Aswaja, data:image/jpeg;base6 |
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan pada
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya
kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas makalah Tauhid yang
berjudul “Ahlulsunnah wal Jama’ah”
tepat pada waktunya.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami
selesaikan ini masih jauh dari kesempurnaan. Seperti halnya pepatah “ tak ada
gading yang tak retak “, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
dari semua kalangan yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
Akhir
kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir. Serta kami berharap agar makalah
ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.Amin!
Yogyakarta, November 2017
Penulis
KATA
PENGANTAR ........................................................................................... I
DAFTAR
ISI ........................................................................................................ II
BAB
I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan......................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN........................................................................................ 3
A. Pengertian Ahlulsunnah wal Jama’ah.......................................................... 3
B. Sejarah Ahlulsunnah wal Jama’ah............................................................... 4
C. Aliran-aliran dalam Ahlulsunnah wal
Jama’ah........................................... 5
D. Doktrin-doktrin Ahlulsunnah wal
Jama’ah................................................. 7
E. Karakteristik dalam Ahlulsunnah wal
Jama’ah......................................... 10
BAB
III PENUTUP ............................................................................................ 11
A. Kesimpulan ............................................................................................... 11
B. Saran ......................................................................................................... 11
DAFTAR
PUSTAKA 12
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aqidah pada masa Nabi adalah aqidah paling bersih, yaitu
aqidah islam yang sebenaranya, karena belum tercampur oleh kepentingan apapun
selain hanya karena Allah SWT. Ini disebabkan karena Nabi adalah sebagai
penafsir al-Qur’an satu-satunya, sehingga setiap sahabat yang membutuhkan
penjelasan al-Qur’an yang berkaitan dengan keyakinan maka Nabi langsung
menjelaskan maksudnya. Selain itu umat terbimbing langsung oleh Nabi, sehingga
dalam memahami agama tidak terjadi perbedaan.
Kemudian, aqidah pada masa sahabat masih sama dengan zaman
Nabi, belum membentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri apalagi membentuk
sebuah nama tertentu, maupun aliran-aliran pemikiran tertentu.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti
berbicara tentang ilmu kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum
teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan
pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai “mutakallim”, yaitu ahli debat
yang pintar mengolah kata. Ilmu “kalam” juga diartikan sebagai teologi Islam
atau ushuluddin, yaitu ilmu yang membahas ajaran dasar dari agama.
Perbedaan yang muncul pertama kali dalam Islam bukanlah
masalah teologi, melainkan bidang politik. Kemudian, seiring dengan perjalanan
waktu, perselisihan politik ini meningkat menjadi persoalan teologi. Bahkan ada
dua teori yang membahas latar belakang timbulnya persoalan teologi yakni
perbedaan aliran ilmu kalam. Pertama, awal tercampurnya masalah aqidah
dengan hal yang lain adalah sejak mulai dari khalifah ke-3 yakni Utsman
bin Affan terbunuh karena beberapa sahabat Nabi terlibat dalam urusan yang
bersifat politis. Dan masalah ini kian rumit ketika peristiwa tahkim terjadi
pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Kedua, aliran ilmu kalam
muncul karena hasil iterpretasi atau penafsiran terhadap al-Qur’an maupun
kajian terhadap hadits yang bersifat teologis. Diantara sekian banyak ilmu
kalam yang bermunculan ialah Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadiriyah, Jabariyah,
dan Mu’tazilah yang berakhir dengan peristiwa mihnah yang menjadi sebab awal
terbentuknya aliran Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ahlussunnah wal Jama’ah memang “satu istilah” yang
mempunyai “banyak makna” , sehingga banyak golongan dan faksi dalam
Islam yang mengklaim dirinya adalah “Ahlussunnah wal Jama’ah”. ‘Ulama
dan pemikir Islam mengatakan, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan
golongan mayoritas umat Islam di dunia sampai sekarang, yang secara konsisten
mengikuti ajaran dan amalan (sunnah) nabi dan para sahabat-sahabatnya, serta
memperjuangkan berlakunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam.
Meskipun pada mulanya Ahlussunnah wal Jama’ah itu menjadi
identitas kelompok atau golongan dalam dimensi teologis atau aqidah Islam
dengan fokus masalah ushuluddin (fundamental agama), tetapi dalam perjalanan
selanjutnya tidak bisa lepas dari dimensi keislaman lainnya, seperti Syari’ah
atau Fiqhiyah, bahkan masalah budaya, politik, dan sosial.
Melalui makalah
ini nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, baik tentang riwayat asal mula munculnya aliran
ini, perkembangannya, doktrin-doktrinnya dan yang terpenting
adalah kepercayaannya. Semoga
makalah ini dapat memberikan gambaran dan penjelasan yang baik terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
itu pengertianAhlussunnah wal Jama’ah?
2.
Bagaimana
Sejarahnya Ahlussunnah wal Jama’ah?
3.
Apa
saja aliran-aliran yang ada didalam Ahlulsunnah wal Jama’ah?
4.
Apa
saja doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah?
5.
Bagaimanakah
karakteristik Ahlulsunnah wal Jama’ah?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah.
2.
Untuk
mengetahui Sejarahnya Ahlussunnah wal Jama’ah.
3.
Untuk
mengetahui aliran-aliran yang ada didalam Ahlulsunnah wal Jama’ah
4.
Untuk
mengetahui doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama'ah
5.
Untuk
mengetahui karakteristik Ahlulsunnah wal Jama’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ahlul Sunnah wal Jama’ah
1.
Definisi Aswaja
Aswaja merupakan sebuah singkatan yang
memiliki kepanjangan Ahlus_Sunnah Wal Jamaah. Kepanjangan tersebut
merupakan frase dari kata-kata bahasa Arab yaitu Ahlu, Sunnah, Jamaah. Kata Ahlu diartikan sebagai
keluarga, komunitas, atau pengikut. Kata Al-Sunnah diartikan sebagai
jalan atau karakter. Sedangkan kata Al-Jamaah diartikan sebagai
perkumpulan atau kelompok golongan.
Arti Sunnah secara istilah adalah segala sesuatu
yang diajarkan Rasulullah SAW., baik berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan.
Sedangkan Al-Jamaah bermakna sesuatu yang telah disepakati komunitas
sahabat Nabi pada masa Rasulullah SAW. dan pada era pemerintahan Khulafah
Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas
orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW. dan jalan
para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal
lahiriyah, atau akhlak hati.
2.
Definisi aswaja
menurut pendapat ulama
a)
Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah
Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis,
dan apa yang diriwayatkan sahabat, tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan
oleh Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.
b)
Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan
yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat dan mengikuti warisan
para wali dan ulama. Secara spesifik,
Ahlusssunnah Wal Jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam
fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan
al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan
al-Syadzili.
c)
Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah para sahabat, tabiin, tabiit
tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi
petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.
d)
Pendapat Said Aqil
Siradj, tentang Ahlus sunnah wal jama’ah adalah “Ahlu minhajil fikri ad-dini al-musytamili
‘ala syu’uunil hayati wa muqtadhayatiha al-qa’imi ‘ala asasit tawassuthu wat
tawazzuni wat ta’adduli wat tasamuh”, atau “orang-orang yang memiliki metode
berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas
dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi”.
Definisi di
atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak
hanya bergantung kepada al-Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan
mengakomodasi warisan pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang
salih yang sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi.
B. Sejarah Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah
Mengenai
awal mula munculnya istilah ahlus sunnah
waljama’ah, ada beberapa pendapat para ahli. Beberapa pendapat tersebut
ialah sebagai berikut:
1. Ada
yang mengatakan bahwa istilah ahlus
sunnah waljma’ah telah lahir sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan beliau
sendiri yang melahirkan melalui sejumlah hadits yang diucapkan, yakni hadits
riwayat Abu Daud dan hadits riwayat Turmudzi. Adapun mengenai keabsahan hadits
tersebut telah pula kita jelaskan, yaitu kendatipun pada dasarnya hadits itu dhaif (lemah), misalnya, namun karena
banyak riwayatnya, maka satu sama lainnya saling menguatkan. Dengan demikian,
status hadits-hadits tersebut berubah menjadi kuat.[1]
2. Sebagian
orang berpendapat bahwa istilah ahlus
sunnah waljam’ah lahir pada akhir windu kelima tahun hijriah, yaitu tahun
terjadinya kesatuan jama’ah dalam Islam, atau yang lebih dikenal dalam sejarah
Islam dengan naman ‘amul jama’ah (tahun persatuan).
Dalam
sejarah diterangkan bahwa pada tahun tersebut Saidina Hasan bin Ali ra.
Meletakkan jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkan kepada Saidina Muawiyah
bin Abu Sufyan dengan masud hendak menciptakan kesatuan dan persatuan jamaah
islamiah, demi menghindari perang saudara sesama Islam. Jadi, dari kata ‘amul
jama’ah itulah lahirnya istilah waljama’ah yang kemudian berkembang menjadi ahlus sunnah waljama’ah.
3. Golongan
ketiga mengatakan bahwa istilah ahlus
sunnah waljama’ah lahir pada abad II hijriah, yaitu di masa puncak
perkembangan ilmu kalam (teologi Islam) yang ditandai dengan berkembangnya
alian modern dalam teologi Islam yang dipelopori oleh kaum muktazilah
(rasionalismea). Dalam rangka
mengimbangi itulah, maka tampilnya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari membela akidah
islamiah dan mengembalikannya kepada kemurnian yang asli. Pergerakan beliau
kemudian disebut oleh para pengikutnya “ahlus
sunnah waljama’ah”. Akan tetapi, oleh sebagian kalangan yang tidak
menyenangi teologi Imam Asy’ari, mereka menyebutnya aliran ini “Madzhab Asya’irah” atau “Asya’irah”.[2] Aliran ini dipelopori dan
dikembangkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari pada tahun 330 H.
C. Aliran-aliran dalam Ahlus Sunnah
Waljama’ah
1.
Aliran Salafiah (tradisional)
Aliran
salafiah (tradisional) adalah bagian dari ahlus sunnah yang mana lebih menonjol
keahlussunnahannya daripada khalaf-moderat (Asya’irah). Aliran salafiah sesuai
dengan maknanya “tradisonal” senantiasa mempertahankan konsepsi akidah Islamiah
yang orisinal-tradisional dengan penuh konsekuen sesuai dengan doktrin akidah
pada masa Nabi dan masa sahabat serta tabiin.[3]
Akidah
Islamiah pada masa-masa tersebut sangat sederhana. Mereka menerima berdasarkan
iman, ikhlas dan yakin, tanpa memerlukan argumentasi logika dan filosofis.
Karena pada masa itu memang belum dikenal ilmu logika.[4] Akidah salafiah sangat
bertentangan dengan konsepsi akidah ahli kalam (mutakallimin), karena pemahaman akidahnya semata-mata berdasarkan
pada tekstual (harfiah) dan sama sekali tidak mau menerima segala sesuatu yang
kontekstual. Hal itu menimbulkan kesan bahwa seakan-akan kaum salafiah kaku dan
picik dalam memahami konsepsi Islam, terutama dalam konteks akidahnya. Mereka
kurang memberikan kontribusi kepada akal (rasio).[5] Oleh karena itu mereka
tidak membuang-buang waktu untuk mengkaji ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat, yakni yang tidak jelas maksudnya.
Sebagai contoh:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang
(berkuasa) di langit bahwa dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu,
sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al-Mulk: 16)
Jadi
ayat tersebut mengatakan “Allah di langit”. Kata langit disini tidak boleh ditakwilkan (dimaknai) kepada
arti lain, misalnya tempat yang tinggi.
2. Aliran
Khalaf (Konvensional)
Telah dijelaskan pada bagian yang lalu
bahwa aliran khalaf(konvensional) ada dua macam.
Pertama, aliran yang amat berlebihan dalam
mengkultuskan akal. Menurut pengikut aliran itu, tanpa wahyu pun manusia mampu
mengenal Al-Khaliq dan mampu pula membuat syariat dengan bantuan akal sendiri.
Aliran ini dikenal dengan Muktazillah (supperrasionalisme) sebagaimana yang
diterangkan di depan.
Kedua, aliran yang menempatkan akal
sebagai mitra wahyu. Akal dan wahyu saling mendukung kecuali dalam beberapa
kasus tertentu. Dalam hal tertentu akal tidak cukup mampu memahami wahyu karena
keterbatasannya. Aliran itu lebih dikenal dengan Asya’riyah (skolastisme) atau
juga disebut rasionalisme moderat.[6]
Dalam ilmu ketauhidan, kaum Asya’riyah
dianggap sebagai golongan moderat antara salafiah dan muktazilah. Oleh karena
moderatnya, maka mazhab itu banyak pengikutnya. Ada faktor-faktor penyebab
mayoritas umat islam menganut mazhab Asya’riyah. Faktornya adalah sebagai
berikut:
a. Mazhab
Asya’riyah cukup ampuh untuk menjawab argumentasi kaum Muktazilah dan kaum
Falasifah yang senantiasa menggunakan dalil-dalil logika(mantik).
b. Tidak
terlepas adanya dukungan dari sejumlah Ulama besar dari berbagai disiplin ilmu,
terutama dari kalangan Mazhab Syafi’i.[7]
Meskipun golongan Asyari’yah diakui oleh
jumhur umat Islam sebagai golongan najiah (Ahlulsunnah), namun sebagian kaum
Salafiyah keberatan menerima kaum Asya’riyah sebagai golongan ahlul sunnah
murni. Asya’riyah menurut mereka tidak lain dari muktazilah gaya baru yang
berjubahkan sunni.
Sebenarnya mengenai aliran Ahlulsunnah wal
Jama’ah versi Salaf dan Khalaf. Asya’riyah dan Maturidiah termasuk ke dalam
versi kedua, yakni khalaf moderat, namun aliran salafiah pun ada beberapa macam
sama halnya dengan aliran khalaf. Hanya saja aliran khalaf lebih banyak
macamnya, ada yang ekstrem, seperti muktazillah, khawarij, syi’ah dan lain-lain
yang mencapai jumlahnya 72 aliran. Semuanya itu termasuk golongan mubtadi’ah
yang sesat dan menyesatkan. Ada pula yang moderat, yakni aliran Asya’riyah dan
Maturidiah, yang kedua-keduanya termasuk golongan Ahlulsunnah wal Jama’ah.
D.
Doktrin-Doktrin
Ahlulsunnah wal Jama’ah
Dalam sejarah
perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah
selalu dinamis dalam menjawab perkembangan zaman tetapi tetap memegang prinsip
dalam mengamalkan ajarannya. Diantara prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah di
dalam sejarah perkembangannya di berbagai aspek kehidupan meliputi Aqidah,
pengambilan hukum (Syariah), tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik dengan
penjabaran sebagai berikut:
1.
Bidang aqidah
Ahlulsunnah wal Jama’ah sendiri lebih
menekankan
bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid, sebuah keyakinan yang teguh
dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan,
Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan
tidak memiliki sekutu[8].
Pilar yang
kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu
yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani
kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai
oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus
meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang
membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir,
yang harus diikuti oleh setiap manusia.[9]
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah
keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat
dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul
jaza’). Dan mereka
semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup
di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang
banyak beramal buruk akan masuk neraka.[10]
2.
Bidang Istinbath al_hukm (pengambilan dasar hukum syariah)
a.
Al-Qur’an
Al-Qur’an
sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak
dibantah oleh semua madzhab fiqh.Sebagai sumber hukum naqli posisinya
tidak diragukan.Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
b.
As-Sunnah
As-Sunnah meliputi al-Hadist dan
segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat
dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari
apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
c.
Ijma’
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’
adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi)
dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau
kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap
suatu hukum dari suatu kasus. Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat
dalam QS An-Nisa’, 4: Dan QS Al-Baqarah, 2: 143.
d.
Qiyas
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan
salah satu hasil ijtihad para Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan
sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya
karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk
digunakan oleh Imam Syafi’i.[11]
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf
adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah. kaum sufi adalah para pencari
di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka
adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling
tersucikan. Mereka telah
membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya
sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari
Allah.” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu
membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
Berbeda dengan golongan Syi’ah
yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah),
Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang
membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu
mengatur dirinya sendiri. Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni
umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah).
Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi
kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama
(mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak
memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar
teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu
memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas
(wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah :
Negara harus mengedepankan
musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan
peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah (QS Al-Syura,
42: 36-39)
Keadilan adalah salah satu Perintah
yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar
oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu.salah satu ayat dalam Al-Qur an
terdapat pada QS An-Nisa, 4: 58
Negara wajib menciptakan dan menjaga
kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan
kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal
dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima) yang identik dengan konsep Hak Azazi
Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah
wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip ini menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah
kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin
di kelak kemudian hari. Lima pokok atau prinsip tersebut yaitu:
a) Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa
setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam
wilayahnya.
b) Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan
menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara
tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada
warga negara.
c) Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga
negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya
hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
d) Hifzhual-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul,
identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan
budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis
tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap
etnis yang hidup di wilayah negaranya.
e) Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri,
kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara
tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara
justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap
warga negara.
Bahwa manusia diciptakan sama oleh
Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang
lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi
dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara
satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa
menindas manusia dan bangsa yang lain. Hai ini termaktub dalan QS. Al-Hujuraat,
49: 13
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta
sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial.
Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT.
Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah; 5: 48
Dalam sebuah negara kedudukan warga
negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki
kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata
adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak
ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum.Negara justru harus
mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang
biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan
politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka
tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah
Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati
perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu
di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah
pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat)
kriteria di atas.[12]
E.
Karakteristik
Ahlulsunnah wal Jama’ah
Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan
Hadits dalam menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah
sebagai landasan dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu
Khaira Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan
karakteristik anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari
konsep keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara lain:
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri
antara dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran
serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan
tidak condong ke kiri.I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali
pada yang benar dan yang harus dibela.
Tasamuih
berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai
sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan
harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun
masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
Tawazun
berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau
kekurangan unsur lain.
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong
berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta
mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak,
merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
sejarah agama Islam , telah tercatat adanya firqah-firqah (golongan) di
lingkungan umat Islam, yang antara satu sama lain bertentangan pahamnya dan
sampai saat ini perbedaan tersebut masih tumbuh dengan suburnya. Kenyataan ini
sudah dijelaskan oleh
Rosulullah
SAW dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik
"Yahudi telah
berpecah menjadi 71 golongan, satu golongan di surga dan 70 golongan di neraka.
Dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, 71 golongan di neraka dan
satu di surga. Dan demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam tangan-Nya umatku
ini pasti akan berpecah belah menjadi 73 golongan, satu golongan di surga dan
72 golongan di neraka." Lalu beliau ditanya: "Wahai Rasulullah
siapakah mereka ?" Beliau menjawab: "Al Jamaah." (HR. Sunan Ibnu
Majah).
Islam
sebagai agama islam yang diturunkan untuk manusia, yang didalamnya terdapat
pedoman serta aturan yang menuntun manusia membawa kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Serta dalam agama islam terdapat tiga sendi utama dalam agama islam
dilihat dari tataran sisi keilmuan, yaitu iman, islam dan ihsan.
“Ahlu
Sunnah Wal Jamaah” adalah golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup
Rasulallah Saw. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang
teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat
yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin „Affan, dan
Ali bin Abi Thalib.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini kami berharap pembaca
lebih bisa memahami dan memberikan saran atau kritik atas pembuatan makalah tentang
periodisasi sejarah. Saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan agar dalam
proses pembuatan makalah yang selanjutnya akan sesuai dengan harapan.
Disarankan
bagi mahasiswa untuk terus memperdalam ajaran akidah keislamannya dengan benar,
agar bisa memahami aliran-aliran agama yang benar yang sesuai dengan
“Ahlus
Sunah Wal Jama‟ah” agar bisa selamat di dunia sampai akhiran dan tidak mudah
terjerumus ke dalam aliran agama yang salah (sesat)
DAFTAR
PUSTAKA
Siradj,
Said Agiel. (1998). Ahlulsunnah wal Jama’ah dalam lintasan Sejarah. Yogyakarta:LKPSM.
Syihab, H.Z.A. Akidah Ahlus Sunnah: Versi Salaf – Khalaf
dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya. Jakarta: Bumi Aksara,
1998.
Andim,Fauzul.2013. Aswaja Menurut KH
Hasyim Asy'ari dan KH Aqil Sirodj. http//: Abimanyu Blora Aswaja Menurut KH Hasyim Asy'ari dan KH Aqil Sirodj.html.
Diakses 14 Maret 2016.
Alim,Achmad Miftachul.2014. Pengertian
Aswaja, Karakteristik,Prinsip,Ektensi dalam Kehidupan Modern.http //:Materi
Lengkap.html. Diakses 14 Maret 2016.
Al Mishri, Muhammad Abdul Hadi.
(1994). Manhaj dan Aqidah Ahlulsunnah wal Jama’ah menurut Pemahaman Ulama Salaf. Jakarta: Gema Insani
Press.
Baca Juga: Biografi Syafruddin Prawiranegara
[1] H.Z.A Syihab, Akidah Ahlus Sunnah: Versi Salaf – Khalaf dan
Posisi Asya’irah di Antara Keduanya (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), hlm. 14.
terima kasih 🙏
ReplyDelete