files.wordpress.com |
Pendahuluan
Minat terhadap kajian hadis tidak hanya
menarik bagi kalangan peneliti Muslim saja, melainkan juga para peneliti
orientalis. Tidak ada keterangan yang jelas, kapan dan siapa sebenarnya orang
Barat yang pertama kali mempelajari Islam. Para pakar berbeda pendapat, ada
yang mengatakan bahwa hal itu terjadi pada waktu perang Mu’tah (8 H) kemudian
perang Tabuk (9 H), di mana terjadi kontak pertama kali antara orang-orang
Muslim. Sementara pakar yang lain berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika
pecah perang antara kaum Muslim dan Nasrani di Andalus, terutama setelah Raja
Alphonse VI menguasai Toledo pada tahun 488 H/1085 M. Ada juga yang berpendapat
bahwa hal itu terjadi ketika orang-orang Barat merasa terdesak oleh ekspansi
Islam, terutama setelah jatuhnya Konstantinopel pada tahun 857 H/1453 M ke
tangan kaum Muslim.[1]
Begitu pula mengenai siapa orientalis yang
pertama kali menaruh minat yang cukup besar dalam kajian hadis, para ahli
berbeda pendapat dalam hal ini. Menurut M.M. A’zami, orientalis yang pertama
kali melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher (1850-1920 M), seorang Yahudi
kelahiran Hongaria melalui karyanya Muhamedanische Studien pada tahun
1980 yang berisi pandangannya tentang hadis.[2]
Pendapat ini dibantah oleh A.J. Wensick dalam The Importance of Tradition
for Studies of Islam tahun 1921, menegaskan bahwa orientalis pertama yang
mengkaji otentitas hadis adalah Snouck Hurgronjee yang menerbitkan bukunya Revre
Coloniale Internationale tahun 1886.[3]
Wael B. Hallaq menyatakan bahwa orientalis pertama yang mengkaji hadis adalah
Gustav Weil pada awal tahun 1848 dan berkesimpulan bahwa sebagian besar hadis
adalah palsu. Sedangkan menurut G.H.A.
Juynboll, sebagaimana dikutip oleh Daniel W. Brown, sarjana Barat yang
pertama kali melakukan kajian skeptik terhadap hadis adalah Alois Sprenger
kemudian diikuti oleh Sir Willian Muir dalam karyanya Life of Mohamet
dan mencapai puncaknya pada karya Ignaz Goldziher.[4] Kajian Islam yang dilakukan oleh orang-orang
Barat pada mulanya hanya ditujukan kepada materi-materi keislaman secara umum, termasuk
bidang sastra dan sejarah. Baru pada masa-masa belekangan, mereka mengarahkan
kajiannya secara khusus pada bidang hadis nabawi.[5]
Sikap Orientalis Terhadap Hadis
Para orientalis tidak semuanya berpandangan
negatif terhadap hadis, ada beberapa dari mereka juga yang memberi pandangan
positif terhadap hadis. Ini disebabkan perbedaan motivasi dan latar belakang
mereka mengkaji hadis. Dalam bidang hadis, sikap para orientalis tersebut tidak
terlepas dari sikap dan pencitraan mereka terhadap Nabi Muhammad. Sebab
bagaimana pun pembicaraan tentang hadis akan selalu berhubungan dengan Nabi
Muhammad. Dalam konteks ini, pencitraan Muhammad di mata orientalis dapat
dipandang dari dua sisi. Satu sisi Muhammad dipandang sebagai Nabi dan Rasul
yang telah membebaskan manusia dari kezaliman. Di sisi lain, Muhammad dipandang
sebagai paganisme, penganut Kristen dan Yahudi yang murtad yang akan
menghancurkan ajaran Kristen dan Yahudi, intelektual pintar yang memiliki
imajinasi yang kuat dan pembohong, serta seorang tukang sihir yang berpenyakit
ayan.[6]
Dua pandangan inilah yang akan sangat mempengaruhi pandangan mereka tentang
hadis. Tetapi meskipun begitu, mayoritas orientalis tetap banyak yang mencela
dan tidak mengakui eksistensi hadis daripada yang mengakuinya.
Dalam pandangan kebanyakan orientalis, hadis
hanya merupakan hasil karya dan ahli fikih yang ingin menjadikan Islam sebagai
agama yang multidimensi. Mereka beranggapan bahwa hadis tidak lebih dari
sekadar ungkapan manusia atau jiplakan dari ajaran Yahudi dan Kristen.[7] Pandangan
semacam ini tidak jauh berbeda dari pandangan mereka tentang al-Qur’an.
Sebagaimana pendapat John Wansbrough dalam Quranic Studies: Sources and
Methods of Scriptual Interpretation tahun 1977. Ia mengatakan bahwa
pengulangan mengenai gambaran monoteistik Yahudi dan Kristen yang ditemukan di
dalam al-Qur’an mengarahkannya untuk mengatakan bahwa agama Islam adalah bentuk
mutasi dari sekte asli Yahudi-Kristen yang berupaya berkembang di Arabia, dan
bukan semata-mata sebuah hasil dari difusi kultural. Di sini, menurutnya,
seiring berjalannya waktu, kitab-kitab suci Yahudi dan Kristen kemudian
diadaptasi menjadi sebuah perspektif Arab dan bermutasi menjadi apa yang ada di
dalam al-Qur’an.[8]
Kembali lagi ke hadis, dua pemuka orientalis, Ignaz Goldziher dan Joseph
Schacht, menyatakan bahwa hadis tidak bersumber dari Nabi Muhammad, melainkan
sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua Hijriah sebagai akibat dari
perkembangan Islam.[9]
Selain itu, untuk menghilangkan kepercayaan
umat Islam terhadap kedudukan hadis, para orientalis telah menyerang beberapa
tokoh utama hadis. Di antaranya yang paling menjadi sasaran utama adalah Abu
Hurairah, al-Zuhri, dan al-Bukhari.[10] Penyerangan
mereka terhadap ketigs tokoh tersebut dirasa masuk akal, dikarenakan ketiga
tokoh tersebut menempati posisi yang sangat strategis dalam perkembangan hadis.
Abu Hurairah sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, al-Zuhri
sebagai orang pertama yang mengumpulkan hadis, dan al-Bukhari sebagai pemilik
kitab yang dianggap paling otentik setelah al-Qur’an. Jika upaya penyerangan
tersebut sukses, maka akan membawa dampak yang sangat besar terkait kepercayaan
umat Islam terhadap hadis.
Pengertian Hadis dan Sunnah Menurut Orientalis
Dalam pandangan umat Islam, hadis dan sunnah
terkadang dianggap sinonim dan terkadang pula dibedakan artinya. Tetapi dalam
pandangan orientalis, hadis juga dipandang berbeda dengan sunnah. Perbedaan ini
terlihat pada pandangan Goldziher yang menyatakan bahwa hadis adalah sesuatu
yang bersangkutan dengan keagamaan dan praktik yang sah dan dikembangkan di
bawah bimbingan Nabi dan dihormati sebagai suatu norma untuk dunia Islam secara
keseluruhan. Adapun kata sunnah menurutnya pada awalnya merupakan istilah
paganisme yang kemudian diadopsi oleh Islam. Dalam pandangannya, istilah sunnah
telah eksis sejak era Jahiliyah yang merujuk pada adat istiadat orang Arab
warisan nenek moyang mereka. Konsekuensi dari pendapat Goldziher tersebut
adalah penolakan eksistensi sunnah Nabi sebagai rujukan sumber hukum Islam
sejak generasi awal hanyalah tradisi yang telah dikenal dan diakui oleh
lingkungan sosial waktu itu.[11]
Lebih lanjut, Goldziher menyatakan bahwa sunnah sebenarnya hanyalah sebuah
revisi atas adat istiadat bangsa Arab yang sudah ada. Dengan demikian, menurut
Goldziher, sunnah bukanlah suatu yang berasal dari Nabi, tetapi merupakan
kebiasaan yang sudah berkembang di kalangan bangsa Arab yang direvisi dan
kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh umat Islam sebagai suatu tradisi.[12]
Pendapat senada dikemukakan oleh Joseph
Schacht, bahwa sunnah merupakan konsep bangsa Arab kuno yang berlaku kembali
sebagai salah satu pusat pemikiran Islam. Menurutnya, sunnah lebih merupakan
tradisi Arab kuno yang kembali mengemuka dalam ajaran Islam. Dapat dikatakan
bahwa pandangan Goldziher dan Schacht tentang sunnah relatif sama. Keduanya
menganggap sunnah bukan sesuatu yang berasal dari Nabi, melainkan hanya
kelanjutan dari tradisi bangsa Arab Jahiliyah yang kemudian direvisi dan
diteruskan oleh Islam serta kemudian disandarkan kepada Nabi.[13]
Pandangan yang berbeda disampaikan oleh Nabia
Abbot, ia mempunya pandangan yang sejalan dengan ulama hadis. Ia
berpendapat bahwa hadis merupakan kata
yang dimaksudkan pada penyebutan segala yang berasal dari Nabi Muhammad yang
berupa perkataan. Di samping itu, terdapat istilah khabar yang oleh Nabia
dianggap memiliki makna yang berbeda dengan hadis karena khabar berisi tentang
sejarah dan biografi para tokoh terkenal yang memuat informasi yang ada
kaitannya dengan disiplin intelektual kala itu.[14]
Dengan demikian, menurut Nabia, cakupan khabar lebih umum dari hadis yang
sifatnya lebih spesifik pada Nabi.
Selain istilah hadis dan khabar, Nabia juga
menjelaskan istilah sunnah. Menurutnya, kata sunnah yang kadang menggunakan
bentuk plural (sunan), tidak hanya terbatas pada prilaku Nabi saja,
melainkan juga berlaku dan digunakan untuk para sahabat seperti Abu Bakar dan
Umar yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan khilafah.[15]
Melihat kedua pandangan yang sangat berbeda
tersebut, dapat dipahami bahwa tidak semua orientalis memiliki sikap skeptis
terhadap definisi hadis dan sunnah. Pendapat Goldziher dan Schacht yang
memberikan definisi dan kesimpulan sendiri cukup menyudutkan dan mengajak umat
Islam untuk berpikir kembali untuk men-counter serangan mereka.
Sedangkan pendapat dari Nabia yang sejalan dengan pendapat ulama hadis pada
umumnya menunjukkan kepercayaannya pada referensi umat Islam terdahulu.
Sanad dan Matan Hadis Dalam Perpektif
Orientalis
Ulama hadis pada umumnya berpandangan bahwa
kepedulian terhadap isnad berawal sesudah terbunuhnya khalifah ketiga, Usman
bin Affan, sejak terjadinya fitnah di kalangan umat Islam. Dalam mengkaji sanad
dan matan hadis, orientalis berbeda dengan ulama hadis pada umumnya. Jika ulama
hadis mengkaji sanad dan matan lebih pada definisi dan esensinya, maka para
orientalis lebih menekankan pada asal-usulnya. Mereka lebih banyak menyoroti
tentang kapan sanad itu dimulai dalam periwayatan hadis.[16]
Bagi kalangan orientalis, mereka berbeda-beda
pendapat mengenai awal mula penggunaan isnad. Menurut Leoni Caetani, ‘Urwah
(wafat 94 H) adalah orang pertama yang menghimpun hadis tetapi ia tidak
menggunakan sanad. Pendapat ini berkesimpulan bahwa sebagian besar sanad
direkayasa para ahli hadis pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Pendapat lain
dari Horovits menyatakan bahwa pemakaian sanad sudah dimulai sejak sepertiga
akhir abad pertama. Ia juga menyatakan bahwa besar kemungkinan praktik Isnad
berasal dari dan dipengaruhi oleh tradisi lisan sebagaimana dikenal dalam literatur
Yahudi. R. Jobson mengatakan bahwa pada pertengahan abad pertama Hijriah
mungkin sudah ada metode semacam sanad. Henry Lammens menyatakan bahwa isnad
muncul jauh setelah matan hadis ada dan merupakan fenomena internal dalam
pengembangan Islam. Fuat Sezgin menyatakan bahwa awal mula munculnya isnad pada
masa al-Zuhri (wafat 125 H). Joseph Van Ess berpandangan bahwa isnad dimulai
setelah terbunuhnya Usman.[17]
Sementara itu, Joseph Schacht dalam The
Origins of Muhammadan Jurisprudence,
berpendapat bahwa bagian terbesar dari sanad hadis adalah palsu. Menurutnya,
semua orang mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat
sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua abad
ketiga Hijriah. Ia menyatakan bahwa sanad merupakan hasil rekayasa para ulama
abad kedua Hijriah dalam menyandarkan sebuah hadis kepada tokoh-tokoh terdahulu
hingga akhirnya sampai kepada Nabi untuk mencari legitimasi yang kuat terhadap
hadis tersebut.[18]
Tetapi pendapat tersebut langsung dibantah oleh A’zami dengan argumen dan data
yang didapatnya dari literatur-literatur Islam.
Dari segi matan, di antara orientalis yang
melakukan kritik hadis dari segi ini adalah Ignaz Goldziher dan A.J. Wensinck.
Keduanya menganggap lemah metode kritik sanad yang dipakai para ulama sehingga
produk yang dihasilkannya otomatis tidak bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Goldziher menyangsikan seluruh matan dan menilainya sebagai buatan
ulama ahli hadis dan ulama ahli ra’yi. Wensinck menyatakan bahwa perkembangan dan
aktivitas pemikiran di kalangan umat Islam pasca wafatnya Nabi membuka peluang
bagi para ulama untuk menjelaskan ruh agama Islam itu melalui hadis.
Ucapan-ucapan para ulama inilah yang kemudian dikenal sebagai matan.[19]
Kedua pendapat ini sejalan dengan pandangan yang menyatakan bahwa matan hadis
bukanlah sabda Nabi, melainkan ucapan para ulama. Meskipun pandangan ini juga
nanti akan dibantah oleh A’zami.
Di kalangan orientalis, kajian tentang sanad
tidak hanya menyangkut asal usul dan keotentikannya, tetapi berkenaan dengan
jumlah sanad yang sangat banyak cabangnya dan adanya mata rantai sanad yang
terdiri atas periwayat dari keluarga tertentu. Nabia Abbot, misalnya, mengkaji
perkembangan sanad hadis melalui teori explosive isnad. Untuk
menjelaskan teori explosive isnad, Nabia menggunakan teori deret
geometrik dengan berasumsi bahwa rata-rata para sahabat meriwayatkan satu hadis
kepada uda tabi’in, kemudian masing-masing tabi’in itu meriwayatkan kepada dua
generasi berikutnya, dan rangkaian periwayatan tersebut terus berlanjut sampai
empat atau delapan generasi di bawahnya. Dan di samping explosive isnad,
dikenal pula istilah isnad family, di mana sejumlah hadis yang
diriwayatkan melalui isnad family yang terpercaya ini, termasuk dalam
lima kategori syarat diterimanya suatu hadis.[20]
Tokoh-tokoh Orientalis dalam Hadis
Sejarah kajian hadis di kalangan orientalis
dimulai sejak lama, meskipun tidak ada kesepakatan tentang siapa yang pertama
kali melakukannya. Ada yang menyebut Ignaz Goldziher (1850-1920 M), Snouck
Hurgronje tahun 1886, Gustav Weil pada awal tahun 1848, atau Aloys Sprenger
(1813-1893 M) sebagai orientalis yang pertama kali mengkaji dan meneliti hadis.
kajian kemudian dilanjutkan oleh Joseph Schacht (1902-1969 M), G.H.A. Juynboll,
Freeland Abbott, Nabia Abbott tahun 1957, Harald Motzki, dan beberapa
orientalis yang lain.[21]
Ada beberapa di antara mereka yang akan kita bahas pemikirannya dan ada juga
yang tidak, tergantung kontribusi pemikiran dan teori mereka mengenai hadis.
Ignaz Goldziher, seorang Yahudi kelahiran
Hungaria[22]
tahun 1850 M,[23]
menyatakan bahwa hadis merupakan kabar atau pemberitahuan yang tidak hanya
berkaitan dengan agama tetapi juga tentang informasi sejarah yang berkenaan
dengan agama atau keduniaan dari masa ke masa. Hadis tidak hanya merupakan
dokumen sejarah, tetapi lebih dari itu merupakan sebuah refleksi yang muncul
dari kecenderungan masyarakat pada awal perkembangan Islam yang kemudian
terbentuk menjadi sesuatu yang terorganisir dengan rapi dan memiliki kekuatan
hukum. Sedangkan sunnah merupakan tradisi atau kebiasaan yang berlaku dalam
komunitas Muslim yang berkaitan dengan keagamaan atau hukum, baik setelah Islam
datang atau sebelumnya, yang berlangsung terus menerus dan dianggap sebagai
sebuah peninggalan yang harus diikuti. Kata sunnah berasal dari istilah
paganisme yang kemudian diadopsi oleh Islam.[24]
Joseph Schacht, tokoh orientalis kelahiran
Silisie, Jerman[25]
atau Ratibor, Polandia tahun 1902 M,[26]
dengan teorinya yaitu projecting back dan argumenta e silentio. Projecting
back adalah adanya periwayatan hadis dengan menisbahkan pendapat ulama abad
kedua dan ketiga Hijriah kepada ulama atau tokoh-tokoh sebelumnya sampai pada
Rasulullah. Melalui teori projecting back-nya, Schacht berasumsi bahwa
hadis-hadis Nabi sesungguhnya tidak berasal darinya. Nabi tidak bersabda dan
tidak berbuat sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis-hadisnya itu. Hadis-hadis
itu hanyalah perkataan orang-orang pada abad pertama, kedua atau ketiga Hijriah
yang kemudian disandarkan kepada para sahabat lalu kepada Rasulullah.
Penyandaran itu dilakukan untuk mendapat legitimasi sehingga mendapatkan
sandaran dan kekuatan hukum.[27]
Adapun teori argumenta e silentio
menyatakan bahwa apabila sebuah hadis tidak ditemukan dalam sebuah koleksi
hadis, maka hadis tersebut tidak eksis pada saat koleksi hadis tersebut dibuat.
Dengan kata lain, bila seorang periwayat hadis pada waktu tertentu tidak cermat
terhadap adanya suatu hadis dan gagal menyebutkannya atau jika satu hadis
diceritakan oleh ulama atau periwayat yang datang kemudian yang mana periwayat
sebelumnya tidak mengunakan hadis tersebut, maka berarti hadis itu tidak pernah
ada. Dengan kata lain, untuk membuktikan hadis itu eksis atau tidak , cukup
dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil
dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu pernah ada, pasti
akan dijadikan sebagai referensi.[28]
G.H.A. Juynboll, orientalis kelahiran Belanda
tahun 1935 M,[29]
yang mengembangkan teori common link milik Joseph Schacht, menjelaskan
bahwa teori common link adalah istilah untuk seorang periwayat hadis
yang mendengar suatu hadis dari seorang yang otoritatif lalu ia menyandarkannya
kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan
lagi kepada dua atau lebih muridnya. Periwayat tersebut adalah periwayat
pertama (periwayat tertua) yang disebut dalam isnad yang meneruskan hadis
kepada lebih dari satu murid. Menurut teori common link, hadis merupakan
buatan periwayat (common link) yang kemudian disandarkan kepada generasi
sebelumnya yang otoritatif dan sterusnya hingga sampai kepada Nabi. Hadis-hadis
tersebut selanjutnya disampaikan kepada generasi berikutnya dalam jumlah
periwayat yang banyak pada tiap tingkatan isnadnya. Karena itu, hampir seluruh
hadis adalah palsu, dibuat oleh periwayat yang terlibat sebagai common link
yang berasal dari generasi tabi’in dan tabi’it tabi’in, atau bahkan generasi
berikutnya.[30]
Harald Motzki, orientalis kelahiran Jerman
tahun 1948 M,[31]
dengan teori yang dikembangkannya, yaitu dating dan isnad cum matn
analysis. Teori dating (penanggalan) adalah teori yang digunakan
untuk menaksir umur dan asal muasal sebuah sumber sejarah melalui kritik
sejarah modern berupa kritik sumber (source criticism) yang bertujuan
untuk merekonstruksi peristiwa masa awal Islam. Dengan mengetahui kapan sebuah
dokumen dibuat atau ditulis, pada akhirnya dapat dinilai kebenaran
kandungannya. Teori dating berdasar asumsi bahwa suatu dokumen sejarah
tunduk pada model penelitian sejarah. Salah satu substansi penelitian sejarah
adalah melakukan rekonstruksi sejarah melalui penanggalan dokumen yang
diperlukan untuk menentukan umur dan asal muasal sebuah sumber sejarah. Adapun
teori isnad cum matn analysis adalah teori penanggalan hadis melalui
analisis dan penelaahan kjalur-jalur periwayatan dengan menghimpun dan
membandingkan variasi teks hadis secara bersamaan. Perbandingan antara matan
dan isnad tersebut akan membantu menentukan siapa yang menjadi tokoh kunci yang
ada secara historis sebagai common link atau partial common link.[32]
Nabia Abbot, orientalis kelahiran Turki tahun
1897,[33]
yang mengembangkan teori explosive isnad dan isnad family dan non-family.
Teori explosive isnad (ledakan sanad) menjelaskan terjadinya periwayatan
hadis secara besar-besaran yang dilakukan oleh banyak periwayat hadis sejak
abad pertama hingga ketiga Hijriah. Teori ini berdasar pada fakta bahwa
terdapat satu sampai dua ribu nama sahabat dan tabi’in yang terlibat dalam
periwayatan hadis, di mana masing-masing mereka meriwayatkan rata-rata dua
sampai lima hadis, dan hal tersebut menunjukkan perkiraan jumlah hadis yang
dibukukan pada abad ketiga Hijriah. Sedangkan teori isnad family adalah
periwayatan hadis yang melibatkan hubungan antara anggota keluarga dan teman
karib, yang biasanya disusun dengan formula so-and-so, yaitu periwayatan
hadis yang bersumber dari ayah dan dari kakek dan seterusnya.[34]
Beberapa teori yang dikemukakan oleh para
orientalis seperti projecting back, common link, dating, isnad
cum matn analysis, explosive isnad, dan isnad family ternyata
mempunyai koneksi yang satu dengan yang lain. Teori projecting back yang
digagas oleh Joseph Schacht mempunyai hubungan dengan teori common link
yang dielaborasi dan dikembangkan oleh G.H.A. Juynboll. Demikian pula teori dating
dan isnad cum matn analysis yang dikembangkan oleh Harald Motzki
tidak bisa dilepaskan dari teori-teori sebelumnya, meskipun kesimpulan yang
diperoleh tidak mesti sama dengan para orientalis sebelumnya itu. Hal serupa
terjadi pada teori explosive isnad dan isnad family yang diusung
oleh Nabia Abbot mempunyai koneksi dengan teori-teori sebelumnya dengan hasil
atau kesimpulan yang juga tidak mesti sama dengan pendahulunya.[35]
Selain itu, para orientalis juga perlu dilihat
dari motivasi dan kepentingan mereka, khususnya motivasi yang non-akademik. Ada
di antara mereka yang mengkaji Islam atas dasar mencari sponsor dan grand
yang seakan-akan mereka mendagangkan hasil karya mereka. Ada yang membawa
motivasi keagamaan mereka sebagaimana Goldziher pada agama Yahudi. Ada pula
dengan ambisi politik mereka seperti Hurgronje bagi kolonialisme. Dan bahkan
ada pula yang disebabkan kebencian politiknya terhadap kaum muslim yang
dijuluki “the dog of a Turk”.[36]
Landasan semacam ini juga menurut Edward Said disebabkan oleh penciptaan oleh
Barat yang mendeskripsikan dunia Timur sebagai sesuatu yang bersifat irasional,
lemah, feminim, dan asing. Berlawanan dengan apa yang mereka sebut sebagai diri
mereka sendiri yang rasional, kuat, maskulin, dan Barat.[37]
Atas dasar pandangan tersebut, sangat rentan motivasi non-akademik yang
menyebabkan mereka seringkali memberikan pernyataan yang menyudutkan Islam
meskipun tidak semuanya, sebagaimana orientalis pada era akhir-akhir ini.
Pendekatan Tradisional dan Pendekatan
Revisionis
Selain motivasi
dan kepentingan yang berbeda, penyebab perbedaan pandangan para orientalis
adalah pendekatan yang mereka gunakan dalam mengkaji hadis. Menurut J. Koren
dan Y.D. Nevo, terdapat dua pendekatan yang telah berkembang hingga saat ini. Pendekatan pertama yang dinamakan pendekatan "tradisional" membatasi bidang
penelitiannya pada sumber-sumber Islam dan mengujinya dengan cara yang sesuai dengan berbagai
asumsi dan tradisi keilmuan Islam. Sedangkan pendekatan kedua yang disebutnya sebagai pendekatan "revisionist" dalam menganalisa
berbagai literatur Islam menggunakan
metode kritik sumber (source-critical methods) dan juga menjadikan literatur non-Arab kontemporer,
temuan-temuan arkeologi, epigrafi, dan numismatik sebagai bukti sejarah yang pada umumnya tidak dikaji oleh aliran tradisional.[38]
Dilihat
dari pandangan orientalis di atas, dapat dipetakan mereka dalam dua kelompok
atau aliran. Tiga tokoh pertama, yakni Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan
G.H.A. Juynboll bisa dikategorikan dalam kelompok revisionis. Ini dikarenakan
mereka memandang sumber-sumber dari kalangan Islam dengan daya kritis dan
skeptis yang begitu tinggi. Mereka tidak begitu saja mempercayai keotentikannya
sebelum terbukti bahwa sumber itu benar-benar teruji dengan metode kritik
sumber.[39]
Berbeda dengan Nabia Abbot dan Harald Motzki, ditambah dengan M.M. A’zami yang
selalu berusaha membantah pendapat kelompok revisionis, mereka adalah peneliti
hadis aliran tradisional. Dikarenakan dalam mengjaki hadis, mereka berangkat
dari asumsi dasar maupun metode keilmuan Islam, khususnya metode ilmu hadis
sendiri. Dalam berbagai karya mereka, mereka bisa dikatakan tidak pernah
mengkritik sumber-sumber Islam. Para peneliti tersebut begitu saja mempercayai
apa yang dikatakan, diriwayatkan, ditafsirkan, dan ditulis ole generasi Islam
awal.[40]
Baca Juga: Pemikiran Hadis Aliran Ahmadiyah
Pendekatan
tradisional dengan asumsi dan metodenya telah membuktikan kesahihan hadis
disertai dengan argumen yang cukup meyakinkan. Sama halnya perpektif revisionis
dengan postulat dan caranya sendiri merevisi kesimpulan aliran tradisional
tentang keaslian hadis dan lebih cenderung memandang hadis sebagai produk
generasi muslim belakangan.[41]
Kedua pandangan ini bukan hanya berbeda, melainkan bertolakbelakang satu sama
lain. Dan menurut penulis kedua pandangan ini tidak perlu dipaksakan untuk
dipertemukan. Selain untuk menambah wawasan, pandangan-pandangan mereka juga
dapat memancing dan meningkatkan pemikiran kritis bagi para pengkaji hadis masa
sekarang dan masa yang akan datang.
Daftar Pustaka
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2015)
Asror, Miftahul, and Imam Musbikin, Membedah Hadis Nabi
SAW: Kaidah Dan Sarana Studi Hadits Serta Pemahamannya (Yogyakarta: Jaya
Star Nine, 2015)
Darmalaksana, Wahyudin, Hadis Di Mata Orientalis: Telaah
Atas Pandangan Ignaz Goldziher Dan Joseph Schacht (Bandung: Benang Merah
Press, 2004)
Idri, Hadis Dan Orientalis: Perspektif Ulama Hadis Dan
Orientalis Tentang Hadis Nabi (Depok: KENCANA, 2017)
Masrur, Ali, ‘Diskursus Metodologi Studi Hadis Kontemporer
Analisa Komparatif Antara Pendekatan Tradisional Dan Pendekatan Revisionis’, 1
(2012)
Syarifuddin, Mohammad Anwar, ‘Al-Qur’an Dan Hadis Dalam
Kajian Kesarjanaan Barat’, Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur’an Dan Hadis,
2012.
[3] Wahyudin Darmalaksana, Hadis Di Mata Orientalis: Telaah Atas Pandangan Ignaz Goldziher Dan
Joseph Schacht (Bandung: Benang Merah Press, 2004). Hlm. 88.
[4] Idri, Hadis Dan
Orientalis: Perspektif Ulama Hadis Dan Orientalis Tentang Hadis Nabi
(Depok: KENCANA, 2017). Hlm.
62.
[8] Mohammad Anwar Syarifuddin, ‘Al-Qur’an Dan Hadis Dalam
Kajian Kesarjanaan Barat’, Kajian
Orientalis Terhadap Al-Qur’an Dan Hadis, 2012. Hlm. 21.
[29] Miftahul Asror and Imam Musbikin, Membedah Hadis Nabi SAW: Kaidah Dan Sarana Studi Hadits Serta
Pemahamannya (Yogyakarta: Jaya Star Nine, 2015). Hlm. 542.
[38] Ali Masrur, ‘Diskursus Metodologi Studi Hadis
Kontemporer Analisa Komparatif Antara Pendekatan Tradisional Dan Pendekatan
Revisionis’, 1.2 (2012). Hlm.
238.
[41] Ali Masrur, ‘Diskursus Metodologi Studi Hadis
Kontemporer Analisa Komparatif Antara Pendekatan Tradisional Dan Pendekatan
Revisionis’, 1.2 (2012). Hlm.
248.
0 komentar:
Post a Comment