A. Latar Belakang
Pada zaman ini, peran agama dituntut
secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia.
Agama tidak hanya sekedar menjadi lambang kesalehan. Melainkan agama juga harus
menunjukkan cara-cara efektif dalam memecahkan masalah. Melalaui pengetahuan
objek dan berbagai pendekatan, maka agama dapat memberikan jawaban terhadap
masalah yang timbul. Dalam memahami agama, banyak pendekatan yang dilakukan.
Karena pendekatan tersebut, maka kehadiran agama dapat dirasakan oleh penganutnya.
Berbagai pendekatan tersebut meliputi Pendekatan Antropologis, Pendekatan
Feminis, Pendekatan Psikologis, Pendekatan Sosiolois, Pendekatan Historis,
Pendekatan Filosifis, dan Pendekatan Fenomenologis. Adapun yang dimaksud dengan
pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang
ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
B. Rumusan
Masalah
Rumusan masalah yang diangkat penulis dalam makalah Pengantar
Studi Agama sebagai orientasi
pengembangan ilmu, yaitu :
1.
Apa Objek Material dan Formal Studi Agama?
2.
Apa Pendekatan yang dipakai di Studi Agama?
C. Pembahasan
Objek
adalah hal, perkara, atau orang yang menjadi pokok pembicaraan.
Objek Material adalah segala sesuatu yang dipelajari
dalam kaitannya dengan fenomena agama yang terdapat dan terjadi dalam pikiran,
manifestasi agama, tindakan dan perbuatan manusia beragama. Objek Material
bersifat Universal, segala sesuatu yang nyata
Contoh Objek Material: Kerusuhan
antar Umat Beragama.
Objek Formal adalah sudut pandang dari mana sang
Subjek menelaah Objek materialnya. Objek Formal ini bersifat khusus dan
empiris. Berikut adalah contoh Objek Formal atau Pendekatan-pendekatan di studi
agama.
C.2 Pendekatan di Studi Agama.
Pendekatan ialah
titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran yang merujuk pada
pandangan tentang terjadinya proses yang sifatnya masih umum, didalamnya
mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode dengan cakupan
teoritis tertentu.[1]
Diantaranya :
a.
Pendekatan
Antropologis
Bermula
pada abad ke-19 sebagai penelitian terhadap asal usul manusia, dimana
masyarakatnyan masih dikatakan primitif. Mereka berpikir bahwa seluruh
masyarakat manusia tertata dalam keteraturan, seolah skala historis. Masyarakat
mereka sendiri diduga dalam posisi bawah karena masih primitif. Pandangan ini
diperoleh dari karya Darwin tentang evolusi biologis.
Karl
Marx (1818-1883) dan Max Weber (1864-1920). Evolusionisme sosial abad 19
menjadi inti pandangan-pandangan Karl, dan dipengaruhi oleh Lewis Henry Morgan
(1818-1881). Meski terdapat beberapa kesamaan antara pandangan tersebut bahwa
agama berfungsi Melegitimasi dan mengabadikan posisi golongan penguasa.
Kasus
yang terjadi pada saat itu pemberontakan secara independen terjadi di Amerika
dan Inggris. Namun pemberontakan itu muncul dan berkembangnya metode penelitian
lapangan. Di Amerika Frans Boaz (1858-1942) yang berkebangsaan Jerman,
memperkenalkan studi-studi lapangan secara detail.
Para
Antropolog harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, kekeluargaan dan
politik, magic dan pengobatan “secara bersama-sama”. Maka, agama misalnya tidak
bisa dilihat sebagai system otonom yang tidak berpengaruh oleh praktik-praktik
sosial lainnya. Ketika dekonstruksi postmodernisme menjalar melalui ilmu
sosial, pendekatan holistik mendapat serangan.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari
manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari
tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan
kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen
antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi
merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya
dengan berbagai budaya.
Dalam aplikasinya, berbagai penelitian
antropologi agama dapat dikemukakan hubungan yang positif antara kepercayaan
agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu
dan golongan miskin yang lain, pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan
keagamaan yang bersifat menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan.
Sedangkan orang kaya lebih cendrung untuk mempertahankan tatanan masyarakat
yang sudah mapan secara ekonomi lantaran itu menguntungkan pihaknya.
b.
Pendekatan
Feminis
Feminisme
ini memberi perhatian pada makna identitas dan totalitas manusia pada tingkat
yang paling dalam didasarkan pada pandangan interdispliner baik antropologi,
teologi, sosiologi, dan filsafat. Dengan tujuan mengidentifikasikan sejauh mana
terdapat persesuaian antara pandangan feminis dan keagamaan terhadap diri, dan
bagaimana menjalin interaksi yang saling menguntungkan. Dengan aspek
transformatif yang meletakkan simbol-simbol sentral, teks, dan ritual-ritual
tradisi keagamaan untuk memasukkan pengelaman perempuan yang diabaikan. David
Bouchier mendiskripsikan feminism berbagai bentuk perlawanan beragam bentuk
diskriminasi sosial, personal, atau ekonomi dimana perempuan sebagai pihak yang
menderita karena jenis kelaminnya. Asal usul bentuk yang dapat dikenal dari
feminisme anglo-American yang terorganisir pada abad ke-19 dan didominasi
perbedaan tentang persamaan akses terhadap jabatan pendeta dan kritisisme
Injil. Keterlibatan perempuan dalam aktifitas yang membingungkan sebagai
biarawati, misionaris, pengumpul dana, dan dermawan. Namun menerima respon yang
mendua dari pendeta laki-laki yang menyampaikan terima kasihnya dengan
menguatkan pernyataan tentang keunggulan rumah dan keluarga.
Contoh
tuntutan perempuan terhadap ontonomi spiritual tampak dalam sekte-sekte yang
dibangun perempuan, seperti Shakers yang didirikan oleh Ibu Ann Lee atau
gerakan sains Kristen Marry Baker Edi. Komitmen kedua komunitas tersebut
terhadap kesamaan spiritual bagi perempuan digambarkan dalam pembelaan mereka
yang luar biasa atas gambaran mental perempuan dalam perwahyuan.
Feminisme
Evangelis, perempuan yang mendasar pada tradisional feminis, memuji bakat
perempuan terhadap pengasuhan dan kecenderungan untuk menafikkan dirinya demi
kepentingan orang lain sebagai kualitas moral yang patut dicontoh. Disisi lain,
feminis liberal menentang ideal-ideal injil tentang subordinasi dan
domestifikasi perempuan, sekalipun dengan perbedaan seks sebagai hak yang
diberikan tuhan.
Pendekatan
feminis ini, dicirikan dengan upaya untuk menciptakan sumber materiil baru dan
digunakannya paradigma kesarjanaan keagamaan yang baru, memperbaiki model
androsentris sebelumnya dengan menginstimewakan pengalaman perempuan.
Feminisme adalah paham yang menuntut hak
sepenuhnya kaum perempuan atas ketimpangan posisi disbanding laki-laki, dan
lambat laun hal itu sering disebut sebagai “gerakan feminisme”, yang sebenarnya
sudah merupakan bentuk aktualisasi upaya pembebasan diri kaum perempuandari
berbagai ketimpangan perlakuan dalam segala aspek kehidupan.
c.
Pendekatan Historis
Pendekatan
Historis dalam kajian Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui
dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal
yang berhubungan dengan agama Islam, baik behubungan dengan ajaran, sejarah,
maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari,
sepanjang sejarahnya.[2]
Dengan
menggunakan pendekatan sejarah atau historis, ada minimal dua teori yang bisa
digunakan.
1.
Idealis
Approach, yaitu seorang peniliti yang berusaha dan menafsirkan fakta sejarah
dengan mempercayai secara penuh fakta yang ada tanpa keraguan.
2.
Reductionalist
Approach, adalah seorang peniliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta
sejarah dengan penuh keraguan.
Metode Pendekatan Historis:
Penelitian sejarah yang pada dasarnya adalah
penelitian terhadap sumber-sumber sejarah, merupakan implementasi dari tahapan
kegiatan yang tercakup dalam metode sejarah, yaitu Heuristik, Kritik,
Interpretasi, dan Historiografi.
1.
Heuristik:
Kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan.
Sumber nya berdasarkan bentuk yaitu majalah, arsip, dokumen, dll. Sumber yang berdasarjan sifat terdiri atas primer dan sekunder. Primer adalah sumber yang waktu pembuatannya tidak jauh dari waktu peristiwa terjadi. Sekunder ialah sumber yang waktu pembuatannya jauh dari waktu terjadinya peristiwa.
Sumber nya berdasarkan bentuk yaitu majalah, arsip, dokumen, dll. Sumber yang berdasarjan sifat terdiri atas primer dan sekunder. Primer adalah sumber yang waktu pembuatannya tidak jauh dari waktu peristiwa terjadi. Sekunder ialah sumber yang waktu pembuatannya jauh dari waktu terjadinya peristiwa.
Agar pencarian sumber berlangsung secara efektif, ada dua unsur
penunjang heuristik yang harus diperhatikan.
a.
Pencarian
sumber harus berpedoman pada bibliografi kerja dan kerangka tulisan. Dengan
memperhatikan permasalahan-permasalahan yang tersirat dalam kerangka tulisan
(Bab/Sub-Bab), penelitian akan mengetahui sumber-sumber yang belum ditentukan.
b.
Dalam mencari
sumber diperpustakaan, peneliti wajib memahami system katalog perpustakaan yang
bersangkutan.
2.
Kritik: ialah
sumber untuk penulisan sejarah ilmiah bukan sembarang sumber, tetapi sumber
tersebut ialah terlebih dahulu harus dimulai melalui kritik.
3.
Interpretasi:
ialah penafsiran akan makna fakta dan hubungan antara suatu fakta dengan fakta
yang lain harus dengan sikap Objektif. Kalaupun bersifat Subjektif, harus
Subjektif Rasional.
4.
Historiografi: Kegiatan terakhir dari
penelitian sejarah, adalah merangkaikan fakta beserta maknanya secara
kronologis/diakronis dan sistematis, menjadi tulisan sejarah menjadi kisah.
d.
Pendekatan Sosiologis
Menumbuhkan ilmu sosiologi agama, maka
dapat dikatakan titik berangkat peneliti ada dua kemungkinan. Yang satu,
berangkat sebagai sarjana sosiologi sedang yang lain berangkat sebagai sarjana
ilmu agama yang mengelola agama secara religio
scientifical.
Ilmu sosiologi agama itu garis
besarnya hasil penelitian terhadap agama dengan pendekatan sosiologis, hasil
penelitian hubungan antara agama dengan masyarakat dalam kerja sama mereka yang
saling tergantung dan juga hasil penelitian perwujudan proses sosial yang
terjadi atas pengaruh agama.
Sosiologi Objektif adalah untuk
mengetahui manusia dan masyarakat sejauh dapat diperoleh atau dicapai melalui
penelitian terhadap unsur-unsur, proses-proses serta hal-hal yang mempengaruhi
dan yang dipengaruhi. Ahli sosiologi berangkat melangkah dengan asumsi dasar
bahwa tingkah laku manusia itu, dan juga sifat order sosial, dipahami atau
diyakini merupakan produk atau buah akibat kehidupan berkelompok. Joachim Wach
menyarankan agar tidak menganggap agama sebagai fungsi pengelompokan sosial
yang alamiah manusia sosial dan juga menyarankan agar agama tidak dianggap
sebagai suatu bentuk pelahiran budaya sebagaimana kebiasaan ahli antropologi. Saran
Joachim Wach akan membedakan antara sosiologi agama bagian sosiologi dengan
sosiologi agama bagian ilmu agama, walaupun keduanya sama-sama meniliti elemen,
proses serta faktor yang berpengaruh dan dipengaruhi kehidupan berkelompok
sebagaimana diatas.
Akan dicontohkan juga wujud apa
yang dimaksud dengan elemen itu. Kelompok disitu adalah kelompok masyarakat
agama. Sosiologi itu adalah ilmu yang mempelajari hubungan antar perseorangan
atau kelompok dengan perseorangan atau kelompok yang lain.
Namanya ilmu masyarakat, jadi
diantara pusat perhatiannya adalah integrasi orang dalam masyarakat. Khusus
sosiologi agama itu semua yang berkaitan dengan integrasi orang atau badan
dalam kehidupan masyarakat, tentulah akan menaruh perhatian terhadap aspek,
komponen, atau segi agama dalam pengertian yang luas yang mempunyai konsekuensi
dan kaitan dengan integrasi sosial. Sebagai mana yang disarnakan Joachim Wach
yang diantara cirinya faktor sacred
pada hal-hal yang dapat diberi label agama.
d.
Pendekatan
Psikologis
Uraian
tentang pendekatan psikologis terhadap agama ini lebih banyak mempersoalkan
tema-tema atau objek-objek apa yang biasanya digarap dan juga aneka macam
teknik pengumpulan datanya yang biasanya berkenaan dengan hal-hal yang tidak
dapat disentuh atau dilihat karena berkaitan dengan jiwa. Ilmu jiwa memang
ber-objek kan jiwa yang bukan materi. Problem atau tema penting Psikologi agama
adalah pengalaman agama dan praktik keagamaan. Kalau Psikologi Agama
mempelajari Living Human Being yang
beragama, maka ilmu agama akan mempelajari bermacam-macam ekspresi keagamaan,
dan tentu saja struktur kejiwaan dan dinamika kejiwaan pemeluknya merupakan
soal yang terkait juga.
Ilmu
ini timbul pada penghujung abad ke 19. Tumbuhnya dikalangan teologi liberal,
kalangan teologi protestan dan kemudian menjadi terpisah dari empirical psycology. Dapat dikatakan
bahwa pertumbuhan pendekatan psikologis terhadap agama ini dimulai dari
Amerika. Biasanya ditokohi oleh orang-orang yang mempunyai perhatian besar
terhadap kehidupan beragama atau orang beragama terutama protestan.
Pada
persamaan pendekatan-pendekatan psikologis diantara ketiga daerah tersebut.
Pada masing-masing terdapat dua aliran besar ialah aliran Description dan aliran Explanatory.
Aliran description menekankan analisis fenomenologis simpatetis ditunjukkan
untuk pemeliharaan pendidikan agama dan masalah kepastoran atau kependetaan.
Adapun aliran explanatory berusaha menemukan hubungan causalitas yang menjadi
penyebab pengalaman dan tingkah laku agamis manusia beragama. Kedua aliran ini
terdapat di Amerika, Jerman, maupun Perancis.
Baca Juga: Ibnu Khaldun | Akar Konflik Sepanjang Zaman
Status
psikologi agama ini dapat dikatakan tidak menentu karena aliran model pertama
beranggapan bahwa bidangnya itu bukanlah ilmu, hanya sekedar teologi praktis
ataupun apologetic. Sedangkan aliran kedua kurang interest nya untuk
mengiluminasi kehidupan beragama, bahkan ber interest merusak kehidupan
beragama. Walaupun demikian pada masa-masa terakhir ini, ilmu ini nyatanya
berkembang dengan baik, baik dengan cara pelajari kembali dan mengevaluasi
hasil kerja para peminat zaman dahulu, maupun dengan menumbuhkan
penelitian-penelitian baru dengan mempergunakan a broad range of recently developed methods and insights, metode-metode
dan pengelihatan batin yang akhir-akhir ini berkembang luas.
e.
Pendekatan
Filosofis
Filsafat
secara etimologi berasal dari bahasa Yunani Philosophia yang merupakan kata
majemuk dari dua kata Philo yang berarti cinta dan berarti kebijaksanaan.
Filsafat merupakan hasil proses berfikir dalam mencari hakekat sesuatu, secara
sistematis menyeluruh dan mendasar.
Berifikir
secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memenuhi ajaran
agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat
dipahami dan dimengerti. Melalui pendekatan ini, sesorang tidak akan terjebak
pada pengalaman agama formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah,
tetapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Contoh: Sudah haji,
sudah menunaikan rukun iman atau islam dalam arti mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai
spiritual yang terkandung didalamnya.
Dengan
menggunakan filosofis ini, sesorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu
yang dijumpainya dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung
didalamnya. Dengan demikian ketika seseorang mengerjakan sesuatu amal ibadah,
maka tidak akan merasa kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan.
Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin
meningkat pula sikap, penghayatan, dan spiritualitas yang dimiliki.
f.
Pendekatan
Fenomenologis
Fenomenologi
diartikan sebagai ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri
manusia sebagai ilmu yang mendahului ilmu filsafat atau bagian dari filsafat.
Penyelidikan fenomena agama ini dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu. Meskipun
membawa pokok pembicaraan yang sama, berbagai disiplin tersebut memeriksanya
dari aspek-aspek khusus yang sesuai dengan jangkauan dan tujuannya.
Fenomenologi
menyelidiki fakta agama beserta pengungkapannya. Pendekatan yang paling dekat
dengan fenomenologi adalah historis. Karena fenomenologi dan sejarah saling
melengkapi. Fenomenologi tidak dapat berbuat tanpa etnologi, filologi, dan
disiplin kesejarahan lainnya. Sebaliknya, fenomenologi memberikan disiplin
kesejarahan untuk memberi arti keagamaan yang tidak bisa dipahami. Oleh sebab
itu, memahami agama dalam kajian fenomenologi adalah memahami agama dari
sejarah atau memahami sejarah dalam arti menurut dimensi keagamaannya.
D. Kesimpulan
Dapat
diketahui bahwa objek material ialah segala sesuatu yang dipelajari dalam
kaitannya dengan fenomena agama yang terdapat dan terjadi dalam pikiran,
manifestasi agama, tindakan dan perbuatan manusia beragama. Yang berada dibalik
objek formalnya. Kerana sumber pengetahuan pendekatan filosofis adalah rasio,
maka untuk melakukan kajian dengan pendekatan ini akan mempunyai peranan yang
sangat signifikan.
Pendekatan-pendekatan
ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, dan teknik
penelitian. Terdapat banyak pendekatan yang diantaranya ialah pendekatan
antropologis, feminis, sosiologis, psikologis, fenomenologis, filosofis,
historis, serta pendekatan-pendekatan lainnya.
Realitas
keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran yang sesuai dengan
kerangka paradigmanya. Karena itu tidak ada persoalan, apakah studi agama itu
penelitian sosial, filosofi, atau penelitian legalistik.
Daftar
Pustaka
Almandili, Ahmad Gozali. Aneka Pendekatan Dalam Studi Agama. Diakses dari http://www.islamiceducation001.blogspot.com/2015/05/aneka-pendekatan-dalam-studi.html?m=1
pada tanggal 8 Oktober 2016.
Connely, Petter.
Aneka Pendekatan Studi Agama.Yogyakarta:LKiS. 2002.
Romdon.Metodologi
Ilmu Perbandingan Agama.Jakarta:PT RajaGrafindo Persada. 1996
Syamsudin.2014. Pendekatan
Historis Dalam Islam. Diakses dari http://shirotuna.blogspot.co.id/2014/06/pendekatan-historis-dalam-islam.html?m=1
pada tanggal 8 Oktober 2016
[1] Petter
Connely.Aneka Pendekatan Studi Agama.LKiS.2002.hal
147.
[2] Atang
Abdul Hakim.Metodologi Studi Islam.Bandung:
Remaja Rosdakarya.2000.
0 komentar:
Post a Comment