Sejarah Peradaban Islam di Asia Tengah , kompasiana.com |
Halaman Judul
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Ruumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Penaklukkan Asia Tengah : Awal Kedatangan Islam
B. Peta Politik Islam di Asia Tengah
C. Perkembangan Peradaban Islam di Asia Tengah
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Transoxiana atau dalam literatur Arab dikenal dengan negeri Ma
Wara’a an-Nahar (negeri di seberang sungai) adalah sebutan bagi
wilayah yang berada di Asia Tengah saat ini. Kota-kota di wilayah Transoxiana,
seperti: Bukhara, Samarkand, Naisabur, Termidz, Nasaf, Baihaq, Nasa’, Bairun,
Khawarizm, dan lain-lain. Negeri yang saat ini terletak di wilayah
negera-negara yang berakhiran ‘stan’, seperti Uzbekistan, Tajikistan,
Kazakhstan, Turkmenistan, Kyrghiztan, dan nama-nama lain yang terletak di Asia
Tengah.[1]
Istilah Asia Tengah yang merujuk pada kawasan ini baru mulai umum dipakai
pada abad ke-19 oleh kekuasaan Inggris Raya yang menguasai India. Pada 1830,
kartografer Assowsmith menamakan wilayah yang membentang antara Sungai Indus
dan Laut Kaspia sebagai Asia Tengah. Menurut Dilip Hiro dalam bukunya, Inside
Central Asia (2009), kawasan Asia Tengah terletak dalam batas-batas Laut
Kaspia di sebelah barat, Iran dan Afghanistan di sebelah selatan, Siberia
(Rusia) di utara, dan Xinjiang (Cina) di timur.
Negeri subur nan elok, negeri yang jika dilihat dari ketinggian
terlihat bak permadani yang hijau, karena kesuburan dan keindahan alamnya,
Negeri yang diapit oleh dua sungai besar, yaitu sungai Jayhoun (Amru Darya) dan
Syhoun (Syr Darya). Dua sungai ini sangat masyhur dalam pembahasan-pembahasan
terkait dengan wilayah Asia Tengah.
Negeri ini pernah menjadi basis kekuatan Islam di wilayah Asia. Namun,
jika berbicara tentang sejarah kegemilangan peradaban dan sistem pemerintahan
Islam, maka orang lebih banyak mengenal tentang kota-kota, seperti Baghdad,
Damaskus, Baitul Maqdis, kota-kota di Andalusia (Spanyol), dan lain-lain.
Sedikit sekali yang tahu, bahwa di Asia Tengah, terdapat jejak peninggalan
peradaban Islam yang tak kalah hebatnya.
Eksotisme dan kemegahan jejak peradaban Islam di Transoxiana, sampai hari
ini masih bisa dirasakan keberadaannya. Bersama aliran dua sungai itu, warisan
peradaban Islam terus mengalir mewarnai wilayah tersebut, bahkan mewarnai
Eropa. Kota-kota di wilayah ini, seperti: Bukhara, Samarkand, Naisabur,
Termidz, Nasaf, Baihaq, Nasa’, Bairun, Khawarizm, dan lain-lain dinisbatkan
pada para ulama-ulama terkenal di dunia.
Kita mengenal para ulama dan ilmuwan seperti Abu Abdillah Muhammad bin
Isma’il al-Bukhari (penulis kitab Shahih al-Bukhari), Abdullah bin al-Fadhl
ad-Darimi as-Smarkandi (Penulis Sunan ad-Darimi), Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi
(penulis kitab Shahih Muslim), dan lain-lain. Asia Tengah tidak hanya menjadi mercusuar peradaban dan
pusat keilmuan, namun juga menjadi jalur sutera perdagangan yang menggeliatkan
ekonomi dunia. Sutera dari Samarkand begitu terkenal kualitasnya ke seantero
dunia. Gerabah dan kerajinan tangan dari Bukhara membanjiri pasar-pasar dunia.
Rakyatnya hidup mandiri dengan berniaga memenuhi pasar-pasar yang selalu ramai.
Setelah berniaga, mereka larut dalam majelis-majelis ilmu.
B.
Ruumusan
Masalah
1.
Bagaimaan
sejarah penaklukkan Asia Tengah ?
2.
Bagaimana
peta politik Islam di Asia Tengah ?
3.
Bagaimana
perkembangan peradaban Islam di Asia tengah ?
Penaklukkan ke wilayah
Transoxiana telah dimulai sejak masa pemerintahan Umar bin Khatab (634-644) dan
terus berlanjut pada masa pemerintahan Muawiyah bn Abu Sofyan namun gagal. Sempat
terhenti ketika muncul gerakan revolusi dan pemberontakkan, penaklukkan
Transoxiana kembali dilanjutkan oleh ‘Abd al-Malik bin Marwan (685-705 M)
setelah berhasil mengembalikan persatuan umat. Khalifah ‘Abd
al-Malik bin Marwān atas bantuan al-Hajāj bin Yūsuf berhasil
menaklukkan sebagian wilayah Transoxiana.
Pada tahun 609 M, al-Hajāj mengangkat
al-Muhallab bin Abī Sufrah untuk memimpin penaklukan ke wilayah
Transoxiana dan berhasil menyeberangi sungai Amu Darya dan
singgah di Nukus. Tak berselang lama, Muhallab meninggal dan
digantikan oleh putranya yang bernama Yāzīd bin Muhallab, yang berhasil menguasai benteng
Nizak di Baghdis
pada tahun 703
M. Setelah itu al-Hajāj menggantinya dengan al-Mufadhal bin Muhallab dan berhasil menguasai
Baghdis dan Syauman.[2]
Setelah
‘Abd Al-Malik bin Marwān meninggal dunia, kekhalifahan digantikan oleh
putranya al-Wālīd bin ‘Abd al-Malik dan membawa Umayyah mencapai puncak
kekuasaan penaklukkan wilayah baik di barat maupun di timur.[3] Pada saat itu, peta kekuasaan Islam paling luas
dalam sejarah Islam yang meliputi tiga benua yaitu Asia, Afrika, dan Eropa.[4] Perluasan wilayah dibagi menjadi dua front penting
yaitu front Barat (pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia
Kecil) dan front Timur (penaklukan di Afrika Utara
hingga Andalusia yang dipimpin oleh Musa bin Nushair). Di front Timur, ekspedisi militer dilakukan oleh al-Hajāj bin Yūsuf
ats-Tsaqafi ke Utara di Asia Tengah yang meliputi kawasan Transoxiana.[5]
Penaklukan
ke wilayah Transoxiana berlanjut pada masa al-Walīd, di bawah kepemimpinan
panglima Qutaibah bin Muslim (w. 716). Qutaibah merupakan seorang pemimpin yang
pemberani, tegas, berkemauan keras, dan cerdas. Qutaibah dikenal ahli dalam
menunggang kuda dan teknik berperang. Setelah Qutaibah bin Muslim diangkat menjadi
gubernur Khurasan, Qutaibah mengumpulkan orang-orang Khurasan untuk mendapatkan
dukungan dari penduduk Khurasan. Setelah mendapatkan
dukungan dari penduduk Khurasan, Qutaibah segera memulai ekspedisi militernya, dengan
menginpeksi pasukan dan senjatanya. Di samping itu, Qutaibah juga
menyempurnaakan pengaturan dan mobilisasi pasukan sambil memimpin
mereka keluar
dari Oxus menuju Tukharistan.[6]
Pada tahun 705 M, Qutaibah memasuki daerah
Tukharistan guna melakukan penaklukan. Penduduk Tukharistan tunduk kepada Qutaibah
tanpa perang. Mereka melakukan perjanjian dan membayar pajak.[7] Di
tahun 706 M, Qutaibah melanjutkan penyerangan ke daerah Bikand, yaitu
salah satu kota di provinsi Bukhara. Pasukan Turki kalah dan meminta perjanjian
damai disertai dengan pembayaran upeti yang banyak. Namun kaum Turki
menghianati perjanjian, sehingga Qutaibah mengepung dan menyerang
mereka hingga luluh lantah.
Qutaibah
dan pasukannya terus memasuki wilayah Transoxiana, hingga pada tahun 708 M
Qutaibah berhasil tiba di perbatasan Bukhara di Shagda (Sogdiana) dan
mendudukinya pada tahun 709 M.[8] Penaklukan demi penaklukan terus dilakukan oleh Qutaibah bin Muslim
di wilayah Transoxiana. Tahun 710-712 M, Qutaibah berhasil menguasai
sebagian wilayah Samarkand dan Khawarizmi d sebelah barat.[9] Sesudah melakukan perjanjian, ia membangun masjid
di Samarkand. Di tahun 713 M, Qutaibah mulai melakukan penaklukan di wilayah
Jaxartes (Asy-Syasy) terutama Ferghana dan berhasil menguasai wilayah ini di tahun 714
M. Qutaibah bin Muslim berhasil menguasai seluruh wilayah
Transoxiana dengan pencapaian yang luar biasa.
Setelah
penaklukan yang dilakukan oleh Qutaibah bin muslim, pada masa Khalifah
setelahnya tidak terjadi lagi penaklukan-penaklukan ke wilayah Transoxiana. Wilayah
Islam
terhenti sampai wilayah Kashgar yang berbatasan dengan
Cina. Hal ini disebabkan karena situasi dan kondisi yang menimpa dinasti
Umayyah sejak masa ini hingga kejatuhannya tidak memungkinkan untuk
terjadi penaklukan. Para Khalifah disibukkan dengan pemberontakan-pemberontakan.
Selain itu persaingan dan perseteruan terjadi di kalangan keluarga Khalifah.
Wilayah-wilayah yang dahulunya ditaklukkan oleh Qutaibah kembali
memberontak, membangkang dan merusak perjanjian. Hal ini
membuat jerih payah pemimpin dan Khalifah-Khalifah setelah masa Qutaibah
disibukkan untuk menundukkan kembali pemberontakan dan mengembalikan
mereka pada ketaatan aturan.[10]
Dibalik itu semua, perkembangan Islam di wilayah
ini sangat pesat. Penduduk Transoxiana banyak yang masuk Islam dengan jumlah yang
sangat besar. Para Khalifah mengirim para da’i ke
wilayah ini guna
mengajarkan Islam kepada penduduk Transoxiana. Konflik antara penduduk Transoxiana dan para penguasa
Bani Umayyah terus berlanjut selama bertahun-tahun. Namun
gerakan penyebaran Islam di wilayah ini tetap berjalan meskipun di tengah-tengah
perjalanannya mendapatkan rintangan dari sebagian penguasa.[11]
1.
Dinasti
Samaniyah
Keluarga Samaniyah dari Transoxiana dan Persia adalah orang-orang keturunan
Saman, seorang bangsawan penganut ajaran Zoroaster dari Balkh. Meskipun pada
awalnya mereka berada dalam kekuasaan
dinasti Abbasiyah, namun mereka melepas diri dan menjadi dinasiti yang
independen. Pendiri dinasti Samaniyah
adalah Nashr ibn Ahmad ibn Asad (874-892 M). Dinasti Samaniyyah mencapai puncak
kejayaan dibawah kepemimpinan Ismai’il ibn Ahmad (892-907 M) yang berhasil
merebut Khurasan dari genggaman Dinasti Saffariyah (900 M).[12]
Ketika berada dibawah kepemimpinan Nasr II ibn Ahmad (913-943 M)berhasil
memperluas kejayaan hingga ke kawasan Sijistan, Karman, Jurjan, Rayyi dan
Tabaristan. Di bawah kekuasaan Samaniyyahlah kaum muslim berhasil menaklukkan
seluruh wilayah Transoxiana. Ibukotanya adalah Bukhara dengan kota pentingnya
yaitu Samarkand, pusat penyebaran peradaban Islam di Asia Tengah, yang hampir
mengungguli Baghdad sebagai pusat pendidikan dan seni.[13]
Kendati merupakan salah satu dinasti di Iran yang kuat, Samaniyah tidak
terlepas dari permasalahan politik sepertipergolakan aristokarasi militer dan
suksesi pemerintah. Perjalanan dinasti ini juga diwarnai dengan drama
pertikaian keluarga. Kekuasaan berangsur-angsur diakuisisi oleh budak-budak
Turki. Dinasti ini hancur oleh serbuan keluarga Ghaznawi dan khan-khan
Turkistas.[14]
2.
Dinasti
Ghaznawi
Pada tahun 962 M, Alptigin merebut Ghaznah, yang terletak di Afganistan,
dari tangan penuasa pribumi dan mendirikan kerajaan independen yaitu imperium
Ghaznawi yang meliputi wilayah Afganistan dan Punjab. Pada masa kepemimpinan
Subuktigin (976-997 M), ia memperluas kekuasaannya hingga wilayah Pesyawar di
India dan khurasan di Persia.[15] Raja
paling terkemuka dari dinansti ini adalah Mahmud yamin al-Daulah yang digelari al-Ghazi
karena keistimewaannya dalam prang melawan kaum kafir. Ia berhasil menduduki
kawasan Punjab dan Lahore dari penguasa
Multan dan Sind. Ia juga memperluas garis batas wilayahnya dengan merebut Rayi,
Mavarannahar dan Isfahan.[16]
Kebangkitan dinasti ghaznawi mempresentasikan kemenangan pertama orang
Turki dalam melawan kelompok Iran untuk mendapatkan kekuasaan tertinggi dalam
Islam. Meskipun demikian, sama seperti kekuasaan Samaniyah, Ghaznawi tidak
ditopang dengan kekkuatan militer yang kuat. Wilayah-wilayah kekuasaan secara
berangsur-angsur memisahkan diri, disebelah timur muncul dinasti muslim independen
di India, bagian utara dan barat dibangun dinasti Khan dari Turkistan dan
dinasti Seljuk dari Persia. Dibagian tengah, Syihab al-Din al-Ghuri, pemimpin
dinasti Ghuriyah di Afganistan, berhasil meruntuhkan pijakan terakhir di
Lahore.[17]
3.
Dinasti
Khorezm
Dinasti Khorezm, juga dikenal sebagai dinasti Khwārazm, atau Khwārezm, yaitu
dinasti yang memerintah di Asia Tengah dan Iran (sekitar 1077-1231), dinasti pertama
sebagai pengikut Seljuq dan kemudian sebagai penguasa independen. Pada mulanya,
dinasti ini beribukota di Urgench (di lembah sungai Amu Daria), daerah
yangmenjadi pusat pendidikan keislaman dan kearaban. Kemudian, setelah berhasil
menaklukkan Mavarannhaart pada tahun 1210, ibu kota pemerintahan dipindahkan di
Samarkand.[18]
Pendiri dinasti adalah Anūştegin Gharachaʾī (1077-1097) yang diangkat
menjadi gubernur Khorezm sekitar 1077 oleh penguasa Seljuq, Malik-Shāh.[19]
Kepemimpinan dilanjutkan oleh Quthb al-Din Muhammad (1097-1127). Dibawah
kepemimpinannya, ia mampu meluaskan daerah kekuasaan Khrozem dari laut kaspia
hingga Bukhara dan Samarkand.
Pada 1141, dengan kekalahan sultan Seljuq Sanjar oleh Karakitai (Qara
Khitay) di Cina utara, para penguasa Khwārezm dipaksa untuk mengakui kedaulatan
Karakitai (Qara Khitai). Syah terkuat dinasti ini adalahʿAlāʾ ad-Dīn Muḥammad
(memerintah tahun 1200-1220), menciptakan kekaisaran yang membentang dari
perbatasan India ke perbatasan Anatolia.[20] Pada
1212 ia memerintah dari Laut Kaspia ke Bukhara dan Samarkand, mengalahkan Qara
Khitai, mengendalikan wilayah Mesopotamia dan Iran bagian barat serta pada
1213, juga menguasai wilayah Khurasan Selatan.[21]
Namun, kekaisaran tidak bertahan lama, pasukan Mongol dibawah kepemimpinan
Jenghis Khan menaklukkan Transoxania pada tahun 1220. Syah Khwārezm terakhir,
Jalāl ad-Din Mingburnu (memerintah 1220–1231), dikalahkan oleh bangsa Mongol
pada tahun 1231 dan wilayahnya diambil alih oleh mereka.[22]
4.
Dinasti
Chaghataiah
Dinasti Chaghatai diperintah oleh putra kedua Jenghis Khan, Chaghatai
(1227-1242).[23] Dinasti ini mencakup
sebagian besar Kazakhstan, Uzbekistan dan Xinjiang barat. Chaghatai berusaha
mempertahankan gaya nomaden bangsa Mongol. Untuk sementara waktu
"modal" mereka adalah perkemahan. Seiring waktu, Chaghatai menjadi
lebih mapan dan membentuk ikatan yang lebih dekat dengan rakyat Muslim mereka. Pada
mulanya, orang-orang Mongol ini memeluk agama Tangri dan Shaman, tetapi pada
generasi selanjutnya banyak orang Mongol yang memeluk Islam dan selanjutnya
secara keseluruhan menjadi muslim.[24]
Demikianlah, sejak kepemimpinan Mubaraq Syah (khan ke-7 dinasti Chaghatai) dan
selanjutnya beragama Islam.
Awalnya dinasti ini merupakan bagian dari Kekaisaran Mongol, tetapi
kemudian menjadi sepenuhnya independen. Pada puncaknya di akhir abad ke-13, wilayah
Chaghatai meluas dari Amu Darya selatan Laut Aral ke Pegunungan Altai di
perbatasan Mongolia. Akhirnya, pada abad ke-17, wilayah Chagatai yang tersisa
jatuh di bawah rezim teokratis Apaq Khoja dan keturunannya, Khojijans, yang
memerintah Xinjiang di bawah kepemimpinan Dzungar dan Manchu secara
berturut-turut.[25]
5.
Dinasti
Timuriyah
Tamerlane atau Timur Lenk
adalah keturunan Mongol yang sudah masuk Islam, dia sukses
mengalahkan Tughluk Temur dan Ilyas Khoja, kemudian memerangi Amir Hussain dan memproklamirkan
dirinya sebagai penguasa tunggal di Transoxiana, pelanjut Chagatai dari keturunan Jengis
Khan. Sepuluh tahun pertama pemerintahannya, dia sukses menaklukkan Jata dan Khawarizm dengan sembilan ekspedisi. Pada tahun 1381 M dia menyerang dan sukses menaklukkan Khurasan dan
Herat kemudian sukses
menduduki negeri-negeri di Afganistan, Persia, Fars dan Kurdistan. Dari sana ia melanjutkan ekspansinya ke Irak, Syria dan Jazirah Anatolia (Turki).[26]
Sesudah Timur Lenk meninggal, dua orang anaknya, Muhammad Jehanekir dan
Khalil, berperang memperebutkan kekuasaan. Khalil (1404-1405 M) keluar sebagai
pemenang. Akan tetapi, ia
hidup berfoya-foya menghabiskan kekayaan yang dijauhi ayahnya. Karena itu
saudaranya yang lain, Syah Rukh (1405-1447 M), merebut kekuasaan dari
tangannya. Syah Rukh berusaha mengembalikan wibawa kerajaan. Syah Rukh adalah seorang raja yang adil dan
lemah lembut. Sesudah wafat, ia
digantikan oleh anaknya Ulug
Beg (1447-1449 M), seorang raja yang alim dan sarjana ilmu pasti. Namun, masa
kekuasaannya tidak lama. Dua tahun sesudah berkuasa ia dibunuh oleh anaknya yang haus
kekuasaan, Abdal-Latif (1449- 1450 M). Raja besar Dinasti Timuriyah yang
terakhir yaitu Abu Sa'id (1452-1469 M). Pada masa inilah kerajaan mulai
terpecah belah. Kawasan kerajaan yang luas itu diperebutkan oleh dua suku Turki yang baru muncul ke permukaan, Kara Koyunlu (domba
hitam) dan Ak Koyunlu (domba putih). Abu Sa'id sendiri terbunuh ketika
bertempur memerangi Uzun Hasan, penguasa Ak Koyunlu.[27]
1.
Perkembangan
Ilmu Hadis, Ilmu Kalam dan Tasawuf
Perkembangan di bidang ilmu hadis, kita mengenal Imam al-Bukhari sebagai
pengumpul dan pengembang ilmu hadis. Kemudian ada Imam Muhammad ibn Isma’il ibn
Ibrahimibn Mughirah ibn Barduzhab yang lahir di Bukhara (810), katya
fenomenalnya yaitu al-Jami’ al-Shahih yang berisi 7.000-an hadis sahih
yang diseleksinya dari 600.000 hadis yang didengarnya.
Dalam bidang ilmu kalam, terdapat imam al-Maturidi, lahir di Samarkand
(854). Bukunya yang paling penting yaitu Kitab al-Tauhid dan Syarah
al-Fiqh al-Akbar yang merupakan sarah bagi risalah Abu Hanifah tentang
pokok-pokok keyakinan (al-Fiqh al-Akbar).[28] Di
bidang tasawuf, tokohnya antara lain Hoja Ahmed Yasewi (bapak bagi kebanyakan
tarekat di Asia Tengah dan wilayah lain ras Turki).
2.
Perkembangan
Pendidikan, Seni dan Arsitektur
Tahun 751, ketika pasukan muslimin berhasil mengalahkan dinasti Tang pada pertempuran
Talas, seorang tahanan perang dari wilayah China bagian Turk memperkenalkan
teknologi pembuatan kertas ke bangsa Arab. Hasilnya adalah sebuah mahakarya
baru yang murah, mudah diproduksi dan sebagai media yang ideal untuk menuliskan
informasi, mulai dari syair cinta, risalah filosofis, hingga tabel
perbintangan. Samarkand mulai menjadi pusat produksi kertas sejak saat itu.[29] Pasaca
ditemukannya teknologi kertas, berkembang budaya intelektual pada masa dinasti
abbasiyah terutama kawasan Asia Tengah.
Ilmuwan atau tokoh intelektual yang menjadi penggerak perkembangan sains
dan teknologi di Asia Tengah, antara lain : Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780-850)
ahli matematika yang merumuskan teori aritmetika, algoritma dan aljabar. Karyanya yaitu al-Mukhtasar fi
Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah yang diterjemahkan dan digunakan hingga abad
ke-16 sebagai teks buku matematika di universitas-universitas Eropa.[30]
Dibidang astronomi, ia meneliti tentang lunar anomalies, eclipse, dan parallaxes.[31] Ilmuan yang
lainnya yaitu Abu Rayhan al-Biruni (973-1048), yang menyusun kitab Qanun
al-Mas’udi dengan membahas tentang arah gerak rotasi bumi, konsep geometrik
tata surya.[32]
Di bidang arsitektur, Asia Tengah mengikuti gaya Persia dengan ciri iwan
yakni ruangan-ruangan beratap lengkung bersegi empat dengan satu sisinya
terbuka. Di Samarkand, bangunan berciri iwan bisa ditemukan pada satu
kompleks madrasah, madrasah Uluqh Beg, Tilla Kara, dan Shu Har. Di Bukhara,
model ini bisa ditemukan pada masdrasah Mir-i Arab. Unsur lain dari arsitektur
Asia Tengah adalah pystaq, yakni pintu masuk dengan keramik
berwarna-warni.[33]
Bahwa penaklukkan Transoxiana (Asia Tengah) telah
dimulai sejak masa Umar bin Khattab. Upaya penaklukkan terus dilakukan pada
masa Umayyah dengan panglimanya yaitu Hajaj bin Yusuf. Transoxiana benar-benar
bisa dikuasaidibawah kepemimpinan Qutaibah bin Muslim, seorang panglima yang pemberani,
tegas, berkemauan keras, dan cerdas. Penaklukkan ini memakan waktu selama 9
tahun sejak tahun 705 hingga 714.
Tahun 750, Umayyah
runtuh dan digantikan oleh Abbasiyah. Sejak abad ke 9, banyak wilayah-wilayah
kekuasaan Abbasiyah (timur dan barat) memilih untuk memisahkan diri dari
pemerintah pusat dan mencoba untuk membangun kekuasaan yang independen. Di
bagian timur, wilayah-wilayah Transoxiana mencoba untuk independen. Pelepasan
wilayah ini juga yang nantinya menjadi sebab keruntuhan dari Abbasiyah.
Terlepas dari isu
politik dan intrik, peradaban islam di Asia Tengah banyak menorehkan
perkembangan baik dari segi keagamaan, tasawuf hingga ilmu pengetahuan. Banyak
ulama-ulama dan cendekiawan yang lahir di daerah Asia Tengah yang mewarnai
perjalanan panjang keilmuan dunia.
B.
Saran
Tidak sempurnaan makalah ini
membutuhkan peran aktif dan kontribusi pembaca yang budiman untuk memberikan
kritik dan saran demi peningkatan kualitas penulisan sejarah selanjutnya.
Bosworth, C. E. History of Civilizations of Central
Asia. Prancis : UNESCO Publishing. 2000.
Encyclopedia Britannica, https://www.britannica.com/topic/Khwarezm-Shah-dynasty#ref87942.
Facts and Details, Chaghatai Khanate in Central Asia, http://factsanddetails.com/asian/cat65/sub423/entry-5252.html.
Gibb. H. A. R. The Arab Conquest in Central Asia, London
: The Royal Asiatic Society, 1923
Hitti, Philip K. History of The Arabs. Jakarta :
Penerbit Zaman. 2018.
Ibrahim, Qasim A. dan Saleh,
Muhammad A. Buku Pintar Sejarah Islam: Jejak Langkah Peradaban Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini, Terj. Zainal Arifin. Jakarta: Zaman. 2014.
Karim,
Muhammad A. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. 2007.
Lathif, Muhammad A. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah
bani Umayyah. Jakarta : Pustaka al-Kautsar. 2008.
Hasan,
Hasan I. Sejarah Kebudayaan Islam. Terj. Djahdan Ibnu Humam. Yogyakarta:
Kota Kembang. 1989.
Maryam, S. dkk.. Sejarah Peradaban Islam : Dari Masa
Klasik hingga Modern. Yogyakarta : LESFI. 2009.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam II. Terj.
Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief. Jakarta:
Pustaka al-Husna Baru. 2003.
The History Files, https://www.historyfiles.co.uk/KingListsFarEast/AsiaKhwarazm.htm, akses pada
4 Mei 2019.
Transition Kunci: http://transition.kunci.web.id/eng/2033-1923/Timuriyah_109130_imwi_transition-kunci.html.
Baca Juga: Asal Usul Dinasti Timuriyah
[1]Istilah stan berasal
dari bahasa Persia yang berarti kota atau negeri.
[2]A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II,
Terj. Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief
(Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003), hal. 136.
(Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003), hal. 136.
[3]Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,
Terj. Djahdan Ibnu Humam (Yogyakarta:
Kota Kembang, 1989), hal. 80.
Kota Kembang, 1989), hal. 80.
[4]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan
Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2007), hal. 120.
Publisher, 2007), hal. 120.
[6]H. A. R. Gibb, The Arab Conquest in Central
Asia, (London : The Royal Asiatic Society, 1923), hal. 31.
[7]Riwayat imam at-Thabari menyebutkan bahwa : “Sebelum menyeberangi sungai, Qutaibah berada di
Balkh. Karena sebagian penduduknya menentangnya, maka Qutaibah memeranginya. Kemudian keesokan harinya, penduduk Balkh tunduk dengan
melakukan perjanjian
damai dengan Qutaibah”. Lihat : Abdussyafi M. Abdul Lathif, Bangkit dan
Runtuhnya Khilafah bani Umayyah, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2008), hal.
408-409.
[8]Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku
Pintar Sejarah Islam: Jejak Langkah Peradaban Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini, Terj. Zainal
Arifin (Jakarta: Zaman, 2014), hal. 311-314.
[14] Siti Maryam, dkk., Sejarah Peradaban Islam :
Dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta : LESFI, 2009), hal. 202.
[19]Encyclopedia Britannica, https://www.britannica.com/topic/Khwarezm-Shah-dynasty#ref87942, akses pada 4 Mei 2019.
[20]Encyclopedia, ibid.
[21]The History Files, https://www.historyfiles.co.uk/KingListsFarEast/AsiaKhwarazm.htm, akses pada 4 Mei 2019.
[23]“Kerajaan Jenghis Khan diwarisi oleh putra
ketiganya, Ögedei, Khan Besar yang ditunjuk yang secara pribadi mengendalikan
tanah di sebelah timur Danau Balkash hingga Mongolia. Tolui, yang termuda,
diberikan tanah air utara Mongolia. Chagatai, putra kedua, menerima
Transoxania, antara sungai Amu Darya dan Syr Darya di Uzbekistan modern, dan
daerah di sekitar Kashgar.” Lihat : Facts and
Details, Chaghatai Khanate in Central Asia, http://factsanddetails.com/asian/cat65/sub423/entry-5252.html, Akses pada 4 Mei 2019.
[26]Transition Kunci, pada laman : http://transition.kunci.web.id/eng/2033-1923/Timuriyah_109130_imwi_transition-kunci.html, akses pada 4 Mei 2019.
[29]Jonathan Lyons, The Great Bait al-Hikmah,
(Bandung : Mizan Media Utama, 2013), hal. 81.
[30]Hitti, History of The Arabs, hal. 475.
[31]C. E. Bosworth, History of Civilizations of
Central Asia, (Prancis : UNESCO Publishing, 2000), hal. 183.
[33]Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam, hal.
2016.
0 komentar:
Post a Comment