Muhammad Abduh | Riwayat Hidup, Pemikiran dan Pengaruh Pemikiranya


Muhammad Abduh, encrypted-tbn0.gstatic.com

Pengantar

            Puji syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah serta iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu makalah.
            Dalam aspek manapun, makalah ini belum memenuhi kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah ini.
            Setidaknya, dalam penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami sendiri, ada banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan banyak manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
            Pada akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada khususnya Prof. Dr. H. Mundzirin Yusuf, M. Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Islam Periode Modern I  yang memberi kami kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada teman-teman mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan agama. Semoga Allah memberkati makalah kami. Aamiin.

                                                                                                Sleman, 26 Maret 2017


                                                                                                Irfan Hamid




BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

          Implikasi dominasi ekonomi dan kolonial Barat (Eropa) terus berlangsung sampai masa sekarang. Pemerintahan kolonial merusak keseimbangan konstitusi yang telah membentuk sistem masyarakat Muslim pra-modern dan menimbulkan kemunduran kekuatan politik masyarakat Muslim seluruh dunia serta menimbulkan regresi di beberapa wilayah tertentu.[1] Sebelum itu, alangkah baiknya jika kita membahas terlebih dahulu tentang pengertian modern. Menurut Harun Nasution modern dalam masyarakat Eropa berarti megandung arti fikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah faham-faham, institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Harun, 1982: 11).
          Pikiran modernisme di Eropa segera memasuki lapangan agama dengan tujuan menyesuaikan ajaran Katolik dan Protestan dengan filsafat modern. Perpaduan ini faktanya memunculkan sekularisme di masyarakat Eropa.[2] Pemikiran modern yang sekuler ini selanjutnya lebih manis di kemas dengan kata Renaisans atau Pencerahan. Modernisme Eropa ini juga pada gilirannya yang membuat mereka mendominasi perpolitikan wilayah dunia Islam.[3] Tidak hanya di pusat pemerintahan Islam saat itu yaitu Turki Utsmani, campur tangan politik Eropa juga terjadi di wilayah lain seperti Asia Tenggara, India, Timur Tengah,[4] dan Afrika Utara.[5]
          Dalam makalah ini kami lebih menekankan pembahasan modernisme di Afrika Utara, khususnya di Mesir. Di Mesir, modernisme Islam menjadi berbeda di tangan seorang murid al-Afghani, yaitu Muhammad Abduh. Seperti gurunya, Abduh menaruh perhatian besar terhadap pertahanan masyarakat Muslim dalam menghadapi Eropa. Bagi Abduh persoalan utama bukanlah politik, namun sikap keagamaan ketika Muslim mengadopsi cara-cara Eropa, mampu atau tidaknya masyarakat mempertahankan vitalitas islam.[6]
          Dalam makalah ini kami membahas dua hal pokok mengenai Muhammad Abduh, yaitu riwayat pendidikan serta pemikirannya dan satu hal pokok mengenai masyarakat Mesir. Dalam tiga bahasan pokok ini, kami tuangkan ke rumusan masalah sebagai berikut.

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana riwayat pendidikan Muhammad Abduh?
2.      Apa pemikiran modern yang diusung Muhammad Abduh?
3.      Bagaimana implementasi dan respon masyarakat Mesir terhadap pemikiran Muhammad Abduh?

C. Tujuan

1.      Mengetahui riwayat pendidikan Muhammad Abduh
2.      Mengetahui pemikiran modern yang diusung Muhammad Abduh
3.      Mengetahui implementasi dan respon masyarakat Mesir terhadap pemikiran Muhammad Abduh.

BAB. II: RIWAYAT PENDIDIKAN MUHAMMAD ABDUH

          Muhammad Abduh lahir di Provinsi Gharbiah Hilir pada tahun 1849. Ayah Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya yang bernama Junainah,[7] menurut riwayat berasal dari Bangsa Arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsa Umar bin Khattab. Abduh besar dalam keluarga yang memiliki keagamaan yang baik namun jauh dari sekolah.[8] Pada pemerintahan Muhammad Ali Pasya 1805-1849 kekacauan sedang melanda Mesir. Ayah Muhammad Abduh sering membawa Abduh kecil berpindah-pindah tempat tinggal, hingga pada akhirnya menetap di sebuah desa bernama Mahallah Nasr.[9]
           Jauh sebelum pendidikannya di al-Azhar, pada awalnya Muhammad Abduh disuruh beajar menulis dan membaca, setelah mampu membaca maka ia diserahkan kepada seorang guru untuk menghafal al-Qur’an. Setelah dua tahun Abduh berhasil menyelesaikan hafala al-Qur’annya, kemudian ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Syekh Ahmad pada 1862. Setelah dua tahun belajar di sana, ia tidaklah mendapat apa-apa dari pengajaran metode menghafal. Akhirnya ia lari dan meninggalkan pelajarannya di Tanta. Ia bersembunyi di rumah pamannya, namun setelah tiga bulan ia kembali dipaksa melanjutkan pendidikannya di Tanta. Abduh tetap pada pendiriannya yang menganggap sistem pelajaran menghafal tidak cocok baginya, akhirnya pada 1865 ia kembali ke kampungnya dan menikah di usia 16. Tidak lama setelah menikah ia di paksa oleh orang tuanya untuk kembali lagi ke Tanta, ia pun meninggalkan kampungnya. Abduh bukannya malah berjalan ke Tanta, namun ia justru bersembunyi lagi di salah satu rumah pamannya. Di sini ia bertemu seseorang yang merubah pandangannya, orang ini ialah Syekh Darwisy Khadr, paman dari ayah Muhammad Abduh.[10]
          Syekh Darwisy adalah orang yang lembut, berilmu, dan zuhud. Ahli masalah-masalah dunia, namun ia tidak mementingkan kekayaan. Bersama Syekh Darwisy, Muhammad Abduh menjadi seseorang yang berubah dari sebelumnya. Dari orang yang malas menuntut ilmu karena terbentur metode hafalan, menjadi pemuda yang memiliki tekad kuat untuk terus belajar. Hanya dalam waktu tujuh hari Muhammad Abduh yang semulanya hanya ingin bekerja di pertanian, berubah menjadi Muhammad Abduh yang bersih jiwanya dan ingin belajar memahami al-Qur’an serta memahamkannya kepada orang lain.[11]
          Pertemuan dengan Syeikh Darwisy membuatnya tertarik untuk terus membaca dan mencari tau isi kandungan sebuah buku. Karena Syeikh Darwisy selalu memberi penjelasan setiap setelah selesai membaca satu kalimat, dan tidak menggunakan metode hafalan yang dibenci Muhammad Abduh. Ia pun akhirnya ingin mengetahui lebih banyak dan memutuskan kembali ke Tanta lagi. Setelah selesai barulah ia memulai studinya di al-Azhar pada tahun 1866, di sini ia bertemu dengan gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani.[12] Abduh dan kawan-kawan berkesempatan berdialog dengan tokoh pembaharu ini. Melalui al-Afghani, Abduh mendalami pengetahuan tentang filsafat, matematika, teologi, politik, dan jurnalistik. Bidang pengetahuan yang menarik perhatian Abduh ada teologi Mu’tazilah.[13]
          Ketertarikannya pada penikiran Mu’tazilah, membuat Abduh dituduh ingin menghidupkan kembali aliran ini. Atas tuduhan ini ia dipanggil menghadap Syeikh al-Laisi, seorang tokoh penentang Mu’tazilah. Ketika ditanya apakah dia akan memilih Mu’tazilah, dijawabnya dengan tegas bahwa ia tidak bermaksud taklid pada aliran manapun dan kepada siapapun. Peristiwa ini nyaris membuatnya gagal memperoleh ijazah di al-Azhar.[14] Akhirnya pada tahun 1877 studinya selesai di al-Azhar dengan mendapat gelar Alim. Ia mulai mengajar, pertama di al-Azhar kemudian di Darul Ulum dan juga rumahnya sendiri.[15]

BAB. IIIPEMIKIRAN MODERN YANG DIUSUNG MUHAMMAD ABDUH

          Pada tahun 1879, guru Muhammad Abduh yaitu Jamaluddin al-Afghani diusir dari Mesir karena dituduh mengadakan gerakan menentang Kadafi Taufik. Muhammad Abduh sebagai muridnya juga dianggap ikut campur dalam hal ini, dan akhirnya ia dibuang ke luar Kairo,[16] Shalihun A. Nasir mengatakan Abduh kembali ke kampung halamannya. Pada tahun 1880 Abduh dipanggil oleh Kabinet Partai Liberal untuk diserahi jabatan kepala redaksi surat kabar al-Waqaai’ al-Masrikiyah.[17] Pada waktu itu rasa nasional Mesir telah timbul. Dibawah pimpinan Muhammad Abduh, al-Waqaai’ al-Masrikiyah tidak hanya menyiarkan berita, tetapi juga tetntang artikel Nasionalisme Mesir.[18]
          Munculnya nasionalisme yang dikepalai Urabi Pasya juga dilatarbelakangi pemikiran Muhammad Abduh. Atas perannya dibalik layar itu, Abduh akhirnya diusir dari Mesir pada akhir 1882.[19] Abduh berlari ke Beirut pada tahun 1883. Tidak lama kemudian ia diundang ke Paris oleh Jamaludin al-Afghani.[20]
          Di Paris, guru dan murid ini menerbitkan majalah al-‘Urwah al-Wusqa. Jamaludin al-Afghani sebagai kepalanya, sedangkan Muhammad Abduh bertanggung jawab terhadap redaksi, bahasa, dan perincian arti. Semua pemikiran mereka dibuat dalam sebuah kamar kecil, kamar di atas sebuah rumah di kota Paris. Dari kamar kecil itulah lahir pemikiran yang di kemudian hari membuat takut Inggris dan Perancis, sebuah kamar kecil yang lebih menyeramkan dibanding gedung bertingkat, bahkan lebih menakutkan dari tentara bersenjata. Karena majalah ini bukan hanya untuk warga Paris dan Mesir, namun juga untuk semua wilayah dunia Islam yang saat itu berada di bawah Inggris dan Perancis.[21]
          Menurut Muhammad Abduh wahyu tak dapat membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal.[22] Pemahamannya ini mempengaruhi pemikirannya dalam bidang pendidikan. Menurutnya, ilmu agama yang hanya berorientasi pada sistem hafalan dan taklid kepada pemikiran ulama terdahulu, dapat membawa umat pada paham jumud atau statis dalam berfikir. Paham jumud inilah yang menurutnya membuat umat Islam akhirnya tertinggal dengan peradaban Eropa.[23]
          Pemahamannya dalam bidang agama sebagian terpengaruh oleh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, yaitu memurnikan dan mengembalikan ajaran islam seperti pada masa awal islam. Di sisi lain, Muhammad Abduh mengatakan memurnikan saja tidaklah cukup. Ia lebih banyak mengambil pemikiran ibn Taimiyah mengenai ajaran islam yang terbagi atas ibadah dan muamalah. Ibadah telah diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadits secara jelas, sedangkan muamalah dalam dua sumber ajaran islam hannyalah bersifat mendasar, umum, dan prinsipiil. Karena itulah Muhammad Abduh mengatakan perlunya penyesuaian muamalah dengan tuntutan zaman. Dengan kata lain, Abduh menyuarakan untuk berijtihad dan tidak taklid.[24]
          Dalam bidang ketatanegaraan Muhammad Abduh berpendapat kekuasaan negara harus dibatasi dengan konstitusi. Hal ini ditekankan pada upaya membangkitkan rakyat untuk sadar terhadap apa yang menjadi hak nya. Karena kepala negara adalah manusia yang mempunyai nafsu dan bisa saja salah.[25]

BAB. IVIMPLEMENTASI DAN RESPON MASYARAKAT MESIR TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH

          Setelah membahas pemikiran modern Muhammad Abduh di bab sebelumnya, maka di bab ini akan dipaparkan implementasi dan respon masyarakat terkait pemikiran Muhammad Abduh. Diantaranya adalah konsep nasionalisme yang diusungnya. Pemikirannya ini ditularkan melalui surat kabar al-Waqaai’ al-Masrikiyah yang dikepalainya sejak 1880. Hasilnya adalah perwira tentara yang berasal dari Mesir berusaha mendobrak kontrol yang diadakan oleh perwira Turki dan Sarkas yang selama ini menguasai Mesir.[26] Kelanjutan dari doktrin paham nasionalis adalah munculnya gerakan nasionalis yang dikepalai oleh Urabi Pasya. Gerakan ini menurut Inggris sangatlah berbahaya, maka pada 1882 Inggris membom Iskandariyah dari laut. Setelah mengalahkan nasionalis, Inggris menguasai Mesir. Secara langsung Abduh memang tidak tampak memainkan peran dalam gerakan yang dipimpin Urabi Pasya, namun dibalik itu, paham nasionalismenya sudah amat tertanam di dalam benak masyarakat Mesir.[27] Atas perannya dibalik layar itu, Abduh akhirnya diusir dari Mesir pada akhir 1882.[28] Abduh berlari ke Beirut, dan kurang lebih bertahan satu tahun disana hingga usianya 34 tahun, atau bertepatan pada tahun 1883. Tidak lama ia mendapat undangan dari gurunya, Jamaludin al-Afghani, untuk datang ke Paris. [29]
          Di Paris, Muhammad Abduh dan Jamaludin al-Afghani membuat perhimpunan yang kuat dan menerbitkan majalah bulanan dengan nama al-‘Urwah al-Wusqa. Tujuan perhimpunan ini adalah membersihkan Mesir dari tentara asing dan mengingatkan bangsa-bangsa timur akan bahaya Eropa. Atas nama perhimpunan itu juga pada 1884 Muhammad Abduh pergi ke London untuk menyampaikan dengan tegas bahwa rakyat Mesir ingin tentara Inggris pergi dari negerinya.[30] Umur majalah ini hanya sampai pada tahun 1885 dan baru mengeluarkan 18 nomor. Inggris dan Perancis menghalangi penyebaran majalah tersebut ke dunia Islam, akhirnya himpunan ini pun mati.[31] Jamaluddin pergi ke Persia dan Abduh kembali ke Beirut untuk mengajar disana. Bagaimanapun al-‘Urwah al-Wusqa tidaklah berhasil menumbuhkan hal besar, namun mereka berhasil menyebarkan benih-benih yang kemudian hari akan menjadi pohon yang besar. (Mukti, 1995: 462).
          Pada 1888, atas usaha teman-temannya ia diperbolehkan kembali ke Mesir, tetapi tidak diizinkan mengajar oleh pemerintah karena tidak ingin pemikirannya mempengaruhi mahasiswa. Ia bekerja menjadi Hakim di suatu mahkamah. Di tahun 1894, ia diangkat sebagai anggota Majlis dari al-Azhar,[32] ia memanfaatkan sebaik mungkin saat dirinya menjadi bagian dari dunia pendidikan untuk perbaikan umum bagi dunia islam.[33] Menurut Muhammad Abduh, paham jumud harus digantikan dengan faham yang dinamis. Hal ini menurutnya dapat dicapai dengan pengajaran ilmu modern di samping ilmu agama, agar ulama islam mengerti kebudayaan modern dan dapat menyelesaikan persoalan yang timbul di zaman modern. Tentunya al-Azhar sebagai Universitas terkemukan dunia Islam adalah tempat yang cocok untuk menerapkan ini, karena di sinilah tercetak ulama-ulama penjuru dunia yang siap membawa perubahan. Dengan kata lain, Muhammad Abduh ingin menghilangkan dualisme dalam pendidikan. Ide pembaharuannya ini terbentur pada tantangan kaum ulama konservatif yang belum mamahami ide Muhammad Abduh.[34]
          Tidak hanya di al-Azhar, dalam bidang pendidikan ia juga memperhatikan sekolah dasar. Menurutnya dalam tingkat ini hendaknya pendidikan agama menjadi inti yang diajarkan, karena dapat membentuk jiwa pribadi Muslim. Hal ini menurutnya dapat membuat muslim mengembangkan sikap hidup untuk meraih kemajuan. Ia juga mendirikan sekolah-sekolah pemerintah untuk mendidik tenaga-tenaga yang diperukan Mesir dalam administrasi, militer, kesehatan, industri, pendidikan, dll. Dalam sekolah ini perlu dimasukkan pelajaran agama yang lebih kuat, termasuk Sejarah Kebudayaan Islam.[35]
          Penerapan pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang keagamaan terfokus pada muamalah yang disesuaikan dengan tuntutan zaman. Untuk menyesuaikan semua itu dengan situasi modern perlu diadakan interpretasi baru, dan untuk itu perlu pintu ijtihad dibuka. Ijtihad menurut pendapatnya sangat perlu dan penting dilakukan, tentunya bukan oleh sembarang orang. Lapangan ijtihad hanya mengenai soal-soal mualamah yang ayat-ayat dan hadisnya bersifat umum. Hukum-hukum kemasyarakatan  inilah yang perlu disesuaikan dengan zaman. Sedangkan ibadah tidaklah dikatakan sebagai objek ijtihad, dan tidak bisa disesuaikan dengan zaman.[36] Intinya adalah, di satu sisi pemikiran Muhammad Abduh dalam prinsispnya menyerupai ajaran Wahabiyah, dengan mengajak kembali pada pokok agama dan meninggalkan bid’ah. Tetapi dalam ajaran tafsirnya Muhammad Abduh berusaha mensserasikan antara Islam dengan pandangan-pandangan kebudayaan modern, dengan mengikuti cara-cara pemikiran untuk mencari persesuaian antara agama dan teori ilmu.[37]
          Dalam bidang ketatanegaraan Menurut Abduh pemerintah sebagai manusia biasa yang bisa saja salah, kekuasaannya harus dibatasi konstitusi. Abduh pun memfokuskan penerapannya pada membangkitkan kesadaran rakyat akan hak-hak mereka. Adapun menurut Abduh hak rakyat yang harus dipenuhi negara:
1.    Sebagai tempat kediaman yang memberikan makanan, perlindungan, dan tempat tinggal keluaraga dan sanak saudara.
2.    Sebagai tempat untuk memperoleh hak-hak dan kewajiban yang kedua-duanya menjadi poros kehidupan politik.
3.    Tempat mempertalikan diri oleh seseorang akan merasa bangga atau terhina karenanya (konsep rasa cinta tanah air).
Menurutnya, sebuah negara yang memerintah dengan adil dan mensejahterakan rakyatnya, secara otomatis rakyat juga akan membela dengan taruhan jiwa raga atas kepentingan negara yang bersangkutan. Sebagai wilayah negara Islam, menurut Abduh boleh saja menggunakan perundang-undangan dalam bentuk negara pada umumnya, namun secara esensial masih lebih menunjukkan makna Islam. Inilah beberapa uraian mengenai konsep ketatanegaraan menurut Muhammad Abduh[38]

BAB. V
PENUTUP

Kesimpulan

Seorang pemuda berlatarbelakang keluarga petani bernama Muhammad Abduh yang dipaksa keluarganya untuk menuntut ilmu. Seorang Abduh yang membenci belajar dengan menghafal serta enggan belajar pada awalnya, akhirnya bertemu seseorang (Syeikh Darwisy) yang merubah pemikirannya. Takdirnya pada pendidikan telah menghantarkannya bertemu dengan seorang pembaharu (Jamaluddin al-Afghani) yang pada akhirnya menularkan idenya kepada Abduh.
   Abduh dengan kepekaannya terhadap keadaan Mesir yang tertinggal, berupaya mensejajarkannya dengan kemajuan barat. Abduh memanfaatkan posisinya di Mesir untuk menularkan pemikirannya dalam hal nasionalisme, keagamaan, ketatanegaraan, lebih-lebih pada pendidikan.
Dari peran-perannya dalam modernisme, jelas bahwa Abduh memang mempunyai posisi tertentu dalam perkembangan modernisasi di Mesir saat itu dan dunia Islam pada umumnya. Kendati demikian, tak jarang ia justru mendapat tekanan —Khususnya oleh kalangan konservatif— bahkan harus pergi keluar Mesir demi mempertahankan pemikirannya.

Daftar Pustaka


Ali, A. Mukti. 1995. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta: Djambatan.

Lapidus, Ira M.. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian III, terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: Rajawali Pers.

Nasir, Shalihun A.. 2012. Pemikiran Kalam sejarah, ajaran, dan perkembangannya (Jakarta: Rajawali Pers.

Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan Dalam Islam sejarah pemikiran dan gerakan cet. 9. Jakarta: Bulan Bintang.

Sani, Abdul. 1998. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Yatim, Badri. 2013. Sejarah Peradaban Islam dirasah islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers.



[1] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian III, terj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hlm. 11
[2] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam sejarah pemikiran dan gerakan cet. 9 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 11
[3] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam …, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hlm. 7
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam dirasah islamiyah II (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 175
[5] Ibid., hlm. 180
[6] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam …, hlm. 111
[7] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hlm. 48
[8] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam… (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 58-59
[9] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran… (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hlm. 49
[10] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam sejarah pemikiran dan gerakan cet. 9 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 59-60
[11] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 433-434
[12] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam… (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 60-61
[13] Shalihun A. Nasir, Pemikiran Kalam sejarah, ajaran, dan perkembangannya (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 302
[14] Ibid., hlm. 303
[15] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran… (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hlm. 51
[16] Ibid.
[17] Shalihun A. Nasir, Pemikiran Kalam… (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 303
[18] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam… (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 61
[19] Shalihun A. Nasir, Pemikiran Kalam… (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 303
[20] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern… (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 459
[21] Ibid.
[22] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam… (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 67
[23] Ibid., hlm. 62-63
[24] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran… (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hlm. 56-57
[25] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam… (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 68
[26] Ibid., hlm. 61
[27] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran… (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hlm. 52
[28] Shalihun A. Nasir, Pemikiran Kalam… (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 303
[29] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern… (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 459
[30] Shalihun A. Nasir, Pemikiran Kalam… (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 304
[31] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran… (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hlm. 52
[32] Ibid.
[33] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern… (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 463
[34] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam… (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 67
[35] Ibid.
[36] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran… (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hlm. 56-57
[37] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern… (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 490-491
[38] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran… (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hlm. 59-60

0 komentar:

Post a Comment