Biografi Ibnu Hajar al-'Asqalani

Ibnu Hajar al-'asqalani, republika.co.id

A.    Pendahuluan
Kitab hadits sekunder tidak bisa dipandang sebelah mata. Walaupun pada masa maraknya penyusunan kitab hadits sekunder, ulama terkesan mencukupkan diri pada kitab-kitab sebelumnya. Mereka hanya melakukan penyempurnaan atau membuat kitab baru dengan mengambil referensi dari kitab terdahulu. Namun, para ulama tersebut berkesperimen agar membaca, memahami, atau bahkan menghafal hadits terasa lebih mudah.
Cara yang mereka gunakan adalah seperti tidak menyertakan sanadnya yang terlalu panjang. Dengan hanya menuliskan rawi dari kalangan sahabat saja. Terkadang mereka juga menambahkan penjelasan terhadap hadits yang disampaikan. Oleh karena itu, dengan adanya kitab hadits sekunder ini kajian hadits menjadi lebih berwarna dan semakin memudahkan.
Salah satu karya dari kitab hadits sekunder ini adalah kitab Bulugh al-Maram. Kitab Bulugh al-Maram termasuk salah satu kitab hadits populer di kalangan masyarakat Indonesia. Kitab ini banyak dikaji di berbagai pondok pesantren dan juga majlis ta’lim. Oleh karena itu, pemakalah merasa perlu untuk membahas kitab Bulugh al-Maram. Maka dalam makalah ini akan dibahas biografi pengarang Kitab Bulugh al-Maram, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, sistematika penulisan kitab, kelebihan serta kekurangan dari kitab ini.

Siapa yang tidak kenal Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Seorang ulama tersohor pada zamannya bahkan sampai saat ini. Seorang ulama yang hafidz (hafal al-Qur’an), ‘alim (banyak ilmunya), dan juga banyak kitab fenomenal karyanya yang dijadikan rujukan sampai saat ini.[1]
Tentu nama Ibnu Hajar al-‘Asqalani sudah tidak asing lagi. Mengenai nama lengkapnya masih diperselisihkan. Namun pendapat yang paling masyhur dan yang paling banyak digunakan adalah Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin Hajar. Selain terkenal dengan nama Ibnu Hajar, dia juga sering dikenal dengan laqab Syihab al-Din dan kunyahnya Abu al-Fadhl.[2]
Ibnu Hajar dilahirkan pada 22 Sya’ban tahun 773 Hijriyah di pesisir sungai Nil.[3] Ketika masih balita, Ibnu Hajar sudah ditinggal wafat oleh sang ibu. Kemudian, ketika umurnya yang baru menginjak empat tahun, Ibnu Hajar menjadi yatim piatu. Dia harus tumbuh tanpa dampingan kedua orang tua. Sang ayah, Nur al-Din meninggal pada tahun 777 Hijriyah. Sepeninggal orang tuanya, Ibnu Hajar hidup di bawah asuhan saudara sulungnya, al-Zaki al-Kharubi.[4]
Ibnu Hajar kemudian tinggal di Makkah dan jatuh cinta kepada hadits. Kemudian Ibnu Hajar mendedikasikan waktunya untuk menuntut ilmu tentang hadits kepada para syekh kenamaan. Dia mengembara mencari ilmu ke berbagai tempat, seperti Hijaz, Syam, dan Mesir. Di setiap tempat itu, Ibnu Hajar memiliki banyak guru. Di antara guru-gurunya yang terkenal adalah al-Hafidz al-‘Iraqi, Ibnu al-Qatthan al-Adami, Ibnu al-Mulqin, Burhan al-Din Ibrahim bin Musa al-Abnasi, Siraj al-Din Abu Hafash Umar, al-Bulqini, al-Fairuz Abadi, al-Badr al-Busytaki, dan al-‘Amari.[5]
Selain memiliki banyak guru, Ibnu Hajar juga menjadi pengajar yang memiliki banyak murid. Di antara murid-muridnya tersebut adalah Ahmad bin ‘Utsman al-Karmani al-Kalutani, Ahmad bin Muhammad al-Anshari, Zakariyya bin Muhammad bin Zakariyya al-Anshari, dan muridnya yang paling masyhur adalah al-Sakhawi. Al-Sakhawi bernama lengkap Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Muhammad bin Abu Bakar bin ‘Utsman al-Qahiri al-Syafi’i al-Sakhawi. Al-Sakhawi telah menulis sebuah kitab khusus biografi dan perjalanan guru tercintanya. Judul kitab itu adalah al-Jawahir wa al-Durur fii Tarjamat al-Hafidz Ibnu Hajar.[6]
Ibnu Hajar adalah seorang ulama yang sangat produktif. Al-Sakhawi mengatakan pada kitab al-Dhau’u al-Laami’ bahwa karya Ibnu Hajar lebih dari 150 buah karya. Bahkan dalam kitabnya yang lain, al-Jawahir wa al-Durar, al-Sakhawi mengatakan bahwa karya Ibnu Hajar lebih dari 270 buah karya. Beberapa di antara karya-karyanya adalah Bulugh al Maram, Al-Talkhis al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi’i al-Kabir, Nazhat al-Albab fii al-Alqab, Nakhbat al-Fikr wa Syarhuha Nazhat al-Nazhr, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, al-Mathalib al-‘Aliyah bi Zawaid al-Masanid al-Tsamaniyah, Lisan al-Mizan, al-Dirayah fii Talkhis Takhrij Ahadits al-Hidayah, al-Hawasyi ‘ala Talkhis al-Mustadrak, Tagliq al-Ta’liq,[7] al-Ishabah fii Asma al-Shahabah, Tahdzib al-Tahdzib, Taqrib al-Tahdzib Mukhtashar Tahdzib al-Tahdzib, Ta’jil al-Manfa’ah bi Rijal al-Arba’ah, Ithaf al-Maharrah, al-Qaul al-Musaddad fii al-Dzabbi ‘an Musnad al-Imam Ahmad, al-Durar al-Kaminah fii A’yan al-Mi’ah al-Tsaminah, Takhrij al-Kasysyaf, al-Badzl al-Ma’un, dan Diwan Khithbah.[8]


Setelah masa pengabdiannya pada pengembaraan ilmu, saatnya ia dipanggil menghadap Yang Maha Esa. Ibnu Hajar tutup usia pada ba’da Isya malam Sabtu, tepatnya 18 Dzulhijjah tahun 852 Hijriyah.[9] Di penghujung usianya pun, Ibnu Hajar tetap mengajar seperti biasa. Selama sebulan dia mengidap diare yang sampai mengeluarkan darah. Namun, dia tidak pernah mengeluhkan sakitnya.[10]

DAFTAR PUSTAKA

Al-Sakhawi. 1999. Al-Jawahir wa al-Durur fii Tarjamat Syaikh al-Islam Ibn Hajar. Beirut: Daar Ibn Hazm.
Al-Shun’ani. 2007. Subul al-Salam. Mesir: Daar al-Hadits.
Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar. 1984. Al-Nukat ‘ala Kitab Ibn al-Shalah. Madinah: Ihya Turats Islami.



[1] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Al-Nukat ‘ala Kitab Ibn al-Shalah, (Madinah: Ihya Turats Islami, 1984), hlm. 43.
[2] Al-Sakhawi, Al-Jawahir wa al-Durur fii Tarjamat Syaikh al-Islam Ibn Hajar, (Beirut: Daar Ibn Hazm, 1999), hlm. 102.
[3] Al-Sakhawi, Al-Jawahir wa al-Durur fii Tarjamat Syaikh al-Islam Ibn Hajar, hlm. 104.
[4] Al-Sakhawi, Al-Jawahir wa al-Durur fii Tarjamat Syaikh al-Islam Ibn Hajar,hlm. 121.
[5] Al-Shun’ani, Subul al-Salam, (Mesir: Daar al-Hadits, 2007), hlm. 9.
[6] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Al-Nukat ‘ala Kitab Ibn al-Shalah, hlm. 42.
[7] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Al-Nukat ‘ala Kitab Ibn al-Shalah, hlm. 50-52.
[8] Al-Shun’ani, Subul al-Salam, hlm. 9.
[9] Al-Shun’ani, Subul al-Salam, hlm. 10.                                  
[10] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Al-Nukat ‘ala Kitab Ibn al-Shalah, hlm. 48.

0 komentar:

Post a Comment