Peninggalan Dinasti Fatimiyah, tongkronganislami.net |
Daftar Isi
Bab
1 Pendahuluan ……………………………………………………. 3
a.
Latar
belakang ………………………………………………… 3
b.
Rumusan
Masalah …………………………………………….. 3
Bab
11 Pembahasan …………………………………………………… 4.
a.
Sejarah
berdirinya Dinasti Fathimiyah ……………………….. 4
b.
Puncak
Kejayaan Dinasti Fatimiyah ………………………….. 6
c.
Bidang
Politik Dinasti Fathimiyah …………………………… 11
d.
Puncak
Kejayaan Dinasti Fathimiyah…………….. ………….. 12
e.
Masa
Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Fatimiyah……….. 13
Bab
111 Penutup ……………………………………………………….. 16
Kesimpulan
…………………………………………………………….. 16
Daftar
Pusaka …………………………………………………………... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dinasti Fatimiyah
merupakan salah satu Dinasti Syiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan
di Tunisia pada tahun 909 M oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan keturunan
pendiri kedua sekte Islamiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal
abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai
daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan
pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri
(otonom).
Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar
sepanjang sejarah Islam. Awalnya, daulah ini hanya dinasti
kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan Abbasiyah. Mereka mampu memerintah
lebih dua abad sebelum ditaklukkan oleh dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan
Salahudin al-Ayyubi. Fatimiyah
adalah dinasti Syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khilafah atau Imam di Afrika Utara
(909 – 1171). Dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syi’ah keturunan Ali bin
Abi Thalib dan Fatimah (anak Nabi Muhammad saw). Kata fatimiyah dinisbatkan
kepada Fatimah, karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah Az
Zahra binti Rasulullah. Dinasti Fatimiyah juga disebut dengan Daulah Ubaidiyah
yang dinisbatkan kepada pendiri dinasti yaitu Abu Muhammad Ubaidillah al Mahdi
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah berdirinya Dinasti Fathimiyah?
2. Bagaimana
perkembangan dan kemajuan Dinasti Fathimiyah?
3. Bagaimana bidang politik Dinasti
Fathimiyah?
4. Bagaimana
puncak kejayaan Dinasti Fathimiyah?
5. Apa
saja faktor penyebab kemunduran dan runtuhnya Dinasti Fatmiyah
BAB II
PEMBAHASAN
Dinasti
Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada 567
H/1171 M yang
awalnya hanya sebuah gerakan
keagamaan yang berkedudukan di Afrika Utara, dan berpindah ke Mesir. Saat itu
kondisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu mengatur daerah kekuasaannya yang luas.
Kelahiran dinasti ini dimulai dengan gerakan
dari cabang kaum Syi’ah Imamiyah – yaitu Syi’ah Ismailiyah. Dinasti ini
dinisbatkan kepada Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW dan sekaligus istri
Ali bin Abi Thalib Radhiallahu anhu. Dan juga dinasti ini mengklaim dirinya
sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah
Zahra binti Rasulullah SAW.[1]
Namun masalah nasab keturunan Fathimiyah ini masih menjadi perdebatan antara para sejarawan. Dari
dulu hingga sekarang belum ada kata kesepakatan diantara para sejarawan mengenai
nasab keturunan ini, hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya:
1.
Pergolakan
politik dan madzhab yang sangat kuat sejak wafatnya Rasulullah SAW.
2. Ketidakberanian
dan keengganan keturunan Fatimiyah ini untuk mengiklankan nasab mereka, karena
takut kepada penguasa, ditambah lagi penyembunyian nama-nama para pemimpin
mereka sejak Muhammad bin Ismail hingga Ubaidillah al Mahdi.
Dinasti
Fatimiyah beraliran syiah Ismailiyah dan didirikan oleh Sa’id bin Husain al
Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah al Mahdi berpindah dari
Suria ke Afrika Utara karena propaganda Syiah di daerah ini mendapat sambutan
baik. Gerakan Syi’ah Isma’iliyah ini muncul sejak berdirinya pemerintahan
Abbasiyah dengan menggunakan dua model gerakan.
1.
Gerakan
militan (sembunyi-sembunyi)
Gerakan
militan ini dipelopori oleh Abdullah ibn Syi’i dengan berusaha mendekati
jama’ah haji yang berasal dari Tunisia dan berusaha memasukkan propaganda
ajaran Isma’iliyah. Dia kemudian berhasil mempengaruhi para jama’ah haji tersebut.
2.
Gerakan
frontal (terang-terangan)
Sukses gemilang yang diraih oleh Abdullah
al-Syi’i di wilayah Tunisia, mendorongnya melakukan perlawanan terhadap dinasti
Aghlabiah. Kemudian pada tahun 909 M., dia memproklamirkan Sa’id ibn al-Husain
sebagai khalifah dengan gelar al-Imam Ubaidillah al-Mahdi dengan Raqadah sebagai
pusat ibu kota. Namun karena Raqadah
terlalu dekat dari kota pusat Sunni yaitu qairawan, maka pusat pemerintahan dipindahkan
ke al-Mahdiyah, pada tahun 915. Dengan demikian, Dinasti Fatimiyah berdiri di
Tunisia (Afrika Utara) pada tahun 909 M dibawah pimpin Sa’id ibn al-Husain
setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa.
Pada awalnya,
Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru pada masa
Abdullah bin Maimun yang mentransformasikan ini sebagai gerakan politik
keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia
mengirimkan misionaris ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan
ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar
belakang berdirinya dinasti Fatimiyah.
Ubaidillah
merupakan khalifah pertama daulah Fatimiyah. Ia memerintah selama kurang lebih
25 tahun (904-934 M). Dalam masa pemerintahannya, al-Mahdi melakukan perluasan
wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika, meliputi Maroko, Mesir, Multa, Alexandria,
Sardania, Corsica, dan balerick. Pada 904 M, Khalifah al-Mahdi mendirikan kota
baru dipantai Tunisia yang diberi nama kota Mahdiyah yang menjadi ibukota
pemerintahan.
Di Afrika Utara
kekuasaan mereka menjadi besar. Pekerjaan daulah Fatimiyah yang pertama adalah
mengambil kepercayaan ummat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah binti
Rasulullah dan istri dari Ali bin Abu Muthalib.
Daulah
Fatimiyah memasuki era kejayaan pada masa pemerintahan Abu Tamin Ma’Abu Daud
yang bergelar al-Mu’iz (953-997). Al-Mu’iz behasil menaklukkan Mesir dan
memindahkan pemerintahan ke Mesir. Pada masa ini rakyat merasakan kehidupan
yang makmur dan sejahtera dengan kebijakan-kebijakan untuk mensejahterakan
rakyatnya. Indikatornya adalah banyaknya bangunan fisik seperti Masjid, Rumah
sakit, Penginapan, jalan utama yang dilengkapi lampu dan pusat perbelanjaan.
Pada masa ini pula berkembang berbagai jenis perusahaan dan kerajinan seperti
tenunan, keramik, perhiasan emas, dan perak, peralatan kaca, ramuan,
obat-obatan.
Kesuksesan
lainnya adalah dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Besarnya minat
masyarakat kepada ilmu pengetahuan mendapat dukungan penguasa dengan membangun
Darul-Hikmah dan perguruan tinggi al-Azhar (yang sebelumnya adalah bangunan
masjid), yang mengajarkan ilmu kedokteran, Fiqh, Tauhid, Al-Bayan, Bahasa Arab,
Mantiq, dan sebagainya.
B. Perkembangan
dan kemajuan Dinasti Fatimiyah.
Pada masa
pemerintahan Fatimiyah, persoalan agama dan negara tidak dapat dipisahkan.
Agama dianggap sebagai pilar utama dalam menegakkan daulah atau negara. karena
itu, pemerintah Fatimiyah sangat memperhatikan masalah keberagamaan masyarakat
meskipun mereka berstatus sebagai warga negara kelas dua seperti orang Yahudi,
Nasrani, Turki, Sudan.[2]
Menurut Ali,
mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat, bahkan penuh perhatian terhadap
urusan agama non muslim sehingga orang-orang Kristen Kopti Armenia tidak pernah
merasakan kemurahan dan keramahan selain dari pemerintahan Muslim. Banyak orang
Kristen, seperti al-Barmaki, yang diangkat jadi pejabat pemerintah dan rumah
ibadah mereka dipagar oleh pemerintah.
Meskipun para
Khalifah berjiwa moderat, akan tetapi terhadap orang yang tidak mau mengakui
ajaran Syi’ah Islamiyah langsung dihukum bunuh. Pada tahun 391 H khalifah
al-Hakim membunuh seorang laki-laki yang tidak mau mengakui keutamaan/fadhilah
Ali bin Abi Thalib, dan al-Hakim juga memerintahkan agar di masjid, pasar dan
jalan-jalan ditempelkan tulisan yang mencela para sahabat.
Akan tetapi,
Kemurahan hati yang ditampilkan Khalifah Fatimiyah terhadap orang Kristen tidak
urung menimbulkan negatif. Al-Mu’iz yang
dikenal dengan kewarakan dan ketaqwaannya diisukan telah murtad, mati sebagai
orang Kristen dan dikubur di gereja Abu Siffin di Mesir kuno. Namun, menurut
Hasan, isu tersebut tidak benar sebab tidak ada sejarawan yang menyebutkan
seperti itu, dan hanya cerita karangan (Khurafat) yang sengaja dienduskan oleh
orang-orang yang tidak senang kepadanya termasuk dari sisa-sisa penguasa
Abbasiyah yang ingin melemahkan kekuatan
Fatimiyah.
Sementara itu,
agama yang didakwahkan Fatimiyah adalah ajaran Islam menurut pemahaman Syi’ah
Islamiyah yang ditetapkan sebagai mazhab negara. Untuk itu, para missionaris
daulah Fatimiyah sangat gencar mengembangkan ajaran tersebut dan berhasil
meraih pengikut yang banyak sehingga masa kekuasaan daulah Fatimiyah dipandang
sebagai era kebangkitan dan kemajuan mazhab Islamiyah.[3]
Jelasnya
peranan agama sangat diperhatikan oleh penguasa untuk tujuan mempertahankan
kekuasaan. Buktinya, sikap tegas khalifah Fatimiyah terhadap orang yang tidak
mau mengakui mazhab Isma’iliyah dapat berupa hukuman di bunuh apabila sikap
seperti dapat berakibat munculnya instabilitas negara. Al-Hakim misalnya, agar
terjalin hubungan yang baik dengan rakyatnya yang berpaham sunni, al-Hakim
mulai bersikap lunak dengan menetapkan larangan mencela sahabat khususnya
khalifah Abu Bakar dan Umar. Al-Hakim juga membangun madrasah yang mengajarkan paham sunni, memberikan bantuan
buku-buku bermutu dan berkualitas sehingga warga Syi’ah merasa senang tengah hidup dikawasan sunni.
Sikap yang
diambil para khalifah Fatimiyah tidak sekejam yang dilakukan Abdullah al-Saffah
yang berusaha mengikis habis siapa-siapa pengikut Bani Ummayyah di awal masa
kekuasaannya. Dalam hal ini para khalifah Fatimiyah memberlakukan masyarakat
secara sama selama mereka bersedia mengikuti ajaran Syi’ah Isma’iliyah yang
merupakan madzhab negara. Ketidaksenangan khalifah Fatimiyah kepada Abbasiyah
tidak menunjukkan dalam bentuk kekerasan. Hanya saja, Khalifah Fatimiyah
melarang menyebutnya bani Abbasiyah dalam setiap khutbah jum’at dan
mengharamkan pemakain jubah hitam serta atribut bani Abbasiyah lainnya. Pakaian
yang dipakai untuk khutbah adalah berwarna putih.
Meskipun
al-Mu’iz menuntaskan pemberontakan, tetapi ia selalu menempuh jalan damai
terhadap pemimpin Gubernur dengan menjanjikan penghargaan kepada yang bersedia
menunjukkan loyalitasnya. Banyak diantara para Gubernur yang bersedia mengikuti
mazhab Isma’iliyah, padahal mereka sebelumnya adalah Gubernur yang diangkat
khalifah Abbasiyah. Mereka bersedia
masuk Islam dan menganut mazhab Isma’iliyah ketika mereka ditawarkan memegang
jabatan tertentu didalam pemerintahan.
Tindakan tegas
dalam bentuk pemberian hukum bunuh baru dilakukan terhadap orang yang menolak
paham Isma’iliyah. Hanya satu peristiwa yang diambil tindakan tegas terhadap
orang yang tidak mau mengikuti faham Isma’iliyah, yaitu ketika raja muda Zarida
di Afrika yang bernama Mu’iz ibn Badis menghina dinasti Fatimiyah dengan tidak
menyebut-nyebut nama khalifah Fatimiyah al-Muntasir pada saat khutbah jum’at
melainkan menyebutnya nama khalifah Abbasiyah. Tidak diambilnya tindakan tegas
dikarenakan al-Muntasir lebih tertarik pada pemberontakan Al-Bassasiri terhadap
pemerintahaan Abbasiyah. Momen ini dinilai al-Muntasir sebagai kesempatan untuk
menegakkan kembali kekuasaannya di Asia Barat setelah Tughril menegakkan
kekuasaan Abbasiyah di wilayah itu.
Kondisi Sosial para khalifah Fatimiyah bersikap
toleran dan penuh perhatian terhadap urusan agama nonmuslim. Misalnya para
pemeluk agama Kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana. Bahkan pada masa al
Aziz mereka ditunjuk menduduki jabatan di istana. Begitu pula pada jaman
al-Mustansir dan seterusnya, sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh
orang-orang Kristen. Hanya Khalifah al Hakim yang bersikap agak keras terhadap
mereka.
Sebagian besar
khalifah Fatimiyah berpola hidup mewah dan santai. Misalnya al-Mustansir mendirikan
paviliun di istananya, sebagai tempat memuaskan kegemaran berfoya-foya bersama
sejumlah penari rupawan
Dalam bidang
administrasi, yang dikembangkan khalifah Abbasiyah masih terus dipraktekkan. Khalifah menjabat sebagai kepala
negara baik dalam urusan keduniaan maupun dalam urusan spritual. Ia berwenang
mengangkat sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya. Selain itu
sakralisasi khalifah yang muncul di masa pemerintahan Abbasiyah masih tetap
dipertahankan yang indikatornya dapat dilihat dari gelar yang disandang para
khalifah Fatimiyah seperti al-Mu’iz dinillah, al-Aziz billah, al-Hakim bin
Amrullah dan sebagainya.
Dalam bidang Ekonomi, bahwa untuk meningkatkan
ekonomi, dinasti Fatimiyah membuat jalan terusan, jembatan sebagai lintas hasil
pertanian agar pendapatan negara dari sektor pajak bisa ditingkatkan,
menambah aturan baru tentang perindustrian dengan membatasi para industriawan
dari hidup bermewah-mewahan. Satuan uang di Mesir digunakan dinar dengan kurs
dirham yang ditentukan. Hal itu dilakukan untuk melindungi para pedagang kecil
dari kesewenang-wenangan pedagang besar yang menggunakan dinar sebagai kurs.
Di
bawah Fatimiyah, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas kultural yang
mengungguli Irak. Hubungan perdagangan dengan dunia non-Islam dibina, termasuk
India dan negeri-negeri Mediterania yang Kristen. Pada masa ini, dari Mesir
dihasilkan sebagian produk seni Islam yang terbaik. Sementara pendapatan Negara
diperoleh dari pertanian, perdagangan dan bea cukai karena Mesir pada saat
menjadi jalur penghubung antara Afrika Asia dan Eropa dan menjadi tempat
pertukaran berbagai komoditas antara Eropa dan Asia.
Ada tiga hal
yang dapat disoroti mengenai perkembangan dan kemajuan yang dicapai pada masa
Dinasti Fatimiyah berkuasa yakni :
1. Kemajuan
Administrasi Pemerintahan
Pengelolaan
negara yang dilakukan Dinasti Fatimiyah ialah dengan mengangkat para menteri.
Dinasti Fatimiyah membagi kementrian menjadi dua kelompok. Pertama kelompok
militer yang terdiri dari tiga jabatan pokok yaitu pejabat militer dan pengawal
khalifah, petugas keamanan, resimen-resimen. Yang kedua adalah kelompok sipil
yang terdiri atas Qadhi (Hakim dan direktur percetakan uang), Ketua Dakwah yang
memimpin pengajian, Inspektur pasar (pengawas pasar, jalan, timbangan dan
takaran), Bendaharawan negara (menangani Bait Maal), Kepala urusan rumah tangga
raja, Petugas pembaca Al Qur'an, dan Sekretaris berbagai Departemen.
Selain pejabat
pusat, disetiap daerah terdapat pejabat setingkat guberbur yang diangkat
oleh khalifah untuk mengelola daerahnya masing-masing. Administrasi dikelola
oleh pejabat setempat.
2. Penyebaran
faham Syiah
Ketika Al Muiz
berhasil menguasai Mesir, di kawasan ini berkembang empat madzhab Fikih :
Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali, sedangkan Al Muiz sendiri menganut madzhab
Syiah. Dalam menyikapi hal ini Al Muiz mengangkat hakim dari kalangan Sunni dan
Syiah. Akan tetapi jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama Syiah
sedangkan Sunni hanya menduduki jabatan rendahan. Pada tahun 973 M, semua
jabatan di berbagai bidang politik, agama dan militer dipegang oleh Syiah. Oleh
karena itu sebagian pejabat Fathimiyah yang Sunni beralih ke Syiah supaya
jabatannya meningkat. Disisi lain al Muiz membangun toleransi agama sehingga
pemeluk agama lain seperti Kristen diperlakukan dengan baik dan diantara mereka
diangkat menjadi pejabat istana.[4]
3.
Perkembangan
ilmu pengetahuan
Dinasti
Fatimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Fatimiyah
membangun masjid Al Azhar yang akhirnya di dalamnya terdapat kegiatan-kegiatan
pengembangan ilmu pengetahuan sehingga berdirilah Universitas Al Azhar yang
nantinya menjadi salah satu perguruan Islam tertua yang dibanggakan oleh ulama
Sunni. Al Hakim berhasil mendirikan Daar al Hikmah, perguruan Islam yang
sejajar dengan lembaga pendidikan Kordova dan Baghdad. Perpustakaan Daar al
Ulum digabungkann dengan Daar al Himmah yang berisi berbagai buku ilmu
pengetahuan. Beberapa ulama yang muncul pada saat itu adalah sebagai berikut:
- Muhammad
al Tamimi dan Ibnu Sina (ahli Fisika dan Kedokteran)
- Al
Kindi (ahli sejarah dan filsafat)
- Al
nu’man (ahli hukum dan menjabat sebagai hakim)
- Ali
bin Yunus (ahli Astronomi)
- Ali
Al Hasan bin al Khaitami (ahli Fisika dan Optik)
Disamping itu
kemajuan bangunan fisik juga luar biasa. Indikasi kemajuan tersebut dapat
dibuktikan dari banyaknya bangunan yang dibangun berupa masjid, universitas,
rumah sakit dan penginapan megah. Jalan-jalan utama dibangun dan dilengkapi
dengan lampu warna-warni, dalam bidang industri telah dicapai kemajuan besar
khususnya yang berkaitan dengan militer seperti alat-alat perang, kapal dan
sebagainya.
C. Bidang Politik Pada masa Dinasti Fathimiyah
Pada masa pemerintahan Fatimiyah,
kepada Negara dipimpin oleh seorang imam atau khalifah, para imam bagi
fatimiyah memang sesuatu yang diwajibkan, karena merupakan penerapan kekuasaan
yang turun temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, kemudian
selanjutnya di teruskan oleh para imam. Imamah ini diwariskan dari seorang
bapak kepada anak laki-laki yang paling tua dari keturunan mereka. Dan menjadi
syarat penting yang harus dipenuhi dalam pengangkatan seorang imam adalah
adanya nash atau wasiat khusus dari imam sebelumnya. Baik wasiat yang di
kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau hanya diketahui oleh
orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja
Disamping itu
daulat fatimiyah juga membentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya
diantaranya, dewan majlis , dewan nazar, dewan tahkik (sekretaris)dewan
barid (pos), dewan tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak)
dan lain-lainnya. Selanjutnya dari segi politik juga daulat fatimiyah membentuk
wazir-wazir (wazir tanfiz dan wazir tafwid). Wazir ini dibentuk pada masa Aziz
billah pada bulan Ramadhan tahun 367H/979 M.
Mentri-mentri
Wazir kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Militer dan Sipil.
Yang dibidangi oleh kelompok Militer diantaranya: urusan tentara, perang,
pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan.
Yang termasuk kelompok Sipil diantaranya:
a. Qadi,
yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
b. Ketua
dakwah, yang memimpin Darul Hikmah
c. Inspektur
pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan
d. Bendaharawan
Negara, yang membidangi Baitul Mal
e. Wakil
kepala urusan rumah tangga Khalifah
f. Qori,
yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja dibutuhkan
Bentuk
pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan bentuk pemerintahan yang dianggap sebagai pola
baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang
bersifat temporal dan spiritual. Pengangkatan dan pemecatan penjabat tinggi
berada di bawah kontrol kekuasaan Khalifah.[5]
D. Puncak
Kejayaan Dinasti Fatimiyah.
Puncak kejayaan
dinasti Fatimiyah dicapai pada masa pemerintahan Abu al-Manshur Nizar
al-Aziz (975-996) khalifah kelima, di mana kerajaan diliputi dengan kedamaian.
al-Aziz berhasil menempatkan dinasti Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di
kawasan Mediterania Timur, bahkan berhasil menenggelamkan pamor penguasa
Bagdad. al-Aziz merupakan khalifah
yang paling bijaksana dan murah hati diantara para khalifah Fatimiyah. dan nama
al-Aziz diagungkan dalam setiap khutbah jum’at sepanjang wilayah kekuasaannya dari Atlantik hingga Laut Merah, juga di
masjid-masjid di Yaman, Mekah, Damaskus, bahkan Mosul. Ia adalah khalifah
pertama yang memulai pemerintahan di Mesir.
Sepanjang
kekuasaan Abu Mansyur Nizar al-Aziz (975-996), Kerajaan Mesir senantiasa diliputi
kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah pertama yang
memulai pemerintahan di Mesir. Di bawah kekuasaannyalah dinasti Fatimiyah
mencapai puncak kejayaannya. Nama sang khalifah selalu disebutkan dalam
khutbah-khutbah jum’at disepanjang wilayah kekuasaanya yang berbentang dari
Atlantik hingga laut Merah, juga di masjid-masjid Yaman, Mekkah, Damaskus,
Bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung, kekuasannya meliputi wilayah yang
sangat luas.[6]
Di bawah
kekuasaannya kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi
kekhalifaan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifaan itu telah
menenggelamkan penguasa Baghdad dan ia berhasil menempatkan kekhalifaan
Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Meditera Timur. Al-Aziz
menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi
istana Abbasiyah, musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad
berhasil ditaklukkan. Seperti pendahulunya ia melirik wilayah Spanyol, tetapi
khalifah Kordova yang percaya diri itu ketika menerima surat yang pedas dari
raja Fatimiyah memberikan balasan tegas dengan berkata, “Engkau meremehkan kami
karena kau telah mendengar tentang kami. Jika kami mendengar apa yang telah dan
akan kau lakukan kami akan membalasnya”.
Bisa dikatakan bahwa diantara para khalifah
Fatimiyah khalifah Al-Aziz adalah khalifah yang paling bijaksana dan paling
murah hati. Dia hidup di kota Kairo yang mewah dan cemerlang, dikelilingi
beberapa masjid, istana dan jembatan, serta memberikan toleransi yang terbatas
kepada umat Kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.Menurut
Harun Nasution, dalam masa kejayaan ini tergores sejarah yang menunjukkan
kegemilangan Fatimiyah bahwa salah satu golongan sekte syiah yang bernama
Qaramithah (Carmatian) yang dibentuk oleh Hamdan Ibnu Qarmat di akhir abad IX.
E. Masa
Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Fatimiyah.
Gejala-gejala
yang menunjukkan kemunduran dinasti Fatimiyah telah terlihat di penghujung masa
pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa pemerintahan
al-Muntasir yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan adalah Fatimiyah
pada masa pemerintahan al-Adid 567 H / 1171 M.
Adapun faktor
yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya dinasti Fatimiyah dapat diklarifikasikan
kepada faktor internal dan eksternal:
1. Faktor
Internal
Faktor internal
yang menghantarkan kemunduran dinasti
Fatimiyah adalah di karenakan lemahnya kekuasaan pemerintah. para khalifah
tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para
pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para
khalifah yang bermewah-mewah merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk
melakukan ekspansi.
Para khalifah
kurang cakap dalam memerintah sehingga roda pemerintahan tidak berjalan secara
efektif, ketidak efektifan ini dikarenakan khalifah yang diangkat banyak yang
masih berusia relatif muda . Fenomena ini muncul pasca wafatnya al-Aziz,
setelah al-Aziz wafat ia digantikan puteranya bernama Abu Mansur al-Hakim yang
masih berusia 11 tahun. Kebijakan dalam pemerintahannya sangat tergantung
kepada keputusan Gubernur bernama Barjawan yang meskipun pada akhirnya dihukum
al-hakim karena penyalahgunaan kekuasaan.
Bukti lain
ketidakcakapan khalifah adalah munculnya perlawanan orang Kristen terhadap
penguasa. Perlawanan ini muncul dikarenakan orang Kristen tidak senang dengan
maklumat al-Hakim yang berisikan tiga alternatif pilihan yang berat bagi orang
Kristen. Masuk Islam, atau meninggalkan tanah air, atau berkalung salib sebagai
simbol kehancuran. Maklumat tersebut dianggap menghilangkan hak-hak mereka
sebagai warga negara. Setelah al-Hakim wafat, ia digantikan puteranya bernama
Abu Hasyim Ali yang bergelar al-Zahir yang berusia 16 tahun dan kebijakan
pemerintahan berada ditangan bibinya bernama Siti al-Mulk, sepeninggalan
bibinya al-Zahir menjadi raja boneka ditangan para wajirnya. Pengangkatan
khalifah dalam usia relatif muda masih terus berlanjut hingga masa akhir
pemerintahan daulah Fatimiyah, Sementara khalifah terakhir bernama al-Adid
dinobatkan disaat berusia sembilan tahun.
Faktor lainnya
dipengaruhi oleh peristiwa alam. Wabah penyakit dan kemarau panjang sehingga
sungai Nil kering, menjadi sebab perang saudara. Setelah meninggal Abu Tamim
Ma’ad al Muntashir diganti oleh anaknya al Musta’li. Akan tetapi Nizar, (anak
Abu Tamim Ma’ad yang tertua) melarikan diri ke Iskandariyah dan menyatakan diri
sebagai khalifah. Oleh sebab ini fatimiyah terpecah menjadi dua.
Baca Juga: Politik dan Pemerintahan Dinasti Usmania
.
2. Faktor
Eksternal
Adapun penyebab
runtuhnya dinasti Fatimiyah adalah menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki di
Mesir seorang Gubernur Syiria yang masih berada di bawah kekuasaan Bani
Abbasiyah. Popularitas al-Zanki menonjol pada saat ia mampu mengalahkan pasukan
salib atas permohonan khalifah al-Zafir yang tidak mampu mengalahkan tentara
salib.
Dikarenakan
rasa cemburunya kepada Syirkuh yang memiliki pengaruh kuat di istana dianggap
sebagai saingan yang akan merebut kekuasaannya sebagai wazir, syawar melakukan
perlawanan. Pertempuran pun pecah di Pelusium dan pasukan Syirkuh dapat
mengalahkan pasukan salib.Syawar sendiri dapat ditangkap dan dihukum bunuh
dengan memenggal kepalanya atas perintah khalifah Fatimiyah.[7]
Dengan
kemenangan ini, maka Syirkuh dinobatkan menjadi wazir dan pada tahun 565 H /
1117 M. setelah Syirkuh wafat, jabatan wazir diserahkan kepada Salah al-Din
Ayyubi. Selanjutnya Salah al-Din mengambil kekuasaan sebagai khalifah setelah
al-Adid wafat. Dengan berkuasanya Salah al-Din, maka diumumkan bahwa kekuasaan
daulah Fatimiyah berakhir. Dan membentuk dinasti Ayyubiyah serta merubah
orientasinya dari paham syi’ah ke sunni.
Khalifah
Fatimiyah berakhir pada tahun 567 H / 1117 M. Untuk mengantisipasi perlawanan dari
kalangan Fatimiyah, Salahudin membangun benteng bukit di Muqattam dan dijadikan
sebagai pusat pemerintahan dan militer. Yang kini bangunan benteng tersebut
masih berdiri kokoh di kawasan pusat Mishral qadim (Mesir lama) yang terletak
tidak jauh dari Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa Asia di
Qatamiyah. [8]
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya.
Antara lain:
1. Perilaku al-Hakim
(pengganti al-Aziz) yang kejam menjadi awal kemunduran dinasti Fatimiyah.
Al-Hakim membunuh beberapa wazir, menetapkan aturan ketat terhadap non-Islam
dengan menjadikan Islam eksklusif dari agama lain seperti pakaian dan identitas
agama, menghancurkan beberapa gereja dan kuburan suci umat Kristen.
2. Realita bahwa meski
dinasti Fatimiyah telah berkuasa di Mesir hampir 200 tahun, ternyata secara
ideologis belum berhasil membumikan doktrin ideologi Syi’ah Ismailiyah.
Masyarakat Muslim di Mesir teryata masih tetap setia kepada ideologi Sunni.
Oleh karena itu, ketika dinasti Fatimiyah berada di ambang kehancurannya,
masyarakat Muslim Mesir bukannya berusaha membantu, tapi justru berusaha
mempercepat kehancurannya.
3. Keberadaan tiga bangsa
besar yaitu bangsa Arab, bangsa Barbar dari Afrika Utara dan bangsa Turki yang
sama-sama mempunyai pengaruh dan menjadi pendukung utama kekuasaan Fatimiyah,.
Di saat khalifah mempunyai pengaruh kuat, ketiga bangsa itu dapat
diintegrasikan menjadi kekuatan yang dahsyat. Akan tetapi, ketika khalifahnya
lemah, maka konflik ketiga bangsa itupun menjadi dahsyat untuk saling berebut
pengaruh dan kekuasaan.
4.
Pukulan menentukan dari kehancuran Fatimiyah terjadi pada masa
pemerintahan khalifah Al-Adid Lidinillah. Pada saat itu, wilayah kekuasaan
dinasti Fatimiyah menjadi ajang perebutan antara Nuruddin Zinki sebagai wakil
dinasti Abbasiyah yang ada di Syiria dan pasukan Salib yang ada di Yerusalem
pimpinan Raja Almeric. Pada tahun 1169 M, pasukan Nuruddin Zinki yang dipimpin
panglima besar Shalahuddin al-Ayyubi dapat mengusir pasukan Salib dari Mesir
dan menaklukkan kekuasaan wazir dari khalifah al-‘Adid
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dinasti
Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada
awalnya, daulah ini hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari
kekuasaan dinasti Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum
ditaklukkan oleh dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salahudin al-Ayyubi.
Pemerintahan Fatimiyah
ini dapat dimasukkan ke dalam model pemerintahan yang bersifat keagamaan, yaitu
agama dijadikan sebagai motivasi kebangkitan melawan rezim yang
mapan.Selanjutnya simbol-simbol keagamaan (Syi’ah),
Dalam masa
pemerintahannya, daulah Fatimiyah sangat konsen dengan pengembangan paham
Syi’ah Isma’iliyah. Untuk kesuksesannya, mereka mewajibkan seluruh aparat di
jajaran pemerintahan dan warga masyarakat untuk menganut paham tersebut.
Faktor internal
yang paling signifikan dalam menghantarkan kemunduran dinasti Fatimiyah adalah
di karenakan lemahnya kekuasaan pemerintah. para khalifah tidak lagi memiliki semangat
juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para pendahulu mereka ketika
mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para khalifah yang bermewah-mewah
merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk melakukan ekspansi.
DAFTAR PUSTAKA
-
Adawi, Ibrahim Ahmad. Tarikh al-‘Alam al-Islami. Diktat al-Ma’had
al-Dirasah al-Islamiyah, 1998 M.
- Ahmad,
Zaenal Abidin, Sejarah Islam dan Umatnya, Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1979
- Hakim,
Moh. Nur, Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UUM Press, 2004
-
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Cet. I;
Yogyakarta; Pustaka Book Publisher, 2007 M.).
-Al-Dimasyqi,
Abu al-Fada’ Isma’il ibn Kasir. al-Bidayah wa al-Nihayah. Cet. I;
Bairut: Dar Ih}ya al-Turas al-‘Arabi, 1408 H./1988 M.
-Sunanto,
Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media, 2003
[1]
Adawi,
Ibrahim Ahmad. Tarikh al-‘Alam al-Islami. Diktat al-Ma’had al-Dirasah
al-Islamiyah, 1998 M.
[4]
Ahmad, Zaenal Abidin, Sejarah Islam dan Umatnya,
Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1979
[6]
Karim,
M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Cet. I; Yogyakarta;
Pustaka Book Publisher, 2007 M.).
[7]
Al-Dimasyqi,
Abu al-Fada’ Isma’il ibn Kasir. al-Bidayah wa al-Nihayah. Cet. I;
Bairut: Dar Ih}ya al-Turas al-‘Arabi, 1408 H./1988 M.
[8]
Hakim, Moh. Nur, Sejarah dan Peradaban Islam,
Malang: UUM Press, 2004
0 komentar:
Post a Comment