Ringin Seyengan, harianmerapi.com |
Pendahuluan
Ilmu sosiologi dan antropologi merupakan ilmu yang menjadikan
masyarakat sebagai objek kajiannya, dan agar ilmu ini tidak sebatas hanya
berada di bayang-bayang dan teori-teori pengkajinya maka diperlukan
peninjauan-peninjauan langsung di lapangan sebagaimana ilmu-ilmu sains yang
perlu pengujiannya di laboratorium, ilmu-ilmu sosial laboratoriumnya adalah
masyarakat. Dikarenakan ini adalah studi sosiologi dan antropologi agama, maka
diperlukan juga pendekatan-pendekatan dari sisi agama atau teologis dalam
memahami suatu permasalah tetapi bukan digunakan sebagai pembenaran atau
penyalahan di dalamnya, melainkan sebagai sarana untuk memahami konteks yang
terjadi dalam ruang lingkup masyarakat.
Permasalahan ini merupakan sebuah tradisi atau adat yang melibatkan
agama Islam dan tokoh-tokohnya serta kepercayaan masyarakat yang kuat dan agak
berbeda dengan apa yang tersurat dalam teks-teks ajaran Islam. Yaitu suatu
ritual wajib di sebuah daerah di Seyegan, Sleman, Yogyakarta ketika menjalani
prosesi pernikahan. Ritual tersebut adalah mengelilingi pohon beringin tua
sebanyak tiga kali yang masing-masing putaran diharuskan untuk membaca syahadat,
sholawat dan surah al-Fatihah sebanyak tiga kali. Tradisi ini
merupakan warisan dari Mbah Bregas, seorang tokoh yang sangat berpengaruh dan dihormati
di daerah tersebut yang masih memiliki hubungan dengan Sunan Kalijaga.
Rumusan
Masalah
1.
Apa ritual
tersebut, bagaimana teknis dan pembawanya?
2.
Bagaimana
menyikapinya dilihat secara teologis dan sosio-antropologis?
Kerangka
Teoritis
Untuk menyikapi fenomena tersebut secara ilmiah maka diperlukan
teori-teori dan metodologis untuk memahami dan memandangnya secara bijak.
Secara teologis maka diperlukan pandangan dalam agama dan pasti mengandung
benar atau salah dan aturan atau batasan-batasan pembolehan dan pelarangannya.
Sedangkan jika dilihat secara sosio-antropologis maka fenomena
tersebut bukanlah merupakan kesalahan karena sudah menjadi realitas sosial.
Dalam hal ini penulis mencoba menggunakan teori dari Emile Durkheim, ilmuwan
dari Perancis tentang teori Fungsionalisnya.
Teori Fungsionalis merupakan paradigma sosiologis yang secara asli
berusaha menjelaskan institusi sosial sebagai alat kolektif untuk memenuhi
kebutuhan biologis individu, fokus pada cara institusi sosial memenuhi kebutuhan
sosial, khususnya stabilitas sosial. Jadi karena durkheim melihat masyarakat
sebagai sebuah analogi organisme tubuh, yakni semua bagian bekerja sama untuk
mempertahankan keseimbangan secara keseluruhan, agama dipahami sebagai perekat
yang mengikat masyarakat. [1]
Dan pandangan fungsionalisme ini menyatakan bahwa masyarakat ada karena
terpenuhinya AGIL, singkatan dari Adaptation (adaptasi), Goal
Attainment (pencapaian tujuan), Integration (integrasi), dan Latency
(pemeliharaan sosial), yang merupakan skema sosiologis yang memperlihatkan
bagaimana masyarakat bekerja sendiri mempertahankan stabilitasnya dan manusia
semata-mata menjadi aktor-aktor pelaksana mekanisme objektif ini.[2]
Durkheim mendefinisikan agama dalam karyanya Elementary Forms,
sebagai suatu sistem kesatuan kepercayaan dan praktik-praktik relatif suci
(sakral) yang dapat dikatakan seperangkat pemisahan dan larangan
kepercayaan-kepercayaan serta praktik-praktik yang menyatu ke dalam komunitas
moral tunggal. Definisi ini memiliki arti yang menjelaskan peran agama dalam
kehidupan sosial. Durkheim mendefinisikan agama sebagai sebuah oposisi briner,
yakni antara sakral dan profan, akibatnya hal itu paralel dengan pembedaan
antara Tuhan dan manusia. Dan sakral baginya merupakan salah satu karakteristik
agama.[3]
Selanjutnya penulis juga mencoba menggunakan teori Konstruksi
Sosial Relitas milik Peter Berger dalam memandang kasus ini. Berger memandang
realitas sosial bergerak dalam tiga proses utama: eksternalisasi, objektivasi
dan internalisasi.[4]
Eksternalisasi yaitu sebuah pengungkapan diri manusia dan
pengaruhnya pada masyarakat. Eksternalisasi menganggap masyarakat sebagai
realitas objektif. Dan meskipun eksternalisasi dilakukan manusia secara
terus-menerus, tidak berarti bahwa aktivitas manusia itu terus mengalami
perubahan karena manusia cenderung mengulangi aktivitas yang pernah
dilakukannya.[5]
Objektivasi adalah ekspresisivitas manusia yang dapat menjadi
realitas objektif. Keeratan hubungan antara objektivitas dan realitas yaitu
keberadaan realitas kehidupan sehari-hari hanya dapat dimungkinkan adanya
objektivasi.[6]
Dan internalisasi dapat diartikan sebagai proses manusia menyerap
dunia yang sudah dihuni oleh sesamanya. Internalisasi menganggap masyarakat
sebagai realitas subjektif. Namun internalisasi tidak berarti menghilangkan
kedudukan objektif dunia tersebut dan menjadikan persepsi individu berkuasa
atas realitas sosial. Internalisasi hanya menyangkut penerjemahan realitas
objektif menjadi pengetahuan yang hadir dan bertahan dalam kesadaran individu,
atau menerjemahkan realitas objektif menjadi realitas subjektif.[7]
Dengan teori inilah penulis mencoba mencocokkannya dengan fenomena
tradisi ini dengan menjelaskan posisi masing-masing dari fenomena realitas
sosial tersebut.
Pembahasan
Sebelum menganalisa, kita perlu tahu apa itu tradisi pernikahan
yang terdapat di daerah Seyegan tersebut agar dapat memahaminya dengan baik.
Tradisi tersebut adalah mubeng ringin, yaitu tradisi
mengeliling pohon beringin tua yang menjadi kewajiban bagi pasangan pengantin
di daerah tersebut sebelum melakukan pernikahan mereka. Pohon tersebut diyakini
sangat mempunyai pengaruh terhadap kehidupan masyarakat setempat. Pohon
tersebut tumbuh di simpang empat dusun Seyegan. Tepatnya sebelah barat SMPN
Seyegan.
Pengaruh yang ditimbulkan dari pohon ini adalah jika ada pengantin
yang melewati perempatan Seyegan maka harus melakukan ritual khusus untuk
penunggu pohon dari pohon beringin tersebut. Prosesinya adalah si pengantin
harus mengelilingi pohon tersebut sebanyak tiga kali. Dan pengelilingan pohon
beringin tersebut juga tergantung cara pengantin melewati pohon terseebut. Jika
pengantin berjalan kaki, maka berkeliling dengan berjalan kaki. Dan jika
pengantin menggunakan kendaraan mobil misalnya, maka pengantin juga tetap harus
mengelilinya dengan mobil pengantin. Kalau dilihat sekilas memang sepertinya
tidak berhubungan dengan agama, melainkan hanya adat kebiasaan dari daerah
tersebut. Karena memang penjelasannya belum selesai.
Hubungannya dengan agama yaitu dalam prosesi pengelilingan pohon
beringin tersebut. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas kalau pengantin
mengelilingi pohon beringin tersebut sebanyak tiga kali. Putaran pertama dilakukan
dengan niat ditujukan kepada Allah, putaran kedua dengan niat ditujukan kepada
Rasulullah dan putaran ketiga ditujukan untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Dan
di setiap putaran pengantin diharuskan untuk membaca syahadat, sholawat
dan surah al-Fatihah sebanyak tiga kali. Ritual ini dimaksudkan untuk
bersopan santun pada penunggu pohon beringin dan juga sebagai tanda permisi
karena telah melewati jalan di dekat pohon beringin tersebut.
Ritual ini berlaku bagi seorang pengantin dari manapun mereka berasal,
baik saat akan melakukan ijab qabul ataupun akan melakukan boyongan, baik saat
berangkat atau pulang dalam proses pernikahan. Ritual ini diyakini masyarakat
agar pernikahan tersebut berjalan lancar dan tidak mengalami gangguan dan juga
untuk keselamatan pengantin. Dengan adanya ritual ini, menyebabkan beberapa
pengantin yang enggan melaksanakan ritual ini lebih memilih jalan lain agar
tidak melewati pohon beringin tersebut.[8]
Tradisi ini bagi masyarakat merupakan warisan dari Mbah Bregas,
seorang tokoh penyebar Islam di Seyegan yang memiliki hubungan dengan Sunan
Kalijaga. Latar belakang Mbah Bregas ini juga adalah seorang tentara di era
Majapahit yang menyelamatkan diri setelah kerajaan tersebut mengalami
kekalahan. Selain itu asal usul Mbah Bregas diyakini sebagai cikal bakal dusun
ngino –dusun tempat ritual dan lokasi pohon beringin- yang saat itu mengalami
musim paceklik. Mbah Bregas datang di dusun tersebut dan memberi kesembuhan
pada masyarakat.[9]
Selain ritual mubeng ringin, terdapat juga tradisi yang
berhubungan dengan Mbah Bregas yaitu bersih-bersih awal tahun, arak-arakan dan
wayang kulit. Ritual ini diadakan tiap tahun dan cukup ramai karena antusias
masyarakat menganggap penting acara ini dan berusaha untuk melestarikannya.
Dengan adanya mitos Mbah Bregas, masyarakat mempercayai tempat
peninggalan Mbah Bregas memiliki daya mistis yang dianggap sakral di kalangan
masyarakat hingga saat ini. Pandangan masyarakat terhadap mitos Mbah Bregas
memberikan keyakinan yang berarti bagi warga daerah tersebut. Masyarakat
memandang mitos Mbah Bregas dan ritual mubeng ringin merupakan suatu
bentuk untuk mengenang sosok tersebut sebagai cikal bakal dusun Ngino dan juga
penyebar agama di daerah tersebut.
Adat di atas menujukkan bukti bahwa hukum adat masyarakat itu
bersifat religiomagis, yaitu masyarakat tidak hanya percaya dengan hal-hal
religius agama melainkan juga percaya dengan hal-hal yang bersifat magis.
Analisa dimulai, pertama-tama kita membahas dari aspek teologisnya,
dan otomatis menyangkut benar dan salah menurut agama. Dalam realitas sekarang
ini banyak ditemukan golongan dalam Islam yang sering menyalahkan golongan lain
karena dianggap telah menyeleweng dari ajaran agama dan yang paling parah
terjadi fenomena kafir-mengkafirkan sesama muslim. Karena ini berhubungan
dengan teologis maka penulis akan menggunakan keyakinan yang diyakininya.
Tentang pengkeramatan pohon beringin dan benda-benda atau tempat
peninggalan Mbah Bregas merupakan wajar saja terjadi di lingkungan Nusantara ini
karena pada dasarnya masyarakat Indonesia masih melekat pemahaman tersebut
secara turun-temurun disadari atau tidak, dan terutama masyarakat Yogyakarta
yang dikenal sebagai Islam abangan.
Tapi sebelum itu kita perlu memahami bahwa realitas sekarang sudah
berbeda dengan pada masa-masa terdahulu dikarenakan perkembangan zaman dan
masuknya budaya dari luar termasuk Islam yang mempengaruhi perubahan corak
keyakinan masyarakat.
Pengkeramatan tersebut sekarang telah berbeda dari dulu yang berupa
pemujaan sekarang hanya sebagai penghormatan. Dan istilah keramat sendiri
merupakan serapan dari bahasa arab yaitu karamah yang berarti kemuliaan,
yang juga berarti bahwa keramat merupakan sesuatu yang dianggap mulia dan
dihormati. Maka dalam kasus ini juga seperti itu, pohon beringin dan juga
petilasan dari Mbah Bregas dianggap masyarakat sebagai sesuatu yang harus
dihormati.
Dalam prosesi mubeng ringin terdapat yang unik yaitu dalam
pengelilingannya diharuskan untuk membaca syahadat, sholawat dan surah
al-Fatihah yang tidak lain adalah salah satu dari bacaan sehari-hari umat
Islam dan pada putaran pertama ditujukan pada Allah, yang kedua pada Rasulullah
dan yang untuk kemaslahatan bangsa dan negara pada putaran yang terakhir.
Di sini kita dapat melihat islamisasi dari tradisi lokal, dan
masyarakat menerimanya sebagai suatu bacaan khusus untuk ritual tersebut.
Fenomena ini biasa dinamakan dengan istilah Living Quran dan Hadis, yaitu studi
tentang al-Quran atau hadis, tetapi tidak bertumpu pada eksistensi tekstualnya,
melainkan studi tentang fenomena sosial yang lahir terkait dengan kehadiran
al-Quran atau hadis dalam wilayah geografi tertentu dan mungkin masa tertentu
pula.[10]
Masyarakat melihat bacaan syahadat, sholawat dan surah
al-Fatihah bukan dari sisi substansinya, melainkan dari fungsinya. Syahadat
yang pada dasarnya merupakan persaksian akan ketuhanan Allah dan kenabian Nabi
Muhammad, sholawat yang merupakan doa kepada rasulullah dan surah
al-Fatihah yang merupakan salah satu surah dalam al-Quran digunakan
masyarakat sebagai bacaan untuk kelancaran prosesi pernikahan dan keselamatan
bagi pengantin.
Dan permasalahan yang paling banyak disorot masyarakat mengenai
fenomena ini adalah apakah fenemona tersebut termasuk dalam kategori perbuatan syirik
atau tidak. Oleh karena itu kita perlu tahu bentuk-bentuk kemusyrikan yang
berhubungan dengan fenomena tersebut yaitu, memakai azimat untuk menolak balak
dan meminta perlindungan dan berdoa pada selain Allah. [11]
Mari kita lihat pada bentuk kemusyrikan pertama, azimat disini
adalah bacaan-bacaan tersebut. Jika dilihat dari penggunaannya maka hal
tersebut bukanlah sebuah kemusyrikan karena bisa dikatakan sebagai bentuk dzikir
kepada Allah selama tidak meyakini bahwa bacaan itulah yang menyebabkan
keselamatan atau sebaliknya. Dan pada bentuk kemusyrikan kedua juga bukan
kemusyrikan karena masyarakat pada dasarnya tetap meminta perlindungan dan
berdoa pada Allah.
Tapi ada juga aspek yang perlu disoroti yaitu keyakinan masyarakat
bahwa apabila tidak melakukan ritual tersebut akan mengakibatkan hal-hal yang
tidak diinginkan. Inilah yang melekat dalam keyakinan masyarakat, maka perlu
dijelaskan pada mereka bahwa hal itu tidak benar menurut keyakinan penulis.
Dibolehkan melakukan perbuatan tersebut selama biasa-biasa saja dan tidak
meyakini bahwa ritual itulah yang mendatangkan keselamatan, melainkan
keselamatan itu hakikatnya dari Allah. Dan selama masih dalam batas tersebut
maka boleh-boleh saja ritual itu dilaksanakan apalagi dengan niat dzikir pada
Allah.
Dan mengenai penghormatan terhadap penunggu pohon beringin tersebut
boleh dilakukan selama dalam batas kewajaran yakni sebagaimana menghormati
sesama makhluk Allah dan tidak lebih dari itu, karena sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas bahwa keselamatan dan kecelakaan hakikatnya dari Allah
semata.
Lalu fenomena ini jika dilihat dari aspek sosio-antropologis maka
menggunakan teori-teori yang dikemukakan para ahli dalam bidang ini. Penulis
mengambil teori dari Emile Durkheim dan Peter Berger.
Dalam teori fungsionalis seperti yang digunakan oleh Durkheim
dijelaskan bahwa merujuk pada fungsi agama dalam masyarakat. Dan fungsi
tersebut merujuk pada sumbangan yang diberikan oleh agama atau lembaga sosial
untuk mempertahankan keutuhan masyarakat dengan usaha yang utuh dan terus
menerus.
Dalam usaha menganalisa fungsi-fungsi sosial dari tingkah laku
keagamaa, kita harus berhati-hati membedakan antara yang ingin dicapai oleh
anggota-anggota suatu kelompok pemeluk tertentu dan akibat yang tidak
dikehendaki dari tingkah laku nereka dalam kehidupan masyarakat. Tetapi sarjana
sosiologi berpendapat bahwa akibat-akibat yang tidak disengaja dari tingkah
laku mereka seringkali lebih penting bagi pemeliharaan masyarakat daripada
tujuan-tujuan mereka yang disadari, yakni bukan tujuan resmi atau bukan fungsi
nyata melainkan fungsi tersembunyi dari lembaga-lembaga tersebut.[12]
Maka fungsi dari ritual tersebut adalah untuk mencari keselamatan
dan selamat dari hal-hal yang tidak diinginkan dan untuk mengenang jasa-jasa
dari Mbah Bregas yang memberikan pengaruh dan jasa yang besar bagi masyarakat
Seyegan. Dan akibatnya bisa berupa pengkeramatan terhadap peninggalan Mbah
Bregas meskipun apabila pengkeramatan ini dilihat sebenarnya juga merupakan
bentuk pemeliharaan terhadap budaya itu sendiri. Dan posisi agama di sini
adalah sebagai penguat kesakralan ritual tersebut dan juga merupakan perekat dari kesinambungan organisme
masyarakat yang memiliki posisi penting di masing-masing perannya.
Dan dalam teori Konstruksi Sosial Realitas Berger yang memiliki
tiga proses utama yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.
Ekternalisasi ini bisa dilihat pada peran dan upaya Mbah Bregas dalam
memberikan pengaruh dan penyampaian nilai-nilai keislaman yang dibawanya yang
dilakukan secara terus menerus hingga akhir hayatnya dan berdampak besar bagi
masyarakat Seyegan.
Proses objektivasi di masyarakat Seyegan dapat diamati dari tingkah
laku atau ekspresivitas masyarakat tersebut yang berupa tradisi dan ritual yang
merupakan warisan dari Mbah Bregas yang terus menerus dan berulang kali
dilakukan masyarakat Seyegan hingga menjadi sebuah realitas kehidupan.
Dan internalisasi di masyarakat Seyegan ini berupa penerimaan dan
penyerapan pengaruh yang dibawa oleh Mbah Bregas dan tradisi yang diamalkan
oleh masyarakat secara terus menerus yang meresap dan tertanam pada
masing-masing individu masyarakat dan juga menjadi pengetahuan yang hadir bagi
masyarakat akibat dari realitas kehidupan.
Kesimpulan
Dari kedua cara pendekatan tersebut, yakni secara teologis dan
secara sosio-antropologis, maka dapat disimpulkan bahwa secara teologis ritual mubeng
ringin tersebut mengandung benar dan salah dalam pelaksanaannya. Dianggap
benar apabila tetap dalam batas sewajarnya dan dianggap salah apabila telah
melewati batas kewajaran sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.
Baca Juga: Sejarah Tari Saman
Dan secara sosio-antropologis, maka dalam ritual tersebut tidak
mengandung benar dan salah dalam prosesinya karena ini merupakan realitas
sosial. Tetapi dianggap salah apabila salah seorang individu melanggar realitas
sosial yang telah berjalan, karena dianggap telah melanggar aturan adat yang
disepakati dalam masyarakat. Dan juga individu dianggap melanggar apabila tidak
melakukan tradisi yang hidup di masyarakat dikarenakan tradisi atau budaya
adalah sesuatu yang hidup apabila dilaksanakan oleh masyarakat. Oleh karena itu
marilah kita menjaga keindahan dan keanekaregaman budaya agar tidak terjadi
kepunahan atau perubahan corak budaya yang khas di bumi Nusantara ini.
Daftar Rujukan
Haryanto,
Sindung. 2015. Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Post Modern.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Samuel,
Hanneman. 2012. Peter Berger: Sebuah Pengantar Ringkas. Depok: Kepik.
Idamatussilmi, Vida.
TT. “Ritual Adat Pernikahan”. Artikel Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Mufiani, Iftahuul.
2014. “Mitos Mbah Bregas di Dusun Ngino Desa Margoagung Seyegan Sleman
Yogyakarta (Studi terhadap Klasifikasi Pandangan dan Fungsi Mitos)”. Skripsi
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga. Yogyakarta.
Yusuf, Muhammad.
2007. Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Quran. dalam Sahiron
Syamsuddin “Metodologi Penelitian Living Quran dan Hadis”. Yogyakarta: TH-Press.
Madjrie, Abdurrahman.
1997. Meluruskan Akidah. Yogyakarta: Titian Ilahi Press
Nottingham, Elizabeth
K.. 1990. Agama dan Masyarakat. Abdul Muis Naharong (terj.). Jakarta:
Rajawali.
[1] Sindung Haryanto, Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Post Modern,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, hlm. 62.
[2] Hanneman Samuel, Peter Berger: Sebuah Pengantar Ringkas, Depok:
Kepik, 2012, hlm. 27.
[3] Sindung Haryanto, Sosiologi Agama, hlm. 59.
[4] Hanneman Samuel, Peter Berger, hlm. 41.
[5] Hanneman Samuel, Peter Berger, hlm. 27-28.
[6] Hanneman Samuel, Peter Berger, hlm. 22-23.
[7] Hanneman Samuel, Peter Berger, hlm. 34-35.
[8] Vida Idamatussilmi, “Ritual Adat Pernikahan”, Artikel Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, TT.
[9] Iftahuul Mufiani, “Mitos Mbah Bregas di Dusun
Ngino Desa Margoagung Seyegan Sleman Yogyakarta (Studi terhadap Klasifikasi
Pandangan dan Fungsi Mitos)”, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014, hlm. 40.
[10] Muhammad Yusuf, Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Quran,
dalam Sahiron Syamsuddin “Metodologi Penelitian Living Quran dan Hadis”,
Yogyakarta: TH-Press, 2007, hlm. 39.
[11] Abdurrahman Madjrie, Meluruskan Akidah, Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1997, hlm. 129-131.
[12] Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Abdul Muis
Naharong (terj.), Jakarta: Rajawali, 1990, hlm. 31-33.
0 komentar:
Post a Comment