duniaekspress.com |
Reading Text
Hadis syadz menurut al-Syafi’i adalah
hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, tetapi kontradiksi
dengan riwayat seseorang yang lebih tsiqah daripadanya. Hadis yang hanya
diriwayatkan oleh satu orang perawi yang tsiqah dan tidak dikuatkan oleh
perawi-perawi yang lain maka tidak bisa disebut dengan syadz. Dengan
kata lain, fard mutlak, tidak mempengaruhi kualitas hadis selama hadis itu
diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah. Berdasarkan defenisi tersebut,
sebagaimana yang telah diketahui, hadis, “perbuatan yang (dinilai) sesuai
dengan perhatian mereka” tidak dapat disebut dengan syadz, meskipun pada
kenyataannya, hadis itu hanya diriwayatkan oleh satu perawi ditingkatan lain:
Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrahim al-Taymi dari ‘Alqama dari ‘Umar,
semua perawi tersebut merupakan perawi yang tsiqah. Sebuah hadis dapat
dikatakan syadz apabila; Pertama, semua perawi adalah perawi yang tsiqah.
Kedua, perawi lebih dari satu, tetapi matan atau sanadnya kontradiksi dengan
riwayat lain yang lebih tsiqah.
Al-Hakim lebih keras dalam pendapatnya. Hadis syadz
dalam pandangannya adalah hadis yang hanya diberitakan oleh satu perawi yang
terpercaya, tanpa perlu dikonfirmasi oleh perawi lain yang terpercaya. Dengan
kata lain, kemutlakan rawi tunggal (fard mutlaq), tidak peduli betapa
terpercayanya dia, menyebabkan sebuah hadis tertentu berstatus syadz.
Ibn Shalah al-Nawawi dan ulama lain setelahnya bersepakat dengan al-Syafi’i.
Jika pandangan al-Hakim diadopsi, beberapa
hadis yang telah dinilai oleh mayoritas kaum tradisionalis sebagai hadis sahih
akan berubah menjadi tidak sahih, sebab sebagaimana yang sudah
sepantasnya telah ditunjukkan oleh Juynboll, ciri-ciri umum literatur hadis
adalah yang secara umum diriwayatkan oleh seseorang dalam generasi sahabat dan
tabi’in. Hanya pada generasi tersebut setelahnya hadis diriwayatkan secara
massif. Bukan dikatakan, bagaimanapun, bahwa dalam tempat koleksi hadis dapat
kita temukan sebuah hadis yang diriwayatkan dalam skala yang luas pada generasi
sahabat dan tabi’in. Sungguh, tidak sulit untuk
menemukan hadis seperti itu. Namun fakta bahwa hadis diduga diriwayatkan oleh
sejumlah besar orang yang termasuk dalam generasi para sahabat tidak selalu
berarti bahwa anggapannya kepada Nabi dapat dipercaya. Diperlukan penyelidikan
apakah anggapan perawi dari perawi terakhir (mukharrij) hingga yang paling awal (sahabat) bersifat historis. Saya tidak membantah kemungkinan
bahwa generasi-generasi yang keliru salah menganggap hadits kepada para sahabat
tertentu atau dengan sengaja dibuat-buat. Saya hanya menentang penolakan
mutlak terhadap kemungkinan bahwa ada hadis yang kembali kepada
para sahabat. Dengan kata lain, klaim setiap perawi telah menerima hadits tertentu dari informannya harus
diselidiki untuk menentukan apakah itu benar atau tidak. Namun, seperti banyak
cendekiawan, saya berpendapat bahwa jika ada bukti konklusif bahwa sebuah
hadits tertentu kembali ke dua atau lebih sahabat dan yang terakhir mengklaim
telah menerima hadits dari Nabi, maka anggapan mereka harus dianggap dapat
dipercaya.
Jika pandangan al-Syafi’i lebih disukai, kita
menemukan pertanyaan seberapa besar kita dapat mempercayai jalur transmisi dari
rawi tunggal. Pertanyaan ini
terkait erat dengan masalah bagaimana kita dapat menilai, dengan beberapa
derajat kepastian, ketsiqahan perawi, yang telah dijelaskan di atas. Menurut intelektual Barat, transmisi semacam
ini dikenal sebagai "jalur tunggal", dan ketsiqahan historisnya
diperdebatkan. Juynboll menolak historisitas transmisi semacam itu. Dalam
pandangannya, secara historis tidak mungkin untuk membayangkan bahwa pada masa
awal Islam, seorang perawi memberikan sahifah-nya hanya pada satu murid
untuk disalin, dan bagi perawi yang terakhir juga melakukan hal yang sama,
yaitu dengan hanya memberi pada satu murid untuk disalin, dan perawi yang
terakhir disebutkan, melewati mereka ke satu murid tunggal untuk disalin lagi
dengan cara yang sama pula, karena pada awal Islam, menurut Juynboll sahifah
digambarkan berpindah dari tangan ke tangan, bahkan jika tidak ada hubungan
guru-murid secara formal antara penyusun dan perawi selanjutnya. Adapun Motzki
berbeda dalam menafsirkan fenomena jalur tunggal. Dalam pandangannya, jalur
tunggal tidak selalu berarti bahwa itu adalah satu-satunya cara, melalui mana
hadis itu ditransmisikan. Jalur tunggal secara eksklusif berarti bahwa ketika
menyebarkan hadis, common link atau kolektor hanya menyebutkan satu
jalan periwayatan. Perbedaan penafsiran ini akan dibahas secara lebih rinci
dalam bab berikutnya.
Kaum tradisionalis mengakui kesulitan dalam
mendeteksi hadis syadz. Hal ini dikarenakan perawi dari sebuah hadis syadz
dianggap tsiqah oleh para ahli hadis, dan proses transmisi tampaknya tidak
terganggu. Hal ini hanya dapat ditemukan setelah penelitian secara mendalam
dengan, misalnya, membandingkan banyak isnad dan matan terkait hadis. Hanya
orang-orang yang terlatih dan berpengalaman dalam meneliti hadis yang dapat
mendeteksi hadis syadz.
0 komentar:
Post a Comment