Bangunan Peninggalan Islam di Afrika Utara, Republika |
BAB I
PENDAHULUAN
Pada masa pemerintahan Abbasiyah,
wilayah kekuasaanya tidak pernah diakui di daerah Spanyol dan AfrikaUtara,
kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar,bahkan pada kenyataannya banyak
daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah. Peta kekuasaan tersebut telah banyak
mengakibatkan bermunculan wilayah-wilayah atau provinsi-provinsi yang
memisahkan diri dan membentuk dinasti-dinasti kecil. Proses memerdekakan diri
dari kekuasaan Abbasiyah tersebut dianggap sebagai cara terbaik
Dalam kajian kali ini akan dibahas
dari mulai berdirinya Dinasti-dinasti Islam di Afrika Utara, yaitu Dinasti
Idrisiyah, Dinasti Aghlabiyah, dan Dinasti Rustamiyah, perkembangannya,
kemajuan-kemajuan yang dicapai, faktor-faktor kejayaan, faktor-faktor
keruntuhan sampai pada keruntuhan Dinasti-dinasti Islam tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1.) Dinasti
Rustamiyah (Khawarij)
Pada abad kedelapan, mayoritas Berber Afrika Utara menganut
sekte Kharijiyyah yang radikal, equalitarian dan religio-politis, sebagai
protes terhadap dominasi tuan-tuan mereka yang Arab dan ortodok. Sementara di
timur, Kharijiyyah merupakan sekte minoritas yang ekstrem dan kasar, di barat
Kharijiyyah merupakan sebuah gerakan masa dan karena itu lebih moderat.[1]
Subsekte Kharijiyyah adalah Ibadiyyah, para pengikut ‘Abdullah ibn Ibad yang
berpusat ditengah kaum Berber Zenata di Jabal Nefusa di Tripolitania modern.
Setelah beberapa lama berada di Qayrawan yang sebagai pusat
ortodoksi dan kekuatan Arab di Maghrib, sekelompok orang ibadiyyah pergi ke
Aljazair barat dipimpin oleh Abdurrahman ibn Rustam, yang kemudian melatar
belakangi berdirinya Dinasti Rustamiyah dengan beraliran Khawarij Ibadiyah-dan
didirikan basis Kharijiyyah di Tahart atau Tihart (Tiaret modern) pada tahun
144/761, Abdurrahman ibn Rustam pada tahun 160 H/777 M dia menjadi imam kaum
ibadiyah di Afrika Utara. Dinasti Rustamiyah ibu kotanya adalah Tahart yang
berhubungan dengan kota Aures, Tripolitania dan Tunisia Selatan. Dinasti ini
bersekutu dengan Bani Umayah di Spanyol karena terjepit oleh Idrisiyah yang Syi’i
di barat dan Aghlabiyah yang Sunni di timur.
2.) Dinasti
Idrisiyah (Syi’ah)
Idris ibn Abdullah (Idris 1) merupakan salah seorang keturunan
Nabi Muhammad SAW yaitu cicit putra Khalifah Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan,
dengan demikian berhubungan dengan garis imam-imam Syi’ah.[2]
Idris pernah juga ikut serta dalam pemberontakan di Hijaz terhadap Abbasiyah pada 169 H/786 M, namun
karena kalah, ia terpaksa melarikan diri ke Mesir dan kemudian ke Afrika Utara
tepatnya ke Maroko (al-Maghribi) dimana prestise keturunan Ali masih
dihormati sehingga tokoh Barbar Zenata di Maroko Utara menerimanya sebagai
pemimpin mereka. Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar inilah
dinasti Idrisiyah lahir. Nama Idris kemudian dinisbatkan untuk nama dinasti ini
yaitu Idrisiyah. Sebelum Idrisiyah masyarakat Barbar menganut equalitarianisme
(egalitarianisme) radikal Kharijiyyah. Dinasti ini berusaha
memasukkan doktrin syi’ah ke daerah Maghribi (Maroko) dalam bentuk yang sangat
halus, maksudnya tidak dengan cara kekerasan seperti ekspansi penaklukan atau
perang.[3]
Ibu kota dinasti
Idrisiyah adalah Fez (Fas). Inilah merupakan dinasti Syi’ah pertama dalam
sejarah Islam. Karena dinasti ini terletak antara kekuatan Islam besar yaitu
Umayah II di Andalusia dan Fatimiah di Afrika Utara.
3.) Dinasti
Aghlabiyah (Sunni)
Pada tahun 184 H berdiri kerajaan Banul Aghlab di negeri Tunis.
Nama dinasti ini diambil dari nenek moyang mereka Al-Aghlab ibn Salim, salah
seorang teman Abu Muslimin Al-Khurasani yang mendirikan kerajaan Bani Abbas.
Abu Ja’far Al-Manshur mengangkat Aghlab menjadi gubernur Afrika, maka datanglah
dia ke Qairuan pada tahun 148 H.[4]
Pada tahun 184 H/800 M Ibrahim diberi provinsi Ifriqiyyah (Tunisia modern) oleh
Harun ar-Rasyid sebagai imbalan atas pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar.
Pemberian ini meliputi hak-hak otonom yang besar. Karena amat jauh jarak Afrika
Utara ke Baghdad, maka Aghlabiyah tidak terusik oleh pemerintah khalifah.[5]
Akhirnya, dengan daerah Tunisia dan Aljazair sebagai wilayah kekuasaannya,
berdirilah dinasti Aghlabiyah (800-909 M).
B.
Perkembangan
dan Kemajuan Dinasti-dinasti Islam di Afrika Utara
1.) Dinasti
Rustamiyah
Walaupun secara politis Rustamiyah di bawah kekuasaan
Fatimiyah, tetapi ajaran Khawarij masih berkembang dan berpengaruh di beberapa
wilayah Maghrib seperti Oase Mazb Aljazair, Pulau Jerba di Tunisia, dan Jabal
Nefusa hingga kini. Tahart di masa Rustamiyah mengalami kemakmuran yang
menakjubkan dan sebagai persinggahan di
Utara di antara salah satu rute-rute kafilah trans-Sahara, juga merupakan pusat
ilmu pengetahuan agama yang tinggi khususnya aliran Khawarij untuk seluruh
Afrika Utara dan bahkan di luar wilayah tersebut, seperti Oman, Zanzibar, dan
Afrika Timur.[6]
2.) Dinasti
Idrisiyah
Masa kejayaan dinasti
Idrisiyah terjadi pada masa Idris I, Idris II dan Yahya bin Muhammad. Idris I,
dapat mempersatukan suku-suku barbar, imigran-imigran arab yang berasal dari
Spanyol dan Tripolitania, membangun kota Fez sebagai pusat perdagangan, kota
suci tempat tinggal Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi dari Hasan dan
Husein ibn Ali ibn Abi Thalib). Masa Yahya ibn Muhammad kemajuan kota dilihat
dari pertumbuhan penduduk dan pembangunan gedung-gedung megah serta membangun
masjid Qayrawan dan Masjid Andalusia.
Pada
masa kekuasaan Muhammad bin Idris (828-836 M), Dinasti Idrisiyah telah
membagi-bagi wilayahnya kepada delapan orang saudaranya, walaupun ia sendiri
tetap menguasai Fez dan memiliki semacam supremasi moral terhadap
wilayah-wilayah lainnya. Setelah ia memerintah selama masa yang cukup tenang,
putranya yang bernama Ali menggantikannya. Namun pada masa Ali bin Muhammad
(836-849) terjadi konflik antar keluarga hingga penggulingan kekuasaan oleh
saudaranya sendiri. Pada masa Yahya bin Muhammad terjadi perkembangan ynag
begitu pesat, setelah ia meninggal digantikan oleh putranya, Yahya II dan
terjadi kemerosotan karena ketidakmahiran Yahya. Kemudian pada masa Yahya III
dan Yahya IV pemerintahan yang semrawut mulai ditertibkan kembali dan
mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerabat-kerabat yang
lainnya.[7]
3.) Dinasti
Aghlabiyah
Banyak penerus Ibrahim terbukti sama bersemangatnya dengan
Ibrahim sendiri. Dinasti itu menjadi salah satu titik penting dalam sejarah
konflik berkepanjangan anrara Asia dan Eropa. Dengan armadanya yang lengkap,
mereka memorak-porandakan kawasan pesisir Italia, Prancis,Korsika, dan
Sardinia. Salah satu dari mereka Ziyadatulloh I (817-838), pada 827 mengirim
ekspedisi ke Sisilia Bizantium, yang didahului oleh operasi para bajak laut.
Ekspedisi ini, juga ekspedisi-ekspedisi berikutnya, berhasil menaklukkan pulau
itu pada 902. Sisilia, sebagaimana akan kita lihat, menjadi basis menguntungkan
bagi operasi-operasi melawan wilayah daratan, terutama Italia. Selain Sisilia,
Malta dan Sardinia juga berhasil direbut, terutama oleh para bajak laut yang
operasinya meluas jauh sampai ke Roma. Pada saat yang sama, para bajak laut
muslim dari Kreta terus-menerus menyerbu pulau-pulau kecil di Laut Aegea, dn
pada pertengahan abad kesepuluh, mereka menyerang kawasan pesisir Yunani. Tiga
prasasti Kufik yang ditemukan di Arena mengungkapkan adanya pemukiman Arab di
sana yang diduga bertahan sampai awal abad ke sepuluh.
Baca Juga: Pengumpulan Hais Pada Masa Rasulallah
Masjid besar Qaiwaran, yang masih berdiri sebagai saingan
bagi masjid-masjid termasyhur ti Timur, mulai dibangun dibawah kekuasaan
Ziyadatullah dan disempurnakan oleh Ibrahim II (874-902). Tempat berdirinya
masjid itu juga merupakan lokasi beridirinya bangunan suci ‘Uqbah, pendiri Qaiwaran.
Masjid ‘Uqbah oleh para penerusnya telah dihiasi dengan pilar-pilar marmer yang
didapat dari puing-puing Kartago, yang kemudian dimanfaatkan lagi ileh penguasa
Aghlabiyah. Menara persegi yang melengkapi bangunan masjid ini, merupakan
peninggalan bangsa Umayyah terdahulu, dan termasuk yang paling lama bertahan di
Afrika, memperkenalkan bentuk menara ala Suriah kepada masyarakat Afrika
barat-laut. Bentuk model menara itu bahkan tidak pernah tergantikan oleh
bentuk-bentuk lain yang lebih ramping dan tinggi seperti yang ada dalam
peninggalan Persia dan bangungan ala Mesir. Dalam gaya Suriah, bata digunakan
sebagaimana gaya-gaya bangunan lain menggunakan batu. Berkat masjid ini,
Qayrawan, di mata kalangan muslim Barat, menjadi kota suci keempat, setelah
Mekah, Madinah, dan Yerussalem –salah satu dari empat gerbang surga.
Dibawah kekusaan Aghlabiyah inilah terjadi
perubahan penting di tengah kawasan Afrika kecil. Dari kawasan yang tadinya
dihuni oleh para penganut Kristen yang berbicara dengan bahasa Latin menjadi
kawasan para penganut Islam yang berbicara dengan bahasa Arab. Bagaikan rumah
judi, Afrika Lain Utara –yang menopang St. Agustinus dengan lingkungan
budayanya- telah runtuh dan tidak pernah bangkit lagi.[8]
C.
Keruntuhan
Dinasti-dinasti Islam Di Afrika Utara
1.) Dinasti
Rustamiyyah
Bangkitnya Fathimiyyah
yang Syi’ah di Maroko berakibat Fatal bagi Rustamiyyah. Pada tahun 296 H/ 909 M
Tahart jatuh ke tangan Berber Ketama, da’i Fathimiyyah, Abu Abdullah; banyak
diantara keluarga Rustamiyyah dibunuh, dan sisanya melarikan diri ke selatan,
yaitu ke Wargla. [9]
2.) Dinasti
Idrisiyah
Runtuhnya Dinasti Idrisiyah ketika panglima dari Hakam II di
Andalusia, yaitu Ghalib Billah melakukan aneksasi wilayah Idrisiyah. Setelah
itu, maka berakhirlah wilayah Dinasti Idrisiyah.[10]
Ada juga satu riwayat yangmenerangkan bahwa jatuhnya Dinasti Idrisiyah
disebabkan oleh Khalifah Muhammad Al-Muntashir yang membagi-bagikan
kekuasaannya kepada saudara-saudarnya yang cukup banyak, sehingga pecahnya
Dinasti Idrisiyah secara Politis.[11]
3.) Dinasti
Aghlabiiyah
Menjelang akhir abad kesembilan posisi Aghlabiyah di Ifriqiyah
menjadi merosot. Propaganda Syi’i Abu Abdullah, perintis Fathimiyah, Mahdi
Ubaidillah, memiliki pengaruh yang kuat dikalangan Berber Ketama, hal ini
menimbulkan pemberontakan militer,dan Aghlabiyah terakhir, Ziyadatullah III,
diusir ke Mesir pada tahun 296/909, setelah upaya yang sia-sia untuk
mendapatkan bantuan dari Abbasiyyah.[12]
Ada juga yang berpendapat bahwa Ziyadatullah kalah karena tidak mengadakan
perlawanan apapun sebelum Dinasti Fathimiyyah mengadakan invasi.
BAB III
PENUTUP
Berdirinya Dinasti, walaupun masih dibawah kekuasaan
Abbasiyah, merupakan bentuk memerdekakan diri dari kekuasaan khalifah. Dari masing-masing Dinasti mempunyai
kesuksesan sendiri-sendiri dengan cara mereka masing-masing. Dimana biasa kita
lihat dari berdirinya Dinasti-dinasti, perkembangan demi perkembangan sampai
memperoleh kejayaan pada masa Dinasti tersebut, karena beberapa faktor sampai
terjadinya keruntuhan. Wilayah-wilayah Afrika Utara seperti Dinasti
Idrisiyah-Syiah di Maroko pada akhirnya dikalahkan oleh Umayah II dari
Andalusia sedangkan Dinasti Rustamiah-Khawarij, Idrisiyah-Syi’ah dan
Aghlabiyah-Sunni dikalahkan oleh Dinasti Fatimiah-Syiah.
DAFTAR PUSTAKA
Boswort,
C.E. 1980. Dinasti-Dinasti Islam. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.
Hitti,
Philip K. 2012. History of The Arabs, From the Earlest Time for the Present,
alih bahasa R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Cet. 1. Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta.
Karim,
M. Abdul.2014. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Edisi Revisi). Yogyakarta:
Bagaskara.
Supriyadi,
Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam.
Bandung: CV Pustaka Setia.
Hamka.
1951. Sejarah Ummat Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
[2] Ibid., hal.42.
[3] Ibid., hal. 42.
[4] Hamka, Sejarah Ummat Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1951), hal. 169.
[7] Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hal. 158-160
[10] M. Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal.188.
0 komentar:
Post a Comment