Sejarah Asia Tenggara, gerakbudayapenang.com |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penulisan
sejarah dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan. Setiap negara
memiliki ciri dan perkembangan historiografi yang berbeda. Historiografi yang
berkembang didasarkan pada kebudayaan masing-masing
negara. Begitu pula dengan historiografi di negara-negara Asia Tenggara,
penulisan sejarah mereka disesuaikan dengan perkembnagan historiografinya
selalu berhubungan dengan sumber-sumber kesusastraan (literary). Kesusastraan
yang dihasilkan oleh masing-masing negara di Asia Tenggara tidaklah sama,
sehingga berbeda pula hasil penulisan sejarahnya. Penulisan sejarah di Asia
Tenggara memiliki dua masa yaitu, masa tradisional dan masa modern.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan penulisan sejarah di
Asia Tenggara?
2. Apa saja ciri-ciri historiografi masa
tradisional dan modern di Asia Tenggara?
BAB II
PERKEMBANGAN PENULISAN SEJARAH DI ASIA
TENGGARA
Pada abad ke-13 dengan
tersebarnya agama Buddha Theravada, orang-orang Mon mulai menyusun
kronik-kronik (Rajawan, atau berbagai bentuk genealogi) yang memantapkan suatu
tradisi penggabungan data-data mengenai dinasti, anekdot-anekdot mengenai
raja-raja, serta pelbagai mitos dan legenda yang memberikan arti pada setiap
masa pemerintahan. Tradisi ini diperkuat oleh orang-orang Birma yang memasukkan
kesadaran tentang kronologi yang lebih teliti. Sekalipun pada hakikatnya
merupakan tradisi yang diperoleh dari agama Buddha di Sri Lanka, Yazawin
(kronik) Birma dari abad ke-18 dan 19 merupakan tulisan asli Birma dengan
animisme lokal dan konsep mengenai raja serta kosmologi Birma. Karya tersebut
disusun oleh para biarawan terpelajar dan para bhrahmana terpelajar.[1]
Tidak jauh berbeda
dengan tradisi Muangthai yang juga dikembangkan oleh para biarawan dan
menteri-menteri yang terpelajar, diambil dari Sri Lanka yang dimungkinkan berasal dari bangsa yang
berbahasa Mon-Khmer yang tinggal di lembah sungai Menam. Namun sebagian besar
kronik ini musnah ketika Ayuthia diserbu Birma pada tahun 1767 M yang dipimpin
oleh Raja Hsin Byusin, Ayuthia kalah dalam peperangan ini. Semua
kronik yang masih tercatat adalah P’ongsawadan yang disusun
pada tahun 1680 M, dan meliputi antara tahun 1350-1605 M. Bentuk kronik ini
kembali dikembangkan pada akhir abad ke-18, di Muangthai, Kamboja, Burma dan
negara-negara Malaysia seperti Songkhla dan Saiburi ditulis dalam bentuk kronik
tersebut. [2]
Di
Jawa pada abad ke-14 sampai ke-17 sudah ada sajak-sajak epik seperti Nagarakertagama, Pararaton dan Babad Tanah
Jawi, pujangga-pujangga keraton memuja-muja raja mereka, menyusun
genealogi-genealogi yang mengesankan serta menyempurnakan bentuk-bentuk sajak
mereka. Karya-karya tersebut bukan karya sejarah, tetapi mendekati suatu
tradisi kesadaran sejarah. Orang Jawa dan melayu memiliki kesadaran
kontinuitas, keinginan untuk meneruskan kekuasaan yang sah dan kedaulatan tokoh
dimasa lampau dengan asal-usul sejarah mereka selalu dipertahankan hingga
berabad-abad. Karena tidak memiliki perhatian kronologis maka lebih banyak
merupakan latihan metrik serta jampi-jampi daripada penulisan sejarah. Namun,
pada perkembangannya sampai dengan abad ke-19 Babad yang dihasilkan lebih dekat
dengan s ejarah, teruama Babad Diponegoro dan Sejarah Banten.
Perkembangan
yang cukup bagus dalam penulisan sejarah adalah tulisan-tulisan dalam bahasa
Melayu, tulisan-tulisannya lebih kaya daripada cerita-cerita guyonan dalam
bahasa Jawa, uraian mengenai orang dan tempatnya lebih hidup. Meskipun tidak
ada kronologinya, tetapi lukisan-ukisan mengenai hubungan antar tokoh-tokoh
lebih tepat. Dalam karyanya juga tidak banyak tekanan pada kekuatan gaib
dibandingakan dengan tekanan pada nilai-nilai moral seperti kepatuhan,
kejujuran, dan karya-karya Melayu tidak hanya bertujuan untuk mendidik tetapi
juga bertujuan untuk menghibur. Misalnya Kitab Sejarah Melayu yang
berisi tentang Kerjaan Johor dan Riau-Lingga, kronik bersajak seperti Sha’ir
Perang Mengkasar. Contoh yang menonjol dalam sejarah melayu tentang sejarah
sosial, yang muncul pada abad ke-18 dan ke-19 adalah “Misa Melayu, Hikayat
Abdullah dan Tuhfal-ul Nafls”.
Ada
beberapa negara di Asia Tenggara yang mendapat pengaruh dalam penulisan sejarah
dari negara lain, yaitu Vietnam dan Filipina. Selama penjajahan Cina yang
berlangsung selama seribu tahun di Vietnam Utara, orang-orang Cina berhasil
menentukan sifat dari historiografi Vietnam. Karya-karya tradisional Cina masih
ada sampai abad ke-19 dan ke-20. Meskipun Vietnam telah melepaskan diri dari
penguasaan Cina, Vietnam masih memegang peradaban Cina yang telah ditanamkan
sebelumnya. Agama Buddha Theravada yang berhasil menaklukkan sebagian Indocina
tidak kemudian membuat keyakinan bangsa Vietnam Utara beralih agama. Sehingga
Vietnam Utara tidak terpengaruh dan tetap menganut agama Budha Mahayana dari
alirn di Cina.
Demikian
juga di Filipina, dengan masuknya orang-orang Spanyol pada akhir abad ke-16,
maka masuk pula bentuk historiografi tradisional Katolik-Roma yang berkembang
sejajar dengan kronik-kronik berbahasa Melayu di Kepulauan Sulu. Tradisi
klerikel yang sempit dari Eropa unggul di Filipina sampai paruh kedua abad
ke-19, dan sampai sekarang masih ada sisa-sisanya.[3]
B. Historiografi Modern di Asia Tenggara
Historiografi
modern baru berkembang di Asia Tenggara pada pertengahan abad ke-19, setelah
ilmu pengetahuan dan kebudayaan barat mulai masuk di kawasan Asia Tenggara.
Karena pendudukan orang Eropa yang tidak merata di seluruh wilayah dan sumber
bahan-bahan yang tidak banyak, sehingga tidak memungkinkan untuk mengembangkan
historiografi modern. Pada abad ke-16 sampai ke-18 kebanyakan tulisan sejarah
dihasilkan oleh orang-orang Eropa. Penulisan sejarah yang dilakukan oleh
orang-orang Eropa belum dapat mempengaruhi bentuk historiografi di Asia
Tenggara. Pembentukkan Bataviaach Genootschap voor Kunsten en
Wetenschappen (Perhimpunan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan) tahun
1778, dan bukunya William Marsden, History of Sumatra (Sejarah
Sumatra) yang diterbitkan pada tahun1783, serta karya Raffles, History of
Java (Sejarah Jawa) yang diterbikan pada tahun 1817, sedikit sekali
merangsang penulisan sejarah di Indonesia. Baru pada akhir abad ke -19 dengan
dihidupkannya kembali Perhimpunan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan,
serta pembentukan Straits Branch of the Royal Asiatic Society (Cabang Straits
dari Masyarakat Kerajaan Asia) pada tahun 1878 mulai dilakukan kegiatan ilmiah
dengan sungguh-sungguh di Indonesia dan Malaysia.[4]
Orang-orang
Birma dan Muangthai di daratan Asia Tenggara tetap giat menyusun Yazawin-yazawin dan P’ongsawadan-P’ongsawadan. Orang-orang Eropa di Birma dan Muangthai
menulis karya sejarah, seperti Arthur Phrye (A History of Burma, 1883), W.A.R Wood (A History of Siam, 1926)
serta beberapa majalah Ilmiah seperti Jurnal Masyarakat Penelitian Birma dan
Jurnal Masyarakat Muangthai. Para penulis dari Eropa sangat bergantung pada
hasil penelitian setempat.
Di
Filipina suatu tingkat ilmu pengetahuan Barat menggantikan tingkat ilmu
pengetahuan Barat lainnya. Pada masa pendudukan Amerika, banyak sarjana Amerika
yang mempelajari sejarah Filipina dari dokumen-dokumen kolonial dan
dokumen-dokemen missi Spanyol. Salah satu karya yang penting adalah, karya E. H
Blair dan J A Robertson (The Phillipine Island, 1493-1889) yang terdiri
dari 55 jilid, diterbitkan tahun 1903 M-1909 M. Pada abad ke-19 dan awal abad
ke-20 terdapat tiga bidang historiografi Asia Tenggara yang berbeda-beda,
yaitu: (1) Sejarah Kuno adalah sejarah yang tidak atau kurang
dikenal oleh masyarakat asli, biasanya ditulis oleh para fiolog, epigraf dan
para arkeolog. (2) Sejarah Kolonial yang mencakup masalah
perdagangan, perang, perjanjian-perjanjian, dan administrasi orang-orang Eropa.
(3) Sejarah periode tengah, sejarah yang berkisaran antara empat sampai sepuluh
abad sebelum abad ke-19, yang merupakan penulisan sejarah penuduk asli,
metode-metode modern dapat mulai digunakan untuk menentukan tanggal secara
tepat dan malah mengintepretasikan kembali dari periode-periode ini.[5]
Muangthai
dan Filipina mempunyai perkembangan historiografi yang berbeda. Di Muangthai,
Universitas Chulalongkorn pada tahun 1917 mengajarkan mengenai sejarah kuno dan
sejarah modern. Sedangkan di Fillipina pada tahun 1611 Universitas Santo Thomas dari misi Katolik tidak
mengajarkan sejarah sekuler, tetapi sejak akhir abad ke-19 mulai banyak
memperkenalkan metode-metode sejarah yang modern. Tahun 1908 orang-orang
Amerika mendirikan Universitas Filipina dan mengajarkan sejarah modern,
sekalipun kurang memperhatikan historiogarfi Asia Tenggara.
Setelah
berakhirnya Perang Dunia II dan bangsa-bangsa di Asia Tenggara merdeka, mereka
mulai mengambil langkah-langkah baru dalam historiografi, antara lain; diterbitkannya
buku D.G.E. Hall mengenai sejarah Asia tenggata tahun 1955 semakin menyadarkan
bangsa-bangsa di Asia Tenggara bahwa perkembangan sejarah dari zaman kuno
hingga modern merupakan unit sejarah yang jelas. Dan perdebatan-perdebatan
mengenai sifat dari karya orang-orang Eropa mengenai Asia Tenggara mulai timbul
setelah hasil penelitian yang sangat provokatif dari J.C. van Leur tentang
pelayaran niaga di Asia pada masa kuno. Akibatnya Asia Tenggara diberikan
tempat khusus dalam konferensi penelitian sejarah Asia di London pada tahun 1956.
Dengan ini maka timbul sejumlah karangan mengenai historiografi Indonesia yang
pertama kali dicetuskan dalam kongres sejarah nasional di Yogyakarta pada tahun
1957. Asia Tenggara mempunyai wadah dan merupakan usaha bersama untuk
menghasilkan pertemuan yaitu, International
Association of Historians of Asia ( Perhimpunan Internasional dari
Sejarawan Asia), yang berkongres sekali dalam tiga atau empat tahun.[6]
BAB III
CIRI-CIRI HISTORIOGRAFI ASIA TENGGARA
A. Ciri-ciri Historiografi Masa Tradisional di Asia
Tenggara
Ciri-ciri yang sama
antara historiografi di Asia Tenggara yaitu:
1.
Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam hal genealogi, tetapi lemah
dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
2. Tekanannya adalah pada gaya bercerita,
bahan-bahan anekdot, dan penggunaan sejarah sebagai alat pengajaran agama.
3. Bila karya-karya tersebut lebih bersifat
sekuler maka nampak adanya persamaan dalam hal perhatian pada kingship (
konsep mengenai raja) serta tekanan diletakkan pada kontinuitas dan loyalitas
yang ortodoks.
4. Pertimbangan-pertimbangan kosmologis dan
astrologis cenderung untuk menyampingkan keterangan-keterangan mengenai sebab
akibat dan ide kemajuan
( progres).
Ciri-ciri yang berbeda antara historiografi
tradisional di Asia Tenggara:
1. Agama memisahkan para sejarawan Indo-Islam
dari konteks sosio-ekonomi agama Hindu yang terdapat dalam sejarah India, agama
juga memisahkan orang-orang Muangthai dan Kamboja dari tradisi historiografi
Asia Timur dalam bentuk Vietnamnya, agama juga memisahkan dunia Melayu-Jawa
dari orang-orang Muangthai dan Birma di satu pihak dan orang-orang Filipina di
lain pihak.
2. Persaingan nasional mempengaruhi karya
mengenai bangsa-bangsa yang bertetangga, umpamanya, karya-karya orang Birma dan
Muangthai.
3. Perbedaan-perbedaan bahasa di India sebelum
di pakainya bahasa Persia dan daratan Asia Tenggara sebelum menurunnya bahasa
Pali sangat rumit: kebanyakan karya-karya itu tidak dapat dibaca di luar batas
negara-negara itu sendiri.
4. Kebijaksanaan raja-raja mengenai penulisan
sejarah cukup beragam: karya-karya Islam dan Melayu diedarkan dikalangan umum,
sedangkan karya-karya orang Muangthai, Birma, serta Vietnam hanya untuk
kepentingan pihak resmi.[7]
B.
Ciri-ciri Historiografi Masa Modern di Asia
Tenggara
Ciri-ciri historiografi modern di Asia
Tenggara:
1. Historiografi modern sedang di konfrontasikan
dengan nasionalisme. Seperti terlihat dalam
bentuk penulisan sejarah pasca proklamasi, kebanyakkan tulisan dibuat guna
membangkitkan semangat nasional untuk melawan penjajahan Belanda.[8]
2. Pada sejarah modern lebih mengutamakan
sejarah nasional dari pada sejarah ilmiah. Akan tetapi dalam perkembangannya
yang sekarang para sejarawan sudah mulai menggunakan metode-metode modern dan
semakin tinggi ketrampilan dalam penulisan sejarahnya.
BAB V
KESIMPULAN
Perkembangan
historigrafi di Asia Tenggara pada masa tradisional masih dipengaruhi oleh agama-agama, baik itu
Buddha, Hindu, maupun Islam. Penulisan ketika itu berbentuk kronik-kronik yang
pada hakikatnya belum bisa disebut sebagai karya sejarah, namun usaha penulisan
tersebut sudah mendekati kesadaran
sejarah, dan pada masa tradisional ini memang penulisan belum menggunakan
kronologi. Berbeda dengan masa modern yang sudah mendapat pengaruh dari
berbagai wilayah, terutama Eropa yang kemudian mereka memberikan pengaruh dan
pengajaran historiografi modern, hingga lahirnya beberapa karya modern di Asia
Tenggara hingga terbentuk wadah bagi sejarawan di Asia Tenggara.
Ciri-ciri
penulisn sejarah masa tradisional di Asia Tenggara memiliki persamaan yaitu,
kuat dalam geneologi, dan lemah dalam kronologi serta detail-detail biografis.
Tekanan pada gaya bercerita, anekdot dan sejarah untuk pengajaran agama.
Sekuler, lebih pada kingship (konsep raja). Sedangkan perbedaan ciri-ciri masa
tradisional di Asia Tenggara yaitu, pada agama, kepentingan nasional, bahasa,
dan kebijakan raja yang beragama. Kemudian untuk ciri-ciri masa modern di Asia
Tenggara yaitu, sedang mengalami konfrontasi untuk nasionalis, dan mulai
menggunakan metode-metode dalam penulisan sejarahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dan Abdurrachman
Surjomihardjo. Ilmu Sejarah dan
Historiografi; Arah dan Perspektif.
Jakarta: Gramedia. 1985.
Diambil
dari http://masukdanberkembangnyaislamdiindonesia.blogspot.co.id/. Pada Minggu,
05 November 2017, pukul 22.48 WIB.
[1] Taufik
Abdullah dan Abdurrachman Sujomihardjo, Ilmu
Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perspektif ( Jakarta: Gramedia, 1985),
hlm. 06.
[2] Dikutip dari http://masukdanberkembangnyaislamdiindonesia.blogspot.co.id/,
diakses pada 03 November 2017, pukul 21:30.
[3] Dikutip
dari http://masukdanberkembangnyaislamdiindonesia.blogspot.co.id/, diakses pada
03 November 2017, pukul 21:30.
[4] Taufik Abdullah dan Abdurrachman
Sujomihardjo, Ilmu Sejarah dan
Historiografi; Arah dan Perspektif ( Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 14.
[5] Ibid., hlm. 15
[8]Diambil dari
http://masukdanberkembangnyaislamdiindonesia.blogspot.co.id/. Pada Minggu, 05
November 2017, pukul 22.48 WIB.
0 komentar:
Post a Comment