Sejarawan Indonesia dan Zamannya

Sejarawan Indonesia dan Zamannya, bimbinganislam.com

A.    Latar Belakang
Berbicara tentang historiografi tidak bisa lepas dari peran para sejarawan dalam menghasilkan sebuah tulisan sejarah. Sejarawan melalui karya-karyanya dapat memberikan sumbangan yang signifikan dalam upaya pemahaman yang lebih akurat terhadap sejarah secara keseluruhan. Selain mereka yang terdidik sebagai sejarawan, sejarawan juga dapat datang dari disiplin lain dan masyarakat. Karena pada dasarnya setiap orang mampu menjadi sejarawan jika obsesi mereka adalah sejarah.
Di Indonesia terdapat pula tokoh-tokoh sejarawan yang mempengaruhi perkembangan historiografi Indonesia. Perkembangan historiografi Indonesia diawali dengan historiografi tradisional kemudian historiografi kolonial yang bersifat Eropa-Sentris. Setelah Indonesia merdeka muncul historiografi nasional yang bersifat Indonesia–Sentris dan yang terakhir adalah historiografi modern. Perkembangan upaya penulisan sejarah tersebut berjalan bersamaan dengan perkembangan rakyat dan bangsa Indonesia juga pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan modern.

    B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi dari tokoh sejarawan Indonesia?
2.      Bagaimana keterkaitan sejarawan Indonesia dan zamannya dalam historiografi Indonesia?
3.      Bagaimana pengaruh sejarawan Indonesia terhadap historiografi?

     C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui biografi sejarawan Indonesia;
2.      Menjelaskan keterkaitan sejarawan Indonesia dan zamannya dalam historiografi Indonesia;
3.      Mengetahui pengaruh sejarawan Indonesia terhadap historiografi Indonesia;
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Sejarawan Indonesia
1.      Sartono Kartodirdjo
Prof. Dr. Aloysius Sartono Kartodirdjo lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, pada tanggal 15 Februari 1921. Ia meninggal di Yogyakarta, 7 Desember 2007 pada umur 86 tahun. Ia adalah pelopor dalam penulisan sejarah dengan cara pandang Indonesia. Semasa hidupnya, ia menjadi dosen di Universitas Gadjah Mada dan dinobatkan sebagai Guru Besar UGM, selain mengajar di UGM ia juga mengajar di IKIP Bandung yang sekarang bernama UPI Bandung. Sartono Kartodirdjo meninggal dunia di Yogyakarta, pada usia 86 tahun.
Kecintaannya terhadap sejarah dimulai ketika ia bersama keluarganya ketika berkunjung ke Candi Prambanan sewaktu usianya masih anak-anak. Ayahnya bernama Tjiro Sarojo sebenarnya menginginkan anaknya untuk menjadi seorang dokter namun karena Sartono Kartodirjo takut dengan darah maka ia tidak bisa menyanggupi keinginan ayahnya. Walaupun demikian ia merasa tidak mengecewakan hati orang tuanya sebab menurutnya ia juga memberikan terapi bagi orang lain. Sebab dengan berpegang pada sejarah yang benar. Kemajuan sebuah bangsa dapat terjaga, Keperibadian bangsa juga berakar dari sejarahnya.[1]
Dalam bukunya  yang berjudul Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah Sartono membagi pengertian sejarah menjadi dua yaitu sejarah pada pengertian subjektif dan sejarah dalam pengertian objektif. Sejarah dalam pengertian subjektif menurutnya yaitu bangunan yang disusun penulis sebagi uraian atau cerita. Sedangkan sejarah dalam pengertian objektif adalah proses sejarah dalam aktualitasnya. Adapula desetasinya yaitu yang membahas gerakan sosial dalam bentuk pemberontakan petani banten.[2]

2.      Soedjatmoko
Soedjatmoko dilahirkan di Sawah Lunto, Sumatera Barat, pada 10 Januari 1922 dengan nama Soedjatmoko Mangoendiningrat. Pada usia dua tahun, Soedjatmoko turut dengan ayahnya, Saleh Mangoendiningrat, yang mendapatkan beasiswa lima tahun untuk belajar ilmu kedokteran di Belanda. Perantauan masa muda itu bermanfaat bagi Soedjatmoko yang cenderung mampu memahami bahasa Belanda dengan cepat. Pada usia tujuh tahun ia kembali ke Hindia-Belanda dan melanjutkan studinya di sekolah tingkat dua, HBS Surabaya dan kemudian sekolah kedokteran di Batavia.
Pada tahun 1943-1945 Soedjatmoko memutuskan untuk pergi ke Surakarta setelah dirinya dikeluarkan dari sekolah akibat keterlibatannya dalam gerakan anti-Jepang. Soedjatmoko menghabiskan waktu dua tahunnya di Kota Surakarta dengan membaca banyak buku. Buku-buku loakan yang dibelinya seperti karya Henri Bergson, Max Scheler, Karl Jaspers serta Martin Heidegger makin mengembangkan intelektualitas Soedjatmoko. Soedjatmoko juga menyempatkan mempelajari mistik Islam, Katolik, India dan alam kebatinan Jawa. Bahkan Soedjatmoko sempat berdialog dengan Ki Ageng Suryomentaram dan tak habis pikir mengapa tokoh ini diam ketika alam pikiran Jawa terancam oleh ideologi Jepang.
Pada tahun 1946, Soedjatmoko kembali ke belantara politik Jakarta sebagai Asisten Editor Siasat. Kiprahnya harus dihentikan pada tahun 1947 ketika Sutan Sjahrir menugaskan Soedjatmoko sebagai delegasi dan pengamat Indonesia dalam PBB hingga tahun 1950-an. Pada tahun 1951 Soedjatmoko pulang ke Indonesia dan memutuskan untuk melanjutkan kiprah politik serta jurnalistiknya sebagai editor harian Pedoman, Siasat serta Penerbit Pembangunan. Di bawah bendera penerbitannya, Soedjatmoko sempat menerbitkan novel Doctor Zhivago karya Boris Pasternak, sebuah novel yang terang-terangan memprotes komunisme dan pemerintahan autoritarian.[3] Karir politik Soedjatmoko juga meningkat. Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI), Soedjatmoko terpilih sebagai anggota Badan Konstituante dalam pemilu 1955. Tahun 1957 menjadi amat penting bagi pemikirannya tentang sejarah dan historiografi Indonesia. Soedjatmoko bersama dengan Muhammad Yamin dan A.Sartono Kartodirdjo menggelar Seminar Nasional Sejarah pertama di Universitas Gadjah Mada yang merupakan tanggapan terhadap arus perumusan arah penulisan sejarah Indonesia yang dikemukakan Komite Sejarah Nasional pada tahun 1951. Dalam kesempatan itu Soedjatmoko menunjukkan kekhawatirannya terhadap semangat ultra-nasionalitsik dalam penulisan sejarah.
Perhatian Soedjatmoko terhadap sejarah dan historiografi Indonesia semakin mendalam ketika Soedjatmoko berkesempatan menjadi dosen tamu di Departemen Sejarah Cornell University. Dalam momen tersebut, Soedjatmoko mengembangkan pemikirannya melalui penulisan sebuah buku pengantar historiografi Indonesia. Di dalam buku tersebut Soedjatmoko bertindak sebagai editor dan menyumbangkan dua tulisan pada bagian pengantar dan akhir buku.

3.      Taufik Abdullah
Taufik Abdullah lahir di Bukittinggi, pada tanggal 3 Januari 1936. Ia memperoleh gelar kesarjanaannya pada tahun 1961 dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Kemudian pada tahun 1970 ia melanjutkan pendidikannya hingga memperoleh gelar master dan doktor di Universitas Cornell, Ithaca Amerika Serikat. Pada tahun 1971 desertasinya yang berjudul School and Politics : The Kaum Muda Movement in West Sumatra, diterbitkan oleh Universitas Cornell. Ia adalah sejarawan yang tajam dalam mengulas peristiwa masa lalu.
Taufik mengawali karier sebagai peneliti di LIPI, dengan jabatan Kepala Bagian Umum Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (Biro MIPI), Jakarta (1962-1963) dan Asisten Peneliti Leknas LIPI (1963-1967). Kemudian ia menjadi Peneliti Leknas (1967-1974), Direktur Leknas LIPI (1974-1978) dan Peneliti Leknas LIPI (1978), sampai menjabat sebagai Ketua LIPI (2000-2002). Selain sebagai seorang peneliti, Taufik juga merupakan seorang penulis yang cukup aktif. Tulisannya tersebar di berbagai media dan jurnal, baik lokal maupun luar negeri. Hingga saat ini, setidaknya sudah ada 30 buku yang berhasil diselesaikannya. Atas karya-karyanya itu, pada tahun 2009 Taufik memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dariUniversitas Indonesia.[4] Beberapa karyanya yaitu: Sejarah dan Kesadaran Sejarah, Ilmu Sejarah Dan Histografi, Sejarah Lokal di Indonesia: Kumpulan Tulisan,masalah sejarah dan daerah dan kesadaran sejarah dan school and politics : The Kaum Muda Movement In West Sumatra.[5]
Menanggapi perkembangan sejarah di Indonesia, ia berpendapat bahwa spiral kebodohan masih terjadi di Indonesia sehingga terus menggerogoti kehidupan dan budaya yang diagungkan adiluhung. Lebih lanjut, spiral kebodohan ini terus membesar ketika tindakan kebodohan dibalas dengan kebodohan juga. Ia menjelaskan, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa seperti semakin menjauh akibat banyak tindakan bodoh yang dilakukan dalam semua lapisan masyarakat, sehingga terus melingkar bagai spiral yang makin membesar setiap hari.[6]

4.      Kuntowijoyo
Prof. Dr. Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta pada 18 September 1943. Ia mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Ia lulus SMP di Klaten dan SMA di Solo, melanjutkan kuliah di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1969. Gelar MA diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974, dan Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada tahun 1980. Ia mengajar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada dan terakhir menjadi Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, dan menjadi peneliti senior di Pusat Studi dan Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia meninggal dunia pada 22 Februari 2005 di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta akibat komplikasi penyakit yang dialaminya.[7]
Kuntowijoyo tidak hanya dikenal sebagai seorang sejarahwan, sastrawan, dan budayawan tapi juga seorang cendekiawan muslim yang banyak memberikan sumbangsih bagi dunia pemikiran Islam di Indonesia. Dari karyakaryanya dala bentuk tulisan mencerminkan bahwa kuntowijoyo layak dijuluki semua itu. Dalam kalangan Islam, beliau adalah pemikir Islam kontekstual yang sangat Indonesianis, sehingga konsep Islamnya tepat jika  diaplikasikan untuk aksi di bumi Indonesia ini. Tepatnya, dalam bahasa Islam beliau adalah sosok manusia alim, yang banyak membaca dan banyak tahu.
Dalam bidang sejarah, Kuntowijoyo sangat tepat apabila diberi gelar sejarawan propesional. Beliau tidak hanya menulis karya sejarah, akan tetapi juga menulis bagaimana seharusnya sejarah ditulis. Kuntowijoyo mengenalkan baik metode maupun metodologi sejarah sesuai dengan perkembangan ilmu sejarah.[8] Beberapa karyanya yaitu : Dinamika Umat Islam Indonesia (1985), Budaya dan Masyarakat (1987), Radikalisasi Petani (1993), Pengantar Ilmu Sejarah (1995).

B.     Historiografi Indonesia Pada Zamannya
Sejawaran dan historiografi tidak bisa dipecahkan, keduanya saling berhubungan satu sama lain, tidak akan ada historiografi jika tidak ada sejarawan dan begitu pula sebaliknya. Dalam hal ini hubungan sejarawan dengan Historiografi Indonesia dan para sejarawan yang terkait.
Karya sejarah Indonesia baik dari masa lampau sampai masa sekarang (dikenal dengan nama sejarah kontemporer) telah banyak ditulis, baik oleh sejarawan atau pemerhati sejarah bangsa kita sendiri, maupun bangsa asing. Dari berbagai penulisan sejarah Indonesia (historiografi Indonesia) dari berbagai zaman/masa; maka penulisan sejarah Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni:
1.      historiografi tradisional
Penulisan sejarah tradisional adalah penulisan sejarah yang dimulai dari zaman Hindu sampai masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Penulisan sejarah pada zaman ini berpusat pada masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa, bersifat istanasentris, yang mengutamakan keinginan dan kepentingan raja. Penulisan sejarah di zaman Hindu-Buddha pada umumnya ditulis diprasastikan dengan tujuan agar generasi penerus dapat mengetahui peristiwa di zaman kerajaan pada masa dulu, di mana seorang raja memerintah.
Dalam historiografi tradisional terjalinlah dengan erat unsur-unsur sastra, sebagai karya imajinatif dan mitologi, sebagai pandangan hidup yang dikisahkan sebagai uraian peristiwa pada masa lampau, seperti tercermin dalam babad atau hikayat. Contoh-contoh historiografi tradisional di antaranya ialah sejarah Melayu, hikayat raja-raja Pasai, hikayat Aceh, Babad Tanah Jawi, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Kartasura, dan masih banyak lagi.
2.      historiografi kolonial
Berbeda dengan historiografi tradisional, historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah yang membahas masalah penjajahan Belanda atas Bangsa Indonesia. Penulisan tersebut dilakukan oleh orang-orang Belanda dan banyak di antara penulisnya yang tidak pernah melihat Indonesia. Sumber-sumber yang dipergunakan berasal dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta (Batavia); pada umumnya tidak menggunakan atau mengabaikan sumber-sumber Indonesia.
Sesuai dengan namanya, yaitu historiografi kolonial, maka sebenarnya kuranglah tepat bila disebut penulisan sejarah Indonesia. Lebih tepat disebut sejarah Bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Hal ini tidaklah mengherankan, sebab fokus pembicaraan adalah Bangsa Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah Bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda. Itulah sebabnya, sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentris atau Belanda sentris. Yang diuraikan atau dibentangkan secara panjang lebar adalah aktivitas Bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. Aktivitas rakyat tanah jajahan (rakyat Indonesia) diabaikan sama sekali.
Contoh historigrafi kolonial, antara lain Indonesian Trade and Society karangan Y.C. Van Leur, Indonesian Sociological Studies karangan Schrieke, dan Indonesian Society in Transition karangan Wertheim.
3.      historiografi nasional
Sesudah Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945, maka sejak saat itu ada kegiatan untuk mengubah penulisan sejarah Indonesia sentris. Artinya, Bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia menjadi fokus perhatian, sasaran yang harus diungkap, sesuai dengan kondisi yang ada, sebab yang dimaksud dengan sejarah Indonesia adalah sejarah yang mengungkapkan kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia dalam segala aktivitasnya, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Dengan demikian, maka muncul historiografi nasional yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yakni mengingat adanya character and nation-building, Indonesia sentris, sesuai dengan pandangan hidup Bangsa Indonesia, disusun oleh orang-orang atau penulis-penulis Indonesia sendiri, mereka yang memahami dan menjiwai, dengan tidak meninggalkan syarat-syarat ilmiah.
Contoh historiografi nasional, antara lain Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, editor Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I sampai dengan VI, editor Sartono Kartodirdjo, Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara, karya R. Moh. Ali, dan Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid I sampai dengan XI, karya A.H. Nasution.
Dengan demikian hubungan atau keterkaitan sejarawan Indonesia dengan Historiografi (penulisan sejarah) adalah dilihat dari zamannya yang berubah maka berubah pula pola penulisan sejarahnya, namun dalam metodologi tetaplah sama, hanya saja lebih kepada menulis sejarah tentang Indonesia lebih objektif dari sebelumnya.

C.    Pengaruh Sejarawan Terhadap Historiografi
Taufik Abdullah adalah salah satu dari sedikit saksi hidup yang melihat sekaligus terlibat dalam perkembangan historiografi Indonesia dari zaman ke zaman. Pada 1970-an, ia adalah wonderkid dalam dunia ilmu sejarah di Indonesia. Gelar doktor baru saja diraihnya dari Cornell University, salah satu kampus ternama di Amerika yang memiliki jurusan Kajian Indonesia. Ia meraih gelar Doktor di bawah bimbingan langsung George McTurnan Kahin, mahaguru para indonesianis.[9]
Kariernya cemerlang di dunia akademik dan di kemudian hari dikenal sebagai sejarawan yang tajam mengulas peristiwa masa lalu. Sebagai sejarawan senior saat ini, ia dengan rendah hati meyakini bahwa anak-anak muda yang akan memegang peranan penting dalam penulisan sejarah Indonesia.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pengaruh sejarawan dan sumbangsih seorang sejarawan, khususnya sejarawan Indonesia pada historiografi sangatlah besar. Jika mereka tidak peduli terhadap sejarah Indonesia dan penulisannya sendiri, maka historiografi di Indonesia tidak akan mengalami perubahan yang signifikan.
Hal ini dibuktikan dengan berkembangan historiografi modern atau kontemporer yang lebih objektif, sistematis, juga ilmiah, dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran.
Dengan demikian, meskipun bukan taufik abdullah saja, sejarawan-sejarawan yang lain seperti yang telah disebutkan pada pembahasan pertama, merekalah yang berpengaruh besar membawa historiografi yang dapat dinikmati dan dikonsumsi publik sampai sekarang ini.

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Tokoh sejarawan Indonesia dalam historiografi Indonesia memiliki peranan penting dalam penulisan sejarah Indonesia dari pra-Kemerdekaan sampai dengan merdeka, merekalah yang berjasa memperkenalkan Indonesia pada bangsa dan dunia.
Hubungannya sendiri dengan historiografi Indonesia yang sangat berkaitan adalah salah satu ciri bahwa sejarawan akan selalu berkontribusi dalam penulisan sejarah masa lampau, sekarang, dan masa yang akan datang.
Dengan demikian dengan banyaknya kontribusi tersebut akibatnya mempengaruhi pola historiografi yang ada di Indonesia yang dari mula-mula kolonial-sentris sampai sekarang penulisan sejarah kontemporer. Selain itu pengaruhnya menjadi sangat besar terhadap penelitian sejarah yang dilakukan.
B.     Saran
Sejarah adalah sejarawan yang membuat historiografi yang luar biasa, oleh karenanya generasi penerus bangsa harus lebih responsif terhadap peristiwa menarik yang terjadi di masa lalu untuk kemudian diteliti kembali. 
Daftar Pustaka

Peter. 2010. Sartono kartodirdjo. https://peterkasenda.wordpress.com/2010/10/26/sartono-kartodirdjo-sejarawan-multi-dimensional/, diunduh 7 November 2018
Refleksi pemikirian sejarah, https://www.academia.edu/16498930/Refleksi_Pemikiran_Soedjatmoko_Sejarah_dan_Historiografi_Indonesia, diunduh 7 November 2018
https://id.wikipedia.org/wiki/Taufik_Abdullah, diunduh 7 oktober 2018.
Masyarakat sejarawan Indonesia, Sejarawan Indonesia dan Karya Tulisnya. Lembaga Ilmu Pengetahuan. Jakarta: 1978.
https://www.merdeka.com/taufik-abdullah/profil/, diunduh 7 oktober 2018.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kuntowijoyo, diunduh 7 oktober 2018.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/miftahuddin-mhum/pnlitan-2014-kunto.pdf, diunduh 7 oktober 2018.
https://tirto.id/historiografi-indonesia-di-tangan-sejarawan-milenial-cwla, diunduh 7 oktober 2018.

Baca Juga: Penulisan Sejarah Oleh Mona Lohan


[2] Masyarakat sejarawan Indonesia, Sejarawan Indonesia dan Karya Tulisnya, Lembaga Ilmu Pengetahuan, Jakarta, 1978, hlm. 9.
[5] Masyarakat sejarawan Indonesia, Sejarawan Indonesia dan Karya Tulisnya,Lembaga Ilmu Pengetahuan, Jakarta, 1978, hlm.14
[9] https://tirto.id/historiografi-indonesia-di-tangan-sejarawan-milenial-cwla, diunduh 7 oktober 2018.

0 komentar:

Post a Comment