Naskah Jawa Kuno, http://laduni.id |
Pengantar
Puji syukur Alhamdulillah
kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi
hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga
rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah
serta iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami
sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu
makalah.
Dalam
aspek manapun, makalah ini belum memenuhi
kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan
menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran
kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal
mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah
ini.
Setidaknya,
dalam penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami
sendiri, ada banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan
banyak manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
Pada
akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada khususnya Dr.
Maharsi, M. Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Filologi yang memberi kami
kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada teman-teman
mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan agama. Semoga
Allah memberkati makalah kami. Aamiin.
Sleman, 17
September 2017
Irfan Hamid
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Naskah dalam perkembangannya
banyak dipakai dan kemudian dikembangkan untuk dimanfaatkan hal-hal yang masih
relevan di zaman modern, contohnya pengobatan, norma, dll. Naskah yang ditulis
pada masa lampau mengandung beberapa aspek kehidupan. Di antaranya:
1.
Sejarah
2.
Agama
3.
Sastra
4.
Bahasa
5.
Hukum
6.
Pengobatan, dll.
Atas dasar itulah masyarakat modern ingin kembali
menguak kehidupan masa silam untuk dimanfaatkan sebagai sumber keilmuan bahkan
tidak jarang diterapkan kembali. Dalam makalah ini kami akan menekankan pada
aspek Hukum yang terkandung dalamn naskah naskah lama. Kami akan membahas mulai
dari pengertian, relasi, sampai ke contoh Naslkah dan Hukum. Atas pertimbangan
latar belakang di atas, kami menguraikan rumusan masalah seperti yang ada di
bawah ini.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian Naskah dan Hukum?
2. Bagaimana peran Naskah dalam Hukum
Adat?
3. Bagaimana contoh hukum yang
terdapat dalam Naskah?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Naskah dan Hukum
2. Mengetahui peran Naskah dalam Hukum Adat
3. Mengetahui contoh hukum yang terdapat dalam
Naskah
BAB. II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Naskah dan Hukum
Naskah merupakan salah satu objek
kajian Filologi, naskah sendiri memiliki sedikit perbedaan pengertian, tetapi
tidak keluar dari pengertian pokoknya. Ada beberapa pendapat tentang naskah
antara lain:
1.
Poerwadarminta: Naskah adalah
karangan tulisan tangan baik asli maupun salinan
2.
Djamaris: Naskah adalah semua
peninggalan tertulis nenek moyang pada kertas, lontar, kulita kayu, dan rotan.
3.
Dalam Library and Information
Science: naskah adalah semua barang tulisan tangan yang ada pada koleksi
perpustakaan atau arsip; misalnya, surat-surat atau buku harian milik seseorang
yang ada pada koleksi pewrpustakaan.[1]
SDari
ketiga pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa semua bahan tulisan tangan itu
disebut naskah ‘handschrift’ dengan singkatan hs untuk tunggal, dan hss
untuk jamak; manuscrift dengan singkatan ms untuk tunggal, mss
untuk jamak. Dengan demikian, naskah merupakan benda kongkret yang dapat
dilihat atau dipegang.[2]
Sedangkan Cornelis yang menyatakan bahwa hukum adat
adalah hukum yang tidak bersumber kepada aturan aturan yang dibuat oleh
pemerintah Hindia Belanda. Jika disimpulkan bahwa hukum adat adalah seluruh
tingkah laku yang hidup yang ada dalam masyarakat asli di Indonesia yang
diambil dari nilai rohani, kepercayaan dan kebudayaan yang telah berlaku di
tengah masyarakat sedangkan bagi yang melanggar terdapat sanksi sebagai akibat
dari pelanggaran yang sifatnya memaksa.[3]
Sumber Hukum adat:[4]
1. Dokumen-dokumen yang hidup pada
waktu itu, yang memuat ketentuan ketentuan hukum yang hidup.
2.
Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oleh Raja-Raja.
Dalam RUU Pengakuan dan Perlindungan Hukum
Masyarakat Hukum Adat (RUU PPH MHA) dinyatakan Hukum Adat adalah seperangkat
norma dan aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan
berlaku untuk mengatur Filologi Hukum dapat dipakai untuk membuktikan
eksistensi hukum adat dengan sistem aksara yang kehidupan Masyarakat Hukum
Adat, dan atas pelanggarannya dikenakan sanksi adat. merekam sejumlah ketentuan
normatif.[5]
B. Peran Naskah dalam Hukum Adat
Biasanya
naskah memuat tentang bagaimana cara hidup yang baik dan bermakna serta menjadi
manusia yang sempurna. Dari sinilah hukum adat bisa terlahir. Manusia yang
percaya dan menganut pada sebuah naskah-naskah kuno berisi tentang ajaran hidup
menjadikan hal tersebut sebagai hukum adat yang harus mereka taati dan patuhi.
Naskah yang dimaksud disini bisa berupa naskah kuno yang berasal dari para
leluhur yang hidup di zaman sebelum masyarakat adat tersebut hidup. Selain itu,
ada juga naskah-naskah yang diterbitkan oleh raja demi mengatur masyarakat.
Kebiasaan tersebut memunculkan sebuah hukum yang dipatuhi oleh masyarakat pada
masa itu.[6]
Manfaat filologi bagi ilmu hukum adat, terutama
dalam penyediaan teks. Banyak naskah Nusantara yang merekam adat-istiadat.
Selain itu, dalam khazanah sastra Nusantara terdapat teks yang memang
dimaksudkan sebagai hukum, yang dalam masyarakat Melayu disebut
dengan istilah undang-undang, di Jawa dikenal dengan sebutan angger-angger.
Undang-undang dalah istilah Melayu merupakan adat yang terbentuk dalam
masyarakatnselama peredaran masa, bukan peraturan yang seluruhnya dibuat oleh
raja sebagai penguasa. Penulisannya baru dilakukan setelah dirasakan perlunya
kepastian peraturan hkum oleh raja atau setelah ada pengaruh dunia Barat. Salah satu contoh
Undang-undang dalam sastra Melayu, ialah Undang-undang Negeri Malaka.
Dalam sastra Melayu, terdapat teks yang disebut dengan istilah ‘adat’, misalnya
Adat Raja-raja Melayu. Tersedianya teks-teks semacam ini akan sangat
berguna bagi ilmu-ilmu adat.[7]
C. Contoh hukum yang terdapat dalam Naskah
1. Perundang-undangan dan Tata
Pemerintahan[8]
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, dibuat
banyak perturan perundang-undangan. Abad 19 ini, sering kali ada yang
menyanggah tentang tuanya perundang-undangan tertentu yang masih dikenal, yang
dianggap orang Aceh sebagai peninggalan dari masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda. Terutama yang mendpaat sanggahan adalah tuanya teks Adat Aceh pada
bagian pertama, kedua dan keempat, yang dianggap sebagai kumpulan “peraturan
dari raja”.
Penyebabnya adalah pada bagian pertama dan ketiga berasal
dari masa Iskandar, serta bahasa yang berbeda seperti dalam karya Nuruddin Ar
Raniry dan Syamsuddin dari Pasai, yang lebih kaya akan kata dan ungkapan Aceh.
Namun itu semua masih masuk dalam Hikayat Aceh, meskipun naskahnya dari
akhir abad ke-17. Diantaranya sebagai berikut:
Dirumuskan dalam folio 48b, teks Adat “Pada tahun
1015 H (tepat pada ia naik tahta), Sultan Iskandar Muda memerintahkan orang
kaya Sri Maharaja Lela, penghulu Karkun Raja Setia Muda, Karkun Katib ul Muluk
Sri Indra Suara dan Karkun Sri Indra Muda, perwira-perwira Balai Besar, untuk
membuat salinan yang dinyatakan sesuai dengan tarakata atau peraturan raja ; maka orang kaya
Maharaja Lela menulis...”
Bagian Pertama:
a. Judul bahasa Melayu “Perintah
Segala Raja-Raja”
b. Judul bahasa Arab “Mabain
as-Salatin”, mabain istilah yang dipakai di Istana Turki dengan arti
“ruang penghadapan”.
c. Teks bagian pertama terbagi dalam
31 pasal, dan setiap pasal bernama majelis yang diartikan “peraturan raja”.
Pasal-pasal pertama mengenai kekuasaan dan kewajiban raja an mengingatkan akan
beberapa bagian dari Mahkota Raja-Raja tentang kekuasaan tertinggi.
Bagian Dua:
a. Judulnya “Adat Majelis Raja-Raja”
b. Melihat makna yang ada, “majelis”
yaitu sidang, upacara resmi, barangkali mungkin artinya “tata tertib upacara
kerajaan”. Dalam teks tersebut dimuat tentang upacara, mengenai pegawai, cara
berlagsungnya upacara-upacara istana yang paling penting (Ikrar khidmat,
arak-arakan besar, dsb).
c.
Menurut dasar-dasar yang tertera pada pasal kedua, bagian
pertama, terdapat dalam Mahkota Raja-raja, “Sekurang-kurangnya sekalipun seorang
menteri ia mau juga ada membicara akan negerinya, dan lagi seorang hulubalang
mau juga ada akan menolong satrunya, dan lagi seorang bentara mau juga berdiri
memegang senjata dihadapannya.”
d.
Dari teks diatas, merupakan
salah satu bentuk pembagian yang tegas antara jabatan sipil, militer dan
kehormatan. Setiap jenis jabatan melibatkan sejumlah pegawai bawahan yang
tunduk pada kekuasaan salah satu dari ketiga pejabat tinggi tadi.
e.
Syahbandar: kepala
pelabuhan, karkun: juru
tulis raja, bentara:
penghulu kawal yang tugasnya meronda dan menjaga ketertiban dalam kota.
Bagian Tiga:
a. Tulisan Adat terdapat
daftar sistematis tentang hierarki semua pegawai istana (Silsilah taraf
berdiri), tettapi asalnya dikatakan dari pemerintahan Sultan Putri Taj ul-Alam
(1641-1675), saat para orang kaya bermunculan dan ingin mendapat gelar dan
menjadi bagian dari silsilah tersebut. Maka sudah pasti daftar para orang kaya
tersebut tidak berlaku masa pemerintahan Iskandar.
b. Pada abad 19, diurakan sebuah
pembagian wilayah di negeri bernama “Groot Atjeh” yang terbagi dalam
empat kaum, tiga sagi, yang dibagi lagi atas mukim dan
sebagainya. Dalam Adat, folio 59b, disebut bulubalang blang,
istilah blang ini merujuk pada pedalaman Aceh, tetapi tidak ada keterangan
mengenai wibawa dan kedudukan yang disebutkan diatas.
2.
Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah[9]
Kitab
Undang-undang tanjung tanah merupakan naskah melayu yang tetua. Ditemukan
Di kampung di dekat Danau Kerinci. Naskah undang-undang yang berasal dari
abad ke-14 ini merupakan dokumen penting dalam sejarah bahasa dan kesusastraan
Melayu dan Indonesia, dan membuktikan bahwa peradaban Melayu sudah memiliki
aksara dan sistem hukum sendiri.
Dalam naskah
tersebut diuraikan kedudukan kerajaan Malayu dalam peta politik Sumatra dari
awal sejarahnya sampai pada masa pemerintahan Adityawarman. Naskah Tanjung
Tanah ditulis di keraton Dharmasraya, sebuah kerajaan kecil di kawasan ulu
Batang Hari, untuk memberikan sebuah undang-undang kepada masyarakat Kerinci. Ketika
itu Dharmasraya telah menjadi bagian dari kerajaan Malayu yang mengalami masa
kejayaan pada abad ke-13 dan -14, ketika kawasannya mencakup seluruh daerah
aliran Sungai Batang Hari (Jambi), kawasan pegunungan Sumatra Barat, serta
Kerinci. Contoh isi dari naskah tersebut antara lain:
a. Teks undang-undang pada awalnya
sekali menekankan pentingnya peranan para dipati di Kerinci sehingga ditetapkan
bahwa “barang siapa tidak taat pada dipati didenda dua seperempat tahil.”Denda
umumnya ditetapkan dalam ukuran emas (kupang, mas, tahil, dan kati).
b. Denda yang paling ringan, lima
kupang, ditetapkan untuk pencurian tebu serta “ubi berikut pohon” – maksudnya
si pencuri mencabut sendiri pohon ubi – sedangkan “maling ubi tidak berikut
pohon”, ialah mencuri ubi yang sudah dipanen, dikenakan denda empat kali lipat
atau lima mas. Denda dua mas dikenakan jika hilang atau hancur perahu yang
dipinjam tanpa izin si pemilik. Kalau perahu dipinjam seizin pemilik maka
perahu yang hilang harus diganti dengan yang serupa, dan tidak dikenakan denda.
Denda 2,5 mas dikenakan untuk pencuri pulut serta pencuri telur ayam, itik,
atau merpati. Yang terakhir dapat juga didenda dengan tujuh pukulan dan muka
pencuri itu diusap dengan tahi ayam
c. Kitab undang-undang Tanjung Tanah
juga mengatur perihal utang piutang, khususnya untuk utang dalam bentuk
berbagai logam dan berbagai jenis tanaman. Disebut bahwa jika orang berhutang
emas, perak, kuningan, perunggu ataupun tembaga maka setelah tiga kali ditagih,
hutang menjadi dua kali lipat.
3.
Kitab (Manawa) Hukum
Majapahit[10]
Dalam soalpengadilan para raja majapahit memutuskan
memutuskan suatu perkara dengan mengacu pada kitab kutara Manawa. Dalam kidung
sorandaka, diberikan bahwa ketika lembu sora dituntut hukuman mati atas
tindakannya membunuh kebo anabrang pada masa pemberontakan rangga lawe,kitab
kutawa Manawa inilah yang disebut sebagai pedomannya.
Prasasti bendasari
yang dikeluarkan oleh hayam wuruk menyebut kitab kutawa Manawa sebagai sumber
hukumatau perundang-undangan, pada prasasti tersebut tertulis, “makatanggwan
rasagama ri sang hyang kutara manawa adi, manganukara prawetyacara sang pendita
wywaharawiccheda karing malama.” Yang artinya, “ dengen berpedoman pada isi
kitab yang mulia kutara Manawa dan lainnya, menurut teladan bijaksanaan para
pendita dalam memutuskan pertikaian zaman dahulu.”[11]
Kitab kutara Manawa
membahas banyak persoalan, baik itu bersifat pidana atau perdata. Didalamnya
terdapat 272 pasal diantara pasal satu denga pasal yang lainnya saling
berkaitan atau melengkapi dan didalam kitab ini banyak ditemukan kata agama,
misalnya paa pasal 2, 8,25, 39, 71, 119, 139, 211, 213, dan 249. Hal-hal
seperti jual beli, pembagian warisan, perceraian dan anak asuh dibahas juga
didalam kitab Kutara Manawa. Namun, hal-hal seperti ini dikatagorikan masuk
dalam hukum pidana. Kitab Kutara Manawa selain memuat perundangan bagi kerajaan
Majapahit ,juga memuat bab umum yang menyatakan dengan tegas bahwa raja yang
berkuasa harus teguh hatinya dalam memutuskan suatu perkara.
Seorang raja tidak
boleh ragu atau bimbang serta tidak boleh pilih kasih kepada pelaku kejahatan.
Jangan sampai salah memutuskan. Jangan samapai orang salah luput dari hukum,
itulah kewajiban bagi raja yang berkuasa, jika benar-benar mengharapkan
keamanan negaranya. Oleh kerena itu Kitab Manawa dalah kitab perundang-undangan,
maka isinya langsung menyangkut penjelasan tentang tidakan-tindakan hukum yang
dikenakan bagi pelakuk kejahatan, baik itu hukuman kurung, hukuman mati, atau
denda yang berupa uang. Kitab tersebut juga tidak hanya mengandung nasehat atau
petuah sebagaimana kitab Hindu Kutarasastra dan Manawasastra.[12]
Berikut adalah uraian pasal-pasal kita Kutara Manawa yang
dijelaskan secara singkat dengan mengutip dari kita Kutara Manawa.
a. Bab Astadusta pasal 3 dan 4
Uraian
tentang Astadusta :
1. Barang siapa yang membunuh orang
yang tidak berdosa, dikenakan hukuman mati
2. Barang siapa yang menyuruh
membunuh orang yang tidak berdosa, maka dia di hukum mati
3. Barang siapa yang melukai orang
yangtidak berdosa maka dia di hukum mati.
Astadusta
yang hukumannya tebusan uang adalah sebagi berikut :
1. Makan bersam dengan pembunuh
2. Mengikuti jejak pembunuh
3. Bersahabat dengan pembunuh
4. Memberi tempat kepada pembunuh
5. Memberi pertolongan kepada
pembunuh
Hukum-hukum tersebut, baik yang hukuman mati maupun yang
tebusa utang harus disertai bukti dan kesaksian yang kuat. Jika, bukti dan
kesaksiannya kuat, maka pelaku yang bersangkutan akan mendapatkan hukuman dari
raja yang berkuasa.[13]
b. Bab Astacorah pasal 55,56,57.
Bab ini lebih menegaskan tentang bagaiman hukuman yang di
lakukan oleh seorang pencuri dan bagaiman hukuman yang harus diterima oleh
seorang pencuri. Dan juga solusi bagi seorang pencuri untuk bisa lepas dari
hukumannya apabila ia menebusnya.
c. Bab paksaan atau Sahasa pasal
86,87,92
Bab ini menjelaskan tentang hukuman dan pelaku seseorang
dalam pengambilan paksa milik orang lain. Serta hukuman yang akan menimpa
pelaku jika terbukti melakukan pemaksaan dalam pengambilan milik orang lain.
d. Bab Tanah atau Bumi pasal 258,259,
261.
Pasal tersebut menegaskan tentang pengelolahan tanah dan
penggarapnya. Hal ini dimaksukan dengan seseorang yang melakukan atau
memperbaiki lahan orang lain tanpa disuruh pemiliknya maka ia tidak berhak
menerima upah atau gaji.
e. Bab Mahar atau Tukon 167, 171,
173.
Pasal ini dimaksutkan dengan pernikahan seorang gadis
dengan mahr yang di berikan. Kesalahan atau hukuamnya ialah apabila seorang
gadis telah rela meneriam mahar, namun gadis tersebut malah menikah dengan
orang lain dan keluarga tidak melarangnnya, maka wajib bagi keluarga si gadis
untuk mengembalikan mahar dengan tambahan menjadi dua kali lipat drai mahar
tersebut.
f. Bab pernikahan dan kewarangan
pasal 180, 181, 182.
Keengaan seorang istri terhadap suami dalam hal
pencampuran, hal tersebut mendapat hukuman yaitu mengembalikan mahar atau tukon
kepada suami dua kali lipat. Begitu nuga dengan harta yang di miliki seorang
suami maupun istri yang tidak mau mencampurkannay tidak di benarkan selama lima
tahun.
g. Bab Titipan pasal 154, 159, 160.
Barang siapa yang merusak barang titipan, jika terbukti
batrang tititpan itu digunakan, dipakai, diganti rupa tanpa meminta izin
penitipnya, perbuatan itu disebut merampas. Perbuatan itu sama dengan merusak
barang titipan dengan sengaja. Semua barang titipan itu harus dikembalikan
kepada pentipnya dengan nilai dua kali lipat, ditambah denga denda dua laksa
oleh raja yang berkuasa, sebab ialah merusak titipan sama dengan mencuri
(pasal 154).[14]
4.
Hukum (Undang-Undang) adat
kerajaan Melayu Islam[15]
Seorang raja kerajaan Malaka
bernama Muhammad Syah membuat Undang-undang kerajaan Malaka, diantaranya:
a.
Pemakaian paying
b.
Raja bersemayam
c.
Menjunjung duli
d.
Menerima/melepas utusan
e.
Melantik
f.
Raja berangkat
g.
Peraturan menghadap raja
h.
Hari raya, dll.
BAB. III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Naskah dan
Hukum menjadi 2 hal yang tak terpisahkan pada masa-masa kerajaan islam yang ada
di Nusantara. Bahaimana tidak, sebagai legitimasi kekuasaan, raja-raja saat itu
menerapkan hukum-hukum yang tidak hanya hukum secara verbal, namun juga hukum
tertulis. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa naskah yang mengandung
aturan-aturan, bahkan Undang-Undang yang secara eksplisit mengatur kehidupan
masyarakat.
Daftar Pustaka
BUKU
Hamka.
1976. Sejarah Ummat Islam jilid 4. Jakarta: Bulan Bintang.
Kozok,
Uli. 2003. Kitab undang-undang Tanjung Tanah Melayu Yang Tertua. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Lombard, Denys. 2014. Kerajaan Aceh Zaman Sultan
Iskandar Muda. Jakarta: Gramedia.
NS, Elis Suryani. 2012. Filologi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Panji, Teguh. 2015. Kitab Sejarah Terlengkap
Majapahit. Yogyakarta: Laksana.
Ragawino, Bewa. 2008. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia. Bandung:
Fisipol UNPAD.
PDF
Filologi_Hukum_Sebagai_Piranti_Awal [PDF]
INTERNET
http://hendijawa,blogspot.co.id/2010/04/kumpulan-pengertian-naskah
diunduh
pada 2-4-2017, pukul 20:50
Semuanya hanya ada di Kumpulan Makalahku sumber refrensih sejarah terlengkap
[2] Elis Suryani
NS, Filologi (Ghalia Indonesia: Bogor, 2012), hlm. 47
[4]
Bewa Ragawino, Pengantar Dan
Asas-Asas Hukum
Adat Indonesia (Bandung: Fisipol UNPAD, 2008), hlm. 15
[5]
Filologi_Hukum_Sebagai_Piranti_Awal, diunduh pada 26-03-2017, jam 07;22
[6] http://www.ilmuhukum.net/2014/01/sumber-hukum-adat-yang-terdapat-di.html, diunduh pada 27-03-2017, jam 11;16
[9] Uli Kozok, Kitab undang-undang Tanjung Tanah Melayu
Yang Tertua (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 44-50
[11] Ibid,
hlm.210
[12] Ibid,hlm,
211
[13] Ibid,hlm.215
[14] Ibid,hlm.218
0 komentar:
Post a Comment