Muhammad Abduh, encrypted-tbn0.gstatic.com |
Pengantar
Puji syukur Alhamdulillah
kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi
hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga
rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah
serta iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami
sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu
makalah.
Dalam
aspek manapun, makalah ini belum memenuhi
kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan
menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran
kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal
mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah
ini.
Setidaknya,
dalam penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami
sendiri, ada banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan
banyak manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
Pada
akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada khususnya Prof. Dr. H. Mundzirin Yusuf, M. Si. selaku dosen pengampu mata kuliah
Sejarah Islam Periode Modern I yang
memberi kami kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada
teman-teman mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan
agama. Semoga Allah memberkati makalah kami. Aamiin.
Sleman,
26 Maret 2017
Irfan
Hamid
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Implikasi dominasi
ekonomi dan kolonial Barat (Eropa) terus berlangsung sampai masa sekarang.
Pemerintahan kolonial merusak keseimbangan konstitusi yang telah membentuk
sistem masyarakat Muslim pra-modern dan menimbulkan kemunduran kekuatan politik
masyarakat Muslim seluruh dunia serta menimbulkan regresi di beberapa wilayah
tertentu.[1]
Sebelum itu, alangkah baiknya jika kita membahas terlebih dahulu tentang
pengertian modern. Menurut Harun Nasution modern dalam masyarakat Eropa berarti
megandung arti fikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah faham-faham,
institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru
yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Harun, 1982:
11).
Pikiran modernisme di Eropa
segera memasuki lapangan agama dengan tujuan menyesuaikan ajaran Katolik dan
Protestan dengan filsafat modern. Perpaduan ini faktanya memunculkan
sekularisme di masyarakat Eropa.[2]
Pemikiran modern yang sekuler ini selanjutnya lebih manis di kemas dengan kata
Renaisans atau Pencerahan. Modernisme Eropa ini juga pada gilirannya yang membuat
mereka mendominasi perpolitikan wilayah dunia Islam.[3]
Tidak hanya di pusat pemerintahan Islam saat itu yaitu Turki Utsmani, campur
tangan politik Eropa juga terjadi di wilayah lain seperti Asia Tenggara, India,
Timur Tengah,[4]
dan Afrika Utara.[5]
Dalam makalah ini kami
lebih menekankan pembahasan modernisme di Afrika Utara, khususnya di Mesir. Di
Mesir, modernisme Islam menjadi berbeda di tangan seorang murid al-Afghani,
yaitu Muhammad Abduh. Seperti gurunya, Abduh menaruh perhatian besar terhadap
pertahanan masyarakat Muslim dalam menghadapi Eropa. Bagi Abduh persoalan utama
bukanlah politik, namun sikap keagamaan ketika Muslim mengadopsi cara-cara
Eropa, mampu atau tidaknya masyarakat mempertahankan vitalitas islam.[6]
Dalam makalah ini kami
membahas dua hal pokok mengenai Muhammad Abduh, yaitu riwayat pendidikan serta
pemikirannya dan satu hal pokok mengenai masyarakat Mesir. Dalam tiga bahasan
pokok ini, kami tuangkan ke rumusan masalah sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat pendidikan Muhammad
Abduh?
2. Apa pemikiran modern yang diusung Muhammad
Abduh?
3. Bagaimana implementasi dan respon
masyarakat Mesir terhadap pemikiran Muhammad Abduh?
C. Tujuan
1. Mengetahui riwayat pendidikan Muhammad
Abduh
2. Mengetahui pemikiran modern yang diusung
Muhammad Abduh
3. Mengetahui implementasi dan respon
masyarakat Mesir terhadap pemikiran Muhammad Abduh.
BAB. II: RIWAYAT PENDIDIKAN MUHAMMAD ABDUH
Muhammad Abduh lahir di
Provinsi Gharbiah Hilir pada tahun 1849. Ayah Muhammad Abduh bernama Abduh
Hasan Khairullah berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya
yang bernama Junainah,[7] menurut
riwayat berasal dari Bangsa Arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsa Umar
bin Khattab. Abduh besar dalam keluarga yang memiliki keagamaan yang baik namun
jauh dari sekolah.[8]
Pada pemerintahan Muhammad Ali Pasya 1805-1849 kekacauan sedang melanda Mesir.
Ayah Muhammad Abduh sering membawa Abduh kecil berpindah-pindah tempat tinggal,
hingga pada akhirnya menetap di sebuah desa bernama Mahallah Nasr.[9]
Jauh sebelum pendidikannya di al-Azhar, pada
awalnya Muhammad Abduh disuruh beajar menulis dan membaca, setelah mampu
membaca maka ia diserahkan kepada seorang guru untuk menghafal al-Qur’an. Setelah
dua tahun Abduh berhasil menyelesaikan hafala al-Qur’annya, kemudian ia dikirim
ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Syekh Ahmad pada 1862. Setelah dua tahun
belajar di sana, ia tidaklah mendapat apa-apa dari pengajaran metode menghafal.
Akhirnya ia lari dan meninggalkan pelajarannya di Tanta. Ia bersembunyi di
rumah pamannya, namun setelah tiga bulan ia kembali dipaksa melanjutkan
pendidikannya di Tanta. Abduh tetap pada pendiriannya yang menganggap sistem
pelajaran menghafal tidak cocok baginya, akhirnya pada 1865 ia kembali ke
kampungnya dan menikah di usia 16. Tidak lama setelah menikah ia di paksa oleh
orang tuanya untuk kembali lagi ke Tanta, ia pun meninggalkan kampungnya. Abduh
bukannya malah berjalan ke Tanta, namun ia justru bersembunyi lagi di salah
satu rumah pamannya. Di sini ia bertemu seseorang yang merubah pandangannya,
orang ini ialah Syekh Darwisy Khadr, paman dari ayah Muhammad Abduh.[10]
Syekh Darwisy adalah
orang yang lembut, berilmu, dan zuhud. Ahli masalah-masalah dunia, namun ia
tidak mementingkan kekayaan. Bersama Syekh Darwisy, Muhammad Abduh menjadi
seseorang yang berubah dari sebelumnya. Dari orang yang malas menuntut ilmu
karena terbentur metode hafalan, menjadi pemuda yang memiliki tekad kuat untuk
terus belajar. Hanya dalam waktu tujuh hari Muhammad Abduh yang semulanya hanya
ingin bekerja di pertanian, berubah menjadi Muhammad Abduh yang bersih jiwanya
dan ingin belajar memahami al-Qur’an serta memahamkannya kepada orang lain.[11]
Pertemuan dengan Syeikh
Darwisy membuatnya tertarik untuk terus membaca dan mencari tau isi kandungan
sebuah buku. Karena Syeikh Darwisy selalu memberi penjelasan setiap setelah
selesai membaca satu kalimat, dan tidak menggunakan metode hafalan yang dibenci
Muhammad Abduh. Ia pun akhirnya ingin mengetahui lebih banyak dan memutuskan
kembali ke Tanta lagi. Setelah selesai barulah ia memulai studinya di al-Azhar
pada tahun 1866, di sini ia bertemu dengan gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani.[12]
Abduh dan kawan-kawan berkesempatan berdialog dengan tokoh pembaharu ini.
Melalui al-Afghani, Abduh mendalami pengetahuan tentang filsafat, matematika,
teologi, politik, dan jurnalistik. Bidang pengetahuan yang menarik perhatian
Abduh ada teologi Mu’tazilah.[13]
Ketertarikannya pada
penikiran Mu’tazilah, membuat Abduh dituduh ingin menghidupkan kembali aliran
ini. Atas tuduhan ini ia dipanggil menghadap Syeikh al-Laisi, seorang tokoh
penentang Mu’tazilah. Ketika ditanya apakah dia akan memilih Mu’tazilah,
dijawabnya dengan tegas bahwa ia tidak bermaksud taklid pada aliran manapun dan
kepada siapapun. Peristiwa ini nyaris membuatnya gagal memperoleh ijazah di
al-Azhar.[14]
Akhirnya pada tahun 1877 studinya selesai di al-Azhar dengan mendapat gelar
Alim. Ia mulai mengajar, pertama di al-Azhar kemudian di Darul Ulum dan juga
rumahnya sendiri.[15]
BAB. III: PEMIKIRAN MODERN YANG DIUSUNG MUHAMMAD ABDUH
Pada tahun 1879, guru Muhammad Abduh yaitu Jamaluddin
al-Afghani diusir dari Mesir karena dituduh mengadakan gerakan menentang Kadafi
Taufik. Muhammad Abduh sebagai muridnya juga dianggap ikut campur dalam hal
ini, dan akhirnya ia dibuang ke luar Kairo,[16]
Shalihun A. Nasir mengatakan Abduh kembali ke kampung halamannya. Pada tahun
1880 Abduh dipanggil oleh Kabinet Partai Liberal untuk diserahi jabatan kepala
redaksi surat kabar al-Waqaai’ al-Masrikiyah.[17]
Pada waktu itu rasa nasional Mesir telah timbul. Dibawah pimpinan Muhammad
Abduh, al-Waqaai’ al-Masrikiyah tidak hanya menyiarkan berita, tetapi
juga tetntang artikel Nasionalisme Mesir.[18]
Munculnya nasionalisme yang dikepalai Urabi Pasya juga
dilatarbelakangi pemikiran Muhammad Abduh. Atas perannya dibalik layar itu,
Abduh akhirnya diusir dari Mesir pada akhir 1882.[19]
Abduh berlari ke Beirut pada tahun 1883. Tidak lama kemudian ia diundang ke
Paris oleh Jamaludin al-Afghani.[20]
Di Paris, guru dan murid ini menerbitkan majalah al-‘Urwah
al-Wusqa. Jamaludin al-Afghani sebagai kepalanya, sedangkan Muhammad Abduh
bertanggung jawab terhadap redaksi, bahasa, dan perincian arti. Semua pemikiran
mereka dibuat dalam sebuah kamar kecil, kamar di atas sebuah rumah di kota
Paris. Dari kamar kecil itulah lahir pemikiran yang di kemudian hari membuat
takut Inggris dan Perancis, sebuah kamar kecil yang lebih menyeramkan dibanding
gedung bertingkat, bahkan lebih menakutkan dari tentara bersenjata. Karena
majalah ini bukan hanya untuk warga Paris dan Mesir, namun juga untuk semua
wilayah dunia Islam yang saat itu berada di bawah Inggris dan Perancis.[21]
Menurut Muhammad Abduh wahyu tak dapat membawa hal-hal yang
bertentangan dengan akal.[22]
Pemahamannya ini mempengaruhi pemikirannya dalam bidang pendidikan. Menurutnya,
ilmu agama yang hanya berorientasi pada sistem hafalan dan taklid kepada
pemikiran ulama terdahulu, dapat membawa umat pada paham jumud atau
statis dalam berfikir. Paham jumud inilah yang menurutnya membuat umat
Islam akhirnya tertinggal dengan peradaban Eropa.[23]
Pemahamannya dalam bidang agama sebagian terpengaruh oleh
pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, yaitu memurnikan dan mengembalikan ajaran
islam seperti pada masa awal islam. Di sisi lain, Muhammad Abduh mengatakan
memurnikan saja tidaklah cukup. Ia lebih banyak mengambil pemikiran ibn
Taimiyah mengenai ajaran islam yang terbagi atas ibadah dan muamalah.
Ibadah telah diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadits secara jelas, sedangkan
muamalah dalam dua sumber ajaran islam hannyalah bersifat mendasar, umum, dan
prinsipiil. Karena itulah Muhammad Abduh mengatakan perlunya penyesuaian muamalah
dengan tuntutan zaman. Dengan kata lain, Abduh menyuarakan untuk berijtihad dan
tidak taklid.[24]
Dalam bidang ketatanegaraan Muhammad Abduh berpendapat
kekuasaan negara harus dibatasi dengan konstitusi. Hal ini ditekankan pada
upaya membangkitkan rakyat untuk sadar terhadap apa yang menjadi hak nya.
Karena kepala negara adalah manusia yang mempunyai nafsu dan bisa saja salah.[25]
BAB. IV: IMPLEMENTASI DAN RESPON MASYARAKAT MESIR TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH
Setelah membahas
pemikiran modern Muhammad Abduh di bab sebelumnya, maka di bab ini akan
dipaparkan implementasi dan respon masyarakat terkait pemikiran Muhammad Abduh.
Diantaranya adalah konsep nasionalisme yang diusungnya. Pemikirannya ini
ditularkan melalui surat kabar al-Waqaai’ al-Masrikiyah yang dikepalainya sejak
1880. Hasilnya adalah perwira tentara yang berasal dari Mesir berusaha
mendobrak kontrol yang diadakan oleh perwira Turki dan Sarkas yang selama ini menguasai Mesir.[26] Kelanjutan dari doktrin
paham nasionalis adalah munculnya gerakan nasionalis yang dikepalai oleh Urabi
Pasya. Gerakan ini menurut Inggris sangatlah berbahaya, maka pada 1882 Inggris
membom Iskandariyah dari laut. Setelah mengalahkan nasionalis, Inggris
menguasai Mesir. Secara langsung Abduh memang tidak tampak memainkan peran
dalam gerakan yang dipimpin Urabi Pasya, namun dibalik itu, paham
nasionalismenya sudah amat tertanam di dalam benak masyarakat Mesir.[27]
Atas perannya dibalik layar itu, Abduh akhirnya diusir dari Mesir pada akhir
1882.[28]
Abduh berlari ke Beirut, dan kurang lebih bertahan satu tahun disana hingga
usianya 34 tahun, atau bertepatan pada tahun 1883. Tidak lama ia mendapat
undangan dari gurunya, Jamaludin al-Afghani, untuk datang ke Paris. [29]
Di Paris, Muhammad Abduh
dan Jamaludin al-Afghani membuat perhimpunan yang kuat dan menerbitkan majalah
bulanan dengan nama al-‘Urwah al-Wusqa. Tujuan perhimpunan ini adalah
membersihkan Mesir dari tentara asing dan mengingatkan bangsa-bangsa timur akan
bahaya Eropa. Atas nama perhimpunan itu juga pada 1884 Muhammad Abduh pergi ke
London untuk menyampaikan dengan tegas bahwa rakyat Mesir ingin tentara Inggris
pergi dari negerinya.[30]
Umur majalah ini hanya sampai pada tahun 1885 dan baru mengeluarkan 18 nomor.
Inggris dan Perancis menghalangi penyebaran majalah tersebut ke dunia Islam, akhirnya
himpunan ini pun mati.[31]
Jamaluddin pergi ke Persia dan Abduh kembali ke Beirut untuk mengajar disana.
Bagaimanapun al-‘Urwah al-Wusqa tidaklah berhasil menumbuhkan hal besar, namun mereka berhasil
menyebarkan benih-benih yang kemudian hari akan menjadi pohon yang besar.
(Mukti, 1995: 462).
Pada 1888, atas usaha
teman-temannya ia diperbolehkan kembali ke Mesir, tetapi tidak diizinkan
mengajar oleh pemerintah karena tidak ingin pemikirannya mempengaruhi
mahasiswa. Ia bekerja menjadi Hakim di suatu mahkamah. Di tahun 1894, ia
diangkat sebagai anggota Majlis dari al-Azhar,[32]
ia memanfaatkan sebaik mungkin saat dirinya menjadi bagian dari dunia
pendidikan untuk perbaikan umum bagi dunia islam.[33]
Menurut Muhammad Abduh, paham jumud harus digantikan dengan faham yang
dinamis. Hal ini menurutnya dapat dicapai dengan pengajaran ilmu modern di
samping ilmu agama, agar ulama islam mengerti kebudayaan modern dan dapat
menyelesaikan persoalan yang timbul di zaman modern. Tentunya al-Azhar sebagai
Universitas terkemukan dunia Islam adalah tempat yang cocok untuk menerapkan
ini, karena di sinilah tercetak ulama-ulama penjuru dunia yang siap membawa
perubahan. Dengan kata lain, Muhammad Abduh ingin menghilangkan dualisme dalam
pendidikan. Ide pembaharuannya ini terbentur pada tantangan kaum ulama
konservatif yang belum mamahami ide Muhammad Abduh.[34]
Tidak hanya di al-Azhar,
dalam bidang pendidikan ia juga memperhatikan sekolah dasar. Menurutnya dalam
tingkat ini hendaknya pendidikan agama menjadi inti yang diajarkan, karena
dapat membentuk jiwa pribadi Muslim. Hal ini menurutnya dapat membuat muslim
mengembangkan sikap hidup untuk meraih kemajuan. Ia juga mendirikan
sekolah-sekolah pemerintah untuk mendidik tenaga-tenaga yang diperukan Mesir
dalam administrasi, militer, kesehatan, industri, pendidikan, dll. Dalam
sekolah ini perlu dimasukkan pelajaran agama yang lebih kuat, termasuk Sejarah
Kebudayaan Islam.[35]
Penerapan pemikiran
Muhammad Abduh dalam bidang keagamaan terfokus pada muamalah yang
disesuaikan dengan tuntutan zaman. Untuk menyesuaikan semua itu dengan situasi
modern perlu diadakan interpretasi baru, dan untuk itu perlu pintu ijtihad
dibuka. Ijtihad menurut pendapatnya sangat perlu dan penting dilakukan,
tentunya bukan oleh sembarang orang. Lapangan ijtihad hanya mengenai soal-soal mualamah
yang ayat-ayat dan hadisnya bersifat umum. Hukum-hukum kemasyarakatan inilah yang perlu disesuaikan dengan zaman.
Sedangkan ibadah tidaklah dikatakan sebagai objek ijtihad, dan tidak
bisa disesuaikan dengan zaman.[36]
Intinya adalah, di satu sisi pemikiran Muhammad Abduh dalam prinsispnya
menyerupai ajaran Wahabiyah, dengan mengajak kembali pada pokok agama dan
meninggalkan bid’ah. Tetapi dalam ajaran tafsirnya Muhammad Abduh berusaha
mensserasikan antara Islam dengan pandangan-pandangan kebudayaan modern, dengan
mengikuti cara-cara pemikiran untuk mencari persesuaian antara agama dan teori
ilmu.[37]
Dalam bidang
ketatanegaraan Menurut Abduh pemerintah sebagai manusia biasa yang bisa saja
salah, kekuasaannya harus dibatasi konstitusi. Abduh pun memfokuskan
penerapannya pada membangkitkan kesadaran rakyat akan hak-hak mereka. Adapun
menurut Abduh hak rakyat yang harus dipenuhi negara:
1.
Sebagai tempat kediaman yang memberikan makanan, perlindungan, dan
tempat tinggal keluaraga dan sanak saudara.
2.
Sebagai tempat untuk memperoleh hak-hak dan kewajiban yang kedua-duanya
menjadi poros kehidupan politik.
3.
Tempat mempertalikan diri oleh seseorang akan merasa bangga atau terhina
karenanya (konsep rasa cinta tanah air).
Menurutnya, sebuah negara yang memerintah
dengan adil dan mensejahterakan rakyatnya, secara otomatis rakyat juga akan
membela dengan taruhan jiwa raga atas kepentingan negara yang bersangkutan.
Sebagai wilayah negara Islam, menurut Abduh boleh saja menggunakan
perundang-undangan dalam bentuk negara pada umumnya, namun secara esensial
masih lebih menunjukkan makna Islam. Inilah beberapa uraian mengenai konsep
ketatanegaraan menurut Muhammad Abduh[38]
BAB. V
PENUTUP
Kesimpulan
Seorang pemuda
berlatarbelakang keluarga petani bernama Muhammad Abduh yang dipaksa
keluarganya untuk menuntut ilmu. Seorang Abduh yang membenci belajar dengan
menghafal serta enggan belajar pada awalnya, akhirnya bertemu seseorang (Syeikh
Darwisy) yang merubah pemikirannya. Takdirnya pada pendidikan telah
menghantarkannya bertemu dengan seorang pembaharu (Jamaluddin al-Afghani) yang
pada akhirnya menularkan idenya kepada Abduh.
Abduh dengan kepekaannya terhadap keadaan
Mesir yang tertinggal, berupaya mensejajarkannya dengan kemajuan barat. Abduh
memanfaatkan posisinya di Mesir untuk menularkan pemikirannya dalam hal
nasionalisme, keagamaan, ketatanegaraan, lebih-lebih pada pendidikan.
Dari peran-perannya
dalam modernisme, jelas bahwa Abduh memang mempunyai posisi tertentu dalam
perkembangan modernisasi di Mesir saat itu dan dunia Islam pada umumnya.
Kendati demikian, tak jarang ia justru mendapat tekanan —Khususnya oleh
kalangan konservatif— bahkan harus pergi keluar Mesir demi mempertahankan
pemikirannya.
Daftar Pustaka
Ali, A. Mukti. 1995. Alam Pikiran Islam
Modern di Timur Tengah. Jakarta: Djambatan.
Lapidus, Ira M.. 2000. Sejarah Sosial
Ummat Islam Bagian III, terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: Rajawali Pers.
Nasir, Shalihun A.. 2012. Pemikiran
Kalam sejarah, ajaran, dan perkembangannya (Jakarta: Rajawali Pers.
Nasution, Harun. 1992.
Pembaharuan Dalam Islam sejarah pemikiran dan gerakan cet. 9. Jakarta:
Bulan Bintang.
Sani, Abdul. 1998. Lintasan Sejarah
Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Yatim, Badri. 2013. Sejarah Peradaban
Islam dirasah islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers.
[1] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian
III, terj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hlm. 11
[2] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam sejarah
pemikiran dan gerakan cet. 9 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 11
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam dirasah
islamiyah II (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 175
[7] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan
Modern dalam Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hlm. 48
[10] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam sejarah
pemikiran dan gerakan cet. 9 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 59-60
[11] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur
Tengah (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 433-434
[13] Shalihun A. Nasir, Pemikiran Kalam sejarah, ajaran,
dan perkembangannya (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 302
0 komentar:
Post a Comment