Ahlussunnah wal Jama’ah


Aswaja, data:image/jpeg;base6

KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan pada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas makalah Tauhid yang berjudul “Ahlulsunnah wal Jama’ah” tepat pada waktunya.
 Kami menyadari bahwa makalah yang kami selesaikan ini masih jauh dari kesempurnaan. Seperti halnya pepatah “ tak ada gading yang tak retak “, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua kalangan yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Serta kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.Amin!

                                                                                                Yogyakarta,   November 2017
                                                                                                                       
Penulis


KATA PENGANTAR ........................................................................................... I
DAFTAR ISI ........................................................................................................ II
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A.    Latar Belakang............................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 3
A.    Pengertian Ahlulsunnah wal Jama’ah.......................................................... 3
B.     Sejarah Ahlulsunnah wal Jama’ah............................................................... 4
C.     Aliran-aliran dalam Ahlulsunnah wal Jama’ah........................................... 5
D.    Doktrin-doktrin Ahlulsunnah wal Jama’ah................................................. 7
E.     Karakteristik dalam Ahlulsunnah wal Jama’ah......................................... 10

BAB III PENUTUP ............................................................................................ 11
A.    Kesimpulan ............................................................................................... 11
B.     Saran ......................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA 12

BAB I
PENDAHULUAN
    A.    Latar Belakang
Aqidah pada masa Nabi adalah aqidah paling bersih, yaitu aqidah islam yang sebenaranya, karena belum tercampur oleh kepentingan apapun selain hanya karena Allah SWT. Ini disebabkan karena Nabi adalah sebagai penafsir al-Qur’an satu-satunya, sehingga setiap sahabat yang membutuhkan penjelasan al-Qur’an yang berkaitan dengan keyakinan maka Nabi langsung menjelaskan maksudnya. Selain itu umat terbimbing langsung oleh Nabi, sehingga dalam memahami agama tidak terjadi perbedaan.
Kemudian, aqidah pada masa sahabat masih sama dengan zaman Nabi, belum membentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri apalagi membentuk sebuah nama tertentu, maupun aliran-aliran pemikiran tertentu.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang ilmu kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai “mutakallim”, yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu “kalam” juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, yaitu ilmu yang membahas ajaran dasar dari agama.
Perbedaan yang muncul pertama kali dalam Islam bukanlah masalah teologi, melainkan bidang politik. Kemudian, seiring dengan perjalanan waktu, perselisihan politik ini meningkat menjadi persoalan teologi. Bahkan ada dua teori yang membahas latar belakang timbulnya persoalan teologi yakni perbedaan aliran ilmu kalam. Pertama, awal tercampurnya masalah aqidah dengan hal yang lain adalah sejak mulai dari  khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan terbunuh karena beberapa sahabat Nabi terlibat dalam urusan yang bersifat politis. Dan masalah ini kian rumit ketika peristiwa tahkim terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Kedua, aliran ilmu kalam muncul karena hasil iterpretasi atau penafsiran terhadap al-Qur’an maupun kajian terhadap hadits yang bersifat teologis. Diantara sekian banyak ilmu kalam yang bermunculan ialah Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadiriyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah yang berakhir dengan peristiwa mihnah yang menjadi sebab awal terbentuknya aliran Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ahlussunnah wal Jama’ah memang “satu istilah” yang mempunyai “banyak makna” , sehingga banyak golongan dan faksi dalam Islam yang mengklaim dirinya adalah “Ahlussunnah wal Jama’ah”. ‘Ulama dan pemikir Islam mengatakan, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan golongan mayoritas umat Islam di dunia sampai sekarang, yang secara konsisten mengikuti ajaran dan amalan (sunnah) nabi dan para sahabat-sahabatnya, serta memperjuangkan berlakunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam.
Meskipun pada mulanya Ahlussunnah wal Jama’ah itu menjadi identitas kelompok atau golongan dalam dimensi teologis atau aqidah Islam dengan fokus masalah ushuluddin (fundamental agama), tetapi dalam perjalanan selanjutnya tidak bisa lepas dari dimensi keislaman lainnya, seperti Syari’ah atau Fiqhiyah, bahkan masalah budaya, politik, dan sosial.
            Melalui makalah ini nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, baik tentang riwayat asal mula munculnya aliran ini, perkembangannya, doktrin-doktrinnya dan yang terpenting adalah kepercayaannya. Semoga makalah ini dapat memberikan gambaran dan penjelasan yang baik terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah.
    B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu pengertianAhlussunnah wal Jama’ah?
2.      Bagaimana Sejarahnya Ahlussunnah wal Jama’ah?
3.      Apa saja aliran-aliran yang ada didalam Ahlulsunnah wal Jama’ah?
4.      Apa saja doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah?
5.      Bagaimanakah karakteristik Ahlulsunnah wal Jama’ah?
    C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah.
2.      Untuk mengetahui Sejarahnya Ahlussunnah wal Jama’ah.
3.      Untuk mengetahui aliran-aliran yang ada didalam Ahlulsunnah wal Jama’ah
4.      Untuk mengetahui doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama'ah 
5.      Untuk mengetahui karakteristik Ahlulsunnah wal Jama’ah


BAB II
PEMBAHASAN
    
    A.    Pengertian Ahlul Sunnah wal Jama’ah

1.      Definisi Aswaja
        Aswaja merupakan sebuah singkatan yang memiliki kepanjangan Ahlus_Sunnah Wal Jamaah. Kepanjangan tersebut merupakan frase dari kata-kata bahasa Arab yaitu Ahlu, Sunnah, Jamaah. Kata Ahlu diartikan sebagai keluarga, komunitas, atau pengikut. Kata Al-Sunnah diartikan sebagai jalan atau karakter. Sedangkan kata Al-Jamaah diartikan sebagai perkumpulan atau kelompok golongan.
        Arti Sunnah secara istilah adalah segala sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW., baik berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah bermakna sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah SAW. dan pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW. dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak hati.
2.      Definisi  aswaja menurut pendapat ulama
a)      Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat, tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.
b)      Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.
c)      Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah para sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.
d)      Pendapat  Said Aqil Siradj, tentang Ahlus sunnah wal jama’ah adalah “Ahlu minhajil fikri ad-dini al-musytamili ‘ala syu’uunil hayati wa muqtadhayatiha al-qa’imi ‘ala asasit tawassuthu wat tawazzuni wat ta’adduli wat tasamuh”, atau “orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi”.
        Definisi di atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada al-Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang salih yang sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi.

   B.     Sejarah Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah
Mengenai awal mula munculnya istilah ahlus sunnah waljama’ah, ada beberapa pendapat para ahli. Beberapa pendapat tersebut ialah sebagai berikut:
1.      Ada yang mengatakan bahwa istilah ahlus sunnah waljma’ah telah lahir sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan beliau sendiri yang melahirkan melalui sejumlah hadits yang diucapkan, yakni hadits riwayat Abu Daud dan hadits riwayat Turmudzi. Adapun mengenai keabsahan hadits tersebut telah pula kita jelaskan, yaitu kendatipun pada dasarnya hadits itu dhaif (lemah), misalnya, namun karena banyak riwayatnya, maka satu sama lainnya saling menguatkan. Dengan demikian, status hadits-hadits tersebut berubah menjadi kuat.[1]
2.      Sebagian orang berpendapat bahwa istilah ahlus sunnah waljam’ah lahir pada akhir windu kelima tahun hijriah, yaitu tahun terjadinya kesatuan jama’ah dalam Islam, atau yang lebih dikenal dalam sejarah Islam dengan naman ‘amul jama’ah (tahun persatuan).
Dalam sejarah diterangkan bahwa pada tahun tersebut Saidina Hasan bin Ali ra. Meletakkan jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkan kepada Saidina Muawiyah bin Abu Sufyan dengan masud hendak menciptakan kesatuan dan persatuan jamaah islamiah, demi menghindari perang saudara sesama Islam. Jadi, dari kata ‘amul jama’ah itulah lahirnya istilah waljama’ah yang kemudian berkembang menjadi ahlus sunnah waljama’ah.
3.      Golongan ketiga mengatakan bahwa istilah ahlus sunnah waljama’ah lahir pada abad II hijriah, yaitu di masa puncak perkembangan ilmu kalam (teologi Islam) yang ditandai dengan berkembangnya alian modern dalam teologi Islam yang dipelopori oleh kaum muktazilah (rasionalismea).  Dalam rangka mengimbangi itulah, maka tampilnya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari membela akidah islamiah dan mengembalikannya kepada kemurnian yang asli. Pergerakan beliau kemudian disebut oleh para pengikutnya “ahlus sunnah waljama’ah”. Akan tetapi, oleh sebagian kalangan yang tidak menyenangi teologi Imam Asy’ari, mereka menyebutnya aliran ini “Madzhab Asya’irah” atau “Asya’irah”.[2] Aliran ini dipelopori dan dikembangkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari pada tahun 330 H.

    C.    Aliran-aliran dalam Ahlus Sunnah Waljama’ah
1.            Aliran Salafiah (tradisional)
Aliran salafiah (tradisional) adalah bagian dari ahlus sunnah yang mana lebih menonjol keahlussunnahannya daripada khalaf-moderat (Asya’irah). Aliran salafiah sesuai dengan maknanya “tradisonal” senantiasa mempertahankan konsepsi akidah Islamiah yang orisinal-tradisional dengan penuh konsekuen sesuai dengan doktrin akidah pada masa Nabi dan masa sahabat serta tabiin.[3]
Akidah Islamiah pada masa-masa tersebut sangat sederhana. Mereka menerima berdasarkan iman, ikhlas dan yakin, tanpa memerlukan argumentasi logika dan filosofis. Karena pada masa itu memang belum dikenal ilmu logika.[4] Akidah salafiah sangat bertentangan dengan konsepsi akidah ahli kalam (mutakallimin), karena pemahaman akidahnya semata-mata berdasarkan pada tekstual (harfiah) dan sama sekali tidak mau menerima segala sesuatu yang kontekstual. Hal itu menimbulkan kesan bahwa seakan-akan kaum salafiah kaku dan picik dalam memahami konsepsi Islam, terutama dalam konteks akidahnya. Mereka kurang memberikan kontribusi kepada akal (rasio).[5] Oleh karena itu mereka tidak membuang-buang waktu untuk mengkaji ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat, yakni yang tidak jelas maksudnya. Sebagai contoh: 
 “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al-Mulk: 16)
Jadi ayat tersebut mengatakan “Allah di langit”. Kata langit disini  tidak boleh ditakwilkan (dimaknai) kepada arti lain, misalnya tempat yang tinggi.
2.      Aliran Khalaf (Konvensional)
Telah dijelaskan pada bagian yang lalu bahwa aliran khalaf(konvensional) ada dua macam.
Pertama, aliran yang amat berlebihan dalam mengkultuskan akal. Menurut pengikut aliran itu, tanpa wahyu pun manusia mampu mengenal Al-Khaliq dan mampu pula membuat syariat dengan bantuan akal sendiri. Aliran ini dikenal dengan Muktazillah (supperrasionalisme) sebagaimana yang diterangkan di depan.
Kedua, aliran yang menempatkan akal sebagai mitra wahyu. Akal dan wahyu saling mendukung kecuali dalam beberapa kasus tertentu. Dalam hal tertentu akal tidak cukup mampu memahami wahyu karena keterbatasannya. Aliran itu lebih dikenal dengan Asya’riyah (skolastisme) atau juga disebut rasionalisme moderat.[6]
Dalam ilmu ketauhidan, kaum Asya’riyah dianggap sebagai golongan moderat antara salafiah dan muktazilah. Oleh karena moderatnya, maka mazhab itu banyak pengikutnya. Ada faktor-faktor penyebab mayoritas umat islam menganut mazhab Asya’riyah. Faktornya adalah sebagai berikut:
a.       Mazhab Asya’riyah cukup ampuh untuk menjawab argumentasi kaum Muktazilah dan kaum Falasifah yang senantiasa menggunakan dalil-dalil logika(mantik).
b.      Tidak terlepas adanya dukungan dari sejumlah Ulama besar dari berbagai disiplin ilmu, terutama dari kalangan Mazhab Syafi’i.[7]
Meskipun golongan Asyari’yah diakui oleh jumhur umat Islam sebagai golongan najiah (Ahlulsunnah), namun sebagian kaum Salafiyah keberatan menerima kaum Asya’riyah sebagai golongan ahlul sunnah murni. Asya’riyah menurut mereka tidak lain dari muktazilah gaya baru yang berjubahkan sunni.
Sebenarnya mengenai aliran Ahlulsunnah wal Jama’ah versi Salaf dan Khalaf. Asya’riyah dan Maturidiah termasuk ke dalam versi kedua, yakni khalaf moderat, namun aliran salafiah pun ada beberapa macam sama halnya dengan aliran khalaf. Hanya saja aliran khalaf lebih banyak macamnya, ada yang ekstrem, seperti muktazillah, khawarij, syi’ah dan lain-lain yang mencapai jumlahnya 72 aliran. Semuanya itu termasuk golongan mubtadi’ah yang sesat dan menyesatkan. Ada pula yang moderat, yakni aliran Asya’riyah dan Maturidiah, yang kedua-keduanya termasuk golongan Ahlulsunnah wal Jama’ah.

    D.    Doktrin-Doktrin Ahlulsunnah wal Jama’ah
Dalam sejarah perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah selalu dinamis dalam menjawab perkembangan zaman tetapi tetap memegang prinsip dalam mengamalkan ajarannya. Diantara prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah di dalam sejarah perkembangannya di berbagai aspek kehidupan meliputi Aqidah, pengambilan hukum (Syariah), tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik dengan penjabaran sebagai berikut:
1.      Bidang aqidah
Ahlulsunnah wal Jama’ah sendiri lebih menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid, sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu[8].
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap manusia.[9]
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.[10]

2.      Bidang Istinbath al_hukm (pengambilan dasar hukum syariah)
a.       Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh.Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan.Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
b.      As-Sunnah
As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
c.       Ijma’
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: Dan QS Al-Baqarah, 2:  143.
d.      Qiyas
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.[11]
3.      Bidang Tasawuf
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah. kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
4.      Bidang Sosial Politik
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah), Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah :
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah (QS Al-Syura, 42: 36-39)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu.salah satu ayat dalam Al-Qur an terdapat pada QS An-Nisa, 4: 58
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima) yang identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip ini menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari. Lima pokok atau prinsip tersebut yaitu:
a)      Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
b)      Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
c)      Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
d)      Hifzhual-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
e)      Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Hai ini termaktub dalan QS. Al-Hujuraat, 49: 13
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah; 5: 48
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum.Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.[12]

   E.     Karakteristik Ahlulsunnah wal Jama’ah
Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits dalam menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai landasan dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu Khaira Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan karakteristik anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari konsep keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara lain:
1.      At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan
2.      Al I’tidal
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri.I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan yang harus dibela.
3.      At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
4.      At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain.
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.
  
BAB III
PENUTUP 
A.    Kesimpulan
Dalam sejarah agama Islam , telah tercatat adanya firqah-firqah (golongan) di lingkungan umat Islam, yang antara satu sama lain bertentangan pahamnya dan sampai saat ini perbedaan tersebut masih tumbuh dengan suburnya. Kenyataan ini sudah dijelaskan oleh
Rosulullah SAW dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik 
"Yahudi telah berpecah menjadi 71 golongan, satu golongan di surga dan 70 golongan di neraka. Dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, 71 golongan di neraka dan satu di surga. Dan demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam tangan-Nya umatku ini pasti akan berpecah belah menjadi 73 golongan, satu golongan di surga dan 72 golongan di neraka." Lalu beliau ditanya: "Wahai Rasulullah siapakah mereka ?" Beliau menjawab: "Al Jamaah." (HR. Sunan Ibnu Majah).
Islam sebagai agama islam yang diturunkan untuk manusia, yang didalamnya terdapat pedoman serta aturan yang menuntun manusia membawa kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Serta dalam agama islam terdapat tiga sendi utama dalam agama islam dilihat dari tataran sisi keilmuan, yaitu iman, islam dan ihsan.
“Ahlu Sunnah Wal Jamaah” adalah golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin „Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

B.     Saran

Dengan adanya makalah ini kami berharap pembaca lebih bisa memahami dan memberikan saran atau kritik atas pembuatan makalah tentang periodisasi sejarah. Saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan agar dalam proses pembuatan makalah yang selanjutnya akan sesuai dengan harapan.
Disarankan bagi mahasiswa untuk terus memperdalam ajaran akidah keislamannya dengan benar, agar bisa memahami aliran-aliran agama yang benar yang sesuai dengan
“Ahlus Sunah Wal Jama‟ah” agar bisa selamat di dunia sampai akhiran dan tidak mudah terjerumus ke dalam aliran agama yang salah (sesat)


DAFTAR PUSTAKA
Siradj, Said Agiel. (1998). Ahlulsunnah wal Jama’ah dalam lintasan Sejarah. Yogyakarta:LKPSM.
Syihab, H.Z.A. Akidah Ahlus Sunnah: Versi Salaf – Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara           Keduanya. Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
Andim,Fauzul.2013. Aswaja Menurut KH Hasyim Asy'ari dan KH Aqil Sirodj. http//: Abimanyu Blora Aswaja Menurut KH Hasyim Asy'ari dan KH Aqil Sirodj.html. Diakses 14 Maret  2016.
Alim,Achmad Miftachul.2014. Pengertian Aswaja, Karakteristik,Prinsip,Ektensi dalam   Kehidupan Modern.http //:Materi Lengkap.html. Diakses 14 Maret 2016.
Al Mishri, Muhammad Abdul Hadi. (1994). Manhaj dan Aqidah Ahlulsunnah wal Jama’ah          menurut Pemahaman Ulama Salaf. Jakarta: Gema Insani Press.

Baca Juga: Biografi Syafruddin Prawiranegara


[1] H.Z.A Syihab, Akidah Ahlus Sunnah: Versi Salaf – Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), hlm. 14.
[2] Ibid., hlm. 15.
[3] Ibid., hlm. 23.
[4] Ibid., hlm. 24.
[5] Ibid., hlm. 25-26.
[6] Syihab, hlm.36
[7] Syihab, hlm.37
[8] Siradj, Said Agiel. Hlm.70-72
[9] Siradj, Said Agiel. hlm.72-73
[10] Siradj, Said Agiel. hlm.73
[11] Siradj, Said Agiel. hlm.82-87
[12] Siradj, Said Agiel. hlm.75-78

1 comment: