Muhammad bin Abdul Wahab, blogspot.com |
Pengantar
Puji syukur Alhamdulillah
kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi
hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga
rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah serta
iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami
sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu
makalah.
Dalam
aspek manapun, makalah ini belum memenuhi
kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan
menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran
kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal
mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah
ini.
Setidaknya,
dalam penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami
sendiri, ada banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan
banyak manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
Pada
akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada khususnya Prof.
Dr. H. Dudung Abdurrahman, M. Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Pemikiran Islam
II yang memberi kami kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir
kepada teman-teman mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita
bangsa dan agama. Semoga Allah memberkati makalah kami. Aamiin.
Sleman,
7 April 2017
Irfan
Hamid
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana yang disebut dalam sejarah Islam, muncul periode untuk
pembabakan waktu menurut ciri dan karakteristik setiap periode. Secara garis
besar sejarah islam dapat dibagi ke dalam tiga periode besar, yaitu klasik,
pertengahan, dan modern. Pada periode klasik keadaan islam sedang dalam
perkembangan yang sangat pesat dalam segi wilayah kekuasaan. Pada masa
pertengahan awal, terjadi kemajuan di 3 dinasti besar islam (Utsmani, Syafawi,
Mughal), sedangkan pada masa pertengahan akhir, 3 dinasti ini mengalami
kemunduran. Utsmani dipukul Eropa, Syafawi diserang suku bangsa Afghan, dan
Mughal diperkecil wilayahnya karena gangguan raja-raja Hindustan. Akibat dari
keterpurukan tersebut, kondisi umat islam menjadi mundur dan statis. Sampai
akhirnya banyak lahir pembaharu islam yang membawa islam menuju periode modern.[1]
Di jazirah Arab sendiri sebagai wilayah kekuasaan Utsmaniyah juga
terjadi hal serupa. Keadaan masyarakat Arab saat itu terdiri atas kabilah-kabilah,
dan tidak ada hubungan antara mereka kecuali hubungan permusuhan. Jalan-jalan
tidak aman, dan perampokan terjadi dimana-mana. Kekuasaan Istanbul saat itu
tidak terasa sama sekali, kecuali hanya nama.[2]
Kenyataan itulah yang membuat umat islam saat itu jauh dari agama dan cenderung
melakukan Taklid, Bid’ah,
dan Khurafat.
Di tengah kondisi umat islam yang seperti itu, muncul ditengah-tengah
mereka seorang pembaharu. Bukan mencetuskan pemikiran berkaitan pembenahan
perpolitikan dunia Islam, namun mambawa perubahan menyikapi tercemarnya Tauhid
dalam masyarakat Arab.[3]
Pembaharu ini ialah Muhammad bin Abdul Wahab, yang dalam buku Fazlur Rahman
berjudul Islam pengikut ajarannya disebut sebagai ‘Gerkan Wahabi’.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, kami selaku penyusun makalah menyajikan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang pemikiran Muhammad
bin Abdul Wahab?
2. Apa pemikiran yang diusung Muhammad bin
Abdul Wahab?
3. Bagaimana respon dan pengaruh pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahab terhadap umat Islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui latar belakang pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahab
2. Mengetahui pemikiran yang diusung Muhammad
bin Abdul Wahab
3. Mengetahui respon dan pengaruh pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahab terhadap umat Islam
BAB. II
PEMBAHASAN
Muhammad bin Abdul Wahab lahir pada tahun 1703 dalam sebuah keluarga di
Najd yang terkenal akan kealiman dan kesalehannya.[4] Muhammad
bin Abdul Wahab kecil dididik oleh ayahnya, seorang hakim Hanbaliyah. Tidak
heran ia pun diajarkan Fiqih, Hadits, dan Tafsir imam ibnu Hanbal. Sebagai
tambahan, ia pun menelaah kitab-kitab ibnu Taimiyah.[5] Tulisan
ibn Taimiyah inilah yang akhirnya mengubah Muhammad bin Abdul Wahab, yang
awalnya sebagai seorang penganut sufi, menjadi menolak doktrin sufi.[6] Ia
juga tidak pernah bersentuhan dengan budaya barat.[7] Sejak
kecil ia sudah menunjukkan kedewasaan diri yang luar biasa. Pada saat menjelang
dewasa ia dikenal di seluruh Jazirah Arab sebagai alim yang cerdik. Meskipun
demikian, ia tidaklah merasa puas dengan ilmu yang ia miliki saat itu.[8]
Untuk mengembangkan keilmuannya, Muhammad bin Abdul Wahab meninggalkan
desanya. Ia mengembara ke Mekkah, dan Madinah. Selanjutnya ia juga ke Ihsa,
Bashrah, Baghdad (Mesopotamia). Ia juga ke Damaskus, Ishfahan, dan Qum (Iran).
Ia menuntut ilmu keluar desanya selama lebih dari 12 tahun, dan ia menikah di
Baghdad.[9]
Selama di perantauan, ia merasa bahwa Tauhid sebagai hal terpenting dalam islam
telah mengalami kerusakan. Itulah yang menyebabkan ia selalu memikirkan tauhid
dalam aqidah yang jauh dari syirik.[10]
Muhammad bin Abdul Wahab menemukan banyak penyimpangan yang dilakukan
masyarakat Muslim. Para wali banyak didatangi, dan dipercaya dapat
mendatangkan kemanfaatan dan kemudaratan. Kuburan didatangi untuk diusap
nisannya dan mereka merendah dihadapan kuburan itu, mereka beranggapan kuburan
itu dapat membawa kebaikan dan menolak petaka. Tak hanya itu, bahkan mereka
menyekutukan Allah dengan tumbuhan, kayu, dan batu sebagai jimat yang dapat
memberi syafaat bagi mereka. Ini semua terjadi di berbagai wilayah negeri Arab.[11]
Saat Muhammad bin Abdul Wahab kembali dari perantauan ke Najd, ia
berniat melakukan dakwah secara terang-terangan. Tetapi hal itu mendapat
penolakan dari para pejabat setempat, karena masyarakat Najd masih
keterbelakangan sehingga khurafat dan bid’ah masih dipegang
teguh.[12] Penguasa
Najd lalu mengirimkan surat ancaman kepada Muhammad bin Abdul Wahab melalui
gubernur, jika terus berdakwah dengan cara itu, maka ia tak segan akan
membunuhnya. Namun Muhammad bin Abdul Wahab tetap mantap dengan seruan kalimat
Tauhid, akhirnya gubernur setempat memerintahkannya untuk keluar dari
daerahnya.[13]
Ia keluar Najd dan menuju Dar’iyah, dalam pelariannya ke Dar’iyah inilah yang
membawanya bertemu dengan kekuatan politik setempat, ibn Sa’ud, yang menerima
pandangan keagamaannya.[14]
B. Pemikiran
Yang Diusung Muhammad Bin Abdul Wahab
Garis besar pemikiran Muhammad
Bin Abdul Wahab berhubungan dengan pemurnian Tauhid, yaitu kembali pada
dua ajaran pokok islam (Al-Qur’an dan Hadits).[15] Paham
ini juga menolak qiyas sebagai metode untuk memutuskan hukum dalam
islam.[16] Selain
itu ia juga terfokus pada upaya memerangi bid’ah.[17] Berikut
adalah pokok-pokok pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab:
1) Yang boleh dan harus disembah hanyalah
Allah, dan orang yang yang menyambah selain-Nya adalah musyrik.
2) Meminta pertolongan bukan dari Allah,
tetapi dari syeikh atau wali dan kekuatan ghaib adalah syirik
3) Menyebut nama nabi, syaikh, atau malaikat
sebagai perantara doa adalah syirik.
4) Meminta syafaat selain dari Allah adalah
syirik
5) Bernazar atas nama selain Allah adalah
syirik
6) Memperoleh pengetahuan selain dari
Al-Qur’an dan Hadits adalah kufur
7) Tidak percaya kepada qada dan qadar
adalah kufur
8) Menafsirkan Al-Qur’an dengan ta’wil adalah
kufur.[18]
Seperti dalam sub-bab sebelumnya, cara ia berdakwah secara
terang-terangan telah membuatnya dimusuhi dan akhirnya keluar dari kampung
halamannya sendiri. Pelariannya ini justru yang membawa Muhammad bin Abdul
Wahab bertemu dengan penguasa Dar’iyah, Amir Muhammad bin Saud. Amir Muhammad
bin Sa’ud merasa cocok dengan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab dan akhirnya
menjadi pengikutnya. Muhammad bin Abdul Wahab pun diberi perlindungan dalam
kerajaan. Mereka berdua mulai mengajak orang-orang untuk ikut dalam barisannya,
yang menolak dan melawan akan dilawan juga dengan pedang. Hubungan antara dua
tokoh ini dikuatkan oleh ikatan kekeluargaan saat Muhammad bin Abdul Wahab
dijadikan menantu Muhammad bin Sa’ud.[19]
Hubungan antara Muhammd bin Abdul Wahab dengan Amir Muhammad bin Sa’ud
makin erat. Amir Muhammad yang setuju dengan dakwah Muhammad bin Abdul Wahab
kemudian membantu dengan semaksimal mungkin. Mereka bersepakat untuk menyiarkan
ajaran itu ke seluruh jazirah Arab dengan lisan (bagi yang menerimanya), dan
dengan pedang (bagi yang menolaknya). Dakawahnya menuai keberhasilan sedikit
demi sedikit, orang mulai banyak menerimanya, termasuk beberapa Amir menerima
pula, mungkin takut akan ancaman.[20]
Setelah Muhammad bin Abdul Wahab wafat akhir abad 18, pengikutnya juga
dengan mudah merebut pengaruh keagamaan di wilayah Mekkah dan Madinah di awal
abad 19, lalu memanfaatkan musim haji untuk menyebarkan pahamnya.[21]
Kemajuan-kemajuan yang mereka peroleh membuat Istanbul cemas. Sultan Mahmud II
memerintahkan Muhammad Ali dari Mesir supaya mematahkan gerakan wahabiyah itu.
Akhirnya 1813 Mekkah Madinah dapat direbut kembali,[22]
lalu diangkatlah syarif-syarif di dua kota suci oleh Sultan, selain sebagai
banteng bagi Wahabi, mereka juga bersifat akomodatif terhadap Utsmani.
C. Respon Dan Pengaruh
Pemikiran Muhammad Bin Abdul Wahab Terhadap Umat Islam
Demikianlah Muhammad bin Abdul Wahab yang selalu memikirkan tauhid dalam
aqidah yang jauh dari syirik, dan tauhid dalam syariah bahwa tidak ada sumber
hukum kecuali Al-Qur’an dan Hadits. Itulah pokok dari dakwah Muhammad bin Abdul
Wahab, yang pengaruhnya masih bisa kita lihat hingga kini. Secara umum, respon
dan pengaruh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab dapat dibagi menjadi dua yaitu
kepada masyarakat Jazirah Arab khususnya, dan Dunia Islam pada umumnya. Berikut
adalah penjelasannya:
1)
Terhadap Masyarakat Arab
Ketika Muhammad bin Abdul Wahab wafat, mazhabnya diteruskan oleh
keluarganya yang tersebar di seluruh Jazirah Arab, maka dengan mudah mereka
menguasai Mekkah dan Madinah. Penyimpangan-penyimpangan yang ada dilawan oleh
mereka. Mereka menghancurkan semua kuburan yang mewah, dan meratakannya. Di
kota Mekkah mereka juga menghancurkan kubah-kubah, diantaranya kubah Aisyah,
kubah tempat kelahiran Rasul, kubah Abu Bakar, dan Ali. Begitu juga saat mereka
memasuki Madinah, kuburan-kuburan sahabat yang dibangun, segera diratakan
dengan tanah dan hanya diberi tanda. Mereka juga hampir saja merusak kuburan
Nabi s.a.w. namun mendapat reaksi hebat dari dunia Islam.[23]
Muhammad bin Abdul Wahab tidak puas hanya berkhotbah saja, namun ia
berkeinginan keras untuk membangun suatu masyarakat dengan kemurnian ajaran
Islam dalam keseharian. Hal itulah yang membuat masyarakat Arab yang saat itu
hanya mengenal Islam sebagai Syahadat saja, menjadi berubah kehidupan
Islamnya ke arah yang lebih baik dan menerapkan syariat. Setiap orang diperintah
untuk sholat berjamaah, berpuasa di bulan Ramadhan, dan mengeluarkan zakat. Rokok,
cukur jenggot, kopi berlebihan, emas, sutera, dan simbol kehidupan mewah lainnya,
dilarang. Pajak yang tak sesuai dengan Islam juga dihapuskan. Untuk pertama
kalinya selama sekian abad, tercipta kedamaian dan kemakmuran seperti ini.
Konflik antara ulama mazhab yang sengit saat itupun berkurang seiring mereka
melakukan sholat berjamaah di Masjid.[24]
Salah satu pengaruh tersukses gerakan Muhammad bin Abdul Wahab adalah, keberhasilan
menghilangkan kemusyrikan di masayarakat Arab kala itu. Mereka yang meletakkan
sesaji di atas makam dan berharap dapat mendatangkan manfaat, meminta petunjuk
jodoh melalui pohon kurma, dll. berhasil diluruskan oleh Muhammad bin Abdul
Wahab dan pengikutnya.[25]
2)
Terhadap Dunia Islam
Telah disebutkan pada sub-bab sebelumnya bahwa ajaran Muhammad bin Abdul
Wahab selanjutnya dikenal sebagai Wahabiyah. Pengaruhnya makin kuat, hingga
pada tahun 1804 Mekkah dikuasai, dan 1806 giliran Madinah juga jatuh ke tangan mereka.[26]
Setelah menduduki dua kota penting jazirah Arab, bahkan dua kota penting umat
Islam, mereka menjadi lebih mudah untuk menyebarkan ajarannya. Musim haji
menjadi momentum tepat bagi mereka untu menyebarluaskan pahamnya keluar Jazirah
Arab.[27]
Tidak sedikit jamaah haji yang akhirnya tertarik dengan mazhab baru itu, dan
membawa pulang paham itu ke negaranya untuk disebarkan.[28]
Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab secara umum mempunyai
pengaruh pada perkembangan pemikiran di abad 19. Diantara pemikirannya adalah, pertama,
mengembalikan ajaran Islam kepada dua sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan
Hadits. Kedua, taklid kepada ulama tidak dibenarkan. ketiga, dibukanya
lagi pintu ijtihad bagi umat Islam.[29]
Wilayah luar Jazirah Arab yang terkena pengaruh ajarannya antara lain:
a. India, dibawa oleh Sayyid Ahmad
b. Al-Jazair, dibawa oleh imam As-Sanusi
c. Mesir, dibawa oleh Muhammad Abduh (Mustofa, 1994: 393)
d. Yaman, dibawa oleh Asy-Syaukani (Mukti, 1995: 57)
e. Sudan, dibawa oleh Utsman Al-Mirghani
(Al-Bahiy, 1985: 140)
f. Nigeria, dibawa oleh Utsman Danfodio
g. Guinea, Senegal, dan Mali (Afrika Barat),
dibawa oleh Al-Hajj Umar Tal
h. Indonesia, Gerakan Padri dibawa oleh Tuanku
Nan Tuo (Nor Huda, 2013: 170)
Kerajaan Utsmaniyah merasa terancam, dan akhirnya 1813 berhasil merebut
dua kota suci kembali. Pada waktu yang sama Istanbul juga mengirimkan dai-dai
ke seluruh dunia Islam agar tidak menerima Wahabiyah. Ulama Islam juga didorong
untuk menulis kitab-kitab yang mendustakan gerakan Wahabi. Atas kekalahan
mereka secara politik di Mekkah dan Madinah, kekuatan mereka menjadi terpecah.
Umumnya masyarakat senang atas kekalahan Wahabi, karena selama ini masyarakat
mengenal mereka sebagai gerakan yang keras, sekalipun masyarakat ada yang tak
mengerti hakikat dakwahnya.[30]
BAB. III
PENUTUP
Kesimpulan
Muhammad bin Abduh Wahab adalah pembaharu Islam yang kental akan mazhab
Hanbali dan pemikiran Ibnu Taimiyah. Ia mendasarkan pemikiran pembaharuannya
pada pemurnian Tauhid dan membersihkan bid’ah, khurafat, serta takhayul.
Keadaan masyarakat jazirah Arab yang saat itu jauh dari Tauhid yang murni
menjadi fokus utamanya dalam berdakwah. Seseorang yang Tauhidnya ternoda, dapat
dikatakan syirik dan harus diluruskan.
Koalisinya dengan Amir Muhammad ibn Sa’ud berhasil melahirkan kekuatan
basis agama dan politik untuk selanjutnya menguasai Mekkah dan Madinah. Dakwahnya
secara terang-terangan dan keras membuatnya dibenci oleh sebagian besar
masyarakat Arab. Namun dampak yang ditinggalkan untuk masyarakat Jazirah Arab
dapat dikatakan positif dengan hilagnya kemusyrikan. Sementara itu pengaruhnya
di Mekkah telah membuat ajarannya diminati jamaah haji dan akhirnya dibawa ke
Negaranya untuk disebarkan menjadi bibit pembaharuan abad 19.
Daftar Pustaka
Al-Bahiy,
Muhammad. 1985. Pemikiran Islam, terj. Bambang Syarif Ma’arif.
Bandung: Risalah.
Ali, A. Mukti. 1995. Alam Pemikiran Islam Modern di
Timur Tengah. Jakarta: Djambatan.
Asy-Syak’ah, Mustofa Ahmad. 1994. Islam Tidak
Bermazhab, terj. A. M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani Press.
Huda, Nor. 2013. Islam Nusantara. Sleman:
Ar-Ruzz Media.
Jamilah, Maryam. 1993. Para Mujahid Agung,
terj. Hamid Luthfi A. B.. Bandung: Mizan.
Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan Dalam Islam
Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Rahman, Fazlur. 1994. Islam, terj. Ahsin
Mohammad. Bandung: Pustaka.
[1] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 14
[5] Muhammad Al Bahiy, Pemikiran Islam, terj.
Bambang Syarif Ma’arif, (Bandung: Risalah, 1985), hlm. 136
[17] Mustofa Ahmad Asy-Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab,
terj. A. M. Basalamah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm. 393
0 komentar:
Post a Comment