Mengenal Ilmu Rijal al-Hadis, tebyan.net |
Ilmu Rijal al-Hadis secara
etimologis berasal dari kata Rijal, yaitu jamak dari Rojul yang berarti
laki-laki. Sedangkan secara terminologis menurut Subhi as-Sholih yaitu Ilmu
untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis.
Hadis itu sendiri terdiri dari dua
komponen utama yaitu sanad dan matan. Dalam sanad itu tidak bisa terlepas dari
perawi atau rijal hadis. Dikarenakan rijal hadis itu bermacam-macam
karakteristik dan informasinyanya dan telah wafat dalam waktu yang cukup lama, maka
Ilmu Rijal al-Hadis merupakan ilmu yang sangat penting dalam penelitian hadis
terutama pada pembahasan kritik hadis.
B. Teknik
Menetapkan Jarh wa Ta’dil
Ada
beberapa teknik atau teori dalam melakukan Jarh wa Ta'dil yaitu:
1.
التعديل مقدم
على الجرح
Maksudnya
yaitu apabila seorang perawi dipuji oleh seorang kritikus dan dicela oleh
kritikus yang lain, maka yang didahulukan adalah pujian padanya. Teori ini
beralasan bahwa sifat dasar perawi adalah baik, dan sifat tercela adalah yang
datang kemudian. Pendapat ini didukung oleh an-Nasa’i tetapi jumhur ulama’
menolaknya karena kritikus pencela dinilai lebih tahu keadaan perawi daripada
kritikus pemuji.
2.
الجرح مقدم على
التعديل
Maksudnya
yaitu kebalikan dari teori di atas, yaitu apabila seorang perawi dipuji oleh
seorang kritikus dan dicela oleh kritikus yang lain, maka yang didahulukan
adalah celaan padanya. Tetapi celaan ini harus memiliki bukti dan sebab yang
cukup untuk mengalahkan pujiannya pendapat ini didukung oleh jumhur kalangan
ulama hadis, fiqih dan ushul fiqih.
3.
إذا تعارض
الجارح و المعدل فالحكم للمعدل إلا إذا ثبت الجرح الفسر
Maksudnya
yaitu sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, yaitu celaan dibenarkan
apabila memiliki bukti sebab dan relevan. Tetapi Jarh wa Ta'dil hanya bisa
diterapkan pada kontradiksi yang tidak bisa dikompromikan, jika masih bisa
dikompromikan maka bukanlah Jarh wa Ta'dil, melainkan Tarjih.
4.
إذا كان الجارح
ضعيفا فلا يقبل جرحه للثقة
Maksudnya
yaitu kritikus yang dhoif mencela perawi yang siqqah, maka kritikus tersebut
ditolak. Jadi teori ini menekankan pada kritikus harus memiliki sifat siqqah,
dikarenakan orang yang siqqah dinilai lebih berhati-hati dan lebih cermat
daripada yang tidah siqqah.
5.
لايقبل الجرح
إلا بعد التثبت خشية الأشباه فى الجروحين
Maksudnya
yaitu jarh diterima bila sasarannya telah benar-benar tepat. Karena
dikhawatirkan bila terdapat perawi yang memiliki kesamaan nama agar terhindar
dari kesalahan dan keragu-raguan.
6.
الجرح عن الناشئ
عن عداوة دنوية لا يعتد به
Maksudnya
yaitu apabila kritikus memiliki permusuhan dalam urusan dunia dengan peawi,
maka kritikannya harus ditolak. Karena pertentangan pribadi dalam urusan dunia
akan menimbulkan penilaian yang tidak jujur karena didorong rasa kebencian.
Dari
sejumlah teori di atas, maka menurut penulis makalah, yang harus dipilih adalah
teori yang seobjektif mungkin dan sesuai kondisi. Dengan demikian, apabila
seorang perawi yang telah dita’dil oleh kritikus siqqah, maka hadisnya
diterima. Begitu pula bila perawi dijarh oleh kritikus yang siqqah maka
hadisnya ditolak.
Ada tiga alasan mengapa ulama
menyusun Ilmu Rijal al-Hadis ini yang fokus pada penelitian perawi hadis, yaitu
Pertama, pada zaman Nabi Muhammad saw. tidak seluruh hadis tertulis, kedua,
sesudah zaman Nabi Muhammad saw, terjadi pemalsuan hadis, ketiga, perhimpunan
hadis secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan
hadis. Dan kaidah-kaidah kritik perawi
bisa ditemukan dalam Ilmu Jarh wa Ta'dil.
C. Segi-segi Rijal
al-Hadis yang diteliti
Ilmu
Rijal al-Hadis bagi ulama hadis dibagi menjadi 2, yaitu Ilmu Jarh wa Ta'dil dan
Ilmu Tarikh ar-Ruwah.
a.
Kitab-kitab
Tarikh ar-Ruwah
Kitab
Tarikh al-Ruwat ini berisi sejarah perawi-perawi hadis, membahas tentang kapan
dan dimana seorang rawi dilahirkan, dari siapa ia menerima hadis, siapa yang
pernah mengambil hadis dari padanya. Dan diterangkan pula dimana dan kapan ia
wafat.
Uintuk
menulis kitab Tarikh ar-Ruwah, ulama menggunakan metode berikut:
1.
Mengelompokkan
perawi berdasarkan angkatan tertentu yang disebut Thabaqat.
2.
Menyusun
periwayat berdasarkan tahun, dalam hal ini penulisnya menyebutkan tahun wafat
perawi, lalu menulis biografinya dan riwayat yang disampaikan. Ini dapat
dilihat dalam kitab Tarikh al-Islam oleh al-Dzahabi.
3.
Menyusun periwayat
secara alfabetis, metode seperti ini sangat membantu para penulis yang membahas
para periwayat hadis.
4.
Menyusun
periwayat berdasarkan negeri, penulisnya mengemukakan para ulama dari satu
negeri dan mengemukakan keutaman suatu negeri, kemudian menyebutkan para
sahabat yang ada disana, menjadikannya tempat tinggal atau hanya sekedar lewat
saja, lalu menyebutkan semua periwayat secara alfabetis.
5.
Menyususn
berdasarkan Asma (nama asli) perawi Kun’ya, Alqab Ansab (keturunan), dan
berdasar ikhwah dan akhwat (saudara laki-laki dan saudara perempuan).
b.
Kitab-kitab
Jarh wa Ta'dil
Ilmu ini memberi informasi tentang
kualitas pribadi seorang perawi, baik dari segi integritas kepribadiannya
maupun dari segi kapasitas intelektualnya. Dengan demikian maka para ulama hadis
telah mengerahkan segala kemampuannya dalam rangka menjaga kevalidan hadis hingga
hadis tersebut menjadi maqbul atau mardud.
D. Kaidah Jarh wa
Ta'dil
Jarh menurut bahasa berarti luka,
baik berupa fisik atau non fisik. Menurut istilah, jarh adalah penolakan
seorang rawi yang hafal (hafidz) dan kuat daya ingatnya (mutqin’) terhadap
periwayatan perawi karena adanya cacat yang mencederakan atau terhadap periwayat
rawi fasik,rawi tadlis, rawi pendusta, rawi syadz, dan lain sebagainya. Jadi
jarh adalah ungkapan kecacatan pada perawi baik dari segi ‘adalah ataupun
kedhabitan.
Adapun Ta’dil menurut bahasa
mempunyai beberapa arti: 1) menegakkan, misalnya orang menegakkan hukum; 2)
membersihkan, misalnya orang membersihkan sesuatu; 3) membuat seimbang,
misalnya orang membuat seimbang dalam penimbangan. Jadi, dalam hal ini ta’dil
mempunyai tiga pengertian, yaitu menegakkan (al-taqwin), membersihkan
(al-tazkiyah) dan membuat seimbang (al-taswiyah). Menurut istilah, Ta-dil
adalah menyebutkan tentang keadaan rawi yang diterima periwayatannya. Hal ini
merupakan gambaran terhadap sifat-sifat seorang rawi yang diterima.
Ilmuan hadis menetapkan kaedah al
jarh wa ta’dil, sebagai landasan dalam menilai rawi dalam hadis. Kaedah-kaedah
jarh dan ta’dil adalah sebagai berikut:
1.
Bersandar
kepada cara-cara periwayatan hadis, sah periwayatannya, keadaan perawi, dan
kadar kepercayaan mereka. Ini disebut Naqdun Kharijiun atau kritik yang datang
dari luar hadis (kritik yang tidak mengenai diri hadis).
2.
Berpautan
dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan-jalan
keshalihannya dan ketidakshahihannya, ini dinamakan Naqdun Dakhiliyun atau
kritik dari dalam hadis.
E. Maratib Jarh wa
Ta'dil
Para
perawi hadis tidak semuanya memiliki keadilan dan kedhabitan yang sederajat,
maka dari itu ulama hadis menetapkan peringkat-peringkat untuk mengklasifikasi
dari yang paling adil dan dhabit, kurang adil dan dhabit hingga yang tidak adil
dan dhabit.
Para
ulama berbeda cara dan ukuran dalam memberi peringkat, ada yang empat, lima,
hingga enam. Dan peringkat tersebut masing-masing seimbang antara jarh dan
ta’dilnya, jadi ada total delapan peringkat, sepuluh peringkat dan dua belas
peringkat. Dan dalam makalah ini yang dipaparkan adalah yang terdiri dari enam
peringkat bagi jarh maupun ta’dilnya.
Inilah
urutan ta’dil dan jarh dari yang paling kuat hingga yang paling lemah.
1.
Peringkat Ta’dil
dan lafal-lafalnya
Tingkat pertama menggunakan bentuk
superlatif dengan wazan af’ala yang berarti sangat atau paling, seperti: أثبت الناس, أوثق الناس, إليه منتهى فى التثبت
Tingkat kedua menggunakan lafal
‘adalah yang diulang-ulang atau yang lebih kuat, seperti: ثقة ثقة, ثقة حجة, ثقة ثبت
Tingkat ketiga menggunakan lafal
‘adalah, seperti: ثقة, ثبت, حجة
Tingkat keempat menggunakan lafal
yang menunjukkan kesiqqahannya tidak penuh, seperti: صدوق, لابأس به, خيار الناس
Tingkat kelima menggunakan lafal
yang menunjukkan kesiqqahannya lebih rendah dari tingkat keempat, seperti: مالك أقرب حديثه, صالح الحديث, شيخ صالح
Tingkat keenam menggunakan lafal
yang menunjukkan bahwa perawi tersebut tidak kuat, seperti: صدوق إن شاء الله, صليح, أرجو أن لا بأس به, يكتب حديثه, يعتبر به
Hukum tingkatan ta’dil menurut Manna
al-Qaththan yaitu:
a.
Tingkat satu
sampai tiga dapat dijadikan hujjah.
b.
Tingkat keempat
dan kelima tidak dapat dijadikan hujjah tapi masih diuji kedhabitannya. Apabila
tidak bertentangan dengan yang siqqah maka diterima, dan jika bertentangan maka
tidak bisa dijadikan hujjah.
c.
Tingkat keenam
tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak diuji, tapi hanya ditulis untuk
dipertimbangkan saja.
2.
Peringkat Jarh
dan lafal-lafalnya
Tingkat
pertama menggunakan lafal yang menunjukkan kelemahan perawi, seperti: لين الحديث, فيه مقال, أوتى مقال فيه
Tingkat
kedua menggunakan lafal yang menunjukkan kelemahan perawi dan tidak bisa
dijadikan hujjah, seperti: لايحتج
به, منكر الحديث, له مناكر
Tingkat
ketiga menggunakan lafal yang menunjukkan bahwa perawi lemah sekali dan tidak
boleh ditulis hadisnya, seperti: ضعيف جدا, لايكتب حديثه, مردود الحديث, طرح حديثه
Tingkat
keempat menunjukkan tuduhan dusta atau memalsukan hadis, seperti: متهم بالكذب, متروك الحديث, ليس بقوي, فيه نظر
Tingkat
kelima menunjukkan sifat dusta, pemalsu atau semacamnya, seperti: كذاب, وضاع
Tingkat
keenam menunjukkan adanya dusta yang berlebihan atau seburuk-buruknya
peringkat, seperti: أكذب الناس,
أوضع الناس, إليه منتهى فى الوضع
Hukum tingkatan jarh menurut Manna
al-Qaththan yaitu dua tingkatan pertama tidak boleh dijadikan hujjah tetapi boleh
ditulis hadisnya untuk diperhatikan. Sedangkan empat tingkatan terakhir sama
sekali tidak boleh dijadikan hujjah da ditulis hadisnya.
F. Sikap Kritikus
Hadis dalam Menilai Rijal al-Hadis
Dalam mengemukakan kritikan,
kritikus hadis ada yang bersikap tasyaddud, tawassut dan tasahhul. Dan sikap
tersebut bermacam-macam, ada yang berkaitan dengan menilai kesahihan dan juga
menilai kelemahan hadis. Oleh karena perbedaan tersebut, bukan hanya perawi
yang dinilai, tetapi kritikus juga dinilai. Adapun syarat-syaratnya yaitu:
1.
Alim
2.
Bertakwa
3.
Wara’
4.
Jujur
5.
Tidak terkena
jarh
6.
Tidak fanatik
pada perawi
7.
Memahami dengan
baik sebab-sebab jarh.
0 komentar:
Post a Comment