Mirza Ghulam Ahmad, .wikimedia.org |
Pendahuluan
Ahmadiyah merupakan salah satu aliran dalam
Islam yang cukup populer dan menuai banyak kontroversi. Aliran ini muncul di
daerah India yang dibawakan oleh tokohnya yakni Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah
memiliki dua madzhab besar yang tersebar di seluruh dunia. Madzhab itu berupa
madzhab Qodian dan madzhab Lahore.
Aliran ini cukup menyebar ke seluruh dunia,
termasuk di Indonesia. Di Indonesia pun, aliran ini banyak mengalami pasang
surut akibat sikap dari masyarakat sekitar yang menerima dan menolaknya. Dalam
kajian hadis, Ahmadiyah juga mempunyai pandangan yang berbeda terhadapnya
dikarenakan terpengaruh pemikiran pokok dalam aliran ini.
Sejarah Berdirinya Ahmadiyah
Ahmadiyah merupakan suatu gerakan yang dididrikan oleh Mirza Ghulam
Ahmad di Qadian, Punjab, India pada tanggal 23 Maret 1889. Ajaran dari gerakan
ini sendiri dianggap menyimpang oleh muslim sunni ortodoks dikarenakan tiga
hal, yakni penyaliban Nabi Isa a. s. dan wafatnya, al-Mahdi dan al-Masih yang
dijanjikan kemunculannya di akhir zaman, dan mengenai Khatamun Nabiyyin.[1]
Setelah Mirza ghulam Ahmad wafat pada tahun 1908, jemaat Ahmadiyah
yang dipimpin oleh Hakim Nuruddin sampai tahun 1914. Setelah meninggalnya Hakim
Nuruddin, Ahmadiyah terpecah menjadi dua golongan, yakni Ahmadiyah Qadian dan
Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qadian beranggapan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
nabi, sedang Ahmadiyah Lahore menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid,
bukan seorang nabi. pecahnya Ahmadiyah ini dikarenakan ketidaksetujuan Gubernur
Lahore mengenai pengangkatan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad sebagai khalifah
Ahmadiyah kedua.[2]
Biografi Mirza Ghulam Ahmad
Pendiri jemaat Ahmadiyah bernama Hazrat Mirza Ghualm Ahmad. Nama
asli beliau hanyalah Ghulam Ahmad, dan kata Mirza merupakan marga beliau
sebagai keturunan Moghul. Sedang beliau memanggil dirinya sendiri dengan
menggunakan nama Ahmad. Ghulam Ahmad lahir pada tanggal 13 Februari 1835 M atau
bertepatan dengan 14 Syawal 1250 H, pada hari Jum’at subuh di rumah Mirza
Ghulam Murtaza (ayahnya) di desa Qadian, Punjab, India. Beliau terlahir sebagai
anak kembar dengan saudarinya yang meninggal tidak berselang lama setelah
dilahirkan.[3]
Desa Qadian sendiri sangat berkaitan erat dengan latar belakang
Ghulam Ahmad yang merupakan keturunan kerajaan. Ayah dari Ghulam Ahmad yang
merupakan tabib profesional dan terpandang memiliki kedudukan yang baik di
kerajaan, termasuk di mata Maharaja Ranjit Singh. Namun tiga tahun setelah
kelahirannya, Maharaja Ranjit Singh meninggal dan menyebabkan kelemahan pada
kerajaan Singh. Dan tidak lama kemudian terjadi pergolakan politik sangat
dahsyat, yang berujung kepada pendudukan Punjab oleh Inggris, dan menyebabkan
perguncangan pula di internal keluarga Ghulam Ahmad.[4]
Meskipun keadaan disekitar Ghulam Ahmad kecil sangat berantakan,
namun ayahnya tetap serius memperhatikan keilmuan sang anak. Hal ini dibuktikan
dengan beberapa pendidikan privat yang beliau dapatkan ketika kecil, antara
lain dari Fazal Ilahi yang mengajarkan al-Qur’an dan kitab-kitab berbahasa
Persi, Fazal Ahmad yang mengajarkan Nahwu, Sharaf dan lain-lain. Ayahnya
sendiri langsung mengajarkan ilmu ketabiban kepada Ghulam Ahmad, karena ayahnya
merupakan tabib yang handal.[5]
Namun tidak ditemukan penjelasan apapun mengenai pembelajaran formal yang
beliau lalui, seperti halnya kalam, filasafat, sufisme dan lain sejenisnya.
Walaupun begitu perkembangan intelektual dan spiritual beliau sangatlah
fenomenal.[6]
Mirza Ghulam Ahmad sendiri dijuluki raja pena dari Qadian[7],
dikarenakan kegemaran beliau yang menulis, terutama artikel. Artikel beliau
sendiri berisi berbagai jenis tulisan, seperti halnya pembelaan yang ditujukan
kepada orang Nashrani dan kaum Arya Samaj yang menyerang ajaran-ajaran dalam
Islam di berbagai media masa pada era tersebut.[8]
Tahun 1880 M, Ghulam Ahmad menulis buku berjudul Barahin Ahmadiyah dalam
5 jilid. Jilid I dan II
terbit pada tahun 1880, jilid III tahun 1882, dan jilid IV dan V pada tahun
1905. Barahin Ahmadiyah sendiri berisi tentang jawaban tuduhan, cemoohan
yang ditujukan kepada Islam, dasar-dasar keimanan pengikut agama lain selain
Islam, dan penjelasan keunggulan al-Qur’an dan rahasia firman Allah swt. Buku
ini juga memuat penjelasan keunggulan-keunggulan ajaran Islam dan tingginya
derajat al-Qur’an dibanding ajaran agama Nashrani, Arya Samaj, Hindu, dan agama
lainnya.[9]
Buku Barahin Ahmadiyah-nya juga berisi
mengenai pengakuan Ghulam Ahmad sebagai mujaddid (pembaharu). Tahun 1883
sendiri Ghulam Ahmad sangatlah terkenal di kalangan kaum muslim, dan banyak
dari mereka yang berkeinginan untuk berbai’at sebagai muridnya, namun Ghulam
Ahmad menolak dikarenakan belum mendapatkan ilham Allah mengenai bai’at. Tidak
berselang lama, Ghulam Ahmad melakukan pembai’atan pertama pada tanggal 23
Maret 1889 dengan 40 orang di dalamnya, dengan dasar bahwa Ghulam Ahmad telah
mendapat ilham dari Allah untuk mengambil bai’at.[10]
Pada hari tersebut juga merupakan hari pertama berdirinya al-Jama’ah
al-Islamiyah al-Ahmadiyah (Jamaah Islam Ahmadiyah).
Pada tahun 1889, Ghulam Ahmad mengaku mendapat
wahyu dalam bentuk bahasa Urdu yang menyebutkan bahwa Nabi Isa a. s. telah
wafat, dan al-Masih yang dijanjikan kedatangannya kepada umat Islam adalah
Ghulam Ahmad sendiri.[11]
Ghulam Ahmad menyatakan bahwa ia merupakan seorang nabi, namun bukan nabi yang
membawa syari’at, melainkan menghidupkan kembali Islam dan menyatukan semua
agama dalam naungan Islam, dan juga bertugas menyelematkan manusia.[12]
Setelah pengeluaran pernyataan tersebut, terjadi pro kontra yang sangat panas
antara umat beragama di India, terlebih pemeluk Islam dan Nasrani. Hal ini
dikarenakan perbedaan pemahaman yang sangat fatal antara pihak Ahmadiyah dan
pihak lainnya. Ghulam Ahmad sendiri wafat pada tanggal 26 Mei 1908 dengan
meninggalkan istri dan 5 orang anak.[13]
Meskipun Ghulam Ahmad membawahi jemaat
Ahmadiyah yang saat itu mengundang banyak perhatian masyarakat, namun juga akan
timbul pula berbagai kontroversi mengenai dirinya. Salah satunya adalah
disampaikan oleh Ihsan Ilahi Dzahir dalam buku Ahmadiah Qodianiyah-nya.
Beliau menyampaikan bahwa Ahmadiyah yang dipimpin oleh Ghulam Ahmad adalah antek
penjajah Inggris. Salah satu dasarnya adalah pengakuan Ghulam Ahmad sendiri
yang termuat dalam Tabligh Risalah.[14]
Pengakuan tersebut berbunyi, “Orang yang paling banyak bergabung dengan
aliranku adalah para pegawai pemerinta Inggris, para pejabat tinggi, para
pemimpin dan pengusaha, jaksa dan pelajar yang belajar di Inggris, ulam dan
orang terhormat, semua orang yang memberikan pelayanan terhadap Inggris, dan
intinya gerakan ini berdiri atas jasa gurunya, Inggris, dan mendapat restunya.
Saya dan segenap ulama menjelaskan kepada orang-orang tentang kebaikan-kebaikan
pemerintahan ini (Inggris) dan meyakinkan ribuan hati manusia. ”[15]
Bahkan dalam pengantar buku tersebut, Syekh
Athiyah Muhammad Salim menyebutkan bahwa Ghulam Ahmad adalah penipu dan
penyesat dengan kedok agama.[16]
Muhammad Iqbal dalam buku Islam dan Ahmadiyyah-nya sendiri menyebutkan
bahwa fungsi Ahmadiyah dalam sejarah pemikiran keagamaan adalah memberikan
landasan wahyu bagi penundukan politik di India pada eranya. Muhammad Iqbal
berani menagatakan bahwa pendiri gerakan (Mirza Ghulam Ahmad) memang
benar-benar mendengar suara; namun apakah itu suara yang benar-benar datang
dari Allah swt. atau hanyalah suara yang timbul dari kemiskinan spiritual sang
pendiri jemaat.[17]
Namun meskipun, Muhammad Iqbal menghimbau agar tidak merong-rong gerakan
Ahmadiyah, dan menganggap mereka sebagai gerakan sempalan.[18]
Pokok dan Doktrin Aliran Ahmadiyah
Meski
mereka meyakini kenabian nabi-nabi dalam Islam, golongan Ahmadiyah meyakini
bahwa ‘Nabi’ Ghulam Ahmad adalah al-Masih yang dijanjikan kedatangannya, dan
dia lebih baik daripada para nabi Ulul Azmi. Ghulam Ahmad datang dengan
wahyunya sendiri. Para pengikut Ahmadiyah harus meyakini bahwa ucapan Ghulam
Ahmad berasal dari wahyu Allah.[19]
1. Masalah
al-Mahdi dan al-Masih
Menurut Ahmadiyah, doktrin
al-Mahdi tidak dapat dipisahkan dari masalah kedatangan al-Masih di akhir
Zaman. Hal itu karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu tokoh yang
kedatangannya dijanjikan Tuhan.
Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan Bukhari, Dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Nabi bersabda:
Bagaimana kamu jika Ibnu Maryam turun di dalam, di
antara, kamu, dan menjadi imam kamu, dari antara kamu”.
Ahmadiyah memahami bahwa
kata-kata “… dan menjadi imam kamu, dari antara kamu” menunjukkan seseorang di
antara umat Islam sendiri. Artinya, bukan seorang imam yang datang dari luar
umat Islam, misalnya dari Bani Israil. Dengan demikian, al-Masih yang akan
datang di akhir zaman bukanlah Nabi Isa dan dalam pandangan Ahmadiyah, al-Masih
tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad.
2. Masalah
Mujaddid (Pembaharu)
Menurut Ahmadiyah (Lahore)
Istilah pembaruan atau tajdid mempunyai pengertian
mengembalikan umat Islam kepada pangkal kebenaran Islam. Caranya adalah dengan
melenyapkan kesesatan-kesesatan yang menyerbu umat Islam, menghidupkan iman
umat Islam yang sedang surut dan memancarkan penerangan baru tentang kebenaran
Islam yang sesuai dengan tuntunan Zaman.
3. Masalah
kematian Nabi Isa
Menurut Mirza Ghulam Ahmad,
Nabi Isa adalah manusia biasa yang meninggal secara wajar dan dikubur di
Srinaga, Kashmir. Artinya, Nabi Isa tidak mati di tiang salib sebagaimana yang
menjadi kepercayaan umat Kristiani.
4. Masalah
Wahyu
Keberadaan wahyu tidak hanya
terbatas sampai pada Nabi Muhammad Saw. setelah Nabi wafat wahyu Tuhan masih
akan tetap turun, dan bahkan sampai hari akhir. Wahyu tidak hanya diperuntukkan
bagi para Nabi dan Rasul, tetapi juga untuk manusia, binatang, dan bahkan benda
mati.
5. Masalah
kenabian
Terhadap doktrin ini, kedua
aliran Ahmadiyah berbeda pandangan. Bagi Ahmadiyah Qodian, Mirza Ghulam Ahmad
adalah seorang Nabi, dan barangsiapa tidak berbaiat berbarti kafir. Nabi yang
dimaksud adalah nabi buruzi. Artinya nabi yang tidak membawa
syari’at. Sedangkan Ahmadiyah Lahore menyatakan bahwa Mirza ghulam ahmad adalah
seorang Mujaddid bukan Nabi. Karena itu bagi kaum muslim yang tidak berbai’at
padanya bukanlah kafir.
6. Masalah
Khilafah
Sebagaimana pandangan terhadap kenabian,
terhadap masalah kekhilafahan, kedua aliran ini juga berbeda pandangan. Menurut
Lahore, setelah al-khulafa ar-Rasyidin sudah tidak ada lagi
khalifah, yang ada adalah mujaddid. Sementara menurut Qodian, semua nabi adalah
khalifah Allah, termasuk Mirza Ghulam ahmad. Menurut Qodian, setelah al-Khulafa
ar-Rasyidun masih akan tetap muncul khalifah, yakni khalifah (rohani), khalifah
yang muncul setelah meninggalnya Mirza Ghulam Ahmad dengan sebutan khalifah
Masih.
7. Masalah
Jihad
Jihad dalam hal ini bukan
perang, melainkan diartikan menyebarkan ajaran Islam dengan pena dan lisan dan
memerangi hawa nafsu. Dalam kaitannya dengan pemerintah, Ahmadiyah berpandangan
bahwa umat Islam harus setia dan taat meski terhadap pemerintah penjajah.
Hadis dan Sunnah dalam Pandangan Ahmadiyah
Dalam pembahasan ini akan dikemukakan
pandangan salah satuh tokoh aliran Ahmadiyah yakni Maulana Muhammad Ali
mengenai Hadis dan Sunnah. Menurut Maulana Muhammad Ali, sunnah secara bahasa
adalah jalan, aturan, cara bertindak, atau tingkah laku. Sdangkan hadis makna
aslinya adalah ucapan yang disampaikan kepada manusia baik melalui perantara
pendengaran maupun melalui wahyu.
Berdasarkan pada makna bahasa
ini, Maulana Muhammad Ali mendefinisikan sunnah sebagai perbuatan Nabi Muhammad
saw, sedangkan hadis adalah sabda Nabi. Akan tetapi, pada hakikatnya keduanya
memiliki wilayah yang sama dan dapat diterapkan baik pada perbuatan, tingkah
laku, dan ucapan Nabi Muhammad saw, karena hadis itu meriwayatkan dan mencatat
sunnah Nabi saw. selain mengandung tiga bagian tersebut, Maulana Muhammad Ali
menambah dua unsure yang terdapat dalam hadis yaitu ramalan-ramalan dan
sejarah.
Maulana Muhammad Ali membagi
sunnah dalam tiga macam. Pertama, Sunnah yang berbentuk qaul, yaitu
sebuah ucapan atau kata dari Nabi Muhammad saw, dan ini menurut Maulana
Muhammad memiliki ketegasan dalam masalah agama. Kedua. Berbentuk
sebuahfi’il yaitu berupa perbuatan atau praktik Nabi saw. dan terakhir berbentuk taqrir,
yaitu berupa diamnya nabi sebagai tanda persetujuan terhadap perbuatan atau
praktik dari orang lain.
Maulana Muhammad Ali tidak
berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa hadis menempati
posisi kedua setelah al-Qur’an. Dalam masalah ushul dan furu’syari’at.
Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa semua hal ushul telah
dijelaskan secara lengkap oleh al-Qur’an, sedangkan masalah furu’ sangat
terbatas. Oleh karena itu, hadis mempunyai peran dalam menjabarkan al-Qur’an
terutama dalam masalah furu’. Sebagai konsekuensi dari posisi hadis
sebagai sumber kedua ajaran Islam, maka seancainya terdapat hadis yang
kelihatannya bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan hal tersebut merupakanfuru’ maka
hadis tersebut harus tunduk kepada yang ushul (prinsip) yaitu
al-Qur’an. Dan jika secara jelas bertentangan dengan al-Qur’an maka harus
ditolah hadis tersebut.[21]
Baca Juga: Pemikiran Dr Shidqi Muhammad
Adapun dalam menilai kualitas
sebuah hadis Maulana Muhammad Ali menerima dan menganggap hasil penelitian dua
ulama besar dalam bidang hadis yaitu Imam al-Bukhari dan Imam Muslim tidak perlu
dipertanyakan lagi keshahihannya.[22]
Daftar Pustaka
Adamson, Iain. 2010. Mirza Ghulam
Ahmad dari Qadian (Yogyakarta: Pustaka Marwa).
Ahmad, Mirza Ghulam. 2000. Al-Wassiyat. terj. Tim Ahmadiyah (Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia).
Burhanuddin, Asep. 2005. Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta).
Dzahir, Ihsan Ilahi. 2008. Ahmadiah Qodianiyah. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.
Iqbal, Muhammad. 1991. Islam dan
Ahmadiyyah (Jakarta: Bumi
Aksara).
Ismail, A. Qusyairi dkk,. 2012. Trilogi Ahlussunah,
Akidah, Syari’ah dan Tasawuf.(Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri).
Mangunsong, Nurainun. 2012. Ahmadiyah dan Hak
Berkeyakinan di Indonesia. (Bandung: Penerbit Nusa Media).
Nasution, Moh.
Zen Ridwan. 2012. Hadis Nuzul Isa Al-Masih dalam Pandangan Ahmadiyah
Lahore (Studi Atas Pemikiran Maulana Muhammad Ali). Skripsi (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga)
Sari, Gita Permata. 2012. Perkembangan Organisasi Ahmadiyah di Indonesia Pada Tahun 1928-1968. Skripsi (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta).
[1] Gita Permata Sari, Perkembangan Organisasi Ahmadiyah
di Indonesia Pada Tahun 1928-1968, Skripsi (Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2012), hlm. 5.
[2] Gita Permata Sari, Perkembangan Organisasi Ahmadiyah
di Indonesia Pada Tahun 1928-1968, Skripsi, hlm. 5-6.
[3] Iain Adamson, Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian
(Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010), hlm. 19.
[4]
Iain Adamson, Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, hlm. 20.
[5] Mirza Ghulam Ahmad, Al-Wassiyat, terj. Tim
Ahmadiyah (Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2000), hlm. 24.
[6]
Iain Adamson, Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, hlm. 21-22.
[7]
Merupakan judul kata pengantar Ahmad Saifudin Mutaqi MJ (Ketua Jemaat Ahmadiyah
Yogyakarta) dalam Mirza Ghulam Ahmad Dari Qadian karya Iain Adamson.
[8]
Asep Burhanuddin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan (Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta, 2005), hlm. 35.
[9]
Asep Burhanuddin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan, hlm. 35.
[10]
Iain Adamson, Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, hlm. 34-35.
[11] Mirza Ghulam Ahmad, Al-Wassiyat, terj. Tim
Ahmadiyah, hlm. 24.
[12] Iain Adamson, Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian,
hlm. 41.
[13] Mirza Ghulam Ahmad, Al-Wassiyat, terj. Tim
Ahmadiyah, hlm. 24.
[14] Penjelasan Ghulam Ahmad dalam mukaddimah kepada
pemerintah Inggris di wilayah Punjab. Di muat dalam juz VII, hlm. 18.
[15] Ihsan Ilahi Dzahir, Ahmadiah Qodianiyah, hlm. 6-7.
[16] Ihsan Ilahi Dzahir, Ahmadiah Qodianiyah, hlm. xx.
[17] Muhammad Iqbal, Islam dan Ahmadiyyah (Jakarta:
Bumi Aksara, 1991), hlm. 23.
[18] Muhammad Iqbal, Islam dan Ahmadiyyah, hlm. 58.
[19] A.
Qusyairi Ismail, dkk, Trilogi Ahlussunah, Akidah, Syari’ah dan Tasawuf.(Pasuruan:
Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren sidogiri, 2012), hlm. 176-177.
[20] Nurainun
Mangunsong, Sh., M.Hum, Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan di
Indonesia. (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2012), hlm. Ix-xi.
[21] Moh. Zen Ridwan Nasution, Hadis Nuzul
Isa Al-Masih Dalam Pandangan Ahmadiyah Lahore (Studi Atas Pemikiran Maulana
Muhammad Ali), Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012, hlm.
41-42.
0 komentar:
Post a Comment