Konsep Teologi Dalam Islam, blogspot.com |
Pengantar
Puji syukur Alhamdulillah
kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi
hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga
rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah serta
iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami
sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu
makalah.
Dalam
aspek manapun, makalah ini belum memenuhi
kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan
menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran
kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal
mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah
ini.
Setidaknya,
dalam penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami
sendiri, ada banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan
banyak manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
Pada
akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada khususnya Prof. Dr. H. Dudung Abdurrahman, M. Hum selaku dosen pengampu mata kuliah
Sejarah Pemikiran Islam I yang memberi
kami kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada
teman-teman mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan
agama. Semoga Allah memberkati makalah kami. Aamiin.
Sleman,
9 Oktober 2016
Irfan
Hamid
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agak aneh kiranya kalau
dikatakan bahwa dalam islam, sebagai Agama, persoalan yang pertama-tama timbul
adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Tetapi persoalan
politik ini menjadi meningkat menjadi persoalan teologi. Agar lebih jelas
perlulah kita menengok kembali dalam sejarah Islam.
Ketika Nabi Muhammad
s.a.w. mulai menyiarkan ajaran-ajaran islam di Mekkah, kota ini mempunyai
sistem kemasyarakatan yagn terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy,
khususnya para pedagang. Kaum pedagang tinggi ini mempunyai solidaritas kuat yang
jelas menentang terhadap dakwah Rasulullah yang akhirnya menyebabkan beliau
Hijrah ke Yastrib (Madinah) dan beliau menjadi kepala pemerintahan sekaligus
pemuka agama.
Selain pemuka agama,
ternyata Rasulullah adalah ahli dalam pemerintahan, tidak mengherankan jika
masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad sibuk memikirkan pengganti
beliau, muncullah istilah Khalifah.[1]
Secara singkat sejarah mengatakan bahwa Abu Bakar yang terpilih menjadi
pengganti Rasul dan periode berikutnya Umar bin Khattab, lalu Utsman bin Affan,
disusul Ali bin Abi Thalib.
Setelah Ali, barulah
muncul pergolakan yang serius sebagai akibat pertentangan politik antara Ali
dengan Mu’awiyah yang disebabkan arbitrase kekuasaan antara keduanya, maka
lahirlah golongan yang pro dan kontra terhadap masing-masing pihak, dan
masing-masing mempunyai kekuatan dan pengikut yang banyak.[2]
Bagaimanapun peristiwa
ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Yang legal menjadi
khalifah sebenarnya Ali, sedangkann Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari
Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah.[3]
Peristiwa inilah yang menjadi titik ledak munculnya pergolakan teologi-teologi
islam yang awalnya hanyalah masalah politik. Namun akhirnya merambah masalah
Teologi dan persoalan kafir-mengkafirkan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan Teologi
Mu’tazilah?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan Teologi
Qadariyah?
3. Bagaimana sejarah dan perkembangan Teologi
Asy’ariyah?
4. Bagaimana sejarah dan perkembangan Teologi Maturidiah?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah dan perkembangan Teologi
Mu’tazilah
2. Mengetahui sejarah dan perkembangan Teologi
Qadariyah
3. Mengetahui sejarah dan perkembangan Teologi
Asy’ariyah
4. Mengetahui sejarah dan perkembangan Teologi
Maturidiah
BAB. II
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan perkembangan Teologi Mu’tazilah
Kemuculan
kaum Syiah yang saling bertentangan dengan kaum Khawarij, memunculkan teologi
Mu’tazilah yang tidak suka ikut campur dalam pertentangan-pertentangan dan
menunjuk pada sifat mereka yang saleh (tak mengurusi politik). Kelompok tersebut memperoleh namanya ketika pendirinya Washil
Ibnu ‘Atha’ (80-131 H/ 699-749 M) memisahkan diri (i’tazala) dari kelompok
Hasan al Bashri. Meskipun watak mereka yang saleh, namun mereka tidaklah lebih
saleh dan wara’ dibanding al Hasan atau orang lainnya. Mereka menganggap akal
adalah sumber kebenaran yang sama derajatnya dengan wahyu. Meskipun mereka
mengklaim akal sama derajatnya dengan Wahyu, kaum Mu’tazilah bukanlah
pemikir-pemikir bebas seperti yang disebut orang. Walaupun dorongan untuk
berpikir sistematik terhadap dogma, berbeda dengan
Islam Tradisional, pastilah merupakan kegiatan yang telah mendorong mereka
mengejar rasiosinasi lebih jauh lagi. Sesungguhnyalah, doktrin deterministik
yang diperangi kaum Mu’tazilah dikandangnya sendiri juga segera terbentuk
menjadi suatu doktrin yang sistematis di tangan orang-orang seperti Jahm Ibnu
Shafwan (dihukum mati pada 128 H/746 M) yang mencanangkan, kemungkinan besar
dibawah pengaruh pengaruh asing.[4]
Sebenarnya istilah Mu’tazilah sudah muncul ketika pergantian Usman ibn ‘Affan kepada
Ali ibn Abi thalib. Abu Zahrah juga menjelaskan bahwa, Mu’tazilah adalah
kelompok pendukung Ali yang menjauhi politik, ketika Hasan bin Ali menyerahkan
tampuk kekhalifahan kepada Muawiyah. Namun, Mu’tazilah sebagai Teologi lahir
ketika Washil bin Atha’ memisahkan diri dari majelis Hasan al Bashri di Basrah.
Washil memisahkan diri dari al Bashri karena perdebatan tentang dosa besar dan
mukmin. Jadi, bisa ditegaskan bahwa Mu’tazilah sebagai Teologi lahir disaat
Washil ibn Atha memisahkan diri dari Halaqah Hasan al Bashri.
Dalam
masalah sifat-sifat Tuhan dan terutama menyangkut firman Tuhan, tak ayal lagi
mereka terpengaruh oleh ide-ide Hellenistik,
khususnya dalam formulasi-formulasi
Kristen tentang logos. Kaum ortodoks menganggap bahwa al-Qur’an adalah
firman Tuhan yang abadi dan kaum Mu’tazilah ketika menjadi doktrin negara pada
masa al-Ma’mun dan penerusya melakukan penyiksaan terhadap wakil-wakil kaum
ortodoks, khususnya Ahmad Ibnu Hanbal (w. 241 H/855 M), yang didera dan
dipenjara karena menolak dogma Mu’tazilah.
Pada
masa al Ma’mun, dilaksanakan al-mihnah atau pengujian kepada para Qadhi dan para
saksi tentang khalq al-qur’an. Para qadhi dan saksi yang menolak untuk
menyatakan khalq Al-Qur’an dianggap musyrik dan tidak pantas menduduki
jabatannya. Kemudian al-Ma’mun memerintahkan kepada Gubernur Irak yaitu Ishak
bin Muhammad untuk melakukan Mihnah kepada para muhadisin, fuqaha, dan para
hakim untuk diuji. Salah satunya adalah Ahmad ibn Hanbal. Berikut ini adalah
dialog yang terjadi anatara Ishak bin Muhammad dengan Ahmad bin Hanbal.
Ishak
: Apa perndpatmu tentang
al-qur’an?
Ibn
Hanbal : Sabda Tuhan.
Ishak : Apakah ia diciptakan?
Ibn
Hanbal : Sabda Tuhan. Saya tidak dapat
mengatakan lebih dari itu.
Ishak
: Apa artinya ayat: Maha
mendengar (Sami’) dan Maha Melihat
(Bashir). (Ishak ingin menguji tentang paham antropomorfisme).
Ibn
Hanbal : Tuhan mensifatkan diri-Nya
(dengan kata-kata itu).
Ishak
: Apa artinya?
Ibn Hanbal : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana Dia sifatkan diri-Nya.[5]
Kemudian al-Ma’mun yang mendengar
kabar dari mihnah itu marah besar dan memerintahkan agar dilaksanakan pengujian
ulang kepada fuqaha dan muhadisin disertai dengan ancaman yang berat bahkan
disertai pembunuhan bagi mereka yang menolak pendirian khalq al-Qur’an. Ahmad
ibn Hanbal dan Muhammad Nuh bersikeras dan tidak berubah pendiriannya. Kemudian
mereka dibelenggu dan dikirim bersama ulama-ulama lain ke Tarsus. Ahmad ibn
Hanbal ditahan karena dianggap sebagai orang penting dalam penolakan paham
khalq al-Qur’an. Setelah al-Ma’mun meninggal, ia digantikan oleh al-Mu’tasim
(219/227 H). Al Mu’tasim melakukan mihnah dengan lebih kejam kepada para
ulama’. Bahkan ada yang dibunuh. Ahmad ibn Hanbal dicambuk dan dipenjarakan
karena tetap menolak paham al-Qur’an. Setelah al-Mu’tasim wafat, ia digantikan
oleh al-Wasiq. Al Wasiq adalah orang yang sangat tegas kepada orang yang
menolak paham khalq al Qur’an. Ia pernah membunuh Ahmad bin Nasr dengan
tangannya sendiri. Tapi dia tidak berani membunuh Ahmad ibn Hanbal karena Ahmad
ibn Hanbal mempunyai pengaruh besar dikalangan fuqaha. Al-Mihnah dihapuskan
pada masa al-Mutawakil dengan mengumumkan pemberhentian diseluruh wilayah dan
melarang siapapun untuk membahas tentang
khalq alQur’an.
Akan
tetapi tidak dapat disangkal bahwa gerakan Mu’tazilah memberikan sumbangan
internal yang besar kepada Islam tidak hanya dengan mencoba menegakkan gambaran
Tuhan sebagai pembangun moral bagi
pikiran yang maju, tetapi diatas segalanya, juga atas desakan mengenai klaim
akal dalam theologi.[6]
Qadariyah mula-mula
timbul sekitar tahun 689 M dipimpin oleh Ma’bad Al-juhni bin Ja’ad bin Dirham
pada masa kepemimpinan khalifah Abdul Malik bin Marwan, khalifah bani Umayyah
ke 5. Aliran teologi ini muncul sebagai antithesis dari aliran Jabariyah yang
menganggap manusia tidak mempunyai andil dalam melakukan sesuatu. Jabariyah
mengatakan bahwa semua perbuatan baik dan buruk adalah ketetapan Allah. Bahkan
saat seseorang melakukan pembunuhan, itu adalah takdir Allah dan menganggap
Allah sebagai penyebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Karena itulah fiqroh
Qadariyah membatasi qadar tersebut. [7]
Sedangkan Qadariyah berasal dari pemikiran bahwa manusia mempunyai qudrah atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari manusia
terpaksa tunduk pada qadar Tuhan (faham Jabariyah). Dalam istilah
inggris faham ini disebut free will/free act. [8]
Ajaran Qadariyah segera
mendapat pengikut yang cukup banyak, sehingga pada saat itu khalifah Abdul
Malik mengambil tindakan dengan menahan Ma’bad Al-Juhni dan beberapa
pengikutnya dan dihukum mati di Damaskus pada 690 M (Harun Nasu tion mengatakan
Ma’bad mati terbunuh saat melawan Hajjaj). Setelah ini maka faham Qadariyah
semakin surut, akan tetapi munculnya aliran Mu’tazilah yang dianggap sebagai
reinkarnasi dari Qadariyah.[9]
Rekan Ma’bad Al-juhni, Ghilan al-Damsiqi terus menyiarkan faham ini di
Damaskus. Saat Umar bin Abdul Aziz menjabat menjadi Khalifah, Ghilan mendapat
tantangan dan sempat tersendat syiar nya, namun akhirnya diteruskan dan pada
saat kekuasaan Hisyam, Ghilan dihukum mati.
Menurut Ghilan, manusia
berkuasa atas segala perbuatannya; manusia sendirilah yang menentukan perbuatan
yang dilakukan baik atau buruk. Dengan kata lain anggapan Ghilan disini tak
terdapat faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih
dahulu (Takdir).[10]
Sehubungan dengan
pendapat Qadariah tersebut, nabi Muhammad s.a.w. bersabda:
“Dari Hudzaifah ra. Berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: bagi tiap-tiap
umat ada Majusinya dan Majusi umatku ini ialah mereka yang mengatakan bahwa
tidak ada takdir. Barangsiapa di antara mereka itu mati, maka janganlah engkau
menshalati jenezahnya. Dan barang siapa di antara mereka itu sakit, maka
janganlah engkau menjenguknya. Mereka adalah golongan Dajjal dan memang ada hak
bagi Allah untuk mengaitkan mereka itu dengan Dajjal itu.” (HR Abu Dawud).[11]
Sekitar tujuh tahun
setelah al-mihnah dilaksanakan. Sikap Ibn
Hanbal yang dengan keberaniannya dan tak takut mati mempertahankan keyakinannya
membuat Ia mempunyai banyak pengikut di kalangan umat islam yang tak sepaham
dengan kaum Muktazilah. Sungguhpun pemuka-pemuka lain menemui ajal dengan
hukuman bunuh, al-Mu’tasim dan al-Wasiq (824-847 M) tak berani menjatuhkan
hukum bunuh atas dirinya. Hukuman serupa itu akan menimbulkan kekacauan.[12]
Peristiwa mihnah yang diikuti kurang lebih 30 orang ini yang slah satunya adalah
tokoh mujtahid Imam Ahmad Ibn Hanbal
telah membuat posisi Muktazilah terpojok dalam pandangan mayoritas
Islam. Hingga pada akhirnya al-Mutawakil naik takhta kekhalifahan menggantikan
al-Wasiq, Muktazilah yang tadinya menjadi mazhab negara kemudian ditinggalkan.
Posisipun menjadi berbalik, dimana Ahmad Ibn Hanbal dan para pengikutnya
menjadi orang terdekat dengan pusat kekuasaan, sementara Muktazilah menjadi
jauh dari pusat kekuasaan.[13]
Salah
satu pendukung Ahmad Ibn hanbal yaitu Abu Hasan al-Asy’ari yang dikenal
sebagai pendiri aliran Asy’ariyah yang juga sebelumnya
beraliran Muktazilah, kemudian ia meninggalkan paham Muktazilah, pada
waktu pamor Muktazilah sedang dalam keadaan merosot.
Penyebab
Abu Hasan al-Asy’ari keluar dari Muktazilah dikarenakan ia bermimpi bertemu
dengan Nabi Muhammad SAW serta perdebatannya dengan Abu Ali al-Jubbai yang
tidak lain adalah gurunya sendiri tentang tiga orang, mukmin, kafir dan anak
kecil yang bagaimana hukumnya di akhirat nanti.[14] Dalam
mimpi Asy’ari itu, Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli
Hadislah yang benar, dan mazhab Mukazilah adalah salah. Namun sebab-sebab
tersebut menunjukkan persoalan yang sangat pelik untuk di buktikan karena mimpi
itu sifatnya sangat pribadi. Demikian juga tentang perdebatan itu. Oleh sebab
itu, perlu dicari penyebab lain yang lebih kuat untuk menjelaskan keluarnya
Asy’ari dari Muktazilah. Salah satu kasus yang disepakati oleh para ahli yaitu
kondisi Asy’ari sendiri yang sudah lama ragu terhadap ajaran Muktazilah. Ia pernah
mengasingkan diri selama lebih kurang lima belas hari. Setelah mendapatkan
ketetapan hati tentang apa yang patut dianut dalam sistem teologi, Ia kembali
dan hari berikutnya Ia mengumumkan hasil pemikirannya dalam sebuah pidato di
masjid.
Setelah Asy’ari mencapai
kedudukan yang terhormat, mempunyai banyak pengikut dan pendukung serta
memperoleh bantuan dari para penguasa Abbasiyah. Selanjutnya pendapatnya
disebut sebagai Ahlus Sunnah wa Jama’ah.
Sebenarnya penyebutan Ahlus Sunnah itu
sudah dipakai orang sejak jauh sebelum Imam Al-asy’ari, yaitu pada orang-orang
yang memegang teguh Al-Qur’an dan Hadis Nabi, yang dimulai dari zaman sahabat,
dan berlanjut pada masa Tabi’in.[15]
Seperti
yang tertuang di atas bahwa awalnya Al-asy’ari adalah murid dari seorang Jubbai
(Pendekar M’tazilah), namun akhirnya ia keluar dari Mu’tazilah dikarenakan
kerguannya. Dengan demikian, peikiran Al-Asy’ari adalah identik dengan paham Ahlus Sunnah wa Jama’ah, beberapa
pemikirannya di bidang akidah, terdapat Al-ibanah.
Diantaranya, pendapat bahwa Al-Qur’an bukanlah Makhluk.[16]
Maturidiah didirikan oleh
Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi bin Muhammad kelahiran Maturid (kota kecil di
daerah Samarkand) kurang lebih pertengahan abad ke 9 M dan meninggal pada 944
M. Ia mencari ilmu pada saat aliran Mu’tazilah sudah mulai mengalami
kemunduran. Pada saat itu, Kota Maturid menjadi arena perdebatan antara aliran
fiqih Hanafiah dan Syafi’iyah.
Dalam bidang fiqih, Al-Maturidi mengikuti
mazhab Hanafi, dan ia sendiri banyak mendalami soal teologi islam dan
menyebelah kepada aliran Fuqoha dan Muhandisin, seperti yang dilakukan
Al-Asy’ari.[17]
Sebenarnya antara Maturidi dan Asy’ari timbul akibat reaksi terhadap aliran
Mu’tazilah. Namun sebagai pengikut Abu Hanafiah yang banyak memakai rasio dalam
pandangan keagamaannya, Al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam sistem
teologinya. Oleh karena itu antara teologinya dan teologi yang ditimbukan
Asy’ariah terdapat berbedaan.[18]
Ada sekitar 30-an masalah
yang menjadi perbedaan antara Maturidi dan Asy’ari, antara lain masalah Af’al
Al-‘ibad. Asy’ari tampak lebih dekat ke paham Jabariah, sedangkan kaum
maturidi lebih dekat ke Qadariyah. Perbedaan lain Al-Asy’ari berpendapat bahwa
Ma’rifat kepada Allah s.w.t. adalah berdasarkan tuntunan syara’, sedangkan
Al-Maturidi berpendapat bahwa hal itu diwajibkan oleh akal pikiran.[19]
Perbedaan itu tidak
begitu banyak ada pertaliannya dengan perbedaan dasar-dasar maszhab Syafi’I
yang dianit imam Asy’ari dan mazhab Hanafi yang dianut imam Maturidi. Oleh
karena itu pengikut maturidi biasanya menganut mazhab Hanafi sedangkan pengikut
Asy’ari terdiri dari orang-orang Mazhab Syafi’i. Namun menurut Ahmad Amin
adanya perbedaan antara 2 aliran ini, bukanlah perbedaan yang bersifat
prinsipil.[20]
Baca Juga: Teologi Asy'ariyah Detail dan Penjelasanya
BAB. III
PENUTUP
Kesimpulan
Munculnya
perbedaan mendasar dalam persoalan politik yang terjadi pada pemerintahan
islam, telah beralih ke dalam ranah teologi yang kompleks. Mulai dari persoalan
takdir, dosa, sampai kitab suci umat islam itu sendiri. Adanya paham Qadariyah
dengan ciri khas free willnya, sampai Jabariyah dengan kepasrahannya.
Telah menjadi dasar dari munculnya beberapa aliran teologi besar, salah satunya
Mu’tazilah. Bahkan lebih lanjut lagi saat Mu’tazilah menjadi mazhab resmi
Abbasiyah, muncullah 2 antithesis dari Mu’tazilah yaitu Asy’ariyah dan
Maturidiyah. Keduanya lebih dikenal sebagai Ahlus Sunnah wa Jama’ah yang
memiliki karakteristik yang berbeda.
Daftar Pustaka
Hanafi, A. Theology Islam. Jakarta:
Al-Husna Zikra, 1995.
Hasymy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1975.
Nasir , Sahilun A. Pemikiran Kalam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Nasution , Harun. Teologi Islam. Jakarta:
UI-Press, 1972.
Nurdin , M. Amin. Sejarah Pemikiran
Islam. Jakarta: Amzah, 2012.
Rahman , Fazlur.
Islam. Bandung: Pustaka, 1984.
Yusuf , Yunan. Alam Pikiran Islam pemikiran Kalam. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014.
[2] Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), hlm. 179
[5]M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam
(Jakarta: AMZAH,2012). Hlm. 90
[13] Yunan Yusuf, Alam
Pikiran Islam pemikiran Kalam (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 92
0 komentar:
Post a Comment