![]() |
Al-Ushul al-’Isyrun (20 ajaran dasar) Fundamentalisme (Hasan al-Banna), mmc.tirto.id |
Puji syukur kami ucapkan kepada
Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayahNya sehingga makalah
dengan tema Al-Ushul al-’Isyrun (20 ajaran dasar) fundamentalisme (Hasan
al-Banna) ini dapat tersusun dengan lancar.
Atas dukungan moral
maupun materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka kami
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak
Dr. H. Hamim Ilyas, MA selaku Dosen Pembimbing mata kuliah Tauhid.
2. Teman-teman
Prodi Hukum Ekonomi Syariah kelas A.
Harapan
kami semoga makalah yang kami susun ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca.
Terlepas
dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah yang kami susun ini
masih terdapat kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik
yang membangun dari pembaca agar kami dapat menyempurnakan makalah ini.
Yogyakarta,
Oktober 2017
PENYUSUN
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. iii
1.1
LATAR BELAKANG .......................................................................
1.2. RUMUSAN MASALAH ..................................................................
1.3.
TUJUAN PENULISAN ....................................................................
BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................
2.1.
AL-USHUL AL-ISYRIN FUNDAMENTALISME (HASAN AL-BANNA)
BAB III PENUTUP .........................................................................................
3.1.
KESIMPULAN .................................................................................
3.2.
SARAN .............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imam
Hasan Al Banna adalah tokoh agama, ulama, dan pemimpin gerakan Islam Ikhwanul
Muslimin. Beliau dianggap sebagai pemimpin para Da’i (pendakwah) Islam dunia.
Imam Hasan Al Banna lahir di daerah perdesaan diwilayah Mahmudiyah (Mesir)
tahun 1906, putra seorang ulama besar Mesir. Sejak kecil telah akrab dengan
pendidikan Islam, pengkajian Alqur’an, hadist dan ilmu fiqih dengan berguru pada
orang tuanya. Kecerdasan otaknya dibuktikan dengan kemampuannya menghafal kitab
suci Alqur’an pada usia 14 tahun.
Prestasi Hasan Al-Banna tidak hanya dam ilmu keagamaan, tapi juga dalam pendidikan formal. Pada pendidikan menengah, ia lulus dengan predikat terbaik di sekolahnya dan lulusan terbaik nomor 5 di seantero Mesir. Ia kemudian melanjutkan ke Universitas Darul Ulum Mesir saat berumur 16 tahun dan lulus pada usia 21 tahun. Setelah tamat beliau berkiprah dalam dunia pendidikan sebagai tenaga pengajar di perguruan Isma’iliyah. Saat itu, dunia Islam masih mengalami masa krisis karena Dinasti Utsmaniyah (Turki) sebagai pusat kekuatan Islam dunia mengalami keruntuhan dan Turki dijadikan Negara sekuler oleh Mustafa Kemal Attaturk. tidak hanya itu, banyak tokoh Islam, Ulama besar, dan Pemuka agama dijebloskan dalam tahanan oeleh pemerintah sekuler Turki. Penjajahan dan imperalisme bangsa Eropa pun semakin meluas ke berbagai belahan dunia.
Melihat kenyataan tersebut, Hasan Al-Banna kemudian berjuang membangkitkan semangat, nasionalisme, dan ukhuwah Islamiyyah melalui dakwah dengan berbagai cara mulai dari kedai-kedai kopi, pengajian rutin dan mimbar-mimbar agama. Akhirnya Beliau bersama para pegikutnya mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin yang bergerak dalam bidang dakwah, social keagamaan, serta menggalang kekuatan politik. Upaya beliau kemudian mendapat sambutan luas di masyarakat Mesir dari berbagai kelangan mulai kalangan petani, buruh, pengusaha,intelektual, ilmuwan ulama dan praktisi social. Dakwah beliau tidak hanya dalam lingkup Mesir, namun sudah berskala internasional. Beliau juga dikenal dekat dengan ulma, dan tokoh-tokoh Indonesia. Ini terbukti ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Hasan al Banna segera menyatakan dukungannya dan melakukan kontak dengan ulama Indonesia. Bahkan Perdana Menteri M. Natsir pernah berpidato didepan rapat Ikhwanul Muslimin.
Prestasi Hasan Al-Banna tidak hanya dam ilmu keagamaan, tapi juga dalam pendidikan formal. Pada pendidikan menengah, ia lulus dengan predikat terbaik di sekolahnya dan lulusan terbaik nomor 5 di seantero Mesir. Ia kemudian melanjutkan ke Universitas Darul Ulum Mesir saat berumur 16 tahun dan lulus pada usia 21 tahun. Setelah tamat beliau berkiprah dalam dunia pendidikan sebagai tenaga pengajar di perguruan Isma’iliyah. Saat itu, dunia Islam masih mengalami masa krisis karena Dinasti Utsmaniyah (Turki) sebagai pusat kekuatan Islam dunia mengalami keruntuhan dan Turki dijadikan Negara sekuler oleh Mustafa Kemal Attaturk. tidak hanya itu, banyak tokoh Islam, Ulama besar, dan Pemuka agama dijebloskan dalam tahanan oeleh pemerintah sekuler Turki. Penjajahan dan imperalisme bangsa Eropa pun semakin meluas ke berbagai belahan dunia.
Melihat kenyataan tersebut, Hasan Al-Banna kemudian berjuang membangkitkan semangat, nasionalisme, dan ukhuwah Islamiyyah melalui dakwah dengan berbagai cara mulai dari kedai-kedai kopi, pengajian rutin dan mimbar-mimbar agama. Akhirnya Beliau bersama para pegikutnya mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin yang bergerak dalam bidang dakwah, social keagamaan, serta menggalang kekuatan politik. Upaya beliau kemudian mendapat sambutan luas di masyarakat Mesir dari berbagai kelangan mulai kalangan petani, buruh, pengusaha,intelektual, ilmuwan ulama dan praktisi social. Dakwah beliau tidak hanya dalam lingkup Mesir, namun sudah berskala internasional. Beliau juga dikenal dekat dengan ulma, dan tokoh-tokoh Indonesia. Ini terbukti ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Hasan al Banna segera menyatakan dukungannya dan melakukan kontak dengan ulama Indonesia. Bahkan Perdana Menteri M. Natsir pernah berpidato didepan rapat Ikhwanul Muslimin.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan makalah ini kami
membahas masalah yang berkaitan dengan Al-Ushul al-’Isyrun (20 ajaran dasar)
Fundamentalisme (Hasan al-Banna).
a. Apa itu Al-Ushul al-’Isyrun (20 ajaran dasar)
Fundamentalisme (Hasan al-Banna).
b. Memahami Al-Ushul al-’Isyrun (20
ajaran dasar) Fundamentalisme (Hasan
al-Banna).
1.3. Tujuan
Adapun
tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
a. Mengetahui
apa itu Al-Ushul al-’Isyrun Fundamentalisme (Hasan al-Banna).
b. Dapat
memahami Al-Ushul al-’Isyrun Fundamentalisme (Hasan al-Banna).
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Al-Ushul
al-’Isyrun (20 ajaran dasar) fundamentalisme (Hasan al-Banna
Secara
etimologis Ushul berarti “hal-hal pokok, hal-hal prinsip”, sedangkan ‘Isyrin
berarti “dua puluh”. Sedangkan secara terminologis Ushul ‘Isyrin dapat
diartikan sebagai 20 hal-hal yang prinsipil yang berisi hal-hal pokok
dalam beragama. Adapun Ushul ‘Isyrin adalah sebagai berikut ;
1. Kesempurnaan Islam
Islam
adalah sistem yang syamil (menyeluruh), mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam adalah negara dan pemerintah dan ummat. Akhlak dan kekuatan atau
rahmat dan keadilan. Pengetahuan dan undang!undang atau ilmu dan kehakiman.
kebendaan dan harta atau usaha dan kekayaan. jihad dan dakwah atau tentara dan
fikrah.Akidah yang lurus dan ibadah yang benar.
2. Memeperkenalkan
sumber-sumber hukum islam dan kaedah-kaedah
memahaminya
Al-Qur’an
dan Sunnah yang suci adalah rujukan setiap muslim dalam mengenali hukum-hukum
Islam. Al-Qur’an harus dipahami sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab,
tanpa takalluf (memaknakan suatu ayat hingga melampaui arti yang sewajarnya)
dan ta’assuf (serampangan).Sedangkan Sunnah yang suci harus dipahami melalui
para ahli hadits yang terpercaya.
3. Pengaruh iman, ibadah dan mujahadah
Keimanan
yang murni, ibadah yang benar, dan mujahadah (bersungguh-sungguh dalam
beribadah) adalah cahaya dan kelezatan yang Allah curahkan pada hati hamba-hamba-Nya
yang dia kehendaki.
4. Menggunakan sebab (sarana) selama bukan sarana jahiliyah
Jimat, jampi (ruqyah),
wada’ (semacam keong yang dikalungkan di leher anak kecil sebagai jimat), ramal
(meramal nasib dengan membuat garis di pasir), perdukunan, mengaku tahu akan
hal-hal ghaib, dan semisalnya adalah kemungkaran yang wajib diberantas.
Kecuali jimat yang berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an, nama-nama Allah, dan
sifat-sifatnya atau jampi yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW.
5. Pendapat
imam adalah pemutus masalah-masalah yang tidak ada nashnya dan yang membedakan
antara ibadah dengan kebiasaan
Pendapat imam (pimpinan) dan wakilnya tentang hal-hal
yang tidak ada teks hukumnya, hal-hal yang mengandung beragam interpretasi, dan
hal-hal yang membawa kemaslahatan umum (Al-Maslahah Al-Mursalah),
harus diamalkan sepanjang tidak bertentangan kaidah-kaidah syariat.
Pendapat tersebut mungkin akan berubaah sejalan
dengan situasi, adat, atau tradisi. Pada dasarnya ibadah adalah kepatuhan
total, tanpa mempertimbangkan makna-maknanya. Sedangkan adat istiadat (urusan
selain ibadah ritual) harus mempertimbangkan rahasia-rahasianya, hikmah,
maksud, dan tujuannya.
6. Neraca untuk menimbang pendapat-pendapat para ulama dan
tata etika kepada para pendahulu umat ini
Setiap
orang dapat ditolak ucapannya, kecuali Al-Ma’shum (Rasulullah SAW). Segala hal
yang datang dari para pendahulu yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, kita
terima. Bila tidak, maka Al-Qur’an dan Sunnah lebih utama untuk diikuti. Namun
demikian, kita tidak boleh mencaci maki dan menjelek-jelekkan pribadi
mereka (Ulama) dalam masalah-masalah yang masih diperselisihkan, serahkan saja
kepada niat mereka masing-masing. Sebab mereka telah mendapatkan apa yang telah
mereka kerjakan.
7. Ijtihad, taklid dan kemazhaban
Setiap
muslim yang belum mencapai kemampuan telaah terhadap dalil-dalil hukum furu’
(cabang), hendaklah mengikuti salah satu imam (Uama/pemimpin agama).
Namun
lebih baik lagi kalau sikap mengikuti tersebut diiringi dengan upaya semampunya
dalam memahami dalil-dalil yang dipergunakan oleh imamnya, dan hendaklah ia mau
menerima setiap masukan yang disertai dalil, bila ia percaya pada keshahihan
dan kapasitas orang yang memberi masukan tersebut.
Bila
ia termasuk ahli ilmu, maka hendaklah selalu berusaha menyempurnakan kekurangannya
dalam keilmuan, sehingga dapat mencapai derajat penelaah (mujtahid).
8. Perbedaan dalam masalah furu’ dan etika dalam perbedaan
Perbedaan
paham dalam masalah-masalah furu’ (cabang), hendaklah tidak menjadi faktor
perpecahan dalam agama, tidak menyebabkan permusuhan, dan tidak juga kebencian,
setiap mujtahid akan mendapatkan pahala masing-masing.
Tidak
ada larangan melakukan studi ilmiah yang jujur dalam persoalan-persoalan
khilafiyah (masalah-masalah fiqih yang masih diperselisihkan oleh para ulama),
dalam suasana saling mencintai karena Allah dan tolong-menolong untuk mencapai
kebenaran yang sebenarnya. Namun studi tersebut tidak boleh menyeret pada debat
yang tercela dan fanatik buta.
9. Mempersulit diri dalam beragama adalah dilarang
Memperdalam
pembahasan tentang masalah-masalah yang amal tidak dibangun di atasnya (tidak
menghasilkan amal nyata) adalah sikap takalluf (memaksakan diri) yang dilarang
Islam.
Misalnya
memperluas pembahasan tentang berbagai hukum bagi masalah-masalah yang tidak
benar-benar terjadi, memperbincangkan makna ayat-ayat Al-Qur’an yang belum
dijangkau oleh ilmu pengetahuan, perdebatan dalam membandingkan keutamaan
Sahabat RA, atau memperbincangkan perselisihan yang terjadi di antara mereka.
10. Iman kepada Allah dan sifat-sifat –Nya
Ma’rifah
(mengenal) Allah SWT, meng-Esa-kan-Nya, dan me-Maha Suci-kan-Nya adalah
setinggi-tingginya tingkatan aqidah Islam. Kita wajib mengimaninya sebagaimana
adanya, tanpa men-takwilkan dan tanpa pengingkaran (ta’thil) serta tidak perlu
memperuncing perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hal tersebut.
Kita
mencukupkan diri seperti apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para
sahabatnya, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami”. (Q.S.
Ali Imran: 7).
11. Bid’ah dalam agama Allah adalah kesesatan
Segala bentuk bid’ah dalam agama
yang tidak mempunyai dasar pijakan, tetapi dianggap bagus oleh hawa nafsu
manusia, baik berupa penambahan maupun pengurangan, adalah kesesatan yang
wajib diperangi dan diberantas dengan menggunakan cara yang
sebaik-baiknya, yang tidak menimbulkan kejelekan yang lebih parah.
12. Perbedaan dalam masalah bid’ah idlafiyah adalah perbedaan
dalam masalah fiqih
Bid’ah Idhafiyah (amalan
yang disyariatkan tanpa ada keterangan tentang tata caranya, lalu
dilakukan dengan cara-cara tertentu), terhadap ibadah-ibadah yang
muthlaqah (ibadah yang tidak ditentukan waktu, tempat, dan bilangannya) adalah
masalah khilafyyah dalam bab fiqih. Masing-masing orang mempunyai pendapat
dalam masalah tersebut. Namun tidak mengapa jika dilakukan penelitian untuk
sampai pada hakikatnya dengan dalil dan argumentasi.
13. Kriteria
mencintai orang-orang saleh, batas-batas kewalian dan hukum menetapkan karamah
bagi mereka
Mencintai
orang-orang shalih, menghormati mereka, dan memuji mereka karena amal-amal baik
mereka yang tampak adalah bagian dari taqarrub kepada Allah
SWT. Sedangkan para wali adalah orang-orang yang disebut dalam firman Allah
SWT, “Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka itu bertakwa”. Karamah yang
sesuai dengan syarat-syarat syariat itu benar adanya.
Namun harus diyakini bahwa
mereka (para wali) tidak memiliki mudharat maupun manfaat bagi diri mereka
sendiri, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia, apalagi bagi
orang lain.
14. Disyari’atkan ziarah
kubur dan bid’ah yang dimunculkan orang di dalamnya
Ziarah kubur adalah sunah yang disyariatkan dengan
cara-cara yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Akan tetapi, meminta pertolongan
kepada penghuni kubur, siapapun mereka berdoa kepadanya, memohon pemenuhan
hajat dari dekat maupun dari jauh, bernazar untuknya, membangun kuburnya,
menghiasinya, memberi penerangan, dan mengusapnya (untuk mengharap berkah),
juga bersumpah dengan selain Allah SWT dan segala bid’ah yang serupa dengannya
adalah dosa besar yang wajib diperangi.
15. Do’a dan tawasul
Berdoa
kepada Allah disertai tawassul (perantara) dengan salah satu makhluk-Nya adalah
perbedaan dalam masalah furu’ tentang tata cara berdoa, bukan termasuk masalah
aqidah.
16. Tradisi
dan adat istiadat dapat dijadikan landasan selama tidak mengubah
prinsip-prinsip syari’at
Tradisi yang salah tidak dapat mengubah hakikat arti
lafazh-lafazh dalam syariat. Kita harus mengkaji lafazh-lafazh syariat sesuai
makna yang dikandungnya dan mencukupkan diri dengannya. Sebagaimana kita juga
wajib berhati-hati terhadap berbagai istilah yang menipu dalam pembahasan
masalah-masalah dunia dan agama.
17. Akidah dan perbuatan hati
Aqidah adalah asas bagi
aktivitas, amal hati itu lebih penting daripada amal anggota badan. Namun,
upaya mencapai kesempurnaan pada kedua hal tersebut merupakan tuntutan syariat,
meskipun kadar tuntutan masing-masing berbeda.
18. Kedudukan akal, pengaruh dan batas wilayah kerjanya
Islam
itu membebaskan akal pikiran, menganjurkan untuk melakukan penelitian pada
alam, mengangkat derajat ilmu dan para ulama, dan menyambut kehadiran segala
sesuatu yang baik dan bermanfaat. Namun akal tidak boleh membahs tentang
berbagai hukum bagi masalah-masalah yang tidak benar-benar terjadi, karena itu
termasuk Mempersulit diri dalam beragama yang dimana hal itu di larang oleh
agama sebagaimana telah di jelaskn pada poin sebelumnya.
19. Syari’at lebih didahulukan daripada akal
Pandangan
syar’i dan pandangan logika memiliki wilayah sendiri-sendiri yang tidak dapat
saling memasuki secara sempurna. Namun demikian, keduanya tidak akan pernah
berbeda dalam hal-hal yang qath’i (absolut).Hakikat ilmiah yang benar tidak
mungkin bertentangan dengan kaidah syariat yang shahih
Sesuatu
yang masih bersifat zhanni (interpretable), harus ditafsiri agar sejalan dengan
qath’i. Bila kedua-duanya bersifat zhanni, maka pandangan syariat lebih utama
untuk diikuti, sampai logika mendapatkan legalitas kebenarannya, atau gugur
sama sekali.
20. Kriteria dan batas-batas pengkafiran menurut ahlul haqq
Kita tidak mengkafirkan
seorang muslim yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, mengamalkan
tuntutan-tuntutannya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya, baik karena
pendapatnya maupun kemaksiatannya, kecuali jika ia mengatakan kata-kata kufur,
atau mengingkari sesuatu yang telah diakui sebagai asas dari agama, atau
mendustakan ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah jelas maknanya, atau mentafsirkannya
dengan cara yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau melakukan suatu
perbuatan yang tidak mungkin diinterpretasikan kecuali kekufuran.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Al-Ushul
Al-Isyrin ditulis oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna sebagai jawaban atas kondisi
umat ketika Imam Syahid Hasan Al-Banna hidup, sehingga isinya adalah solusi
atau jawaban atas kondisi umat Islam Mesir pada waktu itu yang mengalami
perpecahan. Apabila seorang muslim memahami
ajaran agamanya dengan batasan kaidah-kaidah di atas, berarti ia telah
mengetahui makna syiarnya: ‘Al-Qur’an adalah dustur(undang-undang) kami
dan Rasul adalah qudwah(panutan) kami.” Namun
demikian, Ushul Isyrin masih relevan untuk umat islam pada zaman sekarang.
3.2. SARAN
Mengingat makalah ini sangatlah
jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang dapat menunjang
kesempurnaan akan kami terima dengan kelapangan dada.
3.3 DAFTAR FUSTAKA
1. Print out Dr.
H. Hamim Ilyas, MA
2. //mymurabbi.wordpress.com/2014/08/29/ushul-isyrin-20-prinsip/
3.
//id.scribd.com/doc/212249582/Ushul-Isyrin-20-Prinsip-Hasan-Al-Banna/
Baca Juga: Lima Ajaran Dasar Mu'tazilah
0 komentar:
Post a Comment