Simbol Agama Menurut Emile Durkheim

Simbol Agama, static.z-dn.net

Durkheim merasa bahwa hanya ada satu metode ilmiah yang bisa membantu memahami fenomena-fenomena masyarakat yaitu pendekatan sosiologi. Durkheim meletakkan dua prinsip fundamental dan pasti bagi investigasi ilmiahnya: (1) bahwa sifat masyarakat adalah subjek yang paling cocok dan menjanjikan bagi investasi yang sistematik, terutama dalam sejarah pada keadaan sekarang (2) bahwa semua “fakta sosial” yang semacam itu harus diinvestigasi dengan metode-metode ilmiah yang paling objektif.
Durkheim mengklaim bahwa orang-orang primitif secara normal tidak betul-betul memikirkan tentang dua dunia yang berbeda, yang satu natural dan yang satunya lagi supernatural sebagaimana cara beragama oleh orang-orang modern. Orang-orang modern sangat dipengaruhi oleh asumsi dan kaidah-kaidah sains. Sedangkan orang-orang primitif tidak, mereka melihat semua gejal itu pada dasarnya sama. Durkheim selanjutnya menyatakan bahwa karakteristik dan ritual agama bukanlah merupakan unsur supernatural, tetapi konsep tentang yang sakral. Dia tidak membagi wilayah dunia pada yang natural dan supernatural, melainkan pada wilayah yang sakral dan profan. Dia memberikan kata-kata, “agama adalah sebuah sistem terpadu dari kepercayaan dari praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral”.
Durkheim mengamati pada suku aborigin dan membuat kesimpulan bahwa agama dari suku-suku ini adalah totemisme karena sebagaimana yang ia amati, orang-orang aborigin memiliki simbol-simbol (totem) klan, dan itulah yang mereka sakralkan. Dan di samping itu, klan itu sendiri dipandang suci karena dianggap sama dengan totemnya. Ketika klan kumpul bersama untuk melakukan upacara, totem selalu diukir di sepotong kayu ataupun batu yang menjadi panggung utama. Di balik totem adalah sebuah kekuatan impersonal yang memiliki kekuasaan besar atas kehidupan klan, baik secara fisik maupun moral.
Durkheim dengan berani menggambarkan perasaan yang meluap-luap dalam kegembiraan dari upacara kelompok ini. Sentimen-sentimen itu adalah masa-masa ritual yang dipenuhi dengan energi, antusiasme, kegembiraan, komitmen yang tak mementingkan dirinya sendiri, dan keamanan penuh. “tampaknya ide agama dilahirkan di tengah-tengah lingkungan sosial yang riang gembira ini dari kegembiraan ini sendiri”. Dalam momen-momen semacam itu, yang profan dikesampingkan yang ada hanya yang sakral.
Dengan dipahami secara tepat, prinsip totemik dapat menerangkan semua agama yang lain juga. Kepercayaan pada roh atau jiwa adalah contohnya Totemisme menunjukkan bagaimana kepercayaan semacam itu berkembang. Ide tentang jiwa benar-benar merupaka prinsip totemik tang tertanam dalam setiap individu. Karena klan hanya dapat ada akibat individu memikirkannya dalam pikirannya, wajarnya bagi anggotanya untuk menganggap prinsip totemik itu betapapun menyebarkan dirinya ke dalam setiap orang dari mereka. Ketika ia mendistribusikan dirinya ke seluruh klan, pecahan dari dirinya yang dimiliki oleh setiap individu menjadi bagian dari jiwa individu tersebut, ia adalah klan yang di dalam.

Baca Juga: Kisah Rasulallah Disusui Keluarga Sa'd

0 komentar:

Post a Comment