Biografi Abu Ishaq al-Huwainy

Abu Ishaq al-Huwayni

A.    Pendahuluan
Kitab hadits sekunder tidak bisa dipandang sebelah mata. Walaupun pada masa maraknya penyusunan kitab hadits sekunder, ulama terkesan mencukupkan diri pada kitab-kitab sebelumnya. Mereka hanya melakukan penyempurnaan atau membuat kitab baru dengan mengambil referensi dari kitab terdahulu. Namun, para ulama tersebut berkesperimen agar membaca, memahami, atau bahkan menghafal hadits terasa lebih mudah.
Syarah hadits pun berkembang menjadi semakin kreatif dengan banyaknya tema baru yang diangkat. Hal itu dikarenakan bahwa hadits Nabi tidak hanya berbentuk pada segala hal yang berkaitan dengan syariat. Baik berupa perintah maupun pelarangan dalam agama. Hadits juga bukan hanya yang berbicara kemukjizatan anonim pada era-nya yang terkait dengan ilmu sains saja. Hal yang pada masa lalu belum diketahui, namun hadits tersebut dapat dibuktikan pada era modern dengan bantuan sarana-sarana canggih. Namun, hadits juga membungkus sebuah hikayat berupa sejarah yang juga diturun-temurunkan kepada generasi selanjutnya.
Adanya hadits yang berbicara mengenai sejarah tersebut, maka bermunculan-lah ulama yang mengkompilasi hadits-hadits sejarah tersebut. Salah satunya adalah al-Huwaini. Al-Huwaini, sosok ulama terpandang pada era kini. Al-Huwaini menghadirkan sebuah karya yang berbicara mengenai sejarah dalam hadits. Kitab yang dimaksud adalah kitab karyanya yang berjudul Shahih al-Qashshash al-Nabawi. Penulis merasa perlu membahas kitab syarah hadits yang hadir di masa kontemporer ini. Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai biografi singkat al-Huwaini, sistematika penulisan, kelebihan, dan kekurangan dari kitab ini.




Salah satu ulama besar di abad ini dan pakar hadits kenamaan sepeninggalnya al-Albani adalah Abu Ishaq al-Huwaini al-Atsari. Nama lengkapnya adalah Hijazi bin Muhammad bin Yusuf bin Syarif al-Mishri. Oang tuanya memberi nama Hijaz kepadanya karena bertepatan setelah mereka pulang dari ibadah haji. Dulu bernama Hijaz, sekarang  menjadi Arab Saudi. Pada awalnya, nama kunyahnya adalah Abu al-Fadhl (sama dengan nama kunyah Ibnu Hajar). Selama menuntut ilmu, dia banyak mempelajari buku karya Abu Ishaq al-Syatibi, sehingga lama kelamaan dia menyukai kunyah Abu Ishaq. Abu Ishaq juga merupakan nama kunyah dari salah satu sahabat Rasul, Sa’ad bin Abi Waqqash. Oleh karena itu, al-Huwaini akhirnya menggunakan nama Abu Ishaq sehingga dikenal khalayak ramai dengan nama Abu Ishaq al-Huwaini.
Masih ada lagi gelar al-Huwaini yang lain. Dia digelari juga dengan nama al-Atsari. Nama al-Atsari diambil karena al-Huwaini menyibukkan diri dengan memperdalam ilmu dalam bidang kajian hadits. Seperti yang diketahui bahwa hadits memiliki nama lain, yaitu atsar.
Ulama yang satu ini, dilahirkan pada hari Ahad, tanggal 1 atau 2 (terdapat perbedaaan pendapat) bulan Zulqaidah tahun 1375 H, bertepatan pada tanggal 10 Juni 1956 M.  Tanah kelahirannya adalah Huwain, Kafr al-Syaikh, yaitu salah satu kota yang ada di Mesir. Oleh karena itu, namanya al-Huwaini al-Mishri tersebut disandarkan pada tanah kelahirannya. Abu Ishaq al-Huwaini merupakan anak dari istri ayahnya yang ketiga. Abu Ishaq al-Huwaini tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang baik. Keluarga yang juga sangat mencintai agama dan menjunjung tinggi syariat Islam. [1]
Jenjang beliau dalam menuntut ilmu:
·       Madrasah Ibtidaiyah di Wazariyah.
·       Pendidikan I’dadiyah al-Qadimah.
·       Pendidikan Tsanawiyah di Madrasah al-Syahid ‘Abd al-Mun’im Riyadh.
·       Kuliah di Jami’ah ‘Ain Syams Mesir, Fakultas Adab, jurusan Bahasa Spanyol. [2]
Di antara guru-guru Abu Ishaq al-Huwaini dalam menuntut ilmu agama adalah ‘Abdul Hamid Kasyk, Muhammad Jamil Ghazi, ‘Abd al-Rahman ‘Abd al-Khaliq, Dr. ‘Abdul Fatah Al-Halwu, Ahmad Muqir, dan Sayyid Sabiq yang terkenal dengan Fiqh Sunnahnya, dan gurunya yang paling terkenal adalah al-Albani. Walaupun dalam beberapa masalah, Abu Ishaq al-Huwaini memiliki perbedaan pendapat dengan guru-gurunya. Namun, Abu Ishaq al-Huwaini tetap bersikap hormat pada guru-guru yang menjadi tempatnya menuntut ilmu.
Abu Ishaq al-Huwaini telah banyak melahirkan karya berupa buku. Karya-karyanya tersebut kebanyakan berfokus pada bidang ilmu hadits. Karya-karyanya tersebut ada yang berbentuk tahqiq maupun takhrij hadits, dan ada yang sudah dicetak maupun yang belum. Adapun beberapa di antara bukunya yang sudah terbit adalah al-Insyirah fii Adab al-Nikah, al-Nafilah fii al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Bathilah, Naha al-Shahabah ‘an al-Nuzul bi al-Rakbah, Kasyf al-Mahkhbu’ bi Tsubut Hadts al-Tasmiyah ‘Inda al-Wudhu’, dan buku yang akan dibahas pada makalah ini Shahih al-Qashshash al-Nabawi  yang diterbitkan di Jeddah: Maktabah al-Shahabah, pada tahun 1411 H.


Adapun karya-karyanya yang belum dicetak dan masih dalam proses adalah seperti Durrat al-Taj ’ala Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Tasliyah al-Kadzim bi Takhrij Ahahdits wa Atsar Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, al-Hidayah bi Syarh Shahih al-Ahadits al-Qudsiyah, Musnad Abu ‘Awanah yang penulisannya telah selesai dan menunggu penerbitan, dan masih banyak lagi karya-karyanya lain. [3]



DAFTAR PUSTAKA
http://alheweny.me/pages/page/about
https://rumaysho.com/12062-ilmuwan-yang-menjadi-ulama-6.html



[1] http://alheweny.me/pages/page/about
[3] http://alheweny.me/pages/page/about

0 komentar:

Post a Comment