IKHLAS DALAM AL-QURAN DAN HADIS


Ikhlas, indiraabidin.files.wordpress.com
Oleh:
Irfan Hamid

Ikhlas berasal dari Bahasa Arab yang mengikuti wazan if’al dari fiil madhi akhlasha. Huruf asal dari ikhlas terdiri dari tiga huruf yakni kha’, lam, dan shad yang dalam kamus Munawwir berarti murni atau bersih. Jadi kata ikhlas sendiri berasal dari arti murni atau bersih, dan sebaliknya murni atau bersih belum tentu berarti ikhlas sesuai pemahaman dalam Bahasa Indonesia.
Banyak ditemukan dalam al-Quran bentuk-bentuk dari huruf kha, lam dan shad seperti . dan tidak semuanya bermakna ikhlas. Bahkan dalam al-Quran terjemahan Kementrian Agama RI, ada kata lain yang bermakna ikhlas selain dari kata dasar khalasha yakni berupa huruf jer lam. Seperti dalam surah al-An’am:
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٢ لَا شَرِيكَ لَهُۥۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ١٦٣
162. Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam
163. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)"
Dapat diketahui dari ayat tersebut bahwa terdapat makna ikhlas di dalamnya yang diwakili oleh satu huruf lam. Pada ayat di atas juga dijelaskan definisi ikhlas sesuai yang kita pahama yakni melaksanakan ibadah dan menyerahkan hidup dan mati untuk Allah semata. Dan ayat tentang ikhlas ini dilanjutkan dengan sambungannya yakni tentang tauhid dengan tidak menyekutukanya.  Begitu pula yang terdapat pada surah al-Taubah:
لَّيۡسَ عَلَى ٱلضُّعَفَآءِ وَلَا عَلَى ٱلۡمَرۡضَىٰ وَلَا عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُواْ لِلَّهِ وَرَسُولِهِۦۚ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡسِنِينَ مِن سَبِيلٖۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٩١
91. Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Dijelaskan dalam ayat ini tentang keringanan orang-orang yang memiliki kekurangan untuk tidak mengikuti perang asalkan mereka ikhlas pada Allah. Asbabun nuzul ayat ini adalah kedatangan orang buta pada Nabi ketika ia mendengar perintah jihad. Ia bertanya: “Bagaimana saya yang buta, wahai Rasulullah?” maka turunlah ayat ini untuk memberi keringanan padanya.[1]
Terdapat juga hadis riwayat al-Tirmidzi nomor 2582 yang menjelaskan tentang ikhlas:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
Dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas'ud dia telah menyampaikan hadits dari Bapaknya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataanku, dia memahaminya, menghafalnya dan menyampaikannya, bisa jadi orang yang mengusung fiqih menyampaikan kepada orang yang lebih faqih darinya. Dan tiga perkara yang mana hati seorang muslim tidak akan dengki terhadapnya; mengikhlaskan amalan karena Allah, saling menasehati terhadap para pemimpin kaum muslimin, berpegang teguh terhadap jama'ah mereka, sesungguhnya da'wah meliputi dari belakang mereka."
Dalam hadis di atas diterangkan bahwa ikhlas dalam beramal adalah salah satu perkara yang dapat menghilangkan dengki. Ikhlas dalam hadis ini sesuai dengan pemahaman kita tentang ikhlas pada umumnya. Dan perkara tersebut juga dapat dikategorikan sebagai dakwah dari belakang.
Ada juga ayat tentang ikhlas yang tidak berasal dari kata dasar khalasha, melainkan dari kata hanif, yakni dalam surah Yunus:
وَأَنۡ أَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗا وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ١٠٥
105. dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik.
Ayat ini menjelaskan suatu bentuk dari ikhlas yakni menghadapkan wajah dengan tulus dengan disertai larangan untuk berbuat kemusyrikan. Dari bebrapa ayat yang telah ditampilkan di atas, semua penjelasan tentang ikhlas selalu diiringi dengan ajaran tauhid. Kira-kira mengapa itu bias terjadi. Hal ini mungkin disebabkan makna ikhlas sendiri dalam al-Quran bermakna Tauhid.

Ikhlas adalah Tauhid
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa di dalam al-Quran terdapat suatu surah yang bernama surah al-Ikhlas. Surah secara lengkapnya sebagai berikut:
قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ١  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ٢  لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ ٣  وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ ٤
1. Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia"
Setelah kita amati surah al-Ikhlas tersebut, tidak kita temukan makna ikhlas yang sebagaimana kita kenal. Tetapi yang kita temukan hanyalah penjelasan teologis tentang sifat-sifat Tuhan. Dan asbabun nuzul dari ayat ini yakni ketika beberapa orang Yahudi di antaranya Ka’b bin al-‘Asyraf dan Hayy bin Akhthab, menghadap Nabi sambil berkata agar Nabi melukiskan sifat-sifat Tuhan yang mengutusnya.[2] Latar belakang turunnya ayat ini juga tidak jauh-jauh dari pembahasan tauhid. Kira-kira mengapa demikian?
Bahasa adalah produk budaya yang bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan zaman. Jadi, sangat dimungkinkan adanya perubahan makna bahasa dari waktu ke waktu. Begitu pula dalam Bahasa Arab ini, dan bias saja terjadi pada kata ikhlas. Ada kemungkinan bahwa kata ikhlas dalam al-Quran pada masa Nabi tidak bermakna ketulusan atau hanya mengharap kerelaan Tuhan, melainkan bermakna Tauhid.
Kebanyakan penjelasan ikhlas dalam al-Quran mempunyai redaksi mukhlisin lahu al-din. Seperti pada surah al-Bayyinah ayat 5:
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥
5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus
Dalam surah Luqman ayat 32:
وَإِذَا غَشِيَهُم مَّوۡجٞ كَٱلظُّلَلِ دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ فَلَمَّا نَجَّىٰهُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ فَمِنۡهُم مُّقۡتَصِدٞۚ وَمَا يَجۡحَدُ بِ‍َٔايَٰتِنَآ إِلَّا كُلُّ خَتَّارٖ كَفُورٖ ٣٢
32. Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar
Terdapat juga pada surah Ghafir ayat 14:
فَٱدۡعُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ١٤
14. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya)
Masih ada juga ayat-ayat lain yang semacam itu. Dalam terjemah di atas digunakan kata “memurnikan ketaatan/ibadat kepada-Nya” yang dalam terjemahan lain digunakan kata “tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” Coba kita ganti makna tersebut dengan makna mentauhidkan-Nya. Pertama pada surah al-Bayyinah maka akan bermakna perintah agar menyembah Allah dengan mentauhidkan-Nya dalam menjalankan agama yang lurus serta perintah untuk menegakkan sholat dan menunaikan zakat. Dalam surah Luqman akan bermakna tentang cerita orang-orang yang tertimpa ombak yang besar dan seketika itu pula mereka menyeru pada Allah dan mentauhidkan-Nya, maka Allah menyelamatkan mereka. Begitu pula dalam surah Ghafir akan bermakna perintah untuk menyembah Allah dengan mentauhidkan-Nya.
Yusuf al-Qardhawi memperkuat argument tersebut dengan menyatakan bahwa ikhlas dengan pengertian seperti ini merupakan salah satu dari buah tauhid yang sempurna kepada Allah. Dengan ikhlas ini orang mukmin benar-benar menjad hamba Allah, bukan hamba nafsunya, bukan hamba selain Allah, bukan hamba dunia dan bukan orang selainnya.[3]
Senada dengan pendapat di atas, al-Qusyairi dalam kitab Risalah Qusyairiyah-nya yang dikutip oleh Amin Syukur menyebutkan perihal makna ikhlas. Ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan.[4]
Al-Ghazali juga mempunyai pandangan bahwa yang menguatkan argument ini. Ia berpendapat bahwa ikhlas itu berlawanan dengan isyrak (persekutuan). Barang siapa tidak ikhlas, makai a adalah orang yang menyekutukan. Hanya saja syirik itu ada beberapa tingkat. Maka ikhlas dalam hal tauhid itu berlawanan dengan tasyrik (persekutuan) dalam hal ketuhanan. Dan syirik itu sebagiannya tersembunyi dan sebagiannya jelas, begitu pula ikhlas.[5] Dan dalam pemahaman kita sehari-hari, syirik adalah lawan dari tauhid. Maka secara tidak langsung al-Ghazali mendefinisikan ikhlas sebagai tauhid. Sedangkan ayat dalam al-Quran yang bermakna ikhlas adalah ayat yang terdapat huruf jer lam, dan semacamnya sebagaimana contoh yang telah disebutkan di atas.

Pendapat Ulama Tentang Ikhlas
Selain dari pendapat beberapa tokoh di atas, akan penulis sampaikan pandangan ulama-ulama yang lain tentang bab ini. Pertama, pandangan dari ulama asal Indonesia, Buya Hamka. Ikhlas artinya bersih, tidak ada campuran. Ibarat emas, emas tulen, tidak ada bercampur perak berapa persen pun. Pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu, bernama ikhlas.[6]
Menurutnya, ikhlas ada beberapa macam. Diantaranya, ikhlas kepada Allah, ikhlas kepada kitab-Nya, ikhlas kepada Rasulullah dan ikhlas kepada imam kaum muslimin. Definisi ikhlas kepada Allah, kitab-Nya dan rasul-Nya memiliki makna yang sama dengan beriman pada tiga hal tersebut yang masih sangat erat kaitannya dengan tauhid. Sedangkan iman kepada imam kaum muslimin adalah dengan jalan membela dalam kebenaran, taat kepada mereka di dalam agama, ikut perintahnya, dan hentikan larangannya.
Dalam Risalah Qusyairiyah dipaparkan pandangan-pandangan ulama mengenai ikhlas. Ustaz Syaikh berkata, “Ikhlas adalah penunggalan al-Haqq dalam mengarahkan semua orientasi ketaatan. Dia dengan ketaatannya dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada Allah semata, tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditujukan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau makna-makna lain selain pendekatan diri pada Allah.” Bisa juga diartikan bahwa ikhlas merupakan penjernihan perbuatan dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi.[7]
Abu Ali al-Daqaq berkata, “Ikhlas adalah keterpeliharaan diri dari keikutcampuran semua makhluk. Shidiq (kebenaran) adalah kebersihan diri dari penampakan diri. Orang yang ikhlas tidak memiliki riya dan orang yang shidiq tidak akan kagum pada dirinya sendiri.”[8]
Dzun Nun al-Mishri berkata. “Ikhlas tidak akan sempurna kecuali dengan kebenaran dan sabar di dalam ikhlas. Shidiq tidak akan sempurna kecuali denga ikhlas dan terus-menerus di dalam ikhlas.” Abu Ya’qub al-Susi berkata, “Kapan saja seseorang masih memandang ikhlas dalam keikhlasannya, maka keikhlasannya membutuhkan keikhlasan.”[9]
Abu Utsman al-Maghribi mengatakan. “Ikhlas adalah ketiadaan bagian atas suatu hal bagi dirinya. Ini adalah  ikhlas orang-orang kebanyakan. Adapun ikhlas orang-orang khusus adalah apa yang terjatuh atau terlimpah pada mereka, bukan yang bersama mereka. Karena itu, dari mereka muncul ketaatan dan mereka sendiri terpisah dari ketaatan itu sendiri. Mereka tidak memandang dan menghitung ketaatan yang terlimpahkan kepada diri mereka. Demikian ini merupakan ikhlas kelompok yang khusus.”[10]
Abu Bakar al-Daqaq berkata, “Kekurangan setiap orang yang ikhlas dalam keikhlasannya adalah kebiasaan melihat keikhlasannya.[11] Sahal bin Abdullah berkata, “Tidak ada yang mengetahui riya selain orang yang ikhlas.” Abu Said mengatakan, “Riya orang-orang yang ahli ma’rifat lebih utama daripada ikhlas para murid.” Khudzaifah al-Mar’isi berkata, “Ikhlas adalah penyamaan perbuatan hamba dalam aspek lahir dan batinnya.” Terkadang juga ikhlas diartikan sebagai kepura-puraan tidak tahu dari penglihatan macam-macam amal perbuatan.[12]
Al-Siriy al-Saqthi mengatakan, “Barangsiapa menghiasi dirinya untuk manusia dengan sesuatu yang tidak ada pada manusia, maka dia gugur dari pandangan Allah.” Al-Fudhail bin al-Iyadh mengatakan, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya dan berbuat amal kebajikan karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah pembebasan Allah pada anda dari keduanya.” Al-Junaid mengatakan, “Ikhlas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Tidak ada malaikat yang mengetahui dan merusaknya. Dan tidak ada hawa nafsu yang mengetahui lalu menyondongkannya.” Ruwaim mengatakan, “Keikhlasan suatu perbuatan adalah ketiadaan kehendak bagi pemiliknya untuk mendapatkan ganti dari dua alam dan ketiadaan permintaan bagian dari dua malaikat.[13]
Makhul berkata, “Tidaklah seorang hamba selama empat puluh hari mampu berbuat ikhlas kecuali sumber-sumber hikmah akan keluar dari hatinya melalui lidahnya.” Yusuf bin Husin berkata, “Paling mulianya sesuatu di dunia adalah ikhlas. Betapa beratnya saya berjuang menggugurkan riya dari hati saya, tetapi seakan-akan riya masih tumbuh dengan warna lain.” Sulaiman al-Darani berkata, “Jika seorang hamba ikhlas, maka rasa was-was dan riya akan terputus darinya.”[14] Dan Gus Dur mengatakan, “Dalam ajaran Islam dikenal istilah ikhlas. Keikhlasan yang dimaksudkan adalah peleburan ambisi pribadi masing-masing ke dalam pelayanan kepentingan seluruh bangsa.”

Tingkatan Ikhlas dan Riya
Setelah memaparkan definisi dan pandangan ikhlas menurut berbagai ulama. Selanjutnya akan ditutup dengan pembahasan singkat tentang ikhlas dan lawannya, yakni riya dalam perspektif ilmu tasawuf. Ulama tasawuf membedakan ikhlas dan riya dalam beberapa tingkatan yang sesuai dengan kemampuan dan kapasitas pelakunya.
Menurut Ibn Ajibah, ikhlas dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
Pertama, ikhlas tingkatan orang umum (awwam). Ia beribadah kepada Allah, tetapi masih disertai mencari keuntungan duniawi dan ukhrawi. Misalnya ingin agar badannya sehat, hartanya banyak, dan mendapatkan pahala, bidadari serta surge di akhirat.
Kedua, ikhlas tingkatan orang khusus (khawash). Dalam tingkatan ini seorang hamba beribadah semata-mata untuk mencari keuntungan akhirat. Tidak ada motivasi sedikit pun untuk mencari keuntungan duniawi. Namun, di dalam hatinya masih ada keinginan untuk memperoleh pahala, surga, bidadari, dan lain sebagainya.
Ketiga, ikhlas tingkatan orang khawash al-khawash. Seorang hamba dapat dikategorikan masuk dalam maqam ini jika ia beribadah tidak ada motivasi atau tendensi apa pun, kecuali ingin mendapatkan ridha dari Allah. Ia beribadah untuk menegaskan sifat kehambaannya. Ia beribadah didasari oleh rasa mahabbah dan syauq kepada Allah.[15]
Begitu pula riya, klasifikasi ini berdasarkan tingkatan kualitas seseorang. Pada dasarnya bahaya-bahaya yang mengganggu ikhlas itu sebagiannya jelas dan sebagiannya itu tersembunyi.. sebagian yang satu lemah dan jelas, dan sebagian yang lain kuat dan tersembunyi. Dan tidak dapat dipahami perbedaan derajat-derajat yang tersembunyi dan jelas ini kecuali melalui perumpamaan. Paling jelas bahaya yang menggenggam ikhlas adalah riya,[16] dan berikut derajat-derajatnya:
Derajat yang pertama, yakni ketika syetan memasukkan bahaya atas orang yang mengerjakan shalat manakala ia ikhlas dalam shalatnya, kemudian suatu jamaah memandang kepadanya atau orang masuk kepadanya, lalu syetan berkata: “Baguskanlah shalatmu, sehingga orang yang hadir ini memandang kepadamu dengan pandangan kewibawaan dan kebaikan dan ia tidak memandang hina kepadamu dan tidak mengumpatmu.” Maka anggota badannya khuyuk, sendi-sendinya tenang dan shalatnya baik.
Derajat yang kedua, bahwa murid itu telah memahami bahaya ini dan ia berhati-hati darinya. Lalu ia tidak mentaati syetan, tidak berpaling padanya dan ia terus-menerus dalam shalatnya seperti semula. Lalu syetan mendatanginya dalam pameran kebaikan dan ia berkata: “Kamu adalah orang yang diikuti dan diteladani dan dipandang. Apa yang kamu perbuat itu membekas padamu dan orang lain mengikutimu. Maka bagimu pahala amal perbuatan mereka kalua kamu mau membaguskan amalanmu dan dosa atasmu kalua kamu menjelekkan amalmu. Maka baguskanlah amalmu di hadapannya. Mudah-mudahan ia mengikutimu dalam kekhuyukan dan membaguskan ibadah.
Derajat yang ketiga, bahwa seorang hamba mencoba dirinya dengan demikian dan berhati-hati terhadap tipu daya syetan dan ia mengetahui bahwa perbedaannya di antara tempat yang sunyi dan disaksikan oleh orang lain adalah semata-mata riya dan ia mengetahui bahwa ikhlas dalam shalatnya di tempat yang malu dari dirinya dan dari Tuhannya bahwa ia membuat khuyuk karena disaksikan oleh para makhluk-Nya dengan kekhusyukannya yang melebihi kebiasaannya. Maka seolah-olah diri orang ini tidak membolehkan menjelaskan shalat di hadapan manusia, kemudian ia merasa malu dari dirinya bahwa ia dalam bentuk orang-orang riya dan ia menduga bahwa demikian itu hilang beserta bahwa shalatnya sama di tempat yang sunyi dan di hadapan orang yang banyak. Alangkah jauh demikian.
Dan derajat yang terakhir ini bahwa manusia memandang padanya, sedang ia tengah melakukan sholat, lalu syetan lemah untuk berkata padanya: “Khusyuklah karena mereka”, karena syetan mengerti bahwa orang itu telah cerdas terhadap demikian. Lalu syetan berkata padanya: “Berfikirlah tentang kebesaran Allah dengan keagungan-Nya dan tentang Tuhan yang kamu berada di hadapan-Nya dan malulah bahwa Allah melihat pada hatimu, sedang ia lalai dari-Nya. Lalu dengan demikian hatinya hadir dan anggota badannya khuyuk dan ia menduga bahwa dengan demikian ikhlas yang sebenarnya, padahal itu adalah tipu daya dan penipu yang sebenarnya.[17]
Klasifikasi ini nampaknya mereka dapatkan melalui pengalaman-pengalaman pribadi mereka. Mereka melalui itu semua hingga mencapai derajat yang lebih tinggi di sisi Tuhannya. Dan dari klasifikasi ini, menyadarkan kita bahwa tingkatan kita ini masih sangat dasar dan bahkan sangat jauh untuk dibandingkan dengan orang yang telah mencapai ma’rifah, tingkatan spiritualitas dan penghambaan tertinggi dari manusia kepada Tuhannya.

Kesimpulan
Ikhlas berasal dari Bahasa Arab yang mengikuti wazan if’al dari fiil madhi akhlasha. Huruf asal dari ikhlas terdiri dari tiga huruf yakni kha’, lam, dan shad yang dalam kamus Munawwir berarti murni atau bersih. Ikhlas bisa bermakna tauhid. Ikhlas dengan pengertian seperti ini merupakan salah satu dari buah tauhid yang sempurna kepada Allah. Dengan ikhlas ini orang mukmin benar-benar menjad hamba Allah, bukan hamba nafsunya, bukan hamba selain Allah, bukan hamba dunia dan bukan orang selainnya.


Definisi ikhlas tidak dapat terlepas dari tasawuf, karena itu diperlukan pemahaman para ulama tasawuf untuk menggapai makna yang lebih luas dan dengan bentuk amalan yang sesuai konteks. Dan lawan utama dari ikhlas adalah riya. Terdapat pula macam-macam riya sesuai dengan kemampuan manusia dalam mencapai ma’rifah, tingkatan spiritualitas dan penghambaan tertinggi dari manusia kepada Tuhannya.



Bibliografi
Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Jakarta: PUSTAKA AMANI, 2007)
HAMKA, Tasawuf Modern (Jakarta: Republika Penerbit, 2015)
Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin (Semarang: Asy Syifa’, 1994)
K. H. Q. Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, ed. by H. A. A. Dahlan and M. Zaka Alfarisi, 2nd edn (Bandung: Diponegoro, 2009)
Mustaqim, Abdul, Akhlaq Tasawuf: Lelaku Suci Menuju Revolusi Hati (Yogyakarta: Kaukaba, 2013)
Syukur, Amin, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2014)
Yusuf al-Qardhawi, Niat Dan Ikhlas (Jakarta: PUSTAKA ALKAUTSAR, 1997)




[1] dkk K. H. Q. Shaleh, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, ed. by H. A. A. Dahlan and M. Zaka Alfarisi, 2nd edn (Bandung: Diponegoro, 2009). Hlm. 276.
[2] K. H. Q. Shaleh. Hlm. 690.
[3] Yusuf al-Qardhawi, Niat Dan Ikhlas (Jakarta: PUSTAKA ALKAUTSAR, 1997). Hlm. 18-19.
[4] Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2014). Hlm. 119.
[5] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin (Semarang: Asy Syifa’, 1994). Hlm. 66.
[6] HAMKA, Tasawuf Modern (Jakarta: Republika Penerbit, 2015). Hlm. 147.
[7] Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Jakarta: PUSTAKA AMANI, 2007). Hlm. 297.
[8] Al-Qusyairi. Hlm. 298.
[9] Al-Qusyairi. Hlm. 298.
[10] Al-Qusyairi. Hlm. 298.
[11] Al-Qusyairi. Hlm. 298-299.
[12] Al-Qusyairi. Hlm. 299.
[13] Al-Qusyairi. Hlm. 299-300.
[14] Al-Qusyairi. Hlm. 300.
[15] Abdul Mustaqim, Akhlaq Tasawuf: Lelaku Suci Menuju Revolusi Hati (Yogyakarta: Kaukaba, 2013). Hlm. 91-92.
[16] Imam Al-Ghazali. Hlm. 76.
[17] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin (Semarang: Asy Syifa’, 1994). Hlm 76-78.

0 komentar:

Post a Comment