Jendral Soeharto, independent.co.uk |
Pendapat atau pernyataan agar dapat diterima
dan sah, harus terdapat dukungan baik dari fakta maupun pemikiran. Argumen yang
sehat merupakan penentuan dalam menyatukan dalam fakta dan pemikiran menjadi
sebuah kesimpulan akhir. Namun tidak hanya argument yang sehat, jika kita
menggunakan fakta maka dibutuhkan relevansi dari fakta tersebut, dan kekritisan
guna memastikan apakah kesimpulan yang diambil sesuai dengan fakta dan
pemikiran tersebut.
Mungkin kita sudah sering mendengar istilah
otoritas atau kewibawaan. Meskipun begitu paham ini merupakan hal yang wajar
dilakukan manusia karena keterbatasan manusia dan ada beberapa hal yang harus
diketahui dan diarahkan agar tidak tersesat dalam otoritas atau kewibawaan yang
salah. Otoritas merupakan salah satu cara berpikir yang banyak dianut manusia,
baik secara sadar atau tidak.
Seperti banyaknya teori yang berkembang di
masyarakat, kita ambil salah satu contoh yakni teori evolusi Darwin. Teori ini
diakui kebenarannya oleh berbagai kalangan pada masanya, dikarenakan Darwin
dipandang ahli dalam bidang yang berkaitan dengan teorinya tersebut. Hal ini
juga berkaitan dengan kemampuannya meyakinkan kebenaran teori tersebut, dan
tentunya melalui pembuktian ilmiah dan fakta-fakta penelitian. Teori ini
dipandang sebagai suatu kebenaran, walaupun hanya berlaku terbatas dalam jangka
waktu tertentu.
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Istilah ini sendiri berasal dari bahasa
Inggris yaitu authority yang berarti; yang berkuasa, ahli dan sumber.
Sedangkan dalam bahasa Latin yaitu autor yang berarti; perencana,
cikal-bakal, pembina dan pendiri.[1]
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia,
otoritas yaitu kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga masyarakat yang
memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya atau juga hak melakukan
tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah orang lain. Otoritas
merupakan pengetahuan yang didasarkan penghormatan terhadap orang-orang yang
mempunyai kewibawaan.
Ada beberapa pengertian mengenai otoritas
yaitu antara lain:[2]
1. Konsep itu mengacu pada individu atau kelompok yang dianggap
memilik pengetahuan sahih dan/atau kekuasaan legitim. a) Dalam arti positif:
otoritas diterima karena keuntungan yang diperoleh, atau mudah diperoleh dari
suatu sumber lainnya. b) Dalam arti negatif: otoritas dipandang sebagai penindas
dan pelaku pengetahuan dan kekuasaan yang tidak sah.
2. Dalam konteks etika, konsep itu menunjukkan pada pentingnya
pengaruh dari seorang individu, sistem pandangan atau sebuah organisasi yang
timbul dari kualitas tertentu atau dari pelayanan yang diberikan. Otoritas
dapat mengena pada politik, moral dan ilmu pengetahuan. Hal itu tergantung pada
bentuk pengaruh dan suasana.
3. Konsep itu juga menunjuk pada kewenangan fisik, mental, atau moral
dari pribadi-pribadi yang dapat mendorong persetujuan pribadi terhadap
arahan-arahan dari orang yang memiliki kewenangan itu.
4. Merupakan kapasitas, atau didapat sebagai pelaksanaan dengan
pengaruh terhadap suatu kelompok. Hubungan yang terbangun merupakan hubungan
kekuatan ikatan secara pemikiran.[3]
5. Menurut Robert Bierstedt dalam An Analysis of Social Power otoritas
adalah institutionalized power. Hal ini merupakan wewenang untuk
meyakinkan anggota masyarakat, baik terstruktur secara berkelompok maupun
tidak. Hal ini merujuk pada pengakuan dan keabsahan pemikiran. Keabsahan
wewenang ini wajar dan patut dihormati.[4]
6. Penyamaan kehendak, dengan pensyaratan subordinasi (terdapat
kedudukan bawahan). [5]
Seseorang, institusi atau organisasi disebut
memiliki otoritas jika kekuasaan yang digunakannya dianggap sah, yaitu
diamanatkan oleh sistem norma yang kepadanya pemegang otoritas berbicara
mewakilinya. Munculnya norma yang seperti ini di masyarakat manusia cukup
kompleks, di mana konvensi, kebiasaan, adat dan tradisi memainkan peran yang
berbeda-beda.
Teori kontrak sosial merupakan salah satu
jenis solusi bagi masalah tentang basis otoritas, sedangkan pembuktian
kemanfaatan dari sejumlah sistem yang dipandu aturan adalah solusi yang lain.
Meski lazim untuk menemukan skeptisisme terhadap klaim-klaim tertentu otoritas,
namun ide bahwa koordinasi manusia -bahkan komunikasi juga- dapat eksis
tanpanya, biasanya dianggap terlalu fantastis.[6]
B. Otoritarianisme
Ada pandangan golongan yang menggunakan atau
mendasarkan pengujian kebenaran informasi atau pengetahuan pada suatu otoritas
tertentu, yang dalam istilahnya dinamakan paham otoritarianisme.
Otoritarianisme ini memiliki dua pengertian, yaitu sebagai berikut:[7]
1. Otoritarianisme merupakan pandangan yang mendukung ketaatan buta
terhadap suatu otoritas sebagai sumber pengetahuan atau pengarahan hidup –atau
keyakinan politis- yang benar. Otoritas ini tidak dapat dipersoalkan. Otoritas
semacam ini dipertentangkan dengan usaha individu untuk mengetahui atau
semangat bebas untuk menyelidiki kebenaran.
2. Otoritarianisme merupakan kepercayaan bahwa pengetahuan dijamin dan
disahkan oleh suatu sumber yang otoriter. Paham ini mengakui tanpa pemikiran
kritis pembuktian atau kesaksian sebagai lawan atau kebalikan dari usaha yang
bebas untuk mengetahui yang benar atau salah atau yang palsu.
Jika seseorang menerima otoritas secara tidak
kritis, ia menghentikan usaha-usahanya yang bebas untuk mencari kebenaran.
Tanpa memandang bentuknya, sikap untuk menerima begitu saja suatu kesaksian
karena kepercayaan yang membabi-buta tanpa memperhatikan apakah kesaksian itu
sesuai dengan pengalaman atau akal, maka itu sungguh berbahaya.
Kelemahan dan bahaya otoritarianisme itu
banyak. Pertama, sebagai suatu sikap yang mencolok yaitu sikap tidak
menggunakan sarana untuk mengetahui betul tidaknya sesuatu kecuali karena ia
datang dari yang berkuasa. Otoritarianisme cenderung menghambat kemajuan dan
mengesampingkan pemikiran dan penyelidikan lebih jauh. Kita hidup di zaman
masyarakat yang berubah dengan pesat. Dan oleh karena itu kepercayaan dan
praktik-praktik pada suatu waktu tidak lagi sesuai pada waktu kemudian.
Kedua, jika para penguasa berselisih atau konflik, dan ini lumrah
terjadi, kita akan menjadi bingung kecuali kalau kita mempunyai sumber lain
sebagai pegangan.
Ketiga, kita dapat tersesat oleh kebesaran penguasa kita. Dan sering kita
tidak menyadari kalau penguasa itu berbicara mengenai sesuatu yang mungkin
sudah berada di seberang bidang pengetahuannya. Seseorang yang sangat mahir
dalam suatu bidang biasanya dipercaya juga meski ia berbicara tentang hal-hal
yang bukan keahliannya.
Keempat, kita mungkin tersesat jika suatu keyakinan telah berurat akar dan
meluas. Sikap menerima yang telah meluas itu akan menambah prestise dan daya
tarik penguasa. Dan ini mempersulit kita mengungkapkan cacat-cacat lama.[8]
Oleh sebab itu, kita harus lebih melihat konteks
para penguasa otoritas tersebut dalam menganut paham otoritarianisme ini agar
tidak tersesat dan bahkan bisa menyesatkan orang lain yang juga menganut paham
ini lebih lekat dari pada kita. Dan kesesatan dalam penggunaan otoritas akan
dijelaskan dan diberi contoh lebih lanjut dibawah ini.
C. Kekeliruan dalam Penggunaan Otoritas atau Kewibawaan
Kekeliruan karena mendasarkan pada otoritas,
yaitu kekeliruan berpikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau
kehormatan seseorang tetapi dipergunakan untuk permasalahan di luar otoritas
ahli tersebut.[9]
Kesesatan ini terjadi bila kita, bukannya
memperlihatkan manfaat intrinsik dari masalah yang ada, melainkan tertarik
kepada otoritas dari tokoh utama untuk mendukung pendapat kita, argumentasi ini
mengandaikan bahwa apapun yang dinyatakan oleh seorang tokoh itu pasti benar,
padahal tidak sesuai dengan otoritas tokoh tersebut,[10]
seperti:
Pisau cukur ini sangat baik karena Cristiano
Ronaldo selalu menggunakannya. (Cristiano Ronaldo adalah seorang olahragawan.
Ia tidak mempunyai otoritas untuk menilai bagusnya logam yang dipakai untuk
membuat pisau cukur.)
Bangunan UIN ini sangat kokoh karena Pak
Lukman Hakim yang mengatakannya. (Pak Lukman Hakim adalah menteri agama, bukan
seorang insinyur bangunan).
Hadis populer yang memiliki arti “Siapa yang
mengenali dirinya, ia mengenali Tuhannya” merupakan hadis sahih menurut sufi.
(Kaum sufi tidak memiliki otoritas dalam menetapkan kesahihan suatu hadis, dan
setelah diteliti ulama hadis ternyata hadis tersebut maudhu’). [11]
Kesesatan ini juga terjadi bila kita menerima
suatu proposisi hanya dengan mengacu pada adat istiadat dan tradisi. Misalnya: Saya
percaya akan Tuhan karena tradisi agama mengonfirmasinya.[12]
Kewibawaan terkadang dibutuhkan untuk memberi
bobot pada penalaran kita. Pengutipan seorang yang expert patut diberi
perhatian dan sangat dibenarkan.[13]
Apabila terdapat perselisihan paham antara kewibawaan, tugas dan persoalan
kita, hendaknya kritis,[14]
jangan hendaknya kita memilih sekehendak kita salah satu dari kewibawaan itu
saja ataukah kita membuang sama sekali semua bentuk kewibawaan itu. Dengan
demikian kita terperangkap kepada pemakaian kewibawaan yang bukan sesungguhnya
atau kewibawaan palsu.[15]
D. Ukuran Pengujian Otoritas dan Kewibawaan
Seperti dijelaskan di atas mengenai kekeliruan penggunaan otoritas
dan kewibawaan, maka otoritas dan kewibawaan ini harus melalui tahap
penyaringan terlebih dahulu sebelum menjadi sebuah otoritas dan kewibawaan.
Fakta sebagai sumber otoritas dan kewibawaan diperoleh melalui dua jalur, yakni
pengamatan kita sendiri dan pengamatan orang lain. Namun realitas dalam
berpikir seringkali kebanyakan orang terpengaruh dari pemikiran dari pengamatan
orang lain. Seperti halnya kesaksian dari tokoh dan orang-orang yang
berpengaruh, yang memiliki wewenang dalam pemikiran tersebut.[16]
Pemikiran harus
berdasar pada evidensi objektif dari data-data yang diamati, diukur, maupun
dieksperimenkan. Hal ini berguna untuk menfilter pendapat yang hanya sekedar
kabar burung saja. Obyek pengujian otoritas dan kewibawaan adalah meneliti
pengamatan dan pemikiran lain dengan pengamatan serta pemikiran kita untuk
menyaring adakah kesalahan yang terdapat dalam pemikiran tersebut.
Ukuran pengujian
otoritas dan kewibawaan adalah sebagai berikut:[17]
1. Apakah kewibawaannya masih terdapat keraguan?
Sebuah kewibawaan tidak akan terdapat keraguan lagi jika telah
melalui proses penelitian fakta-fakta dengan cermat dan akurat dan pengambilan
kesimpulan yang bermanfaat. Demi mengambil kewibawaan yang tidak lagi
diragukan, kita harus seteliti mungkin dalam menelisik motif-motif tertentu
yang secara intrinsik mempengaruhi kewibawaan tersebut. Seperti halnya motif
ekonomi, motif politik, motif agama, dan lain sejenisnya.
2. Apakah pendidikan, background, serta pengalaman sang ahli yang
membuat sang ahli berwenang dalam bidang ini?
Melihat latar belakang seseorang merupakan sebuah keakuratan demi
tercapainya kewibawaan yang relevan. Era sekarang merupakan era spesialisasi
berbagai bidang ilmu pengetahuan, dan terdapat banyak pencabangan dalam kajian
masing-masing pengetahuan tersebut. Hal ini menjadi tolak ukur pemikiran
seseorang, bagaimana perkembangan pola pikir dan sisitematisasi wewenang
pengetahuan tersebut. Pengalaman dalam lapangan dan pengetahuan khusus
merupakan dasar dari tumbuhnya wewenang tersebut.
3. Apakah kewibawaan menunjukkan dasar bagi kesimpulan dan memberikan
evidensi objektif?
Jika kita akan menggunakan
kewibawaan, kita harus bersikap skeptis sehat terhadap sang ahli, apakah sang
ahli ini percaya terhadapa kesimpulan dari prinsip kewibawaannya. Apabila sang
ahli benar-benar berdasar pada pemikirannya, kita harus skeptis sehat mengenai
dasar faktual yang dianggap sang ahli sebagai evidensi objektif masih terdapat
simpang siur dan dapat dipermasalahkan lagi, apakah pemikiran sang ahli sehat,
apakah pendapat yang berlawanan dengan sang ahli telah dipertimbangkan, apakah
tidak ada pencampuran antara kebenaran dan keyakinan (keyakinannya ditengarai
sebagai kebenaran). Salah satu integritas dari kewibawaan adalah dengan
pemikiran dari berbagai sudut pandang, tidak hanya melihat fakta dari satu sisi
saja.
4. Apakah publik bersedia menerima kewibawaan tersebut?
Tidak semua kewibawaan dapat
diterima dan bersesuaian dengan pemikiran masyarakat luas. Maka apabila
kewibawaan ini tidak diterima, setidaknya harus terdapat dokumentasi maupun
pengarsipan informasi dan latar belakang sebagai sebuah kewibawaan.
III.
KESIMPULAN
Otoritas atau kewibawaan adalah pendapat serta pernyataan yang
didukung oleh fakta dan pemikiran berdasar pada evidensi objektif. Fakta-fakta
tersebut harus relevan dengan evidensi objektif sendiri, yakni data-data yang
diamati, diulur, dan dieksperimenkan.
Terdapat golongan yang mendasarkan eksperimen pemikiran terhadap
satu otoritas tertentu, yang dinamai otoritarianisme. Otoritarianisme mempunyai
dua pengertian, yakni pandangan yang mendukung ketaatan buta terhadap suatu
otoritas sebagai sumber pengetahuan atau pengarahan hidup –atau keyakinan
politis- yang benar, serta kepercayaan bahwa pengetahuan dijamin dan disahkan
oleh suatu sumber yang otoriter tanpa pemikiran kritis pembuktian atau
kesaksian sebagai lawan dari fakta maupun palsu.
Baca Juga: Kausalitas Logika
Agar otoritas dan
kewibawaan dapat dijadikan acuan, maka harus terdapat filterisasi otoritas dan
kewibawaan tersebut, agar nantinya tidak terjadi kesalahan dikarenakan
kesalahan pemikiran yang bersandar pada ororitas dan kewibawaan tersebut. Maka
terdapat ukuran-ukuran pengujian dalam menentukan keabsahan otoritas dan
kewibawaan.
[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996, hlm.
768.
[2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 768-769.
[4] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003, hlm.
[5] Friedrich Engels, “On
Authority”, http://www.marxists.org//,
diakses Selasa, 17 Mei 2016, hlm.
1.
[6] Simon Blackburn, Kamus Filsafat, Yudi Santoso (terj.),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm.
[7] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 767.
[8] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 767-768.
[9] Mundiri, Logika,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998, hlm. 190.
[10] Benyamin Molan, Logika: Ilmu dan Seni Berpikir Kritis, Jakarta:
Indeks, 2014, hlm. 43.
[11] Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Bermasalah, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2014, hlm. 78.
[12] Benyamin Molan, Logika: Ilmu dan Seni Berpikir, hlm. 43.
[13] Poespoprodjo W. dan T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, Bandung:
Remaja Karya, 1987, hlm. 189.
[14] Poespoprodjo W. dan T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, hlm. 190.
[15] Burhanuddin Salam, Logika Formal (Filsafat Berpikir), Jakarta:
Bina Aksara, 1988, hlm. 104.
[16] W. Poespoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu,
Bandung : Pustaka Setia, 2015, hlm. 249.
0 komentar:
Post a Comment