Akal dan Wahyu, buletinmitsal.com |
Pengantar
Puji syukur Alhamdulillah
kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi
hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga
rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah
serta iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami
sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu
makalah.
Dalam aspek manapun, makalah ini belum memenuhi
kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan
menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran
kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal
mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah
ini.
Setidaknya, dalam penyusunan makalah
ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami sendiri, ada banyak rujukan buku
yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan banyak manfaat yang dapat
pembaca ambil dari makalah ini.
Pada
akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada khususnya Syamsul Arifin, S. Ag., M. Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat
Islam yang memberi kami kesempatan untuk
menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada teman-teman mahasiswa yang
seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan agama. Semoga Allah
memberkati makalah kami. Aamiin.
Sleman, 21 Maret 2017
Irfan Hamid
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat
Islam merupakan hasil pemikiran umat Islam secara keseluruhan. Pemikiran umat
Islam ini merupakan buah dari dorongan ajaran Al-qur’an dan Hadits. Kedudukan
akal yang tinggi dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut bertemu dengan peran
akal yang besar dalam iptek yang berkembang maju di peradaban umat lain
(Yunani, Persia, India). Dengan kata lain, umat Islam merupakan pewaris
peradaban ketiga bangsa tersebut, yang sebelumnya telah mewarisi bangsa
sebelumnya (Babilonia, Mesir, Ibrani, dll).[1]
Di
dalam ajaran agama yang diwahyukan ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan.
Pertama adalah jalan wahyu dalam arti komunikasi Tuhan kepada manusia, dan
jalan kedua adalah akal yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan memakai
kesan-kesan panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada
kesimpulan-kesimpulan. Wahyu diyakini bersifat mutlak benar, sedangkan akal
bersifat relatif dan mungkin salah.[2]
Dalam
Al-qur’an dan Hadits memang terdapat penjelasan tentang batas kemampuan akal
manusia, seperti masalah roh dan zat Allah. Penjelasan ini bukan berarti Islam
melarang berpikir, melainkan menjelaskan bahwa kemampuan manusia memiliki
batasan. Perlu dijelaskan bahwa berpikir dalam Islam hanya dibatasi oleh teks
absolut. Teks yang seperti ini sedikit jumlahnya. Oleh karena itu, pemikiran
dalam Islam dapat dikatakan tidak sempit dan tidak pula bebas sebebas-bebasnya.[3]
Atas dasar inilah akal dan wahyu memiliki tempat yang penting dalam filsafat
islam.
B. Masalah
1. Pengertian Akal dan Wahyu.
2. Kedudukan akal dan wahyu dalam Filsafat
Islam.
3. Pendapat filosof muslim tentang kebenaran
akal dan wahyu.
BAB. II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akaldan Wahyu.
Akal berasal dari bahasa Arab Al-‘aql yang
mengandung arti mengerti, memahami, dan berpikir. Kata Al-‘aql mengandung
arti yang sama dengan nous, yang berarti daya berpikir yang terkandung
dalam jiwa manusia. Pada zaman jahiliyah term akal digunakan dalam arti
kecerdasan praktis, yang dalam istilah psikologi disebut kecakapan memecahkan
masalah.[4] Dalam
Alqur’an akal disebut lebih dari 45 ayat, diantaranya Al-baqarah ayat
242, Al-Anfal ayat 22, An-Nahl ayat 11-12, dll.[5]
Pengetahuan dalam bentuk akal meliputi
pengetahuan indra, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Pengetahuan indra diperoleh
dari pengalaman indrawi (pancaindra), ilmu pengetahuan diperoleh melalui
penyelidikan dan penelitian, sedangkan pengetahuan filsafat merupakan hasil
proses berfikir.[6]
Wahyu berasal dari bahasa Arab Al-wahy yang
berarti suara, api, dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti
bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Al-wahy juga mengandung arti
“pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat” atau juga “apa yang
disampaikan Tuhan kepada Nabi”. Agaknya dari beberapa pengertian di atas, pengertian
terakhirlah yang banyak kita pahami sekarang ini.[7]
Dalam Islam, wahyu atau sabda Allah yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. terkumpul dalam Al-qur’an. Penjelasan
tentang cara terjadinya komunikasi antara Allah dengan Nabi ada dalam Al-qur’an
itu sendiri. Dalam surat Ash-Shura ayat 51[8] dijelaskan
bahwa ada 3 cara Allah untuk menyampaikan wahyu kepada Nabi, yaitu:
1) Melalui jantung hati Nabi dalam bentuk ilham
2) Dari
belakang tabir, dan
3) Mengirimkan utusan.
dan dijelaskan juga dalam 3 ayat Al-qur’an
yaitu Ash-Shu’ara ayat 192-195, An-Nahl ayat 102, dan Al-Baqarah ayat 97, bahwa
Nabi Muhammad memperoleh wahyu dengan cara ketiga melalui Jibril.[9]
Jadi, akal diberikan Allah kepada seluruh
umat manusia agar manusia dapat berfikir dan berhasil menemukan kebenaran. Pada
umumnya akal banyak digunakan oleh kaum rasionalis dan para filosof. Sedangkan
wahyu hanya diturunkan kepada para nabi dan rasul Allah, selanjutnya para nabi
dan rasul itulah yang menyampaikan kepada umat manusia.[10]
B. Kedudukan akal dan
wahyu dalam Filsafat Islam
Telah dikemukakan dalam latar belakang
bahwa Al-qur’an merupakan pendorong utama lahirnya filsafat dalam islam.
Pengertian yang dikandung filsafat sejalan dengan isi Al-qur’an. Dalam
Al-qur’an terdapat banyak ayat yang mendorong pemeluknya agar banyak berpikir
dan mempergunakan akalnya.[11]
Hal ini agaknya memunculkan pertanyaan baru, jika Al-qur’an sebagai kebenaran
absolut menganjurkan mereka yang percaya untuk banyak menggunakan akal, maka
bagaimana kedudukan mereka berdua dalam filsafat islam?
Baik tradisionalisme maupun rasionalisme
sama-sama menggunakan akal, namun secara umum terdapat perbedaan yang jelas
antara keduanya berkaitan dengan kedudukan akal dalam sistem pemikiran mereka.
Perbedaan ini diterangkan dengan jelas oleh al-Taymi. Menurutnya, para
pembaharu mendasarkan ajaran-ajaran mereka pada akal dan menganggap hadis harus
tunduk pada akal. Di sisi lain, kaum tradisionalis mengatakan bahwa hadis lebih
tinggi dibanding akal. Mereka beralasan bahwa jika agama didasarkan pada akal,
maka manusia tidak memerlukan wahyu dan nabi-nabi, perintah dan larangan akan
diabaikan, dan manusia akan bertindak dengan semaunya sendiri.[12]
Biar bagaimanapun tidak sedikit
ayat-ayat (wahyu) yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak berfikir dan
mempergunakan akalnya.
Kata-kata yang
dipakai dalam al-Qur’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir, bukan hanya ‘aqala
tetapi juga kata-kata berikut:
1.
Nazara (melihat) secara abstrak dalam arti berfikir dan merenungkan,
terdapat dalam 30 ayat lebih, antara lain:
a.
“Tidakkah
mereka perhatikan langit…” (Q.S. 50: 6-7).
b.
“Maka hendaklah
manusia merenungkan dari apa ia diciptakan…” (Q.S. 86: 5-7).
2.
Tadabbara (merenungkan) terdapat dalam beberapa ayat seperti:
a.
“Kitab yang
Kami turunkan padamu penuh berkat agar mereka merenungkan ayat-ayatnya
dan orang berfikiran memperoleh pelajaran-pelajaran.” (Q.S. 38: 29).
b.
“Tidakkah
mereka merenungkan Al-Qur’an ataukah hati telah terkunci?” (Q.S. 47: 24).
3.
Tafakkara (berfikir) terkandung dalam 16 ayat seumpama:
a.
“… padanya sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berfikir.”
(Q.S. 16: 68-69)
b.
“…padanya sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berfikir.”
(Q.S. 45: 12-13)
4.
Faqiha (mengerti, faham) terdapat dalam 16 ayat diantara lain yang
berikut:
a.
“…tetapi kamu tidak mengerti pujaan mereka…” (Q.S. 17: 44).
b.
“…Mengapa sebahagian dari tiap golongan tidak pergi memperdalam
pemahaman tentang agama…” (Q.S. 9: 122)
5.
Tazakkara yang berarti mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran,
memperhatikan dan mempelajari, yang semuanya mengandung perbuatan berfikir, terdapat
dalam lebih dari 40 ayat. Sebagai contoh dapat diberikan yang berikut:
a.
“… Apakah tidak kamu perhatikan?” (Q.S. 16: 17)
b.
“…Hanya orang berpikiranlah yang dapat memperoleh pelajaran.” (Q.S. 39: 9)
6.
Fahima memahami dalam bentuk fahhama
pada ayat berikut:
“… Kami buat Sulaiman memahaminya dan kepada keduanya Kami
berikaan hikmat dan ilmu… (Q.S. 21: 78-79).[13]
Selain dari pada itu terdapat pula dalam Al-Qur’an sebutan-sebutan
yang memberi sifat berfikir bagi seorang muslim, yaitu ulu al-albab (orang
berfikiran) ulu al-‘ilm (orang berilmu) ulu al-absar (orang
mempunyai padangan) dan ulu al-nuha (orang bijaksana).
Selanjutnya kata ayat sendiri erat hubungannya dengan
perbuatan berfikir. Arti aslinya dari ayat adalah tanda seperti tersebut
dalam surat:
“Ia berkata: Tuhan berilah aku tanda. Ia berfirman: Tanda bagimu
ialah bahwa engkau tidak berbicara kepada orang selama tiga hari kecuali dengan
isyarat. Banyaklah engkau mengingat Tuhanmu dan pujalah Ia malam dan pagi.” (s.
3 – a. 41)
“Ia berkata: Tuhan berilah aku tanda. Ia menjawab: tanda bagimu
ialah bahwa engkau tidak berbicara kepada orang selama tiga hari sungguhpun
engkau dalam keadaan sehat.” (s. 19 – a. 10)
Ayat dalam arti
tanda kemudian dipakai terhadap fenomena alami
yang banyak disebut dalam ayat kahwniah, ayat tentang
kejadian atau tentang kosmos. Tanda, sebagai diketahui, menunjukkan kepada
sesuatu yang terletak di belakang tanda tu. Tanda itu harus diperhatikan,
dipikirkan dan direnungkan untuk mengetahui arti yang terletak dibelakangnya.
Demikian juga tentang ayat kejadian atau kosmos. Dalam Al-Qur’an
disebut bahwa kosmos ini penuh dengan tanda-tanda yang harus diperhatikan,
diteliti dan difikirkan manusia, untuk mengetahui rahasia yang terletak di
belakang tanda-tanda itu. Pemikiran mendalam tentang tanda-tanda tersebut
membawa kepada pemahaman tentang fenomena-fenomena alam sendiri dan akkhirnya
membawa pada keyakinan kuat tentang adanya Tuhan Pencipta Alam dan hukum alam
yang mengatur perjalanan alam.
Sebagai telah disebut dalam Al-Qur’an terdapat kira-kira 150 ayat
kahwiah dan salah satu yang terbaik diantaranya adalah yang berikut:
“Sungguh pada penciptaan langit dan bumi, perobahan malam
menjadi siang, kapal-kapal yang di laut membawa apa yang bermanfaat bagi manusia,
air yang diturunkan Allah dari langit kemudian Ia hidupkan dengannya bumi
setelah ia gersang dan tebarkan padanya segala macam binatang, perkisaran angin
dan awan yang terletak tunduk diantara langit dan bumi, pada semnua ini
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akal.” (s. 2 – a. 164)
Semua bentuk ayat-ayat yang dijelaskan di atas, ayat-ayat yang di
dalamnya terdapat kata-kata nazara, tadabbara, tafakkara, faqiha, fahima,
‘aqala, ayat-ayat yang berisikan sebutan ulu al-albab, ulu al-‘ilm, ulu
al-absar, ulu al-nuha, dan ayat kauniah, mengandung anjuran,
dorongan bahkan perintah agar manusia banyak berfikir dan mempergunakan
akalnya. Berfikir dan mempergunakan akal adalah ajaran yang jelas dan tegas
dalam Al-Qur’an sebagai sumber utama dari ajaran-ajaran Islam.
Hadis sebagai sumber kedua dari ajaran-ajaran Islam sejalan dengan
Al-Qur’an, juga memberikan kedudukan tinggi pada akal. Salah satu dari hadis
yang selalu disebut-sebut adalah:
“Agama adalah penggunaan akal, tiada agam bagi orang yang tak
berakal.”
Betapa tingginya kedudukan akal
dalam ajaran Islam dapat dilihat dari hadis Qudsi berikut, yang di dalamnya
digambarkan Allah SWT bersabda kepada akal:
“Demi kekuasaan dan keagungan-Ku tidaklah Kuciptakan makhluk
lebih mulia dari engkau. Karena engkaulah Aku mengambil dan memberi dan karena
engkaulah Aku menurunkan pahala dan menjatuhkan hukuman.
Dengan kata lain akal lah makhluk Tuhan yang tertinggi dan akal lah
yang memperbedakan manusia dari binatang dan makhluk Tuhan lainnya. Karena akalnya
lah manusia bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya. Bahkan
manusiapun kalau akalnya belum atau tidak berfungsi, seperti anak belum akil
baligh dan orang yang tidak waras pikirannya, tidak bertanggung-jawab atas
perbuatanya dan tidak mendapat hukuman atas kesalahan dan kejahatan yang
dilakukannya.
Begitulah tinggi keududkan akal dalam ajaran Islam, tinggi bukan
hanya dalam soal-soal keduniaan saja, tetapi juga dalam soal-soal keagamaan
sendiri. Penghargaan tinggi terhadap akal sejalan pula dengan ajaran Islam lain
yang erat hubungannya dengan akal, yaitu menuntut ilmu.[14]
C. Pendapat filosof
muslim tentang kebenaran akal dan wahyu
1. Al-Kindi
Menurut Al-Kindi kita harus mengakui
kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak
ada sesuatu yang lebih tinggi milainya selain kebenaran itu sendiri. Al-Kindi
adalah Muslim pertama yang mengupayakan perpadua antara filsafat dan agama,
atau akal dengan wahyu. Menurutnya antara keduanya tidaklah bertentangan karena
masing-masing keduanya dalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran
hanyalah satu (tidak banyak).[15]
Al-Kindi mengatakan bahwa agama adalah
bagian dari filsafat, sebab filsafat adalah pengetahuan tentang kebenaran.
Barang siapa berpendapat, pengetahuan seperti ini berlawanan dengan agama, maka
orang itulah yang sesungguhnya tak beragama. Selanjutnya wahyu yang diturunkan
kepada Nabi dan kebenaran filsafat adalah cocok dan tidak berselisih antara
keduanya.
Sekanjutnya, usaha filsafat, adalah diatur
dengan logika. Karena itulah filosof berkata “Mempunyai pengetahuan filsafat
itu perlu atau tidak? Kalau ahli agama memandang memang perlu, maka mereka
harus mempelajari ilmu itu. Jikalau mereka berkata tidak perlu, mereka harus
memberikan alasan dan menunjukkan contoh. Sedangkan, memberi alasan dan
menunjukkan contoh itu bagian dari usaha untuk memperoleh ilmu kebenaran. Maka
secara tidak langsung, mereka mengakui bahwa filsafat dapat mendukung agama
mereka. [16]
2. Al-Farabi
Al-Farabi telah menguraikan hubungan antara
agama dan filsafat. Dalam pandangannya, filsafat itu lebih dapat mencapai
kebenaran daripada menggunakan alasan-alasan agama. Dalam bukunya berjudul
“Untuk mencapai kebahagiaan” ia mengatakan bahwa benda pokok baik dipandang
secara agama ataupun filsafat, adalah sama. Menurutnya, agama adalah serupa
dengan filsafat. Keduanya membahas satu pokok yang sama, filsafat memberikan
contoh lebih kuat, sedangkan agama lebih banyak menggunakan dialektika.
Dalam menjelaskan filsafat dan agama,
Al-Farabi sejalan dengan ibn Rusyd. Mereka berpendapat, bahwa filsafat dan
agama datang dari Tuhan, mengalir dari suatu Zat yang penting, lalu melalui
otak manisua, dengan mempergunakan akal sebagai wakilnya.perbedaan antara dua
lapangan pengetahuan ini adalah, filsafat megnhendaki cara pasti, sedangkan
agama mengemukakannya secara dialektika.[17]
3. Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali dalam kehidupan kita
tidaklah cukup menggunakan akal, terlebih untuk sarana mengenal tuhan, karena
kemampuan akal sangatlah terbatas. Karena itu Tuhan membantu aktivitas akal
yang terbatas itu dengan wahyu-Nya, bahkan Tuhan memancarkan Nur ke dalam diri
manusia sebagai alat untuk mengenal-Nya, inilah jalan yang dipilih Al-Ghazali
pada babak akhir dari masa hidupnya, sedangkan sebelum itu ia masih memasuki
kancah pemikiran rasional secara mendalam.[18]
4. Ibn Tufail
Ibn Tufaillah satu-satunya filosof Islam yang menulis buku khusus
tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, sungguhpun dalam bentuk kisah yang
berjudul Hayy Ibn Yaqsan (Hidup anak Sadar). Dalam kisah ini, Ibn Tufail
menjelaskan keharmonisan akal dan wahyu. Hayy dalam kisah ini melambangkan akal
yang dapat berkomunikasi dengan alam imateri dan Absal melambangkan wahyu yang
membawa hakekat. Hakekat yang ditemui flasfata sejalan dengan hakekat yang
dibawa wahyu.[19]
5. Ibn Rusyd
Ibn Rusyd, juga menegaskan bahwa antara agama dan filsafat tidak
ada pertentangan. Kita umat Islam, demikian ia menjelaskan mengetahui dengan
pasti bahwa penelitian akal tidak menimbulkan hal-hal yang bertentangan dengan
apa yang dibawa agama, karena kebenaran tidak berlawanan dengan kebenaran
tetapi sesuai dan saling memperkuat.[20]
6. Ibn Miskawaih
Ibn Miskawaih,
yang dikenal dalam Islam sebagai filosof akhlak, juga berkeyakinan bahwa antara
akal dan wahyu tidak ada pertentangan. Ia berpendapat bahwa antara nabi dan
filosof tak ada perbedaan besar dan bahwa hubungan antara keduanya erat. Nabi
sampai kepada hakekat-hakekat karena pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya.
Hakekat-hakekat yang diperoleh Nabi itu pulalah yang sampai kepada filosof,
tetapu melalui daya fikir dan bukan daya imaginasi. Filosof berusaha dari bawah
dengan melampaui tingkat-tingkat indera luar, imaginasi dan akal, sedang Nabi
memperolehnya sebagai rahmat yang turun dari Tuhan.
Karena
kebenaran-kebenaran yang diperoleh Nabi dan filosof sama, maka filosof adalah
orang yang cepat dapat mempercayai apa yang dibawa Nabi. Nabi memawa apa yang
tak bisa ditolak oleh akal. Nabi dan wahyu diperlukan untuk mengetahui
perbuatan-perbuatan yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan. Falsafat
tidak bisa mencakup semua lapisan masyarakat. [21]
7. Al-Razi
Bagi Al-Razi akal adalah anugerah Tuhan
yang amat penting. Segala sesuatu dapat kita kenal dengan akal. Baik dan buruk,
manfaat dan mudharat, benar dan batal semuanya ditentukan oleh akal. Dengan
akal manusia dapat mengenal tuhannya. Pendeknya akal itulah yang menjadi kompas
dalam kehidupan setiap insan. Akal diberikan tuhan pada setiap manusia dalam
kekuatan yang sama, perbedaan timbul karena pengaruh pendidikan, lingkungan dan
suasana.
Al-Razi tidak percaya pada nabi-nabi, sebab
nabi hanyalah membawa kehancuran bagi manusia. Ajaran nabi-nabi itu saling
bertentangan, pertentangan ini akan membawa kehancuran manusia. Wahyu
didakwahkan oleh para nabi kebenarannya tidaklah benar adanya. Justru itu
al-Qur’an dengan gaya bahasanya tidaklah merupakan mu’jizat bagi nabi Muhammad,
ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebih konkrit dari wahyu. Oleh sebab
itu membaca buku filsafat lebih berarti dari buku-buku agama. Bagi Al-Razi
agama hanyalah warisan tradisional yang diikuti oleh masyarakat karena tradisi
belaka, maka Al-Razi mengkritik semua agama. Tapi apakah Al-Razi seorang
atheis? Tidak, dia seorang monotheis yang mengaku Tuhan satu dan Maha Esa, Maha
Pencipta, hanya baginya nabinya adalah akalnya sendiri.[22]
8. Mu’tazilah
Menurut Mu’tazilah agama itu berakar pada
dua pokok yaitu Wahyu Allah, dan Akal Manusia. Bagi mereka akal adalah sumber
pengetahuan. Orang-orang harus menaruh keraguan terhadap apa saja
(skeptisisme). Dalam sikap keraguan itu mereka menganggap bahwa pengalaman
pancaindera adalah sumber yang paling rendah. Sumber pengetahuan yang paling
tinggi adalah akal. Mereka juga menerima Wahyu dan Hadits juga diawali dengan
keraguan terlebih dulu.[23]
BAB. III
PENUTUP
Kesimpulan
Akal berasal
dari bahasa Arab Al-‘aql yang mengandung arti mengerti, memahami, dan
berpikir. Pengetahuan dalam bentuk akal meliputi pengetahuan indra, ilmu
pengetahuan, dan filsafat. Sedangkan Wahyu berasal dari bahasa Arab Al-wahy yang
berarti suara, api, dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti
bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Dalam Islam,
wahyu atau sabda Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. terkumpul
dalam Al-qur’an.
Dalam mendefinisikan akal dan wahyu ternyata kita
tidak dapat membenturkan antara keduanya. Anggapan selama ini bahwa filsafat
itu adalah hal yang kotor dan menodai agama dapat dibantahkan lewat penjelasan
dalam makalah ini. Karena dalam wahyu sejatinya sangat banyak ayat yang
menganjurkan untuk penggunaan akal. Selain itu dalam wahyu juga terdapat penghargaan
yang tinggi pada orang-orang yang menggunakan akal. Dan yang terpenting adalah
antara akal dan wahyu adalah sama-sama menuntun manusia dalam hal yang benar,
dan di antara yang benar tidak mungkin bertentangan.
Pendapat para filosof yang ada dalam makalah ini pun
mayoritas sama, yaitu tentang tidak ada pertentangan akal dan wahyu. Mereka
semua mengatakan bahwa sebenarnya akal dan wahyu adalah saling melengkapi dalam
mencapai kebenaran. Kecuali ar-Razi, ia justru mengatakan bahwa akal lebih
tinggi dibanding wahyu, begitu juga Mu’tazilah.
Daftar Pustaka
Abrahamov, Binyamin. 2002. Ilmu Kalam tradisionalisme dan
rasionalisme dalam teologi islam, terj.
Serambi. Jakarta: Serambi.
Al-qur’an terjemahan
Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan
Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Asmuni, M. Yusran. 1993. Ilmu Tauhid. Jakarta:
Rajawali Pers.
Bakry, Hasbullah. 1978. Di Sekitar
Filsafat Skolastik Islam. Jakarta: Tintamas.
Husin, Umar Amin. 1975. Filsafat Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Nasution , Harun. 1986. Akal dan Wahyu
dalam Islam. Jakarta: UI-Press.
Zar, Sirajuddin. 2012. Filsafat Islam
filosof dan filsafatnya. Jakarta: Rajawali Pers.
Baca Juga : Makalah Lainya hanya di Kumpulan Makalahkuu
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam filosof dan
filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 17-18
[8] Tidak
terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali dengan wahyu, atau dari
belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang utusan, untuk mewahyukan apa
yang Ia kehendaki dengan seizinNya. Sungguh Ia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
(Q.S. 42: 51)
[9] Harun
Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm.
16-17
[12] Binyamin Abrahamov, Ilmu Kalam tradisionalisme dan
rasionalisme dalam teologi islam, terj. Serambi, (Jakarta: Serambi, 2002),
hlm. 36
[22] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam
Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 35-36
0 komentar:
Post a Comment