Harun Nasution | Akal dan Wahyu Dalam Islam

Harun Nasution, blogspot.com

BAB I
            Sebagai telah dilihat dalam Bab I, penghargaan tinggi terhadap akal terdapat dalam al-Qur’an sendiri. Tidak sedikit ayat-ayat yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak berfikir dan mempergunakan akalnya.
            Kata-kata yang dipakai dalam al-Qur’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir, bukan hanya ‘aqala tetapi juga kata-kata berikut:
1.         Nazara (melihat) secara abstrak dalam arti berfikir dan merenungkan, terdapat dalam 30 ayat lebih, antara lain:
“Tidakkah mereka perhatikan langit di atas mereka bagaimana ia Kami jadikan serta hiasi dan tiada celah-celah padanya? Dam bumi Kami bentangkan serta letakkan di atasnya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya dari tiap jenis pasangan yang indah?” (s. 50 – a. 6-7).

“Maka hendaklah manusia merenungkan dari apa ia diciptakan. Ia diciptakan dari air yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk.” (s. 86 – a. 5-7).

“Apakah tidak mereka perhatikan unta bagaimana ia diciptakan? Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung bvagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaiamana ia dibentangkan?” (s. 88 – a. 17-20).

2.         Tadabbara (merenungkan) terdapat dalam beberapa ayat seperti:
“Kitab yang Kami turunkan padamu penuh berkat agar mereka merenungkan ayat-ayatnya dan orang berfikiran memperoleh pelajaran-pelajaran.” (s. 38 – a. 29).

“Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an ataukah hati telah terkunci?” (s. 47 – a. 24).

3.         Tafakkara (berfikir) terkandung dalam 16 ayat seumpama:
“Dan Tuhanmu menyampaikan kepada lebah: Buatlah rumahmu di gunung, di pohon dan pada apa yang mereka dirikan. Kemudian makanlah dari segala macam buah dan ikutilah jalan-jalan Tuhanmu dengan tunduk; keluar dari perutnya minuman berbagai warna yang di dalamnya terdapat obat bagi manusia; padanya sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berfikir.” (s. 16 – a. 68-69)

“Tuhanlah yang membuat laut bagimu tunduk agar padanya kapal-kapal berlayar atas perintah-Nya dan kamu cari karunia-Nya, semoga kamu berterima kasih. Ia buat segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi tunduk bagimu, semuanya adalah daripada-Nya, padanya sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berfikir.” (s. 45 – a. 12-13)

4.         Faqiha (mengerti, faham) terdapat dalam 16 ayat diantara lain yang berikut:
“Langit yang tujuh serta bumi dan yang ada pada keduanya memuja-Nya, dan tidak ada satupun yang tidak memuja-Nya dengan pujian, tetapi kamu tidak mengerti pujaan mereka. Sungguh Ia Maha Penyantun dan Penganmpun.” (s. 17 – 1. 44)

“Ialah yang menjadikan bagimu bintang-bintang agar dengan perantarannya kamu tahu jalan digelap bumi dan laut. Telah Kami jelaskan tanda-tanda bagi kaum yang tahu. Ialah yang menciptakan kamu dari satu jiwa dan terdapatlah tempat menetap dan tempat beristirahat. Telah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang mengerti.” (s. 16 a. 97-98

“Tidak semestinya orang-orang mukmi semua pergi. Mengapa sebahagian dari tiap golongan tidak pergi memperdalam pemahaman tentang agama agar dapat memberi peringatan bagi kaumnya, bila mereka kembali. Semoga mereka berjaga-jaga.” (s. 9 a. 122)

5.         Tazakkara yang berarti mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari, yang semuanya mengandung perbuatan berfikir, terdapat dalam lebih dari 40 ayat. Sebagai contoh dapat diberikan yang berikut:
“Apakah yang menciptakan sama dengan yang tidak menciptakan? Apakah tidak kamu perhatikan?” (s. 16 a. 17)

“Apakah orang yang tunduk beribadat di malam hari, duduk dan berdiri, berjaga-jaga terhadap hari kiamat dan mengharapkan rahmat Tuhan? Katakan: Apakah semua orang yang tahu dengan orang yang tidak tahu? Hanya orang berpikiranlah yang dapat memperoleh pelajaran.” (s. 39 – a. 9)

“Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan, Kami adalah pencipta keluasan. Dan bumi Kami bentangkan, Pencipta hamparan terindah. Dari tiap sesuatu Kami ciptakan pasangan semoga kamu perhatikan.” (s. 51 – a. 47-49).

“Sesungguhnya telah Kami buat bagi manusia dalam Al-Qur’an ini segala macam perumpamaan semoga mereka perhatikan.” (s. – a.27)

6.         Fahima memahami dalam bentuk  fahhama pada ayat berikut:
“Dan Daud dan Sulaiman sewaktu menentukan keputusan tentang ladang, ketika domba orang masuk ke dalamnya pada malam hari, dan Kami menjadi saksi atas keputusan itu. Kami buat Sulaiman memahaminya dan kepada keduanya Kami berikaan hikmat dan ilmu; Kamui jadikan bersama Daud gunung dan burung tunduk memuja Kami. Kamilah Pembuat semua itu.” (s. 21 – s. 78-79).

7.         Kata-kata yang berasal dari ‘aqala sendiri terdapat dalam lebih dari 45 ayat dan selain dari yang telah dikutip dalam Bab 1, dapat dikemukakan lagi yang berikut:
Seburuk-buruk binatang pada pandangan Allah adalah yang tuli, bisu, dan tidak mempergunakan akal.” (s. 8 – a. 22)

Selain dari pada itu terdapat pula dalam Al-Qur’an sebutan-sebutan yang memberi sifat berfikir bagi seorang muslim, yaitu ulu al-albab (orang berfikiran) ulu al-‘ilm (orang berilmu) ulu al-absar (orang mempunyai padangan) dan ulu al-nuha (orang bijaksana). Sebagai contoh dapat diberi ayat-ayat berikut:
Sungguh dalam cerita mereka terdapat pelajaran bagi yang berfikiran; bukanlah itu cerita yang ditiada-adakan, tetapi pembenaran bagi apa yang ada padanya, penjelasan tentang segala-galanya, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (s. 12 a. 111)

“Sungguh pada penciptaan langit dan bumi serta perbedaan malam dan siang terdapat ayat-ayat bagi orang yang berfikiran.” (s.3 – a. 190)

“Allah menyaksikan bahwa tiada Tuhan selain dari Ia, malaikat dan orang berilmu demikian pula, Allah yang menegakkan keadilan. Tiada Tuhan selain dari Ia yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (s. 3 – a. 18)

“Allah membuat malam dan siang silih berganti. Sungguh padanya terdapat pelajaran bagi orang yan mempunyai pandangan.” (s. 24 – a. 44)

“Apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat sebelum mereka, yang ditempat kediamannya mereka berjalan, Kami hancurkan? Padanya sungguh terdapat tanda-tanda bagi orang bijaksana.” (s. 20 – a. 128)

Selanjutnya kata ayat sendiri erat hubungannya dengan perbuatan berfikir. Arti aslinya dari ayat adalah tanda seperti tersebut dalam surat:
Ia berkata: Tuhan berilah aku tanda. Ia berfirman: Tanda bagimu ialah bahwa engkau tidak berbicara kepada orang selama tiga hari kecuali dengan isyarat. Banyaklah engkau mengingat Tuhanmu dan pujalah Ia malam dan pagi.” (s. 3 – a. 41)

“Ia berkata: Tuhan berilah aku tanda. Ia menjawab: tanda bagimu ialah bahwa engkau tidak berbicara kepada orang selama tiga hari sungguhpun engkau dalam keadaan sehat.” (s. 19 – a. 10)

Ayat dalam arti tanda kemudian dipakai terhadap fenomena natur yang banyak disebut dalam ayat kahwiah, ayat tentang kejadian atau tentang kosmos. Tanda, sebagai diketahui, menunjukkan kepada sesuatu yang terletak di belakang tanda tu. Tanda itu harus diperhatikan, dipikirkan dan direnungkan untuk mengetahui arti yang terletak dibelakangnya.
Demikian juga tentang ayat kejadian atau kosmos. Dalam Al-Qur’an disebut bahwa kosmos ini penuh dengan tanda-tanda yang harus diperhatikan, diteliti dan difikirkan manusia, untuk mengetahui rahasia yang terletak di belakang tanda-tanda itu. Pemikiran mendalam tentang tanda-tanda tersebut membawa kepada pemahaman tentang fenomena-fenomena alam sendiri dan akkhirnya membawa pada keyakinan kuat tentang adanya Tuhan Pencipta Alam dan hukum alam yang mengatur perjalanan alam.
Sebagai telah disebut dalam Al-Qur’an terdapat kira-kira 150 ayat kahwiah dan salah satu yang terbaik diantaranya adalah yang berikut:
Sungguh pada penciptaan langit dan bumi, perobahan malam menjadi siang, kapal-kapal yang di laut membawa apa yang bermanfaat bagi manusia, air yang diturunkan Allah dari langit kemudian Ia hidupkan dengannya bumi setelah ia gersang dan tebarkan padanya segala macam binatang, perkisaran angin dan awan yang terletak tunduk diantara langit dan bumi, pada semnua ini terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akal.” (s. 2 – a. 164)
           
            Semua bentuk ayat-ayat yang dijelaskan di atas, ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata-kata nazara, tadabbara, tafakkara, faqiha, fahima, ‘aqala, ayat-ayat yang berisikan sebutan ulu al-albab, ulu al-‘ilm, ulu al-absar, ulu al-nuha, dan ayat kauniah, mengandung anjuran, dorongan bahkan perintah agar manusia banyak berfikir dan mempergunakan akalnya. Berfikir dan mempergunakan akal adalah ajaran yang jelas dan tegas dalam Al-Qur’an sebagai sumber utama dari ajaran-ajaran Islam.
            Hadis sebagai sumber kedua dari ajaran-ajaran Islam sejalan dengan Al-Qur’an, juga memberikan kedudukan tinggi pada akal. Salah satu dari hadis yang selalu disebut-sebut adalah:
“Agama adalah penggunaan akal, tiada agam bagi orang yang tak berakal.”

            Betapa tingginya kedudukan aka dalam ajaran Islam dapat dilihat dari hadis Qudsi berikut, yang di dalamnya digambarkan Allah SWT bersabda kepada akal:
Demi kekuasdaan dan keagungan-Ku tidaklah Kuciptakan makhluk lebih mulia dari engkau. Karena engkaulah Aku mengambil dan memberi dan karena engkaulah Aku menurunkan pahala dan menjatuhkan hukuman.

Dengan kata lain akal lah makhluk Tuhan yang tertinggi dan akal lah yang memperbedakan manusia dari binatang dan makhluk Tuhan lainnya. Karena akalnya lah ,anusia bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya. Bahkan manusiapun kalau akalnya belum atau tidak berfungsi, seperti anak belum akil baligh dan orang yang tidak waras pikirannya, tidak bertanggung-jawab atas perbuatanya dan tidak mendapat hukuman atas kesalahan dan kejahatan yang dilakukannya.
Begitulah tinggi keududkan akal dalam ajaran Islam, tinggi bukan hanya dalam soal-soal keduniaan saja, tetapi juga dalam soal-soal keagamaan sendiri. Penghargaan tinggi terhadap akal sejalan pula dengan ajaran Islam lain yang erat hubungannya dengan akal, yaitu menuntut ilmu.



BAB II
AKAL DAN WAHYU DALAM PEMIKIRAN KEAGAMAAN DALAM ISLAM
            Sebagai diketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama, tetatpi juga sebagai kebudayaan. Islam betul lahir pada mulanya hanya sebagai agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Mendina menjadi negara, selanjutnya membesar di Damsyik menjadi kekuatan politik internasional yang luas daerahnya dan akhirnya berkembang di Baghdad menjadi kebudayaan bahkan peradaban yang tidak kecil pengaruhnya, sebagai telah disebut di atas, pada peradaban Barat modern. Dalam perkembangan Islam dalam kedua aspeknya itu, akal memainkan peranan penting bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang agama sendiri. Dalam membahas masalah-masalah keagamaan, ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu, tetapu banyak pula bergantung pada pendapat akal. Peranan akal yang besar dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan pula hanya dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam bidang tauhid bahkan juga dalam fikih dan tafsir sendiri.
1.    Fikih
Memulai pembicaraan tentang peranan akal dalam bidang fikih atau hukum Islam, kata faqiha sendiri mengandung makna faham dan mengerti. Untuk memahami dan mengerti sesuatu diperlakukan pemikiran dan pemakaian akal. Dalam menjelaskan arti kata ini Ibn Mansur Al-Ansari, membawa do’a Nabi Muhammad untuk Ibn Abbas sebagai berikut:
“Tuhanku ajarilah ia agama dan buatlah ia mengerti tafsirnya”[1]
Dengan demikian fikih merupakan ilmu yang membahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, yang berkenaan dengan hukum, yakni ayat-ayat ahkam yang telah disebut dalam Bab III. Untuk pemahaman dan penafsiran itu diperlukan al-ijtihad. Ijtihad pada asalnya mengandung arti usaha keras dalam melaksanakan pekerjaan berat dan dalam istilah hukum berarti usaha keras dalam bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan ketentuan hukum agama dari sumber-sumbernya.
Ijtihad banyak dipakai dan kedudukannya penting dalam fikih. Fikih sesudah zaman Sahabat dan Tabi’in, karena banyaknya ijtihad dipakai di dalamnya.
Di samping ijtihad dijumpai lagi dalam fikih istilah al-ra’y yang biasa diterjemahkan dengan pendapat atau opini. Al-ra;y dalam istilah hukum boleh dikatakan sama arti dengan bersandar dan bergantung semata pada pendapat akal dalam penentuan hukum syariat.
Ahl al-ra’y berpendapat bahwa Nabi sendiri memakai al-ra’y  tanpa wahyu dalam menentukan hukum syariat. Demikian juga sahabat ketika tidak menemukan hukum dalam Al-Qur;an dan Sunnah. Sebagai argumen di bawa kasus-kasus yang di dalamnya Nabi Muhammad SAW menentukan tanpa adanya wahyu yang turun seperti baiknya seorang anak menunaikan haji orang tuanya yang karena telah lanjut umur tak sanggup lagi melaksanakan ibadat itu, bolenhnya orang yang sedang berpuasa bercfiuman, baiknya orang ziarah ke kuburan, dsb.[2]

2.    Filsafat
Filosof-filosof Islam berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara falsafat dan agama tidak ada pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi. Antara keduanya terdapat keharmonisan.
Al-Kindi lah filsoof Islam pertama yang menjelaskan bahwa tiada pertentangan antara agama dan falsafat. Titik pertemuan antaranya keduanya terletak pada kebenaran. Falsafat dalam pengertian Al-Kindi adalah pembahasan tentang kebenaran, bukan untuk diketahui saja tapi juga untuk diamalkan. Agama juga datang untuk kebenaran. “Falsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafat pertama, yaitu ilmu tentang Yang Maha Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi tiap kebenaran”, Yang Maha Benar Pertama adalah Tuhan Pencipta alam semesta. Dengan demikian antara agama dan falsafat ada persesuaian. Keduanya membahas kebenaran dan kebaikan dengan membawa argumen-argumen yang kuat. Agama dan falsafat membahas subyek yang sama dan memakai metode yang sama. Perbedaannya hanyalah bahwa falsafat memperoleh kebenaran melalui akal sedang agama melalui wahyu. Selanjutnya argumen-argumen yang dibawa Al-Qur’an lebih meyakinkan daripada argumen-argumen yang dimajukan falsafat. Tetapi falsafat dan Al-Qur’an tidak bertentangan. Kebenaran yang diberitakan wahyu tidak berlawanan dengan kebenaran yang dibawa falsafat. Mempelajari falsafat dan berfalsafat tidaklah haram, karena teologi adalah bahagian dari falsafat dan umat Islam diwajibkan belajar tauhid.
Al-Farabi, filosof yang datang sesudah Al-Kindi, juga berkeyakinan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada pertentangan. Menurut pendapatnya kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran yang dihasilkan falsafat hakekatnya satu, sungguhpun bentuknya berbeda. Al-Farabi lah filosof Islam yang opertama mengusahakan keharmonisan antara agama dan falsafat. Dasar yang dipakainya untuk itu dua, pertama pengadaan keharmonisan antara falsafat Aristoteles dan Plato sehingga ia sesuai dengan dasar-dasar Islam dan kedua, oemberian tafsiran rasional terhadap ajaran-ajaran Islam. Dan pengharmonisan ini mungkin, karena di zaman Al-Farabi ada karangan-karangan yang oleh filosof-filosof Islam diyakini karya Aristoteles, seperti Teologi Aristoteles yang sebenarnya adalah bagagian dari Enneade Plotinus.
Penafsiran rasional atau ta’wil, sebagai kata Sa’id Zayid, dipakai Al-Farabi untuk meyakinkan orang-orang yang tidak percaya akan kebenaran ajaran-ajaran agama, yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dalam memberikan penjelasan rasional tentang adanya wahyu, Al-Farabi sebelum Ibn Sina telah membawa konsep komunikasi manusia dengan Akal Kesepuluh. “Tuhan menurunkan wahyu kepada Nabi melalui Akal Aktif. Apa yang dipancarkan Tuhan kepada Akal Aktif, diteruskan oleh Akal ini kepada akal pasif melalui akal perolehan untuk seterusnya dilanjutkan lagi kepada daya pengreka. Orang yang akal pasifnya menerima pancaran adalah filosof, ahli hikmat dan ahli fikir. Orang yang daya pengrekanya menerima pancaran adalah nabi yang membawa berita tentang masa depan”. Dengan perkataan lain komunikasi filosof dengan Akal Kesepuluh terjadi melalui akal perolehan, sedang komunikasi nabi cukup dengan daya pengreka.
Dalam mengartikan ayat-ayat tasybih atau antropomorfis, Al-Farabi memakai ta’wil. Janganlah suangka, demikian ia menulis, bahwa pena alat berbentuk materi, papan tulis, alat permukaan datar, tulisan huruf-huruf tertulis, tetapi pena adalah malaikat, demikian juga papan tulis sedang tulisan adalah gambaran tentang hakekat. Dengan jalan serupa inilah Al-Farabi mengadakan keharmornisan antara wahyu dan akal, antara agama dan falsafat.
Ibn Miskawaih, yang dikenal dalam Islam sebagai filosof akhlak, juga berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan. Ia berpendapat bahwa antara nabi dan filosof tak ada[3] perbedaan besar dan bahwa hubungan antara keduanya erat. Nabi sampai kepada hakekat-hakekat karena pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya. Hakekat-hakekat yang diperoleh Nabi itu pulalah yang sampai kepada filosof, tetapu melalui daya fikir dan bukan daya imaginasi. Filosof berusaha dari bawah dengan melampaui tingkat-tingkat indera luar, imaginasi dan akal, sedang Nabi memperolehnya sebagai rahmat yang turun dari Tuhan.
Karena kebenaran-kebenaran yang diperoleh Nabi dan filosof sama, maka filosof adalah orang yang cepat dapat mempercayai apa yang dibawa Nabi. Nabi memawa apa yang tak bisa ditolak oleh akal. Nabi dan wahyu diperlukan untuk mengetahui perbuatan-perbuatan yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan. Falsafat tidak bisa mencakup semua lapisan masyarakat.
Ibn Sina berpendapat bahwa Nabi dan filosof menerima kebenaran-kebenaran dari sumber yang sama yaitu Jibril, yang juga disebut Akal X atau Akal Aktif. Perbedaanya hanyalah hubungan Nabi dengan Jibril terjadi melalui akal materil, sedang filosof melalui akal perolehan. Filosof memperoleh akal perolehan melalui latihan berat, sedang Nabi memperoleh akal materil ang dayanya jauh lebih kuat dari akal perolehan, sungguhpun tingkatanya lebih rendah, sebagai anugerah Tuhan kepada orang pilihan-Nya. Pengetahuan yang diperoleh Nabi mengambil bentuk wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh filosof, tetapu antara keduanya tidak ada pertentangan.
Ibn Tufaillah satu-satunya filosof Islam yang menulis buku khusus tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, sungguhpun dalam bentuk kisah yang berjudul Hayy Ibn Yaqsan (Hidup anak Sadar). Dalam kisah ini, Ibn Tufail menjelaskan keharmonisan akal dan wahyu. Hayy dalam kisah ini melambangkan akal yang dapat berkomunikasi dengan alam imateri dan Absal melambangkan wahyu yang membawa hakekat. Hakekat yang ditemui flasfata sejalan dengan hakekat yang dibawa wahyu.
Ibn Rusyd, juga menegaskan bahwa antara agama dan filsafat tidak ada pertentangan. Kita umat Islam, demikian ia menjelaskan mengetahui dengan pasti bahwa penelitian akal tidak menimbulkan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dibawa agama, karena kebenaran tidak berlawanan dengan kebenaran tetapi sesuai dan saling memperkuat. Dengan demikian jika penelitian akal menghasilkan pengetahuan tentang sesuatu, maka tidak boleh tidak terjadi yang berikut: atau sesuatu itu tidak disinggung oleh agama atau dijelaskan di dalamnya. Kalau tidak disinggung maka tidak ada persoalan;ia seruoa dengan hukum yang tak dalam nas, dan oleh karenanya ulama fikih memakai qias syar’i. Kalau dijelaskan oleh syari’ah, maka tidak boleh tidak terjadi pula yang berikut: atau nasnya sesuai dengan penelitian akal atau bertentangan, Jika sesuai maka tak ada masalah. Jika bertentangan dengan teks, dipakai ta’wil. Dan arti ta’wil adalah meninggalkan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi kepada nas ayau teks tertulis, yang mengartikan sesuatu dengan serupannya atau sebabnya, atau akibatnya, atau sesamanya ataupun yang lain yang termasuk dalam kaedah pemakaian makna majazi. Kalau hal serupa ini banyak dilakukan oleh ulama fikih dalam masalah hukum, maka ahli falsafat lebih berhak untuk melakukan yang serupa pula.[4]




[1] Halaman 71
[2] 72-73.
[3] Halaman 81-83
[4] Halaman 84-88

0 komentar:

Post a Comment