Politik dan Pemerintahan Dinasti Fatimiyah

Peninggalan Dinasti Fatimiyah, tongkronganislami.net

Daftar Isi
Bab 1 Pendahuluan …………………………………………………….       3         
a.       Latar belakang …………………………………………………       3         
b.      Rumusan Masalah ……………………………………………..       3
Bab 11 Pembahasan ……………………………………………………       4.
a.       Sejarah berdirinya Dinasti Fathimiyah ………………………..        4
b.      Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah …………………………..       6
c.       Bidang Politik Dinasti Fathimiyah ……………………………        11
d.      Puncak Kejayaan Dinasti Fathimiyah…………….. …………..       12
e.       Masa Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Fatimiyah………..         13
Bab 111 Penutup ………………………………………………………..      16
Kesimpulan ……………………………………………………………..      16
Daftar Pusaka …………………………………………………………...      17



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu Dinasti Syiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Islamiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom).
Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Awalnya, daulah ini hanya dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum ditaklukkan oleh dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salahudin al-Ayyubi.  Fatimiyah adalah dinasti Syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khilafah atau Imam di Afrika Utara (909 – 1171). Dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syi’ah keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (anak Nabi Muhammad saw). Kata fatimiyah dinisbatkan kepada Fatimah, karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah Az Zahra binti Rasulullah. Dinasti Fatimiyah juga disebut dengan Daulah Ubaidiyah yang dinisbatkan kepada pendiri dinasti yaitu Abu Muhammad Ubaidillah al Mahdi  

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Fathimiyah?
2.      Bagaimana perkembangan dan kemajuan Dinasti Fathimiyah?
3.      Bagaimana bidang politik Dinasti Fathimiyah?
4.      Bagaimana puncak kejayaan Dinasti Fathimiyah?
5.      Apa saja faktor penyebab kemunduran dan runtuhnya Dinasti Fatmiyah



BAB II
PEMBAHASAN

Dinasti Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada 567
H/1171 M yang  awalnya hanya  sebuah gerakan keagamaan yang berkedudukan di Afrika Utara, dan berpindah ke Mesir. Saat itu kondisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu  mengatur daerah kekuasaannya yang luas. Kelahiran dinasti ini dimulai dengan  gerakan dari cabang kaum Syi’ah Imamiyah – yaitu Syi’ah Ismailiyah. Dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW dan sekaligus istri Ali bin Abi Thalib Radhiallahu anhu. Dan juga dinasti ini mengklaim dirinya sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Zahra binti Rasulullah SAW.[1] Namun masalah nasab keturunan Fathimiyah ini masih  menjadi perdebatan antara para sejarawan. Dari dulu hingga sekarang belum ada kata kesepakatan diantara para sejarawan mengenai nasab keturunan ini, hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya:
1.       Pergolakan politik dan madzhab yang sangat kuat sejak wafatnya Rasulullah SAW.
2.    Ketidakberanian dan keengganan keturunan Fatimiyah ini untuk mengiklankan nasab mereka, karena takut kepada penguasa, ditambah lagi penyembunyian nama-nama para pemimpin mereka sejak Muhammad bin Ismail hingga Ubaidillah al Mahdi.
Dinasti Fatimiyah beraliran syiah Ismailiyah dan didirikan oleh Sa’id bin Husain al Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah al Mahdi berpindah dari Suria ke Afrika Utara karena propaganda Syiah di daerah ini mendapat sambutan baik. Gerakan Syi’ah Isma’iliyah ini muncul sejak berdirinya pemerintahan Abbasiyah dengan menggunakan dua model gerakan.
1.   Gerakan militan (sembunyi-sembunyi)
Gerakan militan ini dipelopori oleh Abdullah ibn Syi’i dengan berusaha mendekati jama’ah haji yang berasal dari Tunisia dan berusaha memasukkan propaganda ajaran Isma’iliyah. Dia kemudian berhasil mempengaruhi para jama’ah haji tersebut.
2.   Gerakan frontal (terang-terangan)
    Sukses gemilang yang diraih oleh Abdullah al-Syi’i di wilayah Tunisia, mendorongnya melakukan perlawanan terhadap dinasti Aghlabiah. Kemudian pada tahun 909 M., dia memproklamirkan Sa’id ibn al-Husain sebagai khalifah dengan gelar al-Imam Ubaidillah al-Mahdi dengan Raqadah sebagai pusat ibu kota.  Namun karena Raqadah terlalu dekat dari kota pusat Sunni yaitu qairawan, maka pusat pemerintahan dipindahkan ke al-Mahdiyah, pada tahun 915. Dengan demikian, Dinasti Fatimiyah berdiri di Tunisia (Afrika Utara) pada tahun 909 M dibawah pimpin Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa.
Pada awalnya, Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru pada masa Abdullah bin Maimun yang mentransformasikan ini sebagai gerakan politik keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionaris ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fatimiyah.
Ubaidillah merupakan khalifah pertama daulah Fatimiyah. Ia memerintah selama kurang lebih 25 tahun (904-934 M). Dalam masa pemerintahannya, al-Mahdi melakukan perluasan wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika, meliputi Maroko, Mesir, Multa, Alexandria, Sardania, Corsica, dan balerick. Pada 904 M, Khalifah al-Mahdi mendirikan kota baru dipantai Tunisia yang diberi nama kota Mahdiyah yang menjadi ibukota pemerintahan.
Di Afrika Utara kekuasaan mereka menjadi besar. Pekerjaan daulah Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan ummat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah binti Rasulullah dan istri dari Ali bin Abu Muthalib.
Daulah Fatimiyah memasuki era kejayaan pada masa pemerintahan Abu Tamin Ma’Abu Daud yang bergelar al-Mu’iz (953-997). Al-Mu’iz behasil menaklukkan Mesir dan memindahkan pemerintahan ke Mesir. Pada masa ini rakyat merasakan kehidupan yang makmur dan sejahtera dengan kebijakan-kebijakan untuk mensejahterakan rakyatnya. Indikatornya adalah banyaknya bangunan fisik seperti Masjid, Rumah sakit, Penginapan, jalan utama yang dilengkapi lampu dan pusat perbelanjaan. Pada masa ini pula berkembang berbagai jenis perusahaan dan kerajinan seperti tenunan, keramik, perhiasan emas, dan perak, peralatan kaca, ramuan, obat-obatan.
Kesuksesan lainnya adalah dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Besarnya minat masyarakat kepada ilmu pengetahuan mendapat dukungan penguasa dengan membangun Darul-Hikmah dan perguruan tinggi al-Azhar (yang sebelumnya adalah bangunan masjid), yang mengajarkan ilmu kedokteran, Fiqh, Tauhid, Al-Bayan, Bahasa Arab, Mantiq, dan sebagainya.

B.  Perkembangan dan kemajuan Dinasti Fatimiyah.
Pada masa pemerintahan Fatimiyah, persoalan agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Agama dianggap sebagai pilar utama dalam menegakkan daulah atau negara. karena itu, pemerintah Fatimiyah sangat memperhatikan masalah keberagamaan masyarakat meskipun mereka berstatus sebagai warga negara kelas dua seperti orang Yahudi, Nasrani, Turki, Sudan.[2]
Menurut Ali, mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat, bahkan penuh perhatian terhadap urusan agama non muslim sehingga orang-orang Kristen Kopti Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan selain dari pemerintahan Muslim. Banyak orang Kristen, seperti al-Barmaki, yang diangkat jadi pejabat pemerintah dan rumah ibadah mereka dipagar oleh pemerintah.
Meskipun para Khalifah berjiwa moderat, akan tetapi terhadap orang yang tidak mau mengakui ajaran Syi’ah Islamiyah langsung dihukum bunuh. Pada tahun 391 H khalifah al-Hakim membunuh seorang laki-laki yang tidak mau mengakui keutamaan/fadhilah Ali bin Abi Thalib, dan al-Hakim juga memerintahkan agar di masjid, pasar dan jalan-jalan ditempelkan tulisan yang mencela para sahabat.

Akan tetapi, Kemurahan hati yang ditampilkan Khalifah Fatimiyah terhadap orang Kristen tidak urung menimbulkan  negatif. Al-Mu’iz yang dikenal dengan kewarakan dan ketaqwaannya diisukan telah murtad, mati sebagai orang Kristen dan dikubur di gereja Abu Siffin di Mesir kuno. Namun, menurut Hasan, isu tersebut tidak benar sebab tidak ada sejarawan yang menyebutkan seperti itu, dan hanya cerita karangan (Khurafat) yang sengaja dienduskan oleh orang-orang yang tidak senang kepadanya termasuk dari sisa-sisa penguasa Abbasiyah yang  ingin melemahkan kekuatan Fatimiyah.
Sementara itu, agama yang didakwahkan Fatimiyah adalah ajaran Islam menurut pemahaman Syi’ah Islamiyah yang ditetapkan sebagai mazhab negara. Untuk itu, para missionaris daulah Fatimiyah sangat gencar mengembangkan ajaran tersebut dan berhasil meraih pengikut yang banyak sehingga masa kekuasaan daulah Fatimiyah dipandang sebagai era kebangkitan dan kemajuan mazhab Islamiyah.[3]
Jelasnya peranan agama sangat diperhatikan oleh penguasa untuk tujuan mempertahankan kekuasaan. Buktinya, sikap tegas khalifah Fatimiyah terhadap orang yang tidak mau mengakui mazhab Isma’iliyah dapat berupa hukuman di bunuh apabila sikap seperti dapat berakibat munculnya instabilitas negara. Al-Hakim misalnya, agar terjalin hubungan yang baik dengan rakyatnya yang berpaham sunni, al-Hakim mulai bersikap lunak dengan menetapkan larangan mencela sahabat khususnya khalifah Abu Bakar dan Umar. Al-Hakim juga membangun madrasah yang  mengajarkan paham sunni, memberikan bantuan buku-buku bermutu dan berkualitas sehingga warga Syi’ah  merasa senang  tengah hidup dikawasan sunni.
Sikap yang diambil para khalifah Fatimiyah tidak sekejam yang dilakukan Abdullah al-Saffah yang berusaha mengikis habis siapa-siapa pengikut Bani Ummayyah di awal masa kekuasaannya. Dalam hal ini para khalifah Fatimiyah memberlakukan masyarakat secara sama selama mereka bersedia mengikuti ajaran Syi’ah Isma’iliyah yang merupakan madzhab negara. Ketidaksenangan khalifah Fatimiyah kepada Abbasiyah tidak menunjukkan dalam bentuk kekerasan. Hanya saja, Khalifah Fatimiyah melarang menyebutnya bani Abbasiyah dalam setiap khutbah jum’at dan mengharamkan pemakain jubah hitam serta atribut bani Abbasiyah lainnya. Pakaian yang dipakai untuk khutbah adalah berwarna putih.
Meskipun al-Mu’iz menuntaskan pemberontakan, tetapi ia selalu menempuh jalan damai terhadap pemimpin Gubernur dengan menjanjikan penghargaan kepada yang bersedia menunjukkan loyalitasnya. Banyak diantara para Gubernur yang bersedia mengikuti mazhab Isma’iliyah, padahal mereka sebelumnya adalah Gubernur yang diangkat khalifah Abbasiyah.  Mereka bersedia masuk Islam dan menganut mazhab Isma’iliyah ketika mereka ditawarkan memegang jabatan tertentu didalam pemerintahan.
Tindakan tegas dalam bentuk pemberian hukum bunuh baru dilakukan terhadap orang yang menolak paham Isma’iliyah. Hanya satu peristiwa yang diambil tindakan tegas terhadap orang yang tidak mau mengikuti faham Isma’iliyah, yaitu ketika raja muda Zarida di Afrika yang bernama Mu’iz ibn Badis menghina dinasti Fatimiyah dengan tidak menyebut-nyebut nama khalifah Fatimiyah al-Muntasir pada saat khutbah jum’at melainkan menyebutnya nama khalifah Abbasiyah. Tidak diambilnya tindakan tegas dikarenakan al-Muntasir lebih tertarik pada pemberontakan Al-Bassasiri terhadap pemerintahaan Abbasiyah. Momen ini dinilai al-Muntasir sebagai kesempatan untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Asia Barat setelah Tughril menegakkan kekuasaan Abbasiyah di wilayah itu.
Kondisi Sosial para khalifah Fatimiyah bersikap toleran dan penuh perhatian terhadap urusan agama nonmuslim. Misalnya para pemeluk agama Kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana. Bahkan pada masa al Aziz mereka ditunjuk menduduki jabatan di istana. Begitu pula pada jaman al-Mustansir dan seterusnya, sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh orang-orang Kristen. Hanya Khalifah al Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka.
Sebagian besar khalifah Fatimiyah berpola hidup mewah dan santai. Misalnya al-Mustansir mendirikan paviliun di istananya, sebagai tempat memuaskan kegemaran berfoya-foya bersama sejumlah penari rupawan
Dalam bidang administrasi, yang dikembangkan khalifah Abbasiyah masih terus  dipraktekkan. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun dalam urusan spritual. Ia berwenang mengangkat sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya. Selain itu sakralisasi khalifah yang muncul di masa pemerintahan Abbasiyah masih tetap dipertahankan yang indikatornya dapat dilihat dari gelar yang disandang para khalifah Fatimiyah seperti al-Mu’iz dinillah, al-Aziz billah, al-Hakim bin Amrullah dan sebagainya.
Dalam bidang Ekonomi, bahwa untuk meningkatkan ekonomi, dinasti Fatimiyah membuat jalan terusan, jembatan sebagai lintas hasil pertanian agar pendapatan negara  dari sektor pajak bisa ditingkatkan, menambah aturan baru tentang perindustrian dengan membatasi para industriawan dari hidup bermewah-mewahan. Satuan uang di Mesir digunakan dinar dengan kurs dirham yang ditentukan. Hal itu dilakukan untuk melindungi para pedagang kecil dari kesewenang-wenangan pedagang besar yang menggunakan dinar sebagai kurs.
Di bawah Fatimiyah, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas kultural yang mengungguli Irak. Hubungan perdagangan dengan dunia non-Islam dibina, termasuk India dan negeri-negeri Mediterania yang Kristen. Pada masa ini, dari Mesir dihasilkan sebagian produk seni Islam yang terbaik. Sementara pendapatan Negara diperoleh dari pertanian, perdagangan dan bea cukai karena Mesir pada saat menjadi jalur penghubung antara Afrika Asia dan Eropa dan menjadi tempat pertukaran berbagai komoditas antara Eropa dan Asia.
Ada tiga hal yang dapat disoroti mengenai perkembangan dan kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Fatimiyah berkuasa yakni :
1.      Kemajuan Administrasi Pemerintahan
Pengelolaan negara yang dilakukan Dinasti Fatimiyah ialah dengan mengangkat para menteri. Dinasti Fatimiyah membagi kementrian menjadi dua kelompok. Pertama kelompok militer yang terdiri dari tiga jabatan pokok yaitu pejabat militer dan pengawal khalifah, petugas keamanan, resimen-resimen. Yang kedua adalah kelompok sipil yang terdiri atas Qadhi (Hakim dan direktur percetakan uang), Ketua Dakwah yang memimpin pengajian, Inspektur pasar (pengawas pasar, jalan, timbangan dan takaran), Bendaharawan negara (menangani Bait Maal), Kepala urusan rumah tangga raja, Petugas pembaca Al Qur'an, dan Sekretaris berbagai Departemen.
Selain pejabat pusat, disetiap daerah terdapat pejabat setingkat guberbur yang  diangkat oleh khalifah untuk mengelola daerahnya masing-masing. Administrasi dikelola oleh pejabat setempat.
2.      Penyebaran faham Syiah
Ketika Al Muiz berhasil menguasai Mesir, di kawasan ini berkembang empat madzhab Fikih : Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali, sedangkan Al Muiz sendiri menganut madzhab Syiah. Dalam menyikapi hal ini Al Muiz mengangkat hakim dari kalangan Sunni dan Syiah. Akan tetapi jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama Syiah sedangkan Sunni hanya menduduki jabatan rendahan. Pada tahun 973 M, semua jabatan di berbagai bidang politik, agama dan militer dipegang oleh Syiah. Oleh karena itu sebagian pejabat Fathimiyah yang Sunni beralih ke Syiah supaya jabatannya meningkat. Disisi lain al Muiz membangun toleransi agama sehingga pemeluk agama lain seperti Kristen diperlakukan dengan baik dan diantara mereka diangkat menjadi pejabat istana.[4]

3.      Perkembangan ilmu pengetahuan
Dinasti Fatimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Fatimiyah membangun masjid Al Azhar yang akhirnya di dalamnya terdapat kegiatan-kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga berdirilah Universitas Al Azhar yang nantinya menjadi salah satu perguruan Islam tertua yang dibanggakan oleh ulama Sunni. Al Hakim berhasil mendirikan Daar al Hikmah, perguruan Islam yang sejajar dengan lembaga pendidikan Kordova dan Baghdad. Perpustakaan Daar al Ulum digabungkann dengan Daar al Himmah yang berisi berbagai buku ilmu pengetahuan. Beberapa ulama yang muncul pada saat itu adalah sebagai berikut:
-          Muhammad al Tamimi dan Ibnu Sina (ahli Fisika dan Kedokteran)
-          Al Kindi (ahli sejarah dan filsafat)
-          Al nu’man (ahli hukum dan menjabat sebagai hakim)
-          Ali bin Yunus (ahli Astronomi)
-          Ali Al Hasan bin al Khaitami (ahli Fisika dan Optik)
Disamping itu kemajuan bangunan fisik juga luar biasa. Indikasi kemajuan tersebut dapat dibuktikan dari banyaknya bangunan yang dibangun berupa masjid, universitas, rumah sakit dan penginapan megah. Jalan-jalan utama dibangun dan dilengkapi dengan lampu warna-warni, dalam bidang industri telah dicapai kemajuan besar khususnya yang berkaitan dengan militer seperti alat-alat perang, kapal dan sebagainya.

C.  Bidang Politik Pada masa Dinasti Fathimiyah
            Pada masa pemerintahan Fatimiyah, kepada Negara dipimpin oleh seorang imam atau khalifah, para imam bagi fatimiyah memang sesuatu yang diwajibkan, karena merupakan penerapan kekuasaan yang turun temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, kemudian selanjutnya di teruskan oleh para imam. Imamah ini diwariskan dari seorang bapak kepada anak laki-laki yang paling tua dari keturunan mereka. Dan menjadi syarat penting yang harus dipenuhi dalam pengangkatan seorang imam adalah adanya nash atau wasiat khusus dari imam sebelumnya. Baik wasiat yang di kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau hanya diketahui oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja
Disamping itu daulat fatimiyah juga membentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya diantaranya, dewan majlis , dewan nazar, dewan tahkik (sekretaris)dewan barid (pos), dewan tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak) dan lain-lainnya. Selanjutnya dari segi politik juga daulat fatimiyah membentuk wazir-wazir (wazir tanfiz dan wazir tafwid). Wazir ini dibentuk pada masa Aziz billah  pada bulan Ramadhan tahun 367H/979 M.
Mentri-mentri Wazir kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Militer dan Sipil. Yang dibidangi oleh kelompok Militer diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok Sipil diantaranya:
a.    Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
b.    Ketua dakwah, yang memimpin Darul Hikmah
c.    Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan
d.    Bendaharawan Negara, yang membidangi Baitul Mal
e.    Wakil kepala urusan rumah tangga Khalifah
f.     Qori, yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja dibutuhkan
Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan  bentuk pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengangkatan dan pemecatan penjabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan Khalifah.[5]


D.      Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah.
Puncak kejayaan dinasti Fatimiyah  dicapai pada masa pemerintahan Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975-996) khalifah kelima, di mana kerajaan diliputi dengan kedamaian. al-Aziz berhasil menempatkan dinasti Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur, bahkan berhasil menenggelamkan pamor penguasa Bagdad.  al-Aziz merupakan khalifah  yang paling bijaksana dan murah hati diantara para khalifah Fatimiyah. dan nama al-Aziz diagungkan dalam setiap khutbah jum’at sepanjang wilayah kekuasaannya  dari Atlantik hingga Laut Merah, juga di masjid-masjid di Yaman, Mekah, Damaskus, bahkan Mosul. Ia adalah khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir.
Sepanjang kekuasaan Abu Mansyur Nizar al-Aziz (975-996), Kerajaan Mesir senantiasa diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Di bawah kekuasaannyalah dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Nama sang khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-khutbah jum’at disepanjang wilayah kekuasaanya yang berbentang dari Atlantik hingga laut Merah, juga di masjid-masjid Yaman, Mekkah, Damaskus, Bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung, kekuasannya meliputi wilayah yang sangat luas.[6]
Di bawah kekuasaannya kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi kekhalifaan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifaan itu telah menenggelamkan penguasa Baghdad dan ia berhasil menempatkan kekhalifaan Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Meditera Timur. Al-Aziz menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi istana Abbasiyah, musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad berhasil ditaklukkan. Seperti pendahulunya ia melirik wilayah Spanyol, tetapi khalifah Kordova yang percaya diri itu ketika menerima surat yang pedas dari raja Fatimiyah memberikan balasan tegas dengan berkata, “Engkau meremehkan kami karena kau telah mendengar tentang kami. Jika kami mendengar apa yang telah dan akan kau lakukan kami akan membalasnya”.
 Bisa dikatakan bahwa diantara para khalifah Fatimiyah khalifah Al-Aziz adalah khalifah yang paling bijaksana dan paling murah hati. Dia hidup di kota Kairo yang mewah dan cemerlang, dikelilingi beberapa masjid, istana dan jembatan, serta memberikan toleransi yang terbatas kepada umat Kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.Menurut Harun Nasution, dalam masa kejayaan ini tergores sejarah yang menunjukkan kegemilangan Fatimiyah bahwa salah satu golongan sekte syiah yang bernama Qaramithah (Carmatian) yang dibentuk oleh Hamdan Ibnu Qarmat di akhir abad IX.

E.  Masa Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Fatimiyah.
Gejala-gejala yang menunjukkan kemunduran dinasti Fatimiyah telah terlihat di penghujung masa pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa pemerintahan al-Muntasir yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan adalah Fatimiyah pada masa pemerintahan al-Adid 567 H / 1171 M.
Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya dinasti Fatimiyah dapat diklarifikasikan kepada faktor internal dan eksternal:
1.      Faktor Internal
Faktor internal yang  menghantarkan kemunduran dinasti Fatimiyah adalah di karenakan lemahnya kekuasaan pemerintah. para khalifah tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para khalifah yang bermewah-mewah merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk melakukan ekspansi.
Para khalifah kurang cakap dalam memerintah sehingga roda pemerintahan tidak berjalan secara efektif, ketidak efektifan ini dikarenakan khalifah yang diangkat banyak yang masih berusia relatif muda . Fenomena ini muncul pasca wafatnya al-Aziz, setelah al-Aziz wafat ia digantikan puteranya bernama Abu Mansur al-Hakim yang masih berusia 11 tahun. Kebijakan dalam pemerintahannya sangat tergantung kepada keputusan Gubernur bernama Barjawan yang meskipun pada akhirnya dihukum al-hakim karena penyalahgunaan kekuasaan.
Bukti lain ketidakcakapan khalifah adalah munculnya perlawanan orang Kristen terhadap penguasa. Perlawanan ini muncul dikarenakan orang Kristen tidak senang dengan maklumat al-Hakim yang berisikan tiga alternatif pilihan yang berat bagi orang Kristen. Masuk Islam, atau meninggalkan tanah air, atau berkalung salib sebagai simbol kehancuran. Maklumat tersebut dianggap menghilangkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Setelah al-Hakim wafat, ia digantikan puteranya bernama Abu Hasyim Ali yang bergelar al-Zahir yang berusia 16 tahun dan kebijakan pemerintahan berada ditangan bibinya bernama Siti al-Mulk, sepeninggalan bibinya al-Zahir menjadi raja boneka ditangan para wajirnya. Pengangkatan khalifah dalam usia relatif muda masih terus berlanjut hingga masa akhir pemerintahan daulah Fatimiyah, Sementara khalifah terakhir bernama al-Adid dinobatkan disaat berusia sembilan tahun.
Faktor lainnya dipengaruhi oleh peristiwa alam. Wabah penyakit dan kemarau panjang sehingga sungai Nil kering, menjadi sebab perang saudara. Setelah meninggal Abu Tamim Ma’ad al Muntashir diganti oleh anaknya al Musta’li. Akan tetapi Nizar, (anak Abu Tamim Ma’ad yang tertua) melarikan diri ke Iskandariyah dan menyatakan diri sebagai khalifah. Oleh sebab ini fatimiyah terpecah menjadi dua.

.
2.      Faktor Eksternal
Adapun penyebab runtuhnya dinasti Fatimiyah adalah menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki di Mesir seorang Gubernur Syiria yang masih berada di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah. Popularitas al-Zanki menonjol pada saat ia mampu mengalahkan pasukan salib atas permohonan khalifah al-Zafir yang tidak mampu mengalahkan tentara salib.
Dikarenakan rasa cemburunya kepada Syirkuh yang memiliki pengaruh kuat di istana dianggap sebagai saingan yang akan merebut kekuasaannya sebagai wazir, syawar melakukan perlawanan. Pertempuran pun pecah di Pelusium dan pasukan Syirkuh dapat mengalahkan pasukan salib.Syawar sendiri dapat ditangkap dan dihukum bunuh dengan memenggal kepalanya atas perintah khalifah Fatimiyah.[7]
Dengan kemenangan ini, maka Syirkuh dinobatkan menjadi wazir dan pada tahun 565 H / 1117 M. setelah Syirkuh wafat, jabatan wazir diserahkan kepada Salah al-Din Ayyubi. Selanjutnya Salah al-Din mengambil kekuasaan sebagai khalifah setelah al-Adid wafat. Dengan berkuasanya Salah al-Din, maka diumumkan bahwa kekuasaan daulah Fatimiyah berakhir. Dan membentuk dinasti Ayyubiyah serta merubah orientasinya dari paham syi’ah ke sunni.
Khalifah Fatimiyah berakhir pada tahun 567 H / 1117 M. Untuk mengantisipasi perlawanan dari kalangan Fatimiyah, Salahudin membangun benteng bukit di Muqattam dan dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan militer. Yang kini bangunan benteng tersebut masih berdiri kokoh di kawasan pusat Mishral qadim (Mesir lama) yang terletak tidak jauh dari Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa Asia di Qatamiyah. [8]
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Antara lain:
1.      Perilaku al-Hakim (pengganti al-Aziz) yang kejam menjadi awal kemunduran dinasti Fatimiyah. Al-Hakim membunuh beberapa wazir, menetapkan aturan ketat terhadap non-Islam dengan menjadikan Islam eksklusif dari agama lain seperti pakaian dan identitas agama, menghancurkan beberapa gereja dan kuburan suci umat Kristen.
2.       Realita bahwa meski dinasti Fatimiyah telah berkuasa di Mesir hampir 200 tahun, ternyata secara ideologis belum berhasil membumikan doktrin ideologi Syi’ah Ismailiyah. Masyarakat Muslim di Mesir teryata masih tetap setia kepada ideologi Sunni. Oleh karena itu, ketika dinasti Fatimiyah berada di ambang kehancurannya, masyarakat Muslim Mesir bukannya berusaha membantu, tapi justru berusaha mempercepat kehancurannya.
3.      Keberadaan tiga bangsa besar yaitu bangsa Arab, bangsa Barbar dari Afrika Utara dan bangsa Turki yang sama-sama mempunyai pengaruh dan menjadi pendukung utama kekuasaan Fatimiyah,. Di saat khalifah mempunyai pengaruh kuat, ketiga bangsa itu dapat diintegrasikan menjadi kekuatan yang dahsyat. Akan tetapi, ketika khalifahnya lemah, maka konflik ketiga bangsa itupun menjadi dahsyat untuk saling berebut pengaruh dan kekuasaan.
4.      Pukulan menentukan dari kehancuran Fatimiyah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Al-Adid Lidinillah. Pada saat itu, wilayah kekuasaan dinasti Fatimiyah menjadi ajang perebutan antara Nuruddin Zinki sebagai wakil dinasti Abbasiyah yang ada di Syiria dan pasukan Salib yang ada di Yerusalem pimpinan Raja Almeric. Pada tahun 1169 M, pasukan Nuruddin Zinki yang dipimpin panglima besar Shalahuddin al-Ayyubi dapat mengusir pasukan Salib dari Mesir dan menaklukkan kekuasaan wazir dari khalifah al-‘Adid


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada awalnya, daulah ini hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan dinasti Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum ditaklukkan oleh dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salahudin al-Ayyubi.
Pemerintahan Fatimiyah ini dapat dimasukkan ke dalam model pemerintahan yang bersifat keagamaan, yaitu agama dijadikan sebagai motivasi kebangkitan melawan rezim yang mapan.Selanjutnya simbol-simbol keagamaan (Syi’ah),
Dalam masa pemerintahannya, daulah Fatimiyah sangat konsen dengan pengembangan paham Syi’ah Isma’iliyah. Untuk kesuksesannya, mereka mewajibkan seluruh aparat di jajaran pemerintahan dan warga masyarakat untuk menganut paham tersebut.
Faktor internal yang paling signifikan dalam menghantarkan kemunduran dinasti Fatimiyah adalah di karenakan lemahnya kekuasaan pemerintah.  para khalifah tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para khalifah yang bermewah-mewah merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk melakukan ekspansi.

DAFTAR PUSTAKA
- Adawi, Ibrahim Ahmad. Tarikh al-‘Alam al-Islami. Diktat al-Ma’had al-Dirasah al-Islamiyah, 1998 M.
- Ahmad, Zaenal Abidin, Sejarah Islam dan Umatnya, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1979
- Hakim, Moh. Nur, Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UUM Press, 2004
- Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Cet. I; Yogyakarta; Pustaka Book Publisher, 2007 M.).
-Al-Dimasyqi, Abu al-Fada’ Isma’il ibn Kasir. al-Bidayah wa al-Nihayah. Cet. I; Bairut: Dar Ih}ya al-Turas al-‘Arabi, 1408 H./1988 M.
-Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media, 2003
                          -http://abatihawa.blogspot.com/2008/07/dinasti-fatimiah-297-h-322-h-910-m-934.html




[1] Adawi, Ibrahim Ahmad. Tarikh al-‘Alam al-Islami. Diktat al-Ma’had al-Dirasah al-Islamiyah, 1998 M.

[2] Hakim, Moh. Nur, Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UUM Press, 2004

[4] Ahmad, Zaenal Abidin, Sejarah Islam dan Umatnya, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1979

[5] Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media, 2003
[6] Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Cet. I; Yogyakarta; Pustaka Book Publisher, 2007 M.).

[7] Al-Dimasyqi, Abu al-Fada’ Isma’il ibn Kasir. al-Bidayah wa al-Nihayah. Cet. I; Bairut: Dar Ih}ya al-Turas al-‘Arabi, 1408 H./1988 M.

[8] Hakim, Moh. Nur, Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UUM Press, 2004

0 komentar:

Post a Comment