Mumammad Abduh, data:image |
Kata pengantar
Segala puji bagi Allah SWT yang
telah memberikan nikmat Iman dan Islam kepada kita semua, sehingga kita dapat
berkumpul dalam pertemuan yang InsyaAllah dimuliakan oleh Nya.
Shalawat serta Salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Kepada para sahabatnya
para Tabi’it Tabi’innya dan semoga kepada kita selaku ummatnya mendapatkan
syafa’atul udzma di Yaumil Jaza. Amin.
Sebelumnya kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada Ibu Zuhrotul Latifah S.Ag M.Hum selaku dosen yang telah
memberikan kami kesempatan menjelaskan mengenai Thoelogi Pemikiran Muhammad
Abduh. Suatu kebanggaan bagi kami yang telah diberi kepercayaan oleh Ibu
pengampu untuk menjelaskan hal tersebut.
Maka dari itu, kami sebagai pihak
yang diberikan tugas mencoba memaparkan beberapa ilmu yang kami ambil dari
beberapa sumber, dalam bentuk makalah yang akan kami presentasikan ini.
Dalam makalah ini terdapat beberapa
pelajaran penting yang wajib diketahui oleh kami khususnya dan mahasiswa pada
umumnya. Diantara materi yang akan kami bahas adalah: Riwayat hidup Muhammad
Abduh, Pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh. Mohon maaf bila terdapat kesalahan
baik dalam segi penulisan maupun dalam segi redaksi. Kritik dan saran sangat
kami harapkan.
Yogyakarta, 4
November 2017
Penulis
Daftar
isi
Kata
pengantar
Daftar isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
1.2 Rumusan masalah
Bab II Pembahasan
2.1 Riwayat hidup dan
Pendidikan Muhammad Abduh
2.2 Konsep
Pemikiran Muhammad Abduh
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Perkembangan modern dalam islam
menemukan momen-momen pada abad ke-19 meskipun dasar-dasarnya sudah muncul
sejak beberapa abad sebelumnya. Momentum yang dimaksud adalah adanya gerakan
politik dan intelektual yang mulai menjamah ke berbagai kawasan negeri-negri
islam. Pada kenyataannya suatu peradaban tidak lain adalah hasil akumulasi
perjalanan pergumulan pemeluk agama yang berdimensi historis dengan ajaran
wahyu yang bernilai normatif. Proses dialekstis antara keduanya berjalan dari
waktu ke waktu. Ada yang berjalan dengan cepat dan menghasilkan perubahan
besar, tetapi kalanya berjalan lambat dan membawa perubahan yang tidak begitu
berarti. Di antara faktor terpenting yang menentukan arus perubahan itu adalah
sejauh mana gerakan pembaruan dapat terimplementasi secara riil dalam
kehidupan.
Secara sederhana gerakan pembaruan
dalam islam atau biasa disebut tajdid, dapat diartikan sebagai upaya baik
secara individual atau kelompok. Gerakan pembaruan pada umumnya berpangkal pada
asumsi bahwa islam sebagai realitas sosial pada lingkungan tertentu sudah tidak
lagi relevan atau bahkan menyimpang dari apa yang dipandang sebagai islam
sesungguhnya. Sebagaimana tafsiran dalam islam ideal sangat dipengaruhi oleh
cara pandang, pendekatan, latar belakang sosia-kultural dan keagamaan
masing-masing pemabaru.
Di antara tokoh modernis terpenting
pada abadn ke-19 adalah Muhammad Abduh
(1849-1905). Dengan latar belakang lingkungan keluarga yang agamis ditambah
pendidikanny di Al-Azhar menjadikan Abduh memiliki wawasan ilmu-ilmu
tradisional keislaman yang kuat. Pemikiran Muhammad Abduh mentransformasikan
nilai-nilai agama. Sehingga muncul pemikiran yang rasionalitas dan membentuk
gagasan baru bahwa keberadaan akal sejajar dengan wahyu. Yang selanjutnya akan
dibahas pada bab berikutnya.
1.2 Rumusan masalah
1.
Riwayat Hidup dan
Pendidikan Muhammad Abduh
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui riwayat
hidup dan pendidikan Muhammad Abduh
2.
Mengetahui
bagaimana konsep pemikiran Muhammad Abduh
Bab
II
Pembahasan
2.1 Riwayat hidup dan Pendidikan Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan pada tahun
1849 M (1265 H) di Mahallah Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk Mesir
Hilir di propinsi Gharbiyyah. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Chairullah,
seorang berdarah Turki, sedangkan ibunya Junainah binti Utsman al-Kabir
mempunyai silsilah keluarga besar keturunan Umar bin Khattab.[1] Keluarga Abduh Chaiarullah
dikenal sangat kuat dalam menjalankan agama, dan inilah yang dijadikan pijakan
dalam membesarkan anak-anaknya.
Menulis dan membaca ia pelajari di
rumah. Kemudian ia menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan seorang guru yang
hafal kitab suci. Dalam masa dua tahun ia telah hafal Al-Qur’an. Pada tahun
1279 H (1863 M) ia dikirim orang tuanya ke Tanta.[2] Kemudian di Masjid Ahmadi,
Abduh merasa tidak mendapatkan sesuatu karena metode yang dipakai hanya
mementingkan hafalan saja, tidak diikuti dengan pemahaman. Sehingga ia memutuskan
untuk kembali ke Nasr. Ia menikah pada tahun 1282 H (1866 M). Setelah itu mulai
tahun 1866, Abduh memasuki Universitas al-Azhar di Cairo.[3]
Pengaruh intelektual paling besar
pada Abduh terjadi setelah ia bertemu Sayyid Jamaluddini al-Afghani. Al-Afghani
datang ke Mesir pada tahun 1871 dan sejak saat itu Abduh sangat antusias mengikuti
kuliah dan ceramah-ceramah yang diberikannya. Secara pribadi Abduh banyak
belajar dari al-Afghani terutama dalam bidang filsafat, logika, ilmu kalam
serta wawasan sosial dan politik. Pada 1877 ia berhasil lulus dari al-Azhar
dengan mendapat gelar kesarjanaan alim, suatu prestasi yang memberinya hak
untuk mengajar di universitas ini.[4]
Abduh termasuk mahasiswa yang paling
rajin dalam mencari pengetahuan di luar al-Azhar. Tidak mengherankan jika dalam
usia yang sangat muda ia sudah melahirkan karya ilmiah. Buku pertama yang
ditulisnya berjudul Risalah Al-Waridah, muncul pada tahun 1873 dan
terbit setahun kemudian yang isinya mengupas tentang kehidupan keagamaan yang
berbasis pengalamannya menjalani kehidupan tasawwuf.[5] Saat masih kuliah ia juga
menulis suatu kitab syarh atas syarh yang disebut kitab hasyiyah, yaitu Hasyiah
ala Syarh al-Dawwani ala al-Aqaid al-Adhudiyyah pada tahun 1873.[6] Karyanya yang ini
mencerminkan pemikiran yang mulai kritis terhadap produk pemikiran orang lain
sekaligus menunjukkan keberaniannya dalam memberikan penilaian, baik dari sisi
kelebihan maupun kekurangannya.
Meskipun hanya sedikit memberikan
pengaruh sosial, namun tulisannya itu sempat membuat heboh kalangan Ulama
al-Azhar. Ia dituduh menghidupkan kembali faham mu’tazilah, suatu aliran yang
sama sekali ditolak oleh al-Azhar zaman itu. Di luar pemikiran keagamaan, Abduh
juga mengembangkan wawasan sosial. Untuk pertama kalinya gagasan-gagasannya itu
ia tuangkan dalam sejumlah artikel dalam surat kabar al-Ahram. Pemikiran keagamaan
Abduh khususnya dalam bidang teologi mencapai kematangannya ketika ia
menghasilkan karya momumentalnya, Risalah at-Tauhid. Inilah suatu formula baru
bagaimana seorang pemikir abad ke-19 menyajikan konsep teologinya.
Muhammad Abduh juga memusatkan
perhatiannya pada pengajaran dan pendidikan bukan politik yang juga merupakan
tujuan hidupnya. Ia menulis bahwa tujuan hidupnya adalah :
1.
Membebaskan pemikiran
dari ikatan taklid dan memahami ajaran agama sesuai dengan jalan yang ditempuh
ulama Zaman Klasik (salaf), zaman sebelum timbulnya perbedaan paham yaitu
dengan kembali kepada sumber utamanya.
2.
Memperbaiki bahasa
Arab yang dipakai baik oleh instansi pemerintah, maupun surat kabar dan
masyarakat pada umumnya dalam surat-menyurat mereka.[7]
Pembaharuan hukum Islam bagi Abduh
harus setia merujuk pada dimensi kekinian yang berkembang, yaitu produk-produk
hukum lampau sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab fiqih perlu dijadikan
rujukan hanya dalam batas-batas tertentu. Di samping pembaharuan yang bersifat
sebagai pemikiran, Abduh juga harus melakukan langkah-langkah yang dapat
membentuk hukum di masyarakat. Pemikirannya muncul atas situasi dan tuntutan
sosial yang mengharuskannya melakukan pembaharuan. Jika dicermati sesungguhnya
gagasan pembaharuan Abduh bertumpu pada tiga hal berikut; 1) Pembebasan
pemikiran dari belenggu taqlid sehingga akal tidak tunduk pada otoritas
manapun. 2) Upaya memberi bentuk pemahaman agama sesuai cara yang ditempuh kaum
ortodox (salaf) dengan tanpa
menghiraukan perbedaan pemahaman di kalangan Ulama yang datang kemudian. 3)
Penempatan agama sejajar dengan perkembangan ilmu pengetahuan, atau dengan kata
lain, menjadikan sains sebagai partner agama. Dengan demikian pengertian Abduh
sebagai seorang modernis harus tetap dikaitkan dengan usahanya dalam
mempertahankan warisan klasik yang masih relevan digunakan.
2.2
Konsep Pemikiran Muhammad
Abduh
A. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yang
menjadi fokus pemikiran Abduh, sebagai mana yang diakuinya.
1)
Membebaskan
akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan
pengetahuan agama sebagaimana hak salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3
Hijrah), sebelum timbulnya perpecahan , yaitu memahami langsung dari sumber pokoknya
Al-Qur’an.
2)
Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik digunakan
dalan percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan
media massa.
Dua persoalan pokok yang menjadi
fokus pemikiran Abduh tampaknya muncul ketika ia meratapi
perkembangan umat islam pada masanya. Sebagaimana yang di jelaskan Sayyid
Quthb(l. 1906), kondisi umat islam saat itu digambarkan sebagai “suatu
masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan
peranan akal dalam memahami syariat Allah atau men-istinbat-kan para
hukum-hukum karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang hidup dalam masa kebebalan
akal serta yang berdasarkan khurafat-khutafat.
Atas dasar kedua
pikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar pada akal.
Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya, sehingga Harun Nasution
menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi pada akal
dari pada Mu’tazilah. Menurut Abduh , akal dapat hal-hal berikut ini antara
lain :
1)
Tuhan dan
sifat-sifatnya.
2)
Keberadaan
hidup di akhirat.
3)
Kebahagiaan
jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan
kesengsaraannya bergantung pada tidak mengenal Tuhan dan berbuat jahat.
4)
Kewajiban
manusia mengenal Tuhan.
5)
Kewajiban
manusia berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di
akhirat.
6)
Hukum-hukum
mengenai kewajiban itu.
Abduh berpendapat
bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, keduanya dapat disesuaikan.
Kalau antara wahyu dan akal bertentangan maka ada dua kemungkinan.
7)
Wahyu sudah diubah sehingga sudah tidak sesuai dengan
akal.
8)
Kesalahan
dalam menggunakan penalaran.
Pemikiran
semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa islam adalah agama yang
umatnya bebas berfikir secara rasional sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan
dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah dimiliki
oleh bangsa barat saat itu, dimana dengan ilmu pengetahuan mereka menjadi
kreatif, dinamis dalam hidupnya.
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal, dapat
diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya. Wahyu adalah
penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi
akal manusia. Wahyu menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan
alam akhirat dan mengetahui cara beribadah kepada tuhan.
Dengan demikian, wahyu bagi Abduh
berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan
pengetahuan akal dan informasi. Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan
salah satu dasar islam. Iman seseorang tidak sempurna apabila
tidak didasarkan persadaraan antara akal dan agama. Islam menurut agama pertama
kali mengikat persaudaraan akal dan agama.
Menurut kepercayaannya, pada
eksistensi Tuhan yang didasarkan akal. Wahyu yang di bawa Nabi tidak mungkin
bertentangan degan akal. Apabila ternyata antara keduanya terdapat pertentangan,
menurutnya terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi sehingga di
perlukan interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian.
B. Kebebasan manusia dan fatalisme
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya pikir,
manusia juga mempunyai kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar alami yang
harus ada dalam diri manusia. Jika sifat ini di hilangkan dari dirinya sendiri,
ia bukan manusia lagi, melainkan makhluk lain. Manusia dengan akalnya
mempertimbangkan akibat perbuatannya yang di lakukuan, kemudian mengambil
keputusan dengan kemauannya dan mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada di
dalam dirinya.
Karena
manusia menurut hukum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan dalam kemauan
dan daya untuk mewujudkan kamauan. Menurutnya, manusia adalah manusia karena ia
mempunyai kemampuan berpikir dan kebebasan dalam memilih.manusia tidak memiliki
kebebasan absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai
kebebasan mutlak sebagai orang yang angkuh.[8][17]
C.
Sifat-sifat
Tuhan
Dalam risalah, ia menyebut
sifat-sifat Tuhan. Mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan yang
lain, menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar kemampuan manusia untuk
mengetahuinya.
D.
Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebsan dn kemampuan manusia,
Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak.
Tuhan telah membatasi kehendak mutlaknya dengan
memberi kebebasan dan kesanggupan kepada manusia yang secara bebas dapat
dipergunakannya dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Ia tidak mungkin
menyimpang dari sunnatullah yang telah ditetapkannya. Di dalam kandungannya
arti bahwa Tuhan dengan kemauannya telah membatasi kehendaknya dengan
sunnatullah yan diciptakannya untuk mengatur alam.
E. Keadilan Tuhan
Karena
memberikan daya besar pada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai
kecenderungan untuk memahami dan meninjau alam bukan hanya dari segi kehendak
mutlak Tuhan, melainkan juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia
berpendapat bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satu
pun ciptaan Tuhan tang tidak membawa manfaat bagi manusia.
Mengenai keadialan Tuhan, ia memandang tidak hanya
dari segi kesempurnaannya, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat
ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.
F. Antropomorfisme
Karena itu Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio
tidak dapat menerima paham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifatjasmani. Abduh
memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan
sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini.
Kata-kata wajah,tangan dan sebagainya harus di pahami sesuai dengan pengertian
yang diberikan orang Arab kepadanya.
Demikian kata al-arsy dalam Al-Qur’an berarti
kerajaan atau kekuasaan, kata al-kursy berarti pengetahuan.
G. Melihat Tuhan
Muhammad
Abduh tidak menjelaskan pendapatnya, apakah Tuhan yang bersifat rohani itu
dapat di lihat oleh manusia dengan mata kepalanya pada hari perhitungan kelak?
Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih sepakat mengatakan
bahwa Tuhan tidak dapat di gambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata.
Kesanggupan melihat Tuhan dianugrahkan hanya kepada orang-orang tertentu di
akhirat.
H. Perbuatan Tuhan
Karena
berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sepaham dengan
mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat yang terbaik
untuk manusia.[9]
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Muhammad
Abduh memposisikan akal lebih tinggi daripada wahyu. Namun, tetap memandang
penting wahyu atas akal karena wahyu sebagai informasi dan konfirmasi. Ia
berpendapat bahwa ajaran Islam sendiri menentang taklid.
Baca Juga: Bebas Dari Syudzudz
Teologi
Muhammad Abduh bukanlah teologi Asy’ariyah, bukan pula teologi Maturidiyah, dan
bukan teologi Mu’tazilah. Maka muhammad abduhmemposisikan manusia sebagai
manusia yang dinamis dan dasar pemikirannya dapat membawa umat islam kepada
kemajuan di zaman ilmu pengentahuan dan teknologi modern ini.
Daftar pustaka
Nasutin, Harun. 1978.Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (U-Press).
Rahman, Fazlur. 1984. Islam. Bandung: Penerbit PUSTAKA.
http://duniakampus45.blogspot.co.id/2015/02/pemikiran-kalam-muhammad-abduh.html
Aziz,A.
Amir. Pembaruan Theologi Perspektif Modrenisme Muhammad Abduh dan
Neo-Modernisme Fazlur Rahman. Yogyakarta : Pen
[1] Ahmad Amir Aziz, M. Ag,
Pembaruan Theologi Perspektif Modrenisme Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme
Fazlur Rahman, (yogyakarta : Penerbit Teras), h. 9
[2] Prof. Dr. Harun Nasution, Muhammad Abduh dan
Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia), h. 11
[3]Ahmad Amir Aziz, M. Ag,
Pembaruan Theologi Perspektif Modrenisme Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme
Fazlur Rahman, (yogyakarta : Penerbit Teras) , h. 10
[4] Ibid, h. 11
[5] Ibid, h. 16
[7] Prof. Dr. Harun Nasution,
Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia), h. 24
[9] http://duniakampus45.blogspot.co.id/2015/02/pemikiran-kalam-muhammad-abduh.html
0 komentar:
Post a Comment