Kerajaan Mataram Kuno Priode Jawa Timur


Kerajaan Mataram Kuno Priode Jawa Timur, blogspot.com

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puji syukur  kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami.  Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah  tentang  Kerajaan Mataram periode Jawa Timur, Panjalu, dan Janggala
Shalawat serta salam kita haturkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang ini.
 Makalah ilmiah ini telah kami buat sebagai tambahan wawasan kepada kita semua tentang Kerajaan Mataram periode Jawa Timur, Panjalu, dan Janggala. Dalam penyusunanya ini, kami berusaha menyusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa, dalam menyusun makalah ini ada kekurangan di dalam penyusunan atau materinya. Oleh karena itu, dengan senang hati kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca.
Yogyakarta, Minggu 8 April  2018


Penyusun    




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.. ii
BAB 1. 4
PENDAHULUAN.. 4
A. LATAR BELAKANG.. 4
B. RUMUSAN MASALAH.. 4
C. TUJUAN MASALAH.. 4
BAB II. 5
PEMBAHASAN.. 5
A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram Periode Jawa Timur. 5
1. Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Mataram periode Jawa Timur. 5
2. Masa pemerintahan Pu Sindok. 5
3. Masa Pemerintahan Sri Maharaja Dharmmawangsa Teguh. 6
4. Masa Pemerintahan Airlangga. 7
B. Struktur Kerajaan Mataram periode Jawa Timur. 7
C. Kerajaan Pangjalu dan Janggala. 12
BAB III. 15
PENUTUP. 15
A.     Kesimpulan. 15
DAFTAR PUSTAKA 


BAB 1

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Secara umum kerajaan Mataram Kuno pernah dipimpin oleh 3 wangsa (dinasti) yang pernah berkuasa pada waktu itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra dan Wangsa Isana. Wangsa Sanjaya sendiri pemeluk agama Hindu beraliran syiwa, Syailendra pengikut Budha, dan Isana wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok. Kerajaan yang didirikan Mpu Sindok merupakan lanjutan dari kerajaan Mataram.
Pada abad ke 10 berakhirnya kekuasaan Dyag balitung di kerajaan mataram hindu di Jawa Tengah, kekuasaannya mundur. Ada dugaan bahwa kemuduran akibat adanya bencana alam, terutama gunung meletus yang menghancurkan pusat kerajaan dan seluruh perekonomiannya. Kemudian kerajaan mataram kuno pindah ke Jawa Timur, tepatnya di muara sungai Brantas, ibu kota Medang yang dipindahkan oleh Mpu Sindok. Mpu Sindok memerintah kerajaan Medang dari tahun 929 hingga 948.
Sistem birokrasi kerajaan Medang masih sama dengan kerajaan lain yaitu pemimpin tertinggi yaitu raja. Dan keadaan masyarakatnya yaitu bertani dan masih adanya perpajakan untuk rakyat, masyarakat juga mengenal perdagangan di pasar desa dan di luar pulau, barang yang diperdagangkan seperti hasil bumi yaitu beras, buah-buahan, sirih pinang dan buah mengkudu juga hasil industri rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan tembaga, pakaian, keranjang, dan barang-barang anyaman, binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing, ayam serta telurnya juga diperjualbelikan.

B. RUMUSAN MASALAH

            1. Bagaimana sejarah berdirinya kerajaan Mataram periode Jawa Timur ?
            2. Bagaimana struktur kerajaan Mataram periode Jawa Timur ?
            3. Bagaimana sejarah kerajaan Panjalu dan Janggala ?

C. TUJUAN MASALAH

                1. Mengetahui sejarah kerajaan Mataram periode Jawa Timur
                2. Mengetahui struktur kerajaan Mataram perioe Jawa Timur
                3. Mengetahui sejarah kerajaan Panjalu dan Janggala



BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram Periode Jawa Timur           

            1. Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Mataram periode Jawa Timur

Mataram Jawa Timur (Medang Kamulan) berdiri pada abad 10 atau setelah runtuhnya Mataram periode Jawa Tengah. Berdirinya kerajaan ini diawali dengan adanya Wangsa Isana. Istilah Wangsa Isana di temukan dalam prasasti Pucangan di bagian yang berbahasa Sansekerta pada tahun 963 Saka. Bagian yang berbahsa Sansekerta itu dimulai degan penghormatan kepada Brahmana, Wisnu, dan Siwa kemudian penghormatan kepada Raja Airlangga. Selanjutnya dilanjutkan dengan silsilah kerajaan dimulai dari Raja Isanatunggaatau Pu Sindok. Sri Isanatungga mempunyai putri Sri Isanatunggawijaya dan menikah dengan Sri Loka Pala kemudian mempunyai anak Sri Makutawangsawarddhana keturunan Wagsa Isana.[1]
 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Wangsa Isana didirikan oleh Pu Sindok atau Sri Isanawikramma Dharmmotunggadewa yang masih menjadi keturunan dari Wangsa Syailendra.Namun, kedudukan Pu Sindok masih diberdebatkan. Ada yang berpendapat bahwa Pu Sindok adalah menantu Wawa (raja terakhir Mataram Jawa Tengah ), selain itu ada yang berpendapat bahwa Pu Sindok bergelar abhiseka yang mengandung unsur kata dharma menunjukkan bahwa raja yang bergelar itu naik tahta karena perkawinan.[2]

2. Masa pemerintahan Pu Sindok

 Berdirinya Mataram periode Jawa Timur adalah lanjutan dari keruntuhan kerajaan Mataram periode Jawa Tengah.Dalam anggapan para pujangga hal ini adalah sebagai pralaya atau kehancuran dunia pada akhir masa Kaliyuga. Maka, sesuai dengan landasan kosmologis, kerajaan kuno tersebut harus mendirikan kerajaan lagi. Kemudian, Pu Sindok membangun kerajaan di Jawa Timur dan sebagai cikal bakal Wangsa Isana namun dengan nama yang sama, Mataram.
Ibu kota kerajaan Mataram terletak di Tamwlang dengan bukti yang terdapat pada prasasti Turryan ( tahun 851 Saka / 929 M ), dengan kemungkinan sekarang dekat Jombang, tepatnya desa Tambelang. Tetapi, dalam prasasti Paradah dan Anjukladang juga disebutkan bahwa ibu kota kerajaan terletak di Watugaluh, sekarang desa Watugaluh dekat Jombang tepi kali Brantas. Prasasti Anjukladang dibuat seabagai anugerah dari Pu Sindok kepada penuduk desa Anjukladang. Namun, karena pada bagian atasnya using menyebabkan ketidak jelasan apa penyebab dari anugerah yang diberkan tersebut.

3. Masa Pemerintahan Sri Maharaja Dharmmawangsa Teguh

Setelah pemerintahan Pu Sindok berakhir  (929 M-948 M) dapat dikatakan terjadinya masa gelap pemerintahan selama 70 tahun atau sebelum sampai kepada pemerintahan Sri Maharaja Dharmmawangsa Teguh. Hal ini dikarenakan hanya 3 prasasti yang berangka tahun yang tercacat dan sampai kepada kita, yaitu prasasti Hara-Hara tahun 888 Saka (966M), prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992M), dan prasati Lucem tahun 934 Saka (1012-1013 M). Namun dalam prasasti Pucang dapat diketahui bahwa Pu Sindok mempunyai seorang putri yang jelita bernama Sri Isana Tunggawijaya dan memerintah sebagai ratu dengan suaminya Lokapala. Dari pernikahannya, lahirlah putra Sri Makutawangsawarddhana.Mengenai nama Makutawangsawarddhana perlu diketahui bahwa secara harfiyah yaitu sebagai pelanjut wangsa yang bermahkota atau pelanjut wangsa raja. Ditambah dengan penekanan bahwa ia “putra wangsa Isana” menunjukka bagaimnanpu anak laki-laki dari pramesawari(istri pertama raja) merupakan pewaris tahta yang ideal.[3]  Kemudian dari Sri Makutawangsawarddhana lahirlah purti Gunapriyadharmapatni atau Mahendratta yang kemudian menikah dengan Udayana dan berputra Erlanggadewa.
 Abad X M muncul beberapa keterangan sejarah,diantaranya dalam kitab Wirataparwwa salinan dalam bahasa Jawa Kuno dari bahasa Sansekerta. Dalam kitab tersebut dituliskan nama-nama raja yang memerintah yaitu Sri Dharmmawangsa Teguh Anantawikrama. Dalam prasasti raja Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhumenyebutkan bahwa ia adalah cucu dari Sri Isana Dharmmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa. Hal ini membuktikan kbenaran dari masa pemerintahan Sri Isana Dharmmawangsa Teguh. Selanjutnya yang diperkuat dalam kitab Wirataparwa, yang memerintah pada abad X M sampai tahun 1017 M. Kemungkinan besar ia adalah anak dari Makutawangsawarddhana.
Dalam pemerintahannya, Sri Maharaja Dharmmawangsa Teguh sangat berambisi untuk meluaskan kekuasaannya sampai keluar pylau Jawa. Dalam prasasti Pucangan yang berbahAS Sansekerta disebutkan bahwa beberapa waktu setelah perkawinan Airlangga dengan putri Dharmmawangsa Teguh kerajaan itu hancur karena ulah dewi Kali.Selanjutnya Airlangga melarikan diri ke hutan engan hanya didampingi Narottama.  Dalam prasati yang berbahasa Jawa Kuno juga disebutkan dan lebih banyak memberikan keterangan bahwa, akhir dari masa Sri Maharaja Dharmmawangsa Teguh adalah serangan dari raja bawahan Wurawari yang berambisi mendampimgi putri mahkota menggantikan Teguh di atas tahta kerajaan(pralaya). Namun setelelah berhasil melakukan serangan dan menewaskan Sri Maharaja Dharmmawangsa Teguh, Haji Wurawari kembali ke tempat asalnya karena karena ia cukup puas melampiaskan sakit hatinya karena tidak berhasil menjadi menantu Teguh.
Sri Maharaja Dharmmawangsa Teguh kemudian di candikan di Wwtan pada bulan Caitra tahun 939 Saka.

4. Masa Pemerintahan Airlangga

               Setelah berhasil lolos dan melarikan diri ke hutan dari serangan Haji Wurawari. Airlangga yang saat itu masih berumur 16 tahun (menurut yang disebutkan dalam prasasti pucangan) belum banyak pengalaman dalam peperangan dan menggunakan alat-alat senjata. Selama hidup di dalam hutan, ia tidak pernah lupa melakukan pemujaan terhadap dewa-dewa..  .  
            Tahun 941 Saka (101 M) Airlangga direstui oleh pendeta Siwa, Buddha, dan Mahabrahmana sebagai raja  dengan gelar Rake Halu Sri lokeswara Dharmmawangsa Airlannga Anantawikramottunggadewa di Halu.  Dalam prasasti pucangan memberi keterangan bahwa raja Airlangga telah banyak melakukan penyerangan mulai tahun 951 tahun Saka /1029 M – 959 tahun Saka /1037 M. Maka, dapat disumpilkan bahwa ciri dari  pemerintahan Airlangga adalah melakukan serangan kembali kepada semua bawahan raja bahwahan yang menghancurkan Mataram masa Dharmmawangsa Teguh
Dimulai pada tahun 951 Saka(1030 M), Raja Airlangga melakukan penyerangan di Wuratan dan mengalahkan raja Wisnuprabhawa, yang dahulu ikut berperan dalam peristiwa parlaya. Dan penyerangan yang paling penting adalah kemenangan atas penyerangan kepada Haji Wurawiri, yaitu terjadi pada 954 tahun Saka (1032 M). 

B. Struktur Kerajaan Mataram periode Jawa Timur   

             Menurut pendapat R. von Heine Geldern, bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Asia Tenggara mempunyai suatu landasan kosmologis, yaitu kepercayaan akan harus adanya suatu keserasian antara dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos).[4] Adanya kepercayaan ini mengatakan bahwa manusia selalu ada di bawah pengaruh kekuatan yang terpancar dari bintang dan planit. Bahwa kekuatan itu dapat membawa kebahagiaan, kesejahteraan, dan perdamaian atau bahkan bencana kepada manusia. Semua itu tergantung dapat atau tidaknya individu, kelompok social, terutama kerajaan  utuk menyerasikan hidup dan semua kegiatannya degan gerak alam semesta. Dari segi orang, untuk memperoleh keserasian tersebut yaitu dengan mengikuti petunjuk-petunjuk astrlogi (ilmu perbintangan) alamat yang menunjukkan keberuntungan atau bencana dan perlambangan lainnya. Sedangkan dari segi kerajaan yaitu dengan menyusun sebagai bayangannya, sebagai bayangan kosmos.
a.       Pemerintahan Birokrasi
Dalam menjalankan pemerintahannya, kerajaan Mataram menggunakan sistem birokrasi. Yaitu dimana raja (Sri Maharaja) ialah pemegang kekuasaan tertinggi. Namun, seorang raja harus berpegang teguh kepada dharma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan anugerah kepada mereka yang berjasa, bijaksana,tidak sewenang-wenangnya, waspada terhadap gejola rakyat dan berusaha agar rakyat memperoleh rasa tentram dan bahagia. 
Dalam ketentuan mengenai hak waris atas tahta kerajaan, yaitu pertama yang berhak untuk menggantikan duduk diatas tahta kerajaan adalah anak-anak raja yang lahir dari prameswaai. Namun, tidak harus putra dari raja yang memerintah yang dalam artin dapat pula adik, kemenakan, paman atau kerabat dekat asal masih keturunan secara langsung. Pewaris kedua yang berhak ialah, rakarayan i halu dan rakarayan i sirikan. Hal ini sesuai dengan beita Cina dari jaman dinasti Sung yang mengatakan bahwa tiga orang putra raja bertindak selaku raja muda.
Dengan demikian, dapat disimpulkan sistem birokrasi yaitu raja didampingi oleh para pangeran diantaranya pura mahkota dan seorang pejabat kehakiman. Mereka adalah rakarayan mapatih I hino, i halu, i sirikan, I wka, dan pamgat tiruan. Dan dibawah mereka terdapat sejumlah pejabat, diantaranya pejabat kehakiman, pajak, dan keagamaan, tetapi yang khusus mengurusi penetapan sima.
b.      Sumber Penghasilan Kerajaan
Penghasilan kerajaan berasal dari penarikan pajak. Pada tingkat pusat terdapat  petugas khusus yang mencatat luas bebagai jenis tanah di seluruh kerajaan dan ketetapan pajaknya (wilayah thani atau wilang wanua). Setiap panurang atau pejabat tingkat desa akan melakukan penarikan pajak pada tingkat watak atau desa, kemudian pada penguasa daerah (rakai dan pamgat atau para samhya haji) memberikannya kepada raja setelah musim panen. Menurut beberapa prasasti bulan asuji dan karttika sebagai bulan penyerahan pajak atau bulan oktober hingga nopember.
Berdasarkan beberapa prasasti, tiap-tiap bidang tanah pada suatu daerah yang ditetapkan menjadi sima dan mempunyai hak pajak (pangguhan atau hasil bumi) sebanyak sekian uang emas dan perak dan mempunyai gawai atau kewajiban kerja, atau kewajiban kerja itu digantikan dengan uang. Menurut berita Cina rakyat harus membayar pajak sebanyak 10% dari hasil tanahnya. Beberapa keterangan menyebutkan bahwa pajak tanah ditentukan berdasarkan luas tanahnya, keterangan tersebut terdapat di dalam prasasti Palepangan.
Di samping harus membayar pajak bumi para rakyat juga harus membayar pajak perdagangan dan pajak usaha kerajinan. Pajak yang dikenakan kepada pedagang maupun pengrajin tidak diketahui ketentuannya, karena prasasti-prasasti hanya menyebutkan bahwa di dalam daerah yang telah ditetapkan menjadi sima ada sejumlah tertentu yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, misalnya pada perdagangan hewan ternak batas bebas pajak untuk kerbau 30 ekor, untuk sapi 40 ekor, untuk kambing 80 ekor, untuk itik 1 wantayan, untuk para pengrajin dapat ketentuan tentang harus dikenakan pungutan pajak yang dibagi tiga. Dalam hal daerah Sima itu istilah yang digunakan untuk suatu bangunan suci. Maka, sepertiga pajak pengrajin diperuntukan kepada para Bhatara, sepertiganya lagi untuk pengelola sima. Dalam konteks itu sima untuk orang yang berjasa, maka ia mendapat anugerah sima dan tidak untuk dipersembahkan kepada para Bhatara.
Menurut Prasasti Watukura terdapat pungutan yang dikenakan kepada setiap pintu (ring salawang salawang). Yang menyebutkan pungutan lain selain pajak tanah yaitu pajak persembahan bunga (panraga skar) yang tiap bilan purnama di bulan Jyestha (Juni) dan Caitra (April) harus dipersembahkan. Bagi orang asing yang menetap di Jawa sebagai pedagang dan penduduk berkewajiban membayar pajak.
Kita dapat membayangkan bahwa pada masa kerajaan Hidu-Budha telah dianut sistem keuangan yang baik, hal tersebut dibuktikan dengan adanya pejabat wilang thani atau wilang wanua yang berarti menghitung tanah atau menghitung desa, hal tersebut menggambarkan pada masa tersebut telah ada sensus penduduk sedangkan para pejabat ditingkat watak yang menyusun daftar jumlah penduduk atau keluarga yang membayar pajak.

c.        Administrasi Pengadilan
Di dalam beberapa Prasasti disebutkan keterangan yang terperinci mengenai tindak pidana dengan ketentuang dendanya yang terdapat di dalam naskah-naskah hukum (agama) sukha dukha, yang saying sekali belum banyak diterbitkan. Dan ternyata tidak ada naskah hukum yang berasal dari zaman Mataram dan Kediri. Dilihat dari bahasanya naskah-naskah hukum yang sampai saat ini, berasal dari masa akhir kerajaan Majapahit, bahkan mungkin dari masa setelah Majapahit runtuh, dan di tulis di kerajaan-kerajaan di Bali.
Beberapa naskah hukum Jawa kuno yang sampai saat ini, diketahui merupakan olahan dari naskah-naskah hukum di India. Hal itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa nama-nama mata uang yang dipakai sebagai ayat pembayaran denda ada yang masih menggunakan nama mata uang India (krsnala,dharana dan pana), ada yang menggunakan nama mata uang jawa kuno ( ma, su, dan ku ), da nada yang tak diketahui nama mata uang nya, tetapi jumlahnya cukup besar, misalnya 4000,8000,20.000,40.000. yang terakhir ini merupakan ciri naskah-naskah yang muda. Menurut pendapat Boechari, yang terakhir itu merupakan satuan uang “kepeng” yang merupakan petunjuk bahwa naskah itu tentu di tulis di Bali.
Di karenakan pada masa Mataram tidak ada naskah hukum yang sampai kepada kita, maka gambaran tentang administrasi kehakiman hanya dapat disuguhkan disini berdasarkan beberapa prasasti yang merupakan keputusan peradilan (jayapatra), dan keterangan tentang sukha dukha yang terdapat pada keterangan prasasti-prasasti lain. Jumlah jayapatra memang tidak banyak, hanya ada tiga yang dapat dipakai, yaitu prasasti Guntur, prasasti Wurudu Kidul dan prasasti Tija.
Perkara yang dipermasalahkan dalam prasasti Guntur dan Wurudu Kidul mengenai masalah hutang-piutang yang dapat diselesaikan pada tingkat Watak. Oleh seorang hakim yang dsebut pangat. Di dalam naskah hukum dicantumkan syarat-syarat seoarang saksi, antara lain harus seorang yang telah berkeluarga mempunyai banyak anak dan penduduk asli. Dan seorang saksi yang tidak ahli pada bidang keuangan atau hutang piutang tidak dibolehkan menjadi saksi. dan pihak yang tidak hadir pada persidangan di klaim telah kalah. Pada prasasti Guntur dinyatakan bahwa “sang Dharma (saksi) dikenai denda karena menagih hutang namun tidak hadir dalam penagdilan. Dan masih banyak lagi ketentuan-ketentuan tentang siapa saja yang boleh dan tidak boleh menjadi saksi dalam perkara di pengadilan.
Persyaratan bagi seorang hakim sebagaimana dicantumkan di dalam naskah-naskah hukum terkandung di dalam kitab sastra, yaitu kitab-kitab hukum yang berasal dari India, hukum adat yang tidak tertulis juga merupakan dasar hukum untuk memutuskan perkara-perkara di pengadilan. Prasasti-prasasti Jayapatra dari masa Majapahit masih disebutkan dasar hukum lainnya,di dalam Jayapatra itu dikatakan bahwa sebelum mengambil keputusan para hakim mempelajari berbagai macam kitab-kitab hukum.

d.      Keadaan Masyarakat
Dalam kenyataan stratifikasi sosial masyarakat Jawa kuno bersifat kompleks dan tumpang tindih. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa dari seorang kasta brahmana, kasta yang tertinggi, dapat menduduki jabatan dalam struktur birokrasi tingkat pusat atau tingkat watak, dapat juga di tingkat desa (wanua), tetapi dapat juga tidak mempunyai sesuatu jabatan. Ada juga orang dari kasta ksatrya yang dapat menduduki jabatan keagamaan ditingkat pusat, seperti sang pamgat tiruan misalnya, dan dapat juga menjadi pertapa dan tinggal di suatu biara.
Di ibu kota kerajaan, yang menurut berita-berita Cina dikelilingi oleh dinding baik dari batu bata maupun dari batang-batang kayu, terdapat istana raja yang juga dikelilingi oleh dinding. Di dalam istana itulah berdiam raja dan keluarganya, yaitu permaisuri, selir-selir dan anak-anaknya yang belum dewasa, dan para hamba istana. Di luar istana, masih dalam lingkungan dinding kota, terdapat kediaman putra mahkota dan tiga orang adiknya (rakai halu, rakai sirikan, dan rakai wka) dan kediaman para pejabat tinggi kerajaan. Mereka mendiami rumah-rumah mereka dengan keluarga mereka masing-masing.
Di dalam lingkungan tembok itu juga tinggal para pejabat sipil yang lebih rendah, yaitu para manilala drawya haji yang jumlahnya mungkin sampai kira-kira 300 orang, bersama-sama dengan keluarga mereka. Jadi di dalam lingkungan tembok ibu kota kerajaan tinggal kelompok elite dan non elite, dengan raja dan keluarganya mengambil tempat tersendiri. Hubungan raja dengan kelompok non elite sulit terlaksana, sedang dengan kelompok elite birokrasi saja hubungan itu hanya terjadi secara formal. Menurut berita-berita Cinaraja tiap hari mengadakan pertemuan dengan putra mahkota, para pangeran, para pejabat tinggi kerajaan dan pendeta penasihat raja.
 Dalam pertemuan semacam itu perintah raja diturunkan melalui putra mahkota yang meneruskannya kepada para pejabat tinggi kerajaan. Mereka menyampaikan perintah raja pada utusan daerah yang datang menghadap mengajukan sustu permohonan kepada raja, atau memerintahkan petugasnya untuk menyampaikan perintah raja itu ke daerah yang bersangkutan.
Putra mahkota, para pangeran yang lain dan para pejabat tinggi kerajaan kecuali pankur, tawan dan tirip mempunyai daerah lungguh di luar ibu kota kerajaan, sebagaimana ternyata dari adanya daerah-daerah yang disebut watak hino (daerah lungguh putra mahkota), watak halu (daerah lungguh rakai halu), watak sirikan, watak wka, watak halaran, watak dalinan, watak wabihati dan watak makudur.
Lain daripada ibu kota kerajaan dan kota-kota yang merupakan pusat wilayah watak, tentunya dahulu ada juga kota-kota pelabuhan. Tetapi kita tidak mengenal lebih daari satu kota pelabuhan, yaitu kota Hujung Galuh di Jawa Timur, di muara sungai Brantas. Menurut prasasti Kamalagyan pelabuhan Hujung Galuh selalu ramai dikunjungi oleh perahu-perahu dagang dari pulau-pulau yang laibn, apalagi setelah Airlangga berhasil membuat bendungan di Waringin Sapta pada tahun 1937 M. tidak hanya pedagang-pedagang dari pulau-pulau yang lain  di Nusantara saja yang singgah di Hujung Galuh, tetapi mungkin juga pedagang-pedagang dari kerajaan-kerajaan lain di luar Nusantara. Hal itu dapat disimpulkan dari disebutkannya orang-orang Asing dari Asia Selatan dan daratan Asia Tenggara di dalam berbagai prasasti raja Airlangga, diantara para wargga kilalan.
Di luar kota-kota tersebut terdapat desa-desa yang diatur oleh para pejabat desa. Penduduk desa pada umumnya hidup dari bertani, berdagang kecil-kecilan dan mengusahakan kerajinan rumah. Ada juga yang memburuh atau menjadi hamba. Adanya beberapa istilah untuk menyebut pedagang, yaitu abakul, adagang dan banyaga; istilah masamwyawahara mungkin dipakai dalam pengertian umum.
Pedagang-pedagang asing yang datang di pulau Jawa diperlakukan dengan baik sekali. Mereka itu diberi penginapan dan makan dengan cuma-cuma. Dalam transaksi perdagangan menggunakan mata uang, tetapi berita Cina menyebut masih adanya dagang barter; mungkin yang terakhir itu dilakukan dengan suku-suku di pedalaman pulau-pulau di luar Jawa.
Dalam kehidupan sehari-hari rakyat tidak terlepas dari kebutuhan akan hiburan. Prasasti-prasasti dan relief candi-candi, terutama Candi Borobudur dan Prambanan, banyak memberi data tentang bermacam-macam seni pertunjukan. Pertama-tama kita menjumpai keterangan pertunjukan wayang di dalam prasasti Wukajana dari masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung, juga terdapat pertunjukan lawak yang dijumpai hamper di semua prasasti yang menyebut upacara penetapan sima secara terperinci. Relief candi juga banyak melukiskan pelawak itu, yang mungkin merupakan prototipe tokoh-tokoh panakawan pada relief candi-candi di Jawa Timur. Selain itu juga terdapat pertunjukan tari-tarian yang sering dipertunjukkan pada upacara penetapan sima. Ada tari-tarian yangf dapat ditarikan bersama oleh laki-laki dan perempuan, orang-orang tua dan pemuda-pemudi, dan juga ada tari-tarian khusus seperti tuwung, bungkuk, ganding, dan rawanahasta. Adanya berbagai macam tarian yang diiringi oleh gamelan yang terbatas itu banyak dijumpai di relief Candi Prambanan dan Borobudur.
Berbagai macam tontonan itu tentu saja tidak hanya dipertujukkan pada waktu ada upacara penetapan sima. Ada dalang, penabuh gamelan, penari dan pelawak profesional, yang memperoleh sumber penghasilan dari profesinya itu, para seniman itu masuk ke dalam kelompok wargga kilalan

C. Kerajaan Pangjalu dan Janggala

Dalam kitab calon arang di ceritakan bahwa suatu ketika kerajaan airlangga ditimpa musibah wabah penyakit yang menyeramkan. Wabah itu ditimbulkan dari seorang janda di Girah yang merasa sakit hati karena anaknya yang cantik tidak ada orang yang meminangnya . untuk menyelesaikan wabah itu raja airlangga meminta bantuan Pu bharada untuk menyuruh muridnya melamar anak janda tersebut. Dengan demikian wabah ini dapat dihilangkan.
Dalam menggantikan tahtanya sebagai raja, Pada tahun 1042 raja Airlangga harus memberi kerajaan kepada dua orang anak laki-lakinya.  Cara pertamanya untuk mengatasinya, Airlangga                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         mengutus Pu Bharada pergi ke Bali dan meminta kekuasaan kepada kerajaan Ibunya. Namun, hal ini tidak disetujui karena pengganti dari raja selanjutnya akan diberikan oleh ketrurunannya. Dengan demikian, secara terpaksa maka Raja Airlangga membagi tanah Jawa menjadi dua yakni pangjalu di sebelah timur dan janggala di sebelah barat. Pembagian tanah ini dilaksanakan oleh Pu Bharada.
a. Kerajaan Panjalu atau Kadiri
Kerajaan Pangjalu berpusat di kota Daha. Di dalam prasasti Pamwatan(buatan Airlangga), dijelaskan, Daha merupakan singkatan dari Dahanapura yang berarti kota api. Kekuasaan ini ada di bawah Sri Samarawijaya. Pada mulanya, nama Panjalu memang sering dipakai daripada Kadiri. Hal ini dapat dibuktikan dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul ling wai tai ta(1178). 
Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting (1104M) yaitu adanya nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui. Sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.
Selanjutnya, setelah pemerintahan Sri Jayawarsa berakhir, digantikan oleh Bameswara yang bergelar Sri Maharaja Rakai Sirikan Kameswhara Sakalabhuwanatushitakarana Sarwwaniyyawwiryya paraka digjayatuggadewa.Kemudian pemerintahan berganti kepada Jaybaya yang bergelar Sri Maharaja Madhusudanawataranindita.  Selain itu, Jayabaya terkenal sebagai peramal dan sastrawan aliran kejawen. Ramalannya dibukukan dalam Kitab Jangka Jayabaya.
Masa inilah yang dianggap sebagai masa kejayaan. Hal ini dikarenakan Jayabaya telah melakukan perang saudara dan berhasil menaklukan kerajaan Janggala. Cerita ini kemudian diabadikan dalam kitab Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panaluh.dan ditulis dalam prasasti Ngantang (1135M), yaitu Panjalu Jayati dan Panjalu Menang. Bahkan Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
            Jayabaya kemudian digantikan oleh Sarweswaradan Aryyeswara. Namun pemerintahan ini tidak banyak diketahui. Pemerintahan selanjutnya yaitu Gandra. Dalam pemerintahannya, ia menggunakan struktur pemerintahan yang diwariskan medang kamulan. Para pejabat diberi nama hewan seperti gajah atau kebo sebagai tanda pengenal kepangkatan tertentu. Dengan demikian, ciri dari pemerintahan Gandra adalah pesatnya karya sastra jawa dengan munculnya cerita panji dan kakawin.
            Raja selanjutnya adalah kertajaya. Masa ini kerajaan kadiri mengalami masalah dan ketidakstabilan. Penyebabnya adalah kertajaya mulai mengurangi peran istimewa kaum brahmana. Menurut kisah pararaton dan nagarakretagama, pada tahun 1222 kertajaya berselisih dengan kaum brahmana dan kemudian meminta tolong kepada ken arok akuwu tumapel.
      b.      Kerajaan Janggala
Nama Janggala diperkirakan berasal kata "Hujung Galuh" atau disebut "Jung-ya-lu" berdasarkan catatan China, Hujung Galuh terletak di daerah muara sungai Brantas yang diperkirakan kini menjadi bagian kota Surabaya. Kota ini merupakan pelabuhan penting sejak zaman kerajaan Kahuripan, Janggala, Kediri, Singhasari, hingga Majapahit. Pada masa kerajaan Singhasari dan Majapahit pelabuhan ini kembali disebut sebagai Hujung Galuh.
Pada tahun 1042, Airlangga turun takhta dan memilih Putri mahkotanya yang bernama Sanggramawijaya Tunggadewi tetapi ia lebih dulu memilih kehidupan sebagai pertapa, sehingga timbul perebutan kekuasaan antara kedua putra Airlangga yang lain, yaitu Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.
Akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Sri Samarawijaya mendapatkan Kerajaan Kadiri di sebelah barat yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan Mapanji Garasakan mendapatkan Kerajaan Janggala di sebelah timur yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Pembagian kerajaan sepeninggal Airlangga terkesan sia-sia, karena antara kedua putranya tetap saja terlibat perang saudara untuk saling menguasai. Pada awal berdirinya, Kerajaan Janggala lebih banyak meninggalkan bukti sejarah daripada Kerajaan Kadiri. Beberapa orang raja yang diketahui memerintah Janggala antara lain:
1.     Mapanji Garasakan, berdasarkan prasasti Turun Hyang II (1044), prasasti Kambang Putih, dan prasasti Malenga (1052).
2.     Alanjung Ahyes, berdasarkan prasasti Banjaran (1052).
3.     Samarotsaha, berdasarkan prasasti Sumengka (1059)
Meskipun raja Janggala yang sudah diketahui namanya hanya tiga orang saja, namun kerajaan ini mampu bertahan dalam persaingan sampai kurang lebih 90 tahun lamanya.
Menurut prasasti Ngantang (1035), Kerajaan Janggala akhirnya ditaklukkan oleh Sri Jayabhayaraja Kadiri, dengan semboyannya yang terkenal, yaitu Panjalu Jayati, atau Kadiri Menang. Sejak saat itu Janggala menjadi bawahan Kadiri. Menurut Kakawin Smaradahana, raja Kadiri yang bernama Sri Kameswara, yang memerintah sekitar tahun 1182-1194, memiliki permaisuri seorang putri Janggala bernama Kirana.

BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Mataram periode Jawa Timur atau Medang Kamulan merupakan kelanjutan kerajaan Mataram Lama di Jawa Tengah. Akan tetapi, Medang Kamulan tetap merupakan kerajaan tersendiri karena diperintah oleh Dinasti Baru yaitu Dinasti Isyana, yang didirikan oleh Empu Sindok.

Empu Sindok adalah menantu dari Raja Wawa yang memindahkan pusat pemerintahan dari Jawa Tangah ke Jawa Timur. Empu Sindok memerintah sebagai raja pertama bergelar Sri Maharaja Rake Hino Isyana Wikradharmamotunggasewa.
Empu Sindok memerintah sampai tahun 947 M kemudian digantikan oleh putrinya bernama Sri Isyana Tunggawijaya dan menikah dengan Raja Lokapala. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki bernama Makutawangsyawardhana. Mangkutawangsyawardana naik tahta menggantikan ibunya. Ia mempunyai anak perempuan yang terkenal karena kecantikannya bernama Maendradatta juga sering disebut Gunapriyandharmapatni. Putrid ini bersuamikan Raja Udayana dari kelurga Warma dewa yang memerintah di Bali. Dari perkawinan ini ia melahirkan seorang anak yang bernama Airlangga. Kemudian Airlangga membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Panjalu dan Janggala.
Setelah pembagian kerajaan selesai, Airlangga turun tahta tahun 1042. Ia hidup menjadi seorang petapa sampai meninggal dunia tahun 1049. Airlangga dimakamkan disebelah timur lereng Gunung Pananggungan yang terkenal dengan Candi Belahan. Dalam candi tersebut diwujudkan Airlangga sebagai Dewa Wisnu yang sedang mengendarai Garuda.

DAFTAR PUSTAKA


Pusponegoro, Marwanti Juned, 1984, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kadiri
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Janggala



[1]  Pusponegoro, Marwanti Juned, 1984, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlml 157
[2]Pusponegoro, Marwanti Juned, 1984, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. hlm 158
[3] Pusponegoro, Marwanti Juned, 1984, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlm 170
[4]Pusponegoro, Marwanti Juned, 1984, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlm 188

0 komentar:

Post a Comment