Lembaran-Hadis Tua, hamdocamo |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai salah satu kajian terhadap
teks-teks keagamaan seperti tafsir, fiqh dan tauhid, hadits nampaknya terlahir
sebagai sebuah kajian awal dalam diskursus keagamaan agama Islam. Bahkan dalam
tataran wacana, eksistensi kajian terhadap hadits sebagai salah satu sumber
hukum Islam yang berfungsi sebagai penjelas al-qur’an. Realitas tersebut jelas
menempatkan hadis sebagai sesesuatu yang inheren bagi eksistensi al-Qur’an.
Oleh karena itu dari masa-kemasa para sahabat nabi, tabi’in, dan
tabi’in-tabi’in mencurahkan segenap tenaganya untuk melestarikan dan
menyebarkan kepada generasi selanjutnya. Mengingat pentingnya hadis dalam dunia
Islam, maka kajian-kajian atas hadis semakin meningkat, sehingga upaya terhadap
penjagaan hadis itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat
yang dilakukan secara selektif demi menjaga keotentikan hadis itu sendiri.
Oleh karena itu dalam pembahasan ini penulis
akan menyajikan pembahasan singkat tentang perkembangan hadis sebelum era
kodifikasi dan sesudahnya, dilanjutkan dengan pembahasan tentang pusat-pusat
studi hadis dan para tokoh-tokohnya secara rinci.Adapun metode yang akan
dipakai dalam kajian ini adalalah termasuk kategori penelitian literer atau
study pustaka dengan objek berupa naskah-naskah utama (primer), meski tidak
menutup kemungkinan adanya referensi lain sebagai bahan rujuakan sebagai sumber
kedua (skunder) yang erat kaitannya dengan persoalan yang akan dibahas.
Tujuan tulisan ini adalah untuk memahami cara rasul, sahabat, tabi’in, dan
tabi’in tabi’in dalam memelihara hadis dengan sangat berhati-hati dan bijaksana
sehingga dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya sebagai pusaka dari rasul
untuk umatnya dalam mengarungi kehidupan.
B. Rumusan Masalah
1. Hadis pada masa
Rasululllah saw.
2. Hadis pada masa sahabat
3. Hadis pada masa tabi’in
C. Tujuan Pembahasan
1. Agar dapat mengetahui
hadis pada masa Rasulullah
2. Agar dapat mengetahui
hadis pada masa sahabat
3. Agar dapat mengetahui
hadis pada masa tabi’in
BAB II
PEMBAHASAN
Masa Nabi saw. dikenal dengan ‘Ashr al-wahy
wa al-takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan karena pada masa ini wahyu masih
turun dan masih banyak hadis-hadis Nabi yang datang darinya. Ayat-ayat
al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para
sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa jahiliah. Para sahabat
menyadari betapa penting kedudukan hadis Nabi dalam agama Islam, bahwa sunnah
Nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an, orang yang meremehkan dan
mengingkari akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat
kebahagiaan.[1]
Tradisi meriwayatkan segala yang dikatakan
atau dilakukan Nabi baik yang terkait dengan masyarakat umum maupun yang khusus
berkenaan dengan hal-hal pribadi telah terjadi semenjak awal Islam. Sebagai
figur, Nabi menjadi pusat perhatian, dalam kapasitas sebagai pemimpin, teladan,
dan penyair syariat Allah yang hampir semua perkataan dan perilakunya bermuatan
hukum, kecuali sebagian yang terkait dengan urusan duniawi. Kebiasaan
menghargai segala yang berasal dari Nabi terlihat pada banyaknya para sahabat,
di tengah-tengah kesibukan mereka memenuhi kebutuhan hidup, menghargai majelis
Nabi, sebagian tinggal beberapa saat atau dalam waktu yang lama bersamanya,
mendiskusikan dan menelaah secara kritis hadis-hadis yang mereka terima. Jika
terjadi persoalan yang menyangkut kebenaran hadis yang mereka terima, mereka
dapat langsung mengecek kebenarannya kepada Nabi karena beliau berada bersama,
bergaul dan, bermuamalah dengan mereka, sehingga bila terjadi kesalahan
penukilan, kekeliruan pengucapan, atau kekurang pahaman terhadap makna teks
hadis, dapat dirujuk pada Nabi.[2]
1. Cara penyampaian hadis
pada masa Nabi
Ada beberapa teknik atau cara yang ditempuh
Nabi saw. dalam menyampaikan hadis kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan
kondisi para sahabatnya. Cara tersebut adalah
Pertama, melalui majlis al-‘ilm, yaitu
pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jamaah.
Melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima
hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk
mengikuti kegiatannya. Menurut catatan Musthafa al-Siba’i, mereka selalu
meluangkan waktu untuk mendatangi majelis ilmu Rasulullah. Bahkan, mereka
melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk meminta solusi kepada Nabi atas
masalah yang mereka hadapi.
Di antara mereka memabagi
tugas untuk mendapatkan informasi yang berasal dari Nabi. ‘Umar ibn al-Khathab
misalnya, membagi tugas dengan tetangganya untuk mendapatkan hadis dari Nabi.
Pihak yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau
berkenaan dengan Nabi, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang
tidak bertugas. Tidak jarang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim
utusannya ke majelis Nabi, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka
sekembalinya dari sana. Misalnya, yang dilakukan oleh Malik ibn al-Huwayris
yang pernah tinggal bersama Nabi selama 20 malam, sebagai salah satu anggota
rombongan kaumnya.[3] Huwayris menunjukkan
bahwa pada zaman Nabi, para sahabat sangat besar minatnya menimba pengetahuan
langsung dari Nabi, termasuk hadis Nabi yang kemudian mereka ajarkan kepada
keluarga mereka masing-masing.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah
juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh
para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena
terkadang ketika Nabi menyampaikan suatu hadis, para sahabat yang hadir hanya
beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara
kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu
orang saja.
Ketiga, untuk hal-hal sensitif. Seperti
yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, terutama yang
menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya.
Seperti Nabi menjelaskan tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi saw.,
tentang mandi bagi wanita yang telah suci dari haidnya.
Keempat, melalui ceramah atau pidato di
tempat terbuka, seperti ketika futuh Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan
ibadah haji pada tahun 10 H, Nabi menyampaikan khutbah yang sangat sejarah di
depan ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak
terkait dengan bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang
meliputi kemanusiaan, persahabatan, keadilan sosial, keadilan ekonomi,
kebajikan, dan solidaritas.[4]
Kelima, melalui perbuatan langsung yang
disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang
berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah. Peristiwa yang terjadi
pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar di kalangan
umat Islam.
2. Menghafal dan menulis
hadis
Pada masa Nabi, sedikit sahabat yang dapat
menulis, sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah
dengan ingatan mereka. Menurut ‘Abd al-Nashr, Allah telah memberikan
keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan mengahafal.
Mereka dapat meriwayatkan al-Qur’an, hadis, syair, dan lainnya. Untuk melihat
kemurnian kedua sumber ajaran agama Islam, yakni al-Qur’an dan hadis,
Rasulullah memiliki kebijakan yang berbeda. Beliau tidak pernah memerintah
sahabat tertentu untuk menulis hadis dan membukukannya sebagaimana al-Qur’an
yang ditulis resmi oleh Zayd ibn Tsabit, sekretaris pribadi beliau. Bahkan,
dalam suatu kesempatan Nabi pernah melarang menulis hadis sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudzri. Larangan ini dilakukan karena khawatir
hadis bercampur dengan al-Qur’an yang saat itu masih dalam proses penurunan.[5]
B. Hadis pada Masa Sahabat
Setelah para sahabat mulai pandai tulis
menulis, dan dapat membedakan antara firman Allah dengan sabda Nabi, maka
gerakan penulisan begitu marak, sehingga pada akhirnya Nabi berwasiat: saya
tinggalkan dua tumpukan tulisan ini, yakni tumpukan tulisan Al-Qur’an dan
tumpukan tulisan hadist. Sekali lagi, pada wilayah kodifikasinya secara resmi
yang berbeda. Apabila kodifikasi berupa mushaf, memang baru terjadi pada
khalifah Abu Bakar, namun kodifikasi hadits yang resmi menurut pendapat yang
masyhur terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul
Aziz (99-102 H).
Meskipun secara khusus hadits belum
mendapatkan perhatian yang serius, namun kegiatan periwayatan hadits sudah
mulai berkembang meskipun dengan jumlah sedikit. Hal ini karena Abu Bakar, Umar
juga dua khalifah terakhir (Utsman dan Ali) sangat berhati-hati
dalam menerima periwayatan sahabat lain, termasuk periwayatan dari Abu Hurairah
yang dalam hal periwayatan hadits dikenal sebagai sahabat yang paling banyak
meriwayatkan hadits.
Seiring dengan program khalifah Umar bin
Khattab meluaskan peta dakwah Islam, membuat para sahabat terpencar ke berbagai
wilayah. Mereka memiliki hadits baik yang dilafal maupun yang sudah ditulisnya
ke tempat penugasan masing-masing. Sehingga di berbagai pusat kajian Al-Qur’an
dan hadits.
Pasca wafatnya Umar ibn Khattab, kebijakan
itu dilanjutkan oleh khalifah Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib, sehingga
untuk menguasai hadits-hadits Nabi pada waktu itu tidaklah mudah. Seseorang
harus melakukan rihlah ke berbagai wilayah untuk menemui para sahabat dan
kader-kadernya.[6]
Pada masa inilah lahir para ulama madzhab,
sehingga bukan mustahil sat ditanya suatu persoalan, mereka belum menemukan
hadits yang spesifik, akhirnya terpaksa memberikan jawaban dengan pendekatan
ijtihad murni yang dampaknya bisa
benar bisa salah.
Imam Ahmad memang dikenal getol menghimpun
hadits, namun imam Malik justru hanya mengandalkan hadits-hadits yang masih
tersisa di kalangan ulama’ madinah.
Sebenarnya, jauh sebelumnya, yakni ketika
Umar ibn Abdul Aziz sebagai khalifah ke-8 dinasti Umayyah telah memerintahkan
al-Zuhri untuk menghimpun hadist yang oleh ulama’ sebagai tonggak awal
pengkodifikasi hadist secara resmi. (Sekali lagi bukan dianggap penulisan
hadist, karena penulisan hadist sudah terjadi sejak zaman Rasulullah saw.).
Di bawah kekuasaan halifah Umar ibn ‘Abdul
Aziz merasa perlu pembukukan hadist oleh karena pada sahabat (sisa sahabat yang
masih hidup) mulai terpencar di beberapa wilayah kekuasaan Islam, bahkan tidak
sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia. Keadaan iini membuat khalifah
Umar ibn abdul Aziz bergerak untuk membukukan hadits.[7]
Untuk merealisasikan kenyataan di atas,
khalifah menyuruh atau mengintruksikan kepada gubernur Madinah, Abu Bakar ibn
Muhammad ibn Amr ibn Hazm untuk mengumpulkan hadis yang ada padanya dan pada
tabi’in muncul kodifikator wanita, ‘Amrah binti ‘Abdurrahman, seorang ahli fiqh
murid ‘Aishah.[8]
Sebetulnya, kodifikasi (penulisan dan
pengumpulan) hadis telah dilakukan sejak jaman para sahabat. Namun, hanya
beberapa orang saja diantara mereka yang menuliskan dan menyampaikan hadis dari
apa yang mereka tulis. Disebutkan dalam shahih al-Bukhari, di Kitab al-Ilmu,
bahwa Abdullah bin ‘Amr biasa menulis hadis. Abu Hurairah berkata,
“Tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang lebih banyak hadisnya dari aku kecuali Abdullah bin ‘Amr, karena ia biasa
menulis sementara aku tidak.”
Namun, kebanyakan mereka hanya cukup
mengandalkan kekuatan hapalan yang mereka miliki. Hal itu diantara sebabnya
adalah karena di awal-awal Islam Rasulullah sempat melarang penulisan hadis
karena khawatir tercampur dengan Al-Qur`an. Dari Abu Sa’id al-Khudri, Bahwa
Rasulullah bersabda, “Janganlah menulis dariku! Barangsiapa menulis dariku
selain Al-Quran, maka hapuslah. Sampaikanlah dariku dan tidak perlu segan..”
(HR Muslim).
C. Hadis pada Masa Tabi’in
1. Urgensi dan Seleksi Hadits
Dalam Islam, hadits adalah sumber hukum
kedua setelah al-Qur’an, sebagai pendamping al-Qur’an dalam peran menjadi
pedoman hidup manusia. Sehingga, apabila di dalam al-Quran tidak ditemukan maka
harus merujuk kepada hadits Nabi.
Hadits berfungsi juga sebagai penjelas
al-Qur’an, berkenaan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mujmal atau global. Sehingga
hadits lah yang menjelaskan makna umum tersebut secara terperinci dan
mudah difahami oleh umat Islam.
Hal-hal di atas menjadi alasan mengapa
hadits merupakan hal urgen untuk dipelajari oleh kaum muslim. Di samping
kebutuhan kita, mempelajari hadits sangat diperlukan dalam rangka menjaga
orisinilitas hadits karena fenomena pemalsuan salah satu wahyu dari Allah
tersebut.
Dengan menggunakan berbagai macam ilmu
hadits, maka timbullah berbagai macam nama hadits, yang disepakati oleh para
ulama. Munculnya upaya seleksi hadits untuk menyempurnakan pengembangan hadits.
Pada masa seleksi hadits, para ulama
bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadits yang diterimanya. Melalui
kaidah-kaidah yang ditetapkannya, para ulama pada masa ini berhasil memisahkan
hadits-hadits yang dha’if (lemah) dari yang shahih
dan hadits-hadits yang mauquf (periwayatannya berhenti
pada sahabat) dan yang maqthu’ (terputus) dari yang marfu’ (sanadnya sampai ke Nabi
Muhammad SAW), meskipun berdasarkan penelitian
2. Metode Pencarian Hadist
pada Masa Tabi’in
Periwayatan hadits semakin pesat pada masa
tabi’in dengan berkembangnya gerakan rihlah ilmiah, yaitu pengembaraan ilmiah
yang dilakukan para muhaditsin dari satu kota ke kota lain. Tidak lain
kota-kota tersebut merupakan pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, yang
tersebar di seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah. Mereka melakukan itu untuk
mengetahui hadits-hadits Nabi saw. dari sahabat yang masih hidup dan tersebar
di berbagai kota. Pencarian hadits ini dilakukan oleh mereka hanya untuk
membuktikan keaslian suatu hadits. Usaha mereka ini menimbulkan suatu kajian
hadits yang kemudian berkembang menjadi ulumul hadits.[10]
Karena luasnya wilayah Islam dan
kepentingan golongan, memicu munculnya hadits-hadits palsu meskipun pembukuan
tatacara periwayatan telah ditetapkan. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada
periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.[11]
3. Pembukuan
Hadis Pada Masa Tabi’in
Para tabi’in menerima
ilmu dari para sahabat. Mereka bergaul dekat, mengetahui segala sesuatu dari
mereka, menerima banyak hadist Rasulullah dari mereka, dan mengetahui kapan
para sahabat melarang serta membolehkan penulisan hadist.
Para Tabi’in
senantiasa meneladani para sahabat. Mereka, para sahabat, adalah generasi
pertama yang memelihara Al-Qura’an dan As-Sunnah. Maka, pada umumnya, para
tabi’in dan para sahabat sependapat tentang masalah pembukuan hadits.[12] Faktor-faktor yang
mendorong Khulafa ar-Rasyidin dan para sahabat menolak penulisan hadis juga
adalah faktor yang mendorong tabi’in bersikap sama. Mereka memiliki satu sikap.
Mereka menolak penulisan hadis selama sebab-sebabnya ada. Sebaliknya, jika
sebab-seba tersebut tidak ada, mereka sepakat tentang kebolehan menuliskan
hadis. Bahkan, kebanyakan dari
mereka mendorong dan menumbuhkan sikap berani membukukan hadis.
4. Tokoh – tokoh Hadits di
Masa Tabi’in
Di kala kendali khalifah di pegang oleh
Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99 H, dari dinasti Umayyah. Sebagai Amirul
Mukminin ia tidak jauh dari ulama, ia menulis sebagian hadis serta memotivasi
para ulama agar mereka berani melakukan hal yang sama. Hal yang mendorongnya
adalah aktivitas para tabi’in ketika itu dan sikap mereka membolehkan ketika
tidak ada lagi sebab-sebab untuk melarangnya. Ia melakukan upaya-upaya
pemeliharaan hadis karena khawatir hadis akan hilang. Sebab lain yang berpengaruh
terhadap jiwa para ulama, yaitu munculnya praktek pemalsuan hadis yang dilatar
belakangi oleh persaingan politik dan perselisihan antar aliran Pemerintahan di
bawah kepemimpinan umar bin Abdul Aziz mengambil langkah tepat dengan
memprakarsai penghimpunan hadis secara resmi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz
berkirim surat keseluruh wilayah Islam .[13]
Dan ada beberapa orang yang meriwayatkan
hadits cukup banyak, antara lain Abu Hurairah (5374 buah), Abdullah bin
Abbas (1660 buah), Jabir Ibn abdillah (1540 buah), Abu Sa’id Al Khudri (1170
buah), Abdullah bin Umar (2630 buah), Anas ibn Malik, dan Aisyah (2276
buah).
Nama-nama tokoh hadits dari kalangan
tabi’in di wilayah Madinah, seperti Sa’id Ibn Al Musyayyab, ‘Urwah ibn Zubair,
Ibn Syihab Al Zuhri, Ubaidullah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud dan Salim bin Abdillah
ibn Umar dan masih banyak lagi tokoh-tokoh hadits dari kalangan tabi’in yang
berasal dari berbagai wilayah di Daulah Islamiyah.[14]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masa Nabi saw. dikenal dengan ‘Ashr al-wahy
wa al-takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan karena pada masa ini wahyu masih
turun dan masih banyak hadis-hadis Nabi yang datang darinya. Ayat-ayat
al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para
sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa jahiliah. Para sahabat
menyadari betapa penting kedudukan hadis Nabi dalam agama Islam, bahwa sunnah
Nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an, orang yang meremehkan dan
mengingkari akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat
kebahagiaan.
Cara penyampaian hadis pada masa Nabi: Pertama, pusat atau tempat
pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jamaah. Kedua, dalam banyak kesempatan
Rasulullah juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang
kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Ketiga, untuk hal-hal sensitif.
Seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, terutama
yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya.
Seperti Nabi menjelaskan tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi saw.,
tentang mandi bagi wanita yang telah suci dari haidnya. Keempat, melalui ceramah atau
pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh Mekkah dan haji wada’. Kelima, melalui perbuatan
langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah,
seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah. Peristiwa
yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar
di kalangan umat Islam.
Setelah para sahabat mulai pandai tulis
menulis, dan dapat membedakan antara firman Allah dengan sabda Nabi, maka
gerakan penulisan begitu marak, sehingga pada akhirnya Nabi berwasiat: saya
tinggalkan dua tumpukan tulisan ini, yakni tumpukan tulisan Al-Qur’an dan
tumpukan tulisan hadist. Sekali lagi, pada wilayah kodifikasinya secara resmi
yang berbeda. Apabila kodifikasi berupa mushaf, memang baru terjadi pada
khalifah Abu Bakar, namun kodifikasi hadits yang resmi menurut pendapat yang
masyhur terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul
Aziz.
Para tabi’in menerima
ilmu dari para sahabat. Mereka bergaul dekat, mengetahui segala sesuatu dari
mereka, menerima banyak hadist Rasulullah dari mereka, dan mengetahui kapan
para sahabat melarang serta membolehkan penulisan hadist. Para
Tabi’in senantiasa meneladani para sahabat. Mereka, para sahabat, adalah
generasi pertama yang memelihara al-Qura’an dan as-Sunnah. Maka, pada
umumnya, para tabi’in dan para sahabat sependapat tentang masalah pembukuan
hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Zarkasih. 2012. Pengatar Studi Hadits. Yogyakarta: Aswaja
Pressindo.
Ø Nuruddin. 1996. ‘Ulum Al-Hadis 1. Bandung. PT Remaja Rose
Karya.
Ø Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya. 2012. Studi Hadits. Suranaya: IAIN Sunan
Ampel Press.
Ø Suparta, Munzier, 2010, Ilmu Hadits, Jakarta : Rajawali Pers
Ø Solahudin, Agus, 2008, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia
Ø Al-Khatib, Muhammad Ajaj, As-Sunnah Qablat-Tadwin, Beirut: Darul Fikr Cet.
V Th. 1401 H-1981 M.
0 komentar:
Post a Comment