padu, selaras, dan menopang dan menjaga batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah swt.
Al-Quran telah menjelaskan prinsip kesatuan umat, mencegah dari perpecahan dan pertentangan dan memperingatkan dari perpecahan kelompok dan kemungkinan masuknya penyusup atau mata-mata untuk mencaci kesatuan ini. Tidak seperti ketika keadaan orang-orang muslim menuju ke perpecahan, sedangkan musuh mereka menuju ke persatuan dalam kesatuan politik dan ekonomi yang satu, dengan membawa kedengkian dari beberapa daerah, nasionalisme dan balas dendam yang dapat mendorong rasa mereka dengan kesatuan takdir dan mencapai kemaslahatan yang tinggi.
Adapun nash-nash Al-Quran yang menggambarkan pada kita peristiwa yang gemilang di masa lalu dan menyakitkan dan menyayat di masa sekarang sudah jelas dan pasti. Allah berfirman dalam lingkup perintahnya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara ... (Q.S. Ali Imron : 103).
    Dalam bidang berita, ketetapan, dan kisah yang nyata, sama dan pasti, Allah berfirman : Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. (Q.S. Al-Hujurat : 10). Allah berfirman :  Sesungguhnya (Agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah aku. Dan mereka telah memotong-motong urusan (agama) mereka di antara mereka. kepada kamilah masing-masing golongan itu akan kembali. (Q.S. Al-‘Anbiya’ : 92-93). Dalam ayat lain yang serupa berbunyi : Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).  Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu. (Q.S. Al-Mu’minun). Dan perpecahan dan kebahagiaan ini adalah realitas saat ini dalam barisan umat Islam.
Allah telah melarang perpecahan dalam firman-Nya : Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Anfal : 46). Dalam ayat lain : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (Q.S. Al-An’am : 159). Dan Al-Quran juga telah memperingatkan pada kesatuan barisan dalam berjuang, Allah berfirman : Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Q.S. Ash-Shaff : 4).
Ketika kita menyaksikan gambaran gelap perpecahan muslimin, penyimpangan gubernurnya, dan banyaknya pemerintahannya, hingga terdapat sekitar 55 pemerintahan dalam PBB tidak kurang jika mereka tidak bersatu dalam satu naungan hukum, agar menjadi suatu fenomena penggabungan dan satuan yang nyata, tidak membahayakan kursi dan tahta mereka, berasal dan bermula dari rasa diri kemerdekaan, kepribadian dan kesadaran Islam, menjauhi garis-garis penjajahan dan musuh-musuh, dan berjalan pada orbitnya serta tunduk pada tuntutan-tuntutan dan perintah-perintahnya
Dan cara untuk bersatu yaitu menjadikan politik luar negeri menjadi satu, representasi politik diplomatik dalam satu kedutaan, tentara dalam satu naungan panglima, perekonomian dalam satu orbit, satu pasar dan satu rencana, satu hukum perdata, pidana dan komersial serta hukum perseorangan, satu batas-batas perdamaian dan perjanjian, satu perdagangan, percaya diri dan pembentukan militer sendiri yang kompak, serta satu metode dakwah dan pendidikan.

Baca Juga: Otoritas atau Kewibawaan Dalam Ilmu Logika
Jendral Soeharto, independent.co.uk

Pendapat atau pernyataan agar dapat diterima dan sah, harus terdapat dukungan baik dari fakta maupun pemikiran. Argumen yang sehat merupakan penentuan dalam menyatukan dalam fakta dan pemikiran menjadi sebuah kesimpulan akhir. Namun tidak hanya argument yang sehat, jika kita menggunakan fakta maka dibutuhkan relevansi dari fakta tersebut, dan kekritisan guna memastikan apakah kesimpulan yang diambil sesuai dengan fakta dan pemikiran tersebut.
Mungkin kita sudah sering mendengar istilah otoritas atau kewibawaan. Meskipun begitu paham ini merupakan hal yang wajar dilakukan manusia karena keterbatasan manusia dan ada beberapa hal yang harus diketahui dan diarahkan agar tidak tersesat dalam otoritas atau kewibawaan yang salah. Otoritas merupakan salah satu cara berpikir yang banyak dianut manusia, baik secara sadar atau tidak.
Seperti banyaknya teori yang berkembang di masyarakat, kita ambil salah satu contoh yakni teori evolusi Darwin. Teori ini diakui kebenarannya oleh berbagai kalangan pada masanya, dikarenakan Darwin dipandang ahli dalam bidang yang berkaitan dengan teorinya tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan kemampuannya meyakinkan kebenaran teori tersebut, dan tentunya melalui pembuktian ilmiah dan fakta-fakta penelitian. Teori ini dipandang sebagai suatu kebenaran, walaupun hanya berlaku terbatas dalam jangka waktu tertentu.  
 
II.                PEMBAHASAN
    A.  Pengertian
Istilah ini sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu authority yang berarti; yang berkuasa, ahli dan sumber. Sedangkan dalam bahasa Latin yaitu autor yang berarti; perencana, cikal-bakal, pembina dan pendiri.[1]  Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, otoritas yaitu kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga masyarakat yang memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya atau juga hak melakukan tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah orang lain. Otoritas merupakan pengetahuan yang didasarkan penghormatan terhadap orang-orang yang mempunyai kewibawaan.
Ada beberapa pengertian mengenai otoritas yaitu antara lain:[2]
1.      Konsep itu mengacu pada individu atau kelompok yang dianggap memilik pengetahuan sahih dan/atau kekuasaan legitim. a) Dalam arti positif: otoritas diterima karena keuntungan yang diperoleh, atau mudah diperoleh dari suatu sumber lainnya. b) Dalam arti negatif: otoritas dipandang sebagai penindas dan pelaku pengetahuan dan kekuasaan yang tidak sah.
2.      Dalam konteks etika, konsep itu menunjukkan pada pentingnya pengaruh dari seorang individu, sistem pandangan atau sebuah organisasi yang timbul dari kualitas tertentu atau dari pelayanan yang diberikan. Otoritas dapat mengena pada politik, moral dan ilmu pengetahuan. Hal itu tergantung pada bentuk pengaruh dan suasana.
3.      Konsep itu juga menunjuk pada kewenangan fisik, mental, atau moral dari pribadi-pribadi yang dapat mendorong persetujuan pribadi terhadap arahan-arahan dari orang yang memiliki kewenangan itu.
4.      Merupakan kapasitas, atau didapat sebagai pelaksanaan dengan pengaruh terhadap suatu kelompok. Hubungan yang terbangun merupakan hubungan kekuatan ikatan secara pemikiran.[3]
5.      Menurut Robert Bierstedt dalam An Analysis of Social Power otoritas adalah institutionalized power. Hal ini merupakan wewenang untuk meyakinkan anggota masyarakat, baik terstruktur secara berkelompok maupun tidak. Hal ini merujuk pada pengakuan dan keabsahan pemikiran. Keabsahan wewenang ini wajar dan patut dihormati.[4]
6.      Penyamaan kehendak, dengan pensyaratan subordinasi (terdapat kedudukan bawahan). [5]
Seseorang, institusi atau organisasi disebut memiliki otoritas jika kekuasaan yang digunakannya dianggap sah, yaitu diamanatkan oleh sistem norma yang kepadanya pemegang otoritas berbicara mewakilinya. Munculnya norma yang seperti ini di masyarakat manusia cukup kompleks, di mana konvensi, kebiasaan, adat dan tradisi memainkan peran yang berbeda-beda.
Teori kontrak sosial merupakan salah satu jenis solusi bagi masalah tentang basis otoritas, sedangkan pembuktian kemanfaatan dari sejumlah sistem yang dipandu aturan adalah solusi yang lain. Meski lazim untuk menemukan skeptisisme terhadap klaim-klaim tertentu otoritas, namun ide bahwa koordinasi manusia -bahkan komunikasi juga- dapat eksis tanpanya, biasanya dianggap terlalu fantastis.[6]

   B.  Otoritarianisme   
Ada pandangan golongan yang menggunakan atau mendasarkan pengujian kebenaran informasi atau pengetahuan pada suatu otoritas tertentu, yang dalam istilahnya dinamakan paham otoritarianisme. Otoritarianisme ini memiliki dua pengertian, yaitu sebagai berikut:[7]
1.      Otoritarianisme merupakan pandangan yang mendukung ketaatan buta terhadap suatu otoritas sebagai sumber pengetahuan atau pengarahan hidup –atau keyakinan politis- yang benar. Otoritas ini tidak dapat dipersoalkan. Otoritas semacam ini dipertentangkan dengan usaha individu untuk mengetahui atau semangat bebas untuk menyelidiki kebenaran.
2.      Otoritarianisme merupakan kepercayaan bahwa pengetahuan dijamin dan disahkan oleh suatu sumber yang otoriter. Paham ini mengakui tanpa pemikiran kritis pembuktian atau kesaksian sebagai lawan atau kebalikan dari usaha yang bebas untuk mengetahui yang benar atau salah atau yang palsu.
Jika seseorang menerima otoritas secara tidak kritis, ia menghentikan usaha-usahanya yang bebas untuk mencari kebenaran. Tanpa memandang bentuknya, sikap untuk menerima begitu saja suatu kesaksian karena kepercayaan yang membabi-buta tanpa memperhatikan apakah kesaksian itu sesuai dengan pengalaman atau akal, maka itu sungguh berbahaya.
Kelemahan dan bahaya otoritarianisme itu banyak. Pertama, sebagai suatu sikap yang mencolok yaitu sikap tidak menggunakan sarana untuk mengetahui betul tidaknya sesuatu kecuali karena ia datang dari yang berkuasa. Otoritarianisme cenderung menghambat kemajuan dan mengesampingkan pemikiran dan penyelidikan lebih jauh. Kita hidup di zaman masyarakat yang berubah dengan pesat. Dan oleh karena itu kepercayaan dan praktik-praktik pada suatu waktu tidak lagi sesuai pada waktu kemudian.
Kedua, jika para penguasa berselisih atau konflik, dan ini lumrah terjadi, kita akan menjadi bingung kecuali kalau kita mempunyai sumber lain sebagai pegangan.
Ketiga, kita dapat tersesat oleh kebesaran penguasa kita. Dan sering kita tidak menyadari kalau penguasa itu berbicara mengenai sesuatu yang mungkin sudah berada di seberang bidang pengetahuannya. Seseorang yang sangat mahir dalam suatu bidang biasanya dipercaya juga meski ia berbicara tentang hal-hal yang bukan keahliannya.
Keempat, kita mungkin tersesat jika suatu keyakinan telah berurat akar dan meluas. Sikap menerima yang telah meluas itu akan menambah prestise dan daya tarik penguasa. Dan ini mempersulit kita mengungkapkan cacat-cacat lama.[8]   
Oleh sebab itu, kita harus lebih melihat konteks para penguasa otoritas tersebut dalam menganut paham otoritarianisme ini agar tidak tersesat dan bahkan bisa menyesatkan orang lain yang juga menganut paham ini lebih lekat dari pada kita. Dan kesesatan dalam penggunaan otoritas akan dijelaskan dan diberi contoh lebih lanjut dibawah ini.

   C. Kekeliruan dalam Penggunaan Otoritas atau Kewibawaan
Kekeliruan karena mendasarkan pada otoritas, yaitu kekeliruan berpikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang tetapi dipergunakan untuk permasalahan di luar otoritas ahli tersebut.[9]
Kesesatan ini terjadi bila kita, bukannya memperlihatkan manfaat intrinsik dari masalah yang ada, melainkan tertarik kepada otoritas dari tokoh utama untuk mendukung pendapat kita, argumentasi ini mengandaikan bahwa apapun yang dinyatakan oleh seorang tokoh itu pasti benar, padahal tidak sesuai dengan otoritas tokoh tersebut,[10] seperti:
Pisau cukur ini sangat baik karena Cristiano Ronaldo selalu menggunakannya. (Cristiano Ronaldo adalah seorang olahragawan. Ia tidak mempunyai otoritas untuk menilai bagusnya logam yang dipakai untuk membuat pisau cukur.)
Bangunan UIN ini sangat kokoh karena Pak Lukman Hakim yang mengatakannya. (Pak Lukman Hakim adalah menteri agama, bukan seorang insinyur bangunan).
Hadis populer yang memiliki arti “Siapa yang mengenali dirinya, ia mengenali Tuhannya” merupakan hadis sahih menurut sufi. (Kaum sufi tidak memiliki otoritas dalam menetapkan kesahihan suatu hadis, dan setelah diteliti ulama hadis ternyata hadis tersebut maudhu’). [11]
Kesesatan ini juga terjadi bila kita menerima suatu proposisi hanya dengan mengacu pada adat istiadat dan tradisi. Misalnya: Saya percaya akan Tuhan karena tradisi agama mengonfirmasinya.[12]
Kewibawaan terkadang dibutuhkan untuk memberi bobot pada penalaran kita. Pengutipan seorang yang expert patut diberi perhatian dan sangat dibenarkan.[13] Apabila terdapat perselisihan paham antara kewibawaan, tugas dan persoalan kita, hendaknya kritis,[14] jangan hendaknya kita memilih sekehendak kita salah satu dari kewibawaan itu saja ataukah kita membuang sama sekali semua bentuk kewibawaan itu. Dengan demikian kita terperangkap kepada pemakaian kewibawaan yang bukan sesungguhnya atau kewibawaan palsu.[15]

    D.    Ukuran Pengujian Otoritas dan Kewibawaan
Seperti dijelaskan di atas mengenai kekeliruan penggunaan otoritas dan kewibawaan, maka otoritas dan kewibawaan ini harus melalui tahap penyaringan terlebih dahulu sebelum menjadi sebuah otoritas dan kewibawaan. Fakta sebagai sumber otoritas dan kewibawaan diperoleh melalui dua jalur, yakni pengamatan kita sendiri dan pengamatan orang lain. Namun realitas dalam berpikir seringkali kebanyakan orang terpengaruh dari pemikiran dari pengamatan orang lain. Seperti halnya kesaksian dari tokoh dan orang-orang yang berpengaruh, yang memiliki wewenang dalam pemikiran tersebut.[16]
            Pemikiran harus berdasar pada evidensi objektif dari data-data yang diamati, diukur, maupun dieksperimenkan. Hal ini berguna untuk menfilter pendapat yang hanya sekedar kabar burung saja. Obyek pengujian otoritas dan kewibawaan adalah meneliti pengamatan dan pemikiran lain dengan pengamatan serta pemikiran kita untuk menyaring adakah kesalahan yang terdapat dalam pemikiran tersebut.
            Ukuran pengujian otoritas dan kewibawaan adalah sebagai berikut:[17]
   1.   Apakah kewibawaannya masih terdapat keraguan?
Sebuah kewibawaan tidak akan terdapat keraguan lagi jika telah melalui proses penelitian fakta-fakta dengan cermat dan akurat dan pengambilan kesimpulan yang bermanfaat. Demi mengambil kewibawaan yang tidak lagi diragukan, kita harus seteliti mungkin dalam menelisik motif-motif tertentu yang secara intrinsik mempengaruhi kewibawaan tersebut. Seperti halnya motif ekonomi, motif politik, motif agama, dan lain sejenisnya.
  2. Apakah pendidikan, background, serta pengalaman sang ahli yang membuat sang ahli berwenang dalam bidang ini?
Melihat latar belakang seseorang merupakan sebuah keakuratan demi tercapainya kewibawaan yang relevan. Era sekarang merupakan era spesialisasi berbagai bidang ilmu pengetahuan, dan terdapat banyak pencabangan dalam kajian masing-masing pengetahuan tersebut. Hal ini menjadi tolak ukur pemikiran seseorang, bagaimana perkembangan pola pikir dan sisitematisasi wewenang pengetahuan tersebut. Pengalaman dalam lapangan dan pengetahuan khusus merupakan dasar dari tumbuhnya wewenang tersebut.
   3.  Apakah kewibawaan menunjukkan dasar bagi kesimpulan dan memberikan evidensi objektif?
Jika kita akan menggunakan kewibawaan, kita harus bersikap skeptis sehat terhadap sang ahli, apakah sang ahli ini percaya terhadapa kesimpulan dari prinsip kewibawaannya. Apabila sang ahli benar-benar berdasar pada pemikirannya, kita harus skeptis sehat mengenai dasar faktual yang dianggap sang ahli sebagai evidensi objektif masih terdapat simpang siur dan dapat dipermasalahkan lagi, apakah pemikiran sang ahli sehat, apakah pendapat yang berlawanan dengan sang ahli telah dipertimbangkan, apakah tidak ada pencampuran antara kebenaran dan keyakinan (keyakinannya ditengarai sebagai kebenaran). Salah satu integritas dari kewibawaan adalah dengan pemikiran dari berbagai sudut pandang, tidak hanya melihat fakta dari satu sisi saja.
4.      Apakah publik bersedia menerima kewibawaan tersebut?
Tidak semua kewibawaan dapat diterima dan bersesuaian dengan pemikiran masyarakat luas. Maka apabila kewibawaan ini tidak diterima, setidaknya harus terdapat dokumentasi maupun pengarsipan informasi dan latar belakang sebagai sebuah kewibawaan.  



III.             KESIMPULAN
Otoritas atau kewibawaan adalah pendapat serta pernyataan yang didukung oleh fakta dan pemikiran berdasar pada evidensi objektif. Fakta-fakta tersebut harus relevan dengan evidensi objektif sendiri, yakni data-data yang diamati, diulur, dan dieksperimenkan.
Terdapat golongan yang mendasarkan eksperimen pemikiran terhadap satu otoritas tertentu, yang dinamai otoritarianisme. Otoritarianisme mempunyai dua pengertian, yakni pandangan yang mendukung ketaatan buta terhadap suatu otoritas sebagai sumber pengetahuan atau pengarahan hidup –atau keyakinan politis- yang benar, serta kepercayaan bahwa pengetahuan dijamin dan disahkan oleh suatu sumber yang otoriter tanpa pemikiran kritis pembuktian atau kesaksian sebagai lawan dari fakta maupun palsu.
Baca Juga: Kausalitas Logika
            Agar otoritas dan kewibawaan dapat dijadikan acuan, maka harus terdapat filterisasi otoritas dan kewibawaan tersebut, agar nantinya tidak terjadi kesalahan dikarenakan kesalahan pemikiran yang bersandar pada ororitas dan kewibawaan tersebut. Maka terdapat ukuran-ukuran pengujian dalam menentukan keabsahan otoritas dan kewibawaan.



[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996, hlm. 768.
[2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 768-769.
[3] William A. Darity, Encyclopedia of the Social Sciences, Macmillan Reference, 2008, hlm.
[4] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm.
[5] Friedrich Engels, “On Authority”, http://www.marxists.org//, diakses Selasa, 17 Mei 2016,  hlm. 1. 
[6] Simon Blackburn, Kamus Filsafat, Yudi Santoso (terj.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm. 
[7] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 767.
[8] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 767-768.
[9] Mundiri, Logika,  Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998, hlm. 190.
[10] Benyamin Molan, Logika: Ilmu dan Seni Berpikir Kritis, Jakarta: Indeks, 2014, hlm. 43.
[11] Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Bermasalah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014, hlm. 78.
[12] Benyamin Molan, Logika: Ilmu dan Seni Berpikir, hlm. 43.
[13] Poespoprodjo W. dan T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, Bandung: Remaja Karya, 1987, hlm. 189.
[14] Poespoprodjo W. dan T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, hlm. 190.
[15] Burhanuddin Salam, Logika Formal (Filsafat Berpikir), Jakarta: Bina Aksara, 1988, hlm. 104.
[16] W. Poespoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, Bandung : Pustaka Setia, 2015, hlm. 249.
[17] W. Poespoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, hlm. 250-251.


Logika Kausalita, http://p2tel.or.id


PENGANTAR

            Puji syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah serta iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu makalah.
            Dalam aspek manapun, makalah ini belum memenuhi kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah ini.
            Setidaknya, dalam penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami sendiri, ada banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan banyak manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
            Pada akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada beliau khususnya Bapak Dr. Nurul Hak, S. Ag, M. Hum selaku dosen pengampu mata kuliah Logika yang memberi kami kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada teman-teman mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan agama. Semoga Allah memberkati makalah kami. Aamiin.

                                                                                                            Sleman, 9 Mei 2016


                                                                                                                    Irfan Hamid


BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

          Meskipun disadari, definisi tidak pernah dapat menampilkan dengan sempurna pengertian sesuatu yang dikandungnya, disamping pada setiap pemyelidikan permulaan suatu ilmu sudah lazim dibuka dengan pembicaraan definisinya. Kebijakan ini ditempuh, mengingat bahwa dalam keanekaragaman itu terdapat persamaan-persamaan prinsip yang dapat mengantarkan kepada garis besar masalah. Sudah barang tentu pengertian yang diantar oleh definisi ta sejelas yang di dapat dalam akhir penyelidikan. [1] Karena itu definisi dijadikan pembuka sebuah karya tulis.
          Logika itu bukan merupakan ilmu pengetahuan teoritis saja, melainkan juga memiliki segi praktis. Artinya disamping kita mengerti hukum-hukum berpikir, maka kita harus dapat menerapkan hukum-hukum itu dalam praktik (praktik berpikir). Untuk dapat mempraktikkan hukum-hukum ini kita harus cakap (cakap berpikir sendiri dengan lurus dan sehat). Ini berarti berpikir menurut hukum-hukum atau patokan berpikir, sehingga dengan demikian dapat mencapai kebenaran.[2]
          Sedangkan dalam makalah ini kami sebagai penyusun makalah akan menampilkan salah satu hukum berpikir yaitu Kausalitas (Sebab Akibat). Sebenarnya jika bicara tentang sebab akibat, kita akan sering atau akrab bersinggungan dengan hal ini. Namun kadang-kadang kita yang tidak sadar. Untuk lebih jelasnya kami akan membahasnya dalam 3 rumusan masalah sebagai berikut.

B. Rumusan Masalah

1.    Bagaimana Pengertian Kausalitas?
2.    Bagaimana Contoh Hubungan Kausalitas Dalam Logika?
3.    Bagaimana Penjelasan Penyimpulan Kausal?

C. Tujuan

1.    Mengetahui Pengertian Kausalitas
2.    Mengetahui Metode dan Contoh Kausalitas Dalam Logika
3.    Penjelasan Penyimpulan Kausal

BAB. II
Isi

1.    Pengertian Kausalitas

          Keyakinan manusia akan hukum kausalitas sudah ada seja zaman kuno. Bahawa tidak ada satupun peristiwa terjadi secara kebetulan, melainkan semuanya mempunyai sebab yang mendahuluinya, dapat kita telusuri sejak peradaban manusia tercatat dalam sejarah. Bukti itu dapat kita temui pada abad 5 sebelum Masehi, yaitu pada ucapan filosof Yunani Leucipos: Nihil fit sine causa (tidak ada peristiwa yang tidak mempunyai sebab). Namun demikian tidak berarti jauh sebelumnya manusia belum mengenal peristiwa sebab akibat. Dokter-dokter zaman Firaun tidak mungkin dapat mengobati penyakit kecuali mereka memliki pengetahuan sebab akibat.[3]
          Pada umumnya kalau orang berbicara tentang sebab dan akibat, yang dimaksud ialah bahwa keadaan atau kejadian yang satu menimbulkan atau menjadikan keadaan atau kejadian yang lain. Yang satu disebut sebab, dan yang lain disebut akibat.
          Dalam pengertian sebab-akibat itu pertama-tama terkandung makna bahwa sebab mendahului akibat. Akan tetapi tidak semua yang mendahului sesuatu yang lain adalah sebab dari munculnya akibat. Kalau seorang pasien meninggal setelah disuntik, belum tentu kematiannya disebabkan oleh suntukan itu. Hubungan antara sebab dan akibat itu bukan hubungan urutan biasa atau hubungan yang kebetulan. Hubungan sebab-akibat itu adalah hubungan yang interinsik.
          Diatas dikatakan bahwa hubungan sebab-akibat itu mempunyai unsur interinsik, akan tetapi juga dikatakan diatas bahwa tidak selalu sesuatu yang timbul sesudah sesuatu yang lain, merupakan sebab-akibat. Agar hubungan antara sebab-akibat menjadi jelas, dalam logika “sebab” dipandang sebagai suatu syarat atau suatu kondisi yang merupakan dasar adanya atau terjadinya suatu “akibat”. Dibedakan antara 2 macam kondisi, yaitu kondisi mutlak dan kondisi memadai.[4]
          Sebab sebagai sesuatu yang melahirkan akibat mempunyai banyak pengertian. kondisi yang mutlak (necessary causa) dan kondisi yang memadai (Sufficient Causa). kondisi yang mutlak adalah suatu keadaan bila tidak ada maka akibatnya tidak muncul, tetapi dengan adanya akibat tidak harus terjadi. Sedangkan kondisi yang memadai adalah  sesuatu yang karena adanya menyebabkan akibat muncul, dan dengan tidak adanya menyebabkan akibat tidak muncul. Dengan kata lain sebab yang menjadikan adalah sesuatu yang ada atau tidaknya menentukan ada dan tidaknya akibat.
          Disamping itu juga ada sebab yang jauh dan sebab yang langsung. Bila A mengakibatkan B dan B mengakibatkan C, C mengakibatkan D, D mengakibatkan E dan E mengakibatkan F, maka E adalah sebab yang langsung. Sedangkan A adalah sebab yang jauh. Bila kita menelusuri sebab tewasnya seorang mahasiswa dalam kecelakaan kendaraan, akan kita dapati sebab yang berantai.[5]

2.    Metode dan Contoh Kausalitas Dalam Logika

a.    Metode Persesuaian (Method of Agreement)

          Yaitu jika dua peristiwa atau lebih dari satu factor yang sama,factor tersebut dapat dianggap sebagai sebab dari gejala itu.
Dirumuskan:
A B C = Z
C D E = Z
C = Z
Contoh:
          P1:Di daeerah A pada umumnya orang tua kurang perhatian pada anak,dan masyarakatnya kurang memeperhatikan kegiatan anak muda kea rah positif,serta kurang sekali adanya pendidikan moral agama sehingga kenakalan remaja makin meningkat.
          P2:Di daerah B kurang sekali adanya pendidikan moral agama,dibentuk adanya karang taruna,bahkan sering diadakan ceramah kepemudaan,terdapat juga kenakalan remaja makin meningkat
Ks:Dari dua daerah dengan gejala yang sama tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa kurangnya pendidikan moral agama yang menyebabkam kenakalan remaja.

b.   Metode Perbedaan (Method of Difference)

          Yaitu jika terdapat dua peristiwa yang satu berkaitan dengan suatu gejala tertentu dan yang lain tidak,sedangkan pada peristiwa yang satu terdapat sebuah unsur dan peristiwa yang lainya tidak terdapat maka unsur itulah yang merupakan sebab dari gejala tersebut.
Dirumuskan:

A B C = Z
A B –C = Z
C = Z
Contoh:
          P1:Di daerah A pada umumnya orang tua kurang perhatian pada anak,dan masyarakatnya kurang memeperhatrikan kegiatan anak muda kea rah positif,serta kurang sekali adanya pendidikan moral sehingga kenakalan remaja makin meningkat.
          P2:Di daerah C juga umumnya orang tua kurang perhatian pada anak,dan masyarakatnya kurang memperhatikan kegiatan anank muda kea rah yang positif, tetapi jika pendidikan agama banyak disampaikan,sehingga kenakalan remaja makin berkurang
          Ks:Dari gejala dua daerah ini dapat disimpulkan bahwa kurangnya pendidikan moral agama yang mengakibatkan kenakalan remaja meningkat.

c.    Metode Gabungan Persesuaian dan Perbedaan (Join Methods of Agreement and Diference)

          Jika di dalam dua peristiwa atau lebih terjadi gejala tertentu yang mempunyai satu unsur yang sama ,sedangkan di dalam dua atau lebih peristiwa tidak terjadi gejala tertentu dan tidak mempunyai persamaan kecuali tidak adanya unsur itu,unsur yang semata-mata membuat dua peristiwa itu berbeda merupakan akibat atau sebab dari gejala tersebut.
Dirumuskan:
A B C = Z
B C E = Z
A B D = -Z
C = Z
Contoh :
          P1:Amakan nasi gudeg dan telur serta minum teh botol,akibatnya sakit perut
          P2:B makan telur,minum the dalam botol serta makan nasi goring juga sakit perut.
          P3:C makan nasi gudeg dan telur serta minum es jeruk tidak sakit perut.
Ks:Dapat disimpulkan bahwa minum the dalam botol itulah yang mengakibatkan sakit perut.

d.   Metode Sisa (Methods of Residues)

          Yaitu jika terdapat beberapa gejala sebab akibat dari beberapa factor dan dengan pengurangan dapat mengurangi gejala tersebut,sisa dari gejala itu merupakan akibat dari sebab-sebab selebihnya.
Dirumuskan:
ABC = XYZ
AB = XY
C = Z

e.    Metode Perubahan sering (Methods of Concomitant Variations)

          Yaitu di antara dua peristiwa akan berubah jika adanya dua perubahan unsur peristiwa kedua,dan sebaliknya unsur peristiwa kedua tidak mengalami perubahan jika unsur pada peristiwa pertama tidak berubah maka dua unsur dalam dua peristiwa tersebut berhubungan sebagai sebab akibat.
Dirumuskan:
ABC = XYZ
ABC1 = XYZ1
ABC2 = XYZ2
C = Z
Contoh:
          P1:Tanaman padi di sawah dirawat dengan teratur oleh petani,hama dicegah dengan baik,dan diberi pupuk kandang dengan takaran tertentu,ternyata hasilnya meningkat sedikit.
          P2:Tanaman padi di sawah dirawat dengan teratur ,hama dicegah dengan baik,dan diberi pupuk kandang dengan takaran tertentu dilebihkan sedikit,terbukti hasilnya meningkat banyak .
          P3:Tanaman padi di sawah dirawat denganteratur,hama dicegah dengan baik ,dan diberi pupuk kandang dengan takaran tertentu lebih banyak lagi,terbukti hasilnya meningkat lebih banyak
          Ks:Maka dapat disimpulkan bahwa pupuk kandang dapat meningkatkan hasil tanaman padi.[6]

3.    Penyimpulan Kausal

          Lima metode penyimpulan yang ditentukan oleh Jhon Stuart Mill yang kemudian dirumuskan secara singkat dalam rumusan simbolik dengan mengunakan pola silogisme hipotesis dapat dinyatakan sebagai metode logika, yang sifatnya deduktif  tetapi dalam pengetrapannya bersifat induktif.  Jadi, metode logika ini bersifat induktif dalam hal pola logikannya atau bentuk logikanya, dan bersifat induktif dalam hal pelaksanaanya. Kelima metode ini yang setiap premis mayor(pangkal-pikir besar) didalam deduksi memerlukan induksi dan sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi penyusenan pikiran mengenai hasil-hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi kedua-duanya bukan merupakan bagian-bagian yang saling terpisah sebetulnya saling bantu membantu.
          Dalam penalaran induktif untuk mencari hubungan sebab akibat mengunakan lima metode John Stuart Mill ini, didasari atau tidak memang salah satu dari lima metode tersebut digunakan, dan terutama sekali digunakan dalam bidang penelitian exsperimental, yang merupakan salah satu kegiatan ilmiah untuk mengkaji hipotesis yang diajukan. Dibidang filsafat terutama digunakan dalam perenungan, yaitu penelitian tentang konsep-konsep yang saling berhubungan satu dengan yang lain sebagai sebab akibat. Dalam modul ini, diambilkan contoh metode perbedaan diterapkan pada perkembangan politik kenegaraan indonesia sebagai perwujudan konkret filsafat pancasila:

P1 : jika diingatkan pendidikan agama, pendidikan kewiraan, dan pendidikan filsafat pancasila maka dapat mengakibatkan langsung meningkatnya stabilitas nasional.

P2 : Jika hanya ditingkatkan pendidikan agama, dan pendidika kewiraan, tanpa diikuti pendidikan filsafat pancasila akibatnya tidak dapat meningkatkan langsung stabilitas nasional.

P3 : Jika perbandingan dua pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan filsafat pancasila dapat meningkatkan langsung stabilitas nasional.

          Dengan dasar perenungan diatas maka pendidikan filsafat pancasila perlu disebarluaskan kesemua kelompok masyarakat indonesia untuk memantapkan ideologi bangsa guna mencapai stabilitas nasional. Menurut pemikiran rakyat indonesia stabilitas nasional adalah merupakan prasyarat dalam pembangunan nasional. Selanjutnya, berdasarkan perenungan ini maka dalam pembangunan nasional harus diikuti pemantapan ideologi pancasila, tanpa pembangunan nasional tidak akan dapat membangun manusia indonesia seutuhnya, dalam arti mencapai kebahagiaan manusia atas dasar susunan kodrat jiwa dan raga, kebahagiaan manusia atas dasar sifat kodrat jiwa dan raga, kebahagiaan manusia atas dasar kedudukan kodrat sebagai mahluk mandiri dan mahluk tuhan.[7]
          Bukti-bukti ketetapan perenungan diatas, misalnya perenungan kedua (P2). Sebelum disebarluaskan pendidikan filsafat pancasila secara luas sebagai ideologi negara, terbukti pada waktu itu stabilitas nasional tidak tercapai sehingga rakyat indonesia tidak sempat membangun krena antar golongan saling bertengkar ingin menang sendiri, bahkan banyak terjadi pemberontakan, dan tidak adanya kesatuan ideologi.
          Contoh penyimpulan kausal ini banyak sekali namun terlepas dari contoh-contoh yang ada, ditinjau segi bentuk logikannya sudah menunjukan penyimpulan yang tepat sebagai penalaran yang tidak langsung  berupa hubungan sebab akibat. Berdasarkan bentuk logikannya maka, penyimpulan langsung disebut juga metode logika karena bentuk logikanya maka penyimpulan langsung disebut jug metode logika karena bentuk logikannya sah dan tepat.[8]


         

BAB. III
PENUTUP

Kesimpulan

          Keyakinan manusia akan hukum kausalitas sudah ada seja zaman kuno. Bahawa tidak ada satupun peristiwa terjadi secara kebetulan, melainkan semuanya mempunyai sebab yang mendahuluinya. Pada umumnya kalau orang berbicara tentang sebab dan akibat, yang dimaksud ialah bahwa keadaan atau kejadian yang satu menimbulkan atau menjadikan keadaan atau kejadian yang lain. Yang satu disebut sebab, dan yang lain disebut akibat.
          Metode dalam kausalitas terbagi atau digolongkan menjadi 5 metode yaitu, Metode Persesuaian (Method of Agreement), Metode Perbedaan (Method of Difference), Metode Gabungan Persesuaian dan Perbedaan (Join Methods of Agreement and Diference), Metode Sisa (Methods of Residues), Metode Perubahan sering (Methods of Concomitant Variations).
          Jadi, metode logika ini bersifat induktif dalam hal pola logikannya atau bentuk logikanya, dan bersifat induktif dalam hal pelaksanaanya. Kelima metode ini yang setiap premis mayor(pangkal-pikir besar) didalam deduksi memerlukan induksi dan sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi penyusenan pikiran mengenai hasil-hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi kedua-duanya bukan merupakan bagian-bagian yang saling terpisah sebetulnya saling bantu membantu.


DAFTAR PUSTAKA

Mundiri, Logika, Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Noor Muhsin, dan Sonjoruri Budiani, Logika, Tangerang: Universitas Terbuka, 2014
Soedomo Hadi, Logika Filsafat Berpikir, Surakarta: UNS Press, 2005
Surajiyo Astanto Sugeng.dkk,  Dasar-dasar Logika, Jak



[1] Mundiri, Logika (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 1
[2] Soedomo Hadi, Logika Filsafat Berpikir (Surakarta: UNS Press, 2005), hlm. 2
[3] Mundiri, Logika (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 171
[4] Soekadijo, Logika Dasar tradisional, simbolik, dan induktif (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 144
[5] Mundiri, Logika (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 172
[6] Surajiyo Astanto Sugeng. dkk,  Dasar-dasar Logika (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm:64-66
[7] Noor Muhsin, dan Sonjoruri Budiani, Logika (Tangerang: Universitas Terbuka, 2014), hlm, 9.54-9.55
[8] Noor Muhsin, dan Sonjoruri Budiani, Logika (Tangerang: Universitas Terbuka, 2014), hlm, 9.56