Orang Jawa, blogspot.com |
Latar
Belakang
Kebudayaan
adalah suatu kebiasaan, adat, hasil interaksi, yang dilakukan oleh masyarakat
di dunia. Dan kebudayaan dari masing-masing daerah pasti berbeda, karena
memiliki kebiasaan yang sesuai dengan bentuk lingkungan atau lokasinya.
Kebudayaan dianggap penting dalam keilmuan sosiologi, karena kebudayaan
merupakan hasil dari interaksi manusia.
Setiap
manusia yang hidup secara berkelompok atau kolektif, pasti memiliki kebudayaan,
disadari atau tidak disadari. Karena setiap makhluk hidup, hanya manusia yang
dapat memiliki suatu kebudayaan. Hewan tidak dapat memiliki kebudayaan, karena
meskipun hewan memiliki kebiasaan, tetapi ada beberapa syarat tertentu sehingga
kebiasaan tersebut dapat dikatakan sebagai kebudayaan.
Di
makalah ini, saya akan coba menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebudayaan,
dengan mengulik dari pendapat para ahli, dan yang terkhusus dari Clifford
Geertz, karena Geertz adalah peneliti yang dapat dianggap unik dan menarik, dia
meneliti tentang Agama di Jawa, yang membagi atas Kaum Abangan, Santri, dan
Priyai. Di tambah dengan apa dampak dari penelitian Geertz tersebut, serta
penjelasan mengapa penting nya budaya bagi manusia.
Rumusan
Masalah
1.
Apa Definisi
Kebudayaan
2.
Bagaimana
Kebudayaan menurut Clifford Geertz
3.
Bagaimana 3 Konsep
masyarakat Jawa (Priyayi, Santri, dan Abangan) yang di teorikan oleh Clifford
Geertz
Pembahasan
Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “Buddayah” yang merupakan
bentuk jamak dari kawa “budhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan
diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi akal. Pengertian
kebudayaan secara umum adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya yang kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan,
seni, susila, hukum adat dan setiap kecakapan, dan kebiasaan.
Definisi
Koentjaraningrat mengatakan bahwa pengertian kebudayaan adalah keseluruhan
manusia dari kelakuan dan hasil yang harus didapatkannya dengan belajar dan
semua itu tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Senada
dengan Koentjaraningrat, Selo Soemardhan dan Soelaeman Soenardi pada bukunya
“Setangkai Bunga Sosiologi” merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya,
cipta, dan rasa masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia
untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan
untuk keperluan masyarakat.[1]
Sedangkan
menurut Ilmu Antropologi yang memiliki bidang keilmuan khusus terhadap
kebudayaan mengatakan, Kebudayaan adalah Kesuluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.
Cara
hidup manusia dengan berbagai macam sistem tindakan dijadikan sebagai objek
penelitian dan analisis oleh ilmu antropologi sehingga aspek belajar merupakan
aspek pokok. Itulah sebabnya dalam hal memberi pembatasan terhadap konsep
“kebudayaan” atau culture, ilmu
antropologi berbeda dengan ilmu lain. kalau dalam bahasa sehari-hari
“Kebudayaan” dibatasi hanya pada hal-hal yang indah (seperti candi,
tari-tarian, seni rupa, seni suara, kesusastraaan dan filsafat) saja. Sedangkan
dalam ilmu antropologi jauh lebih luas sifat dan ruang lingkupnya.[2]
Hal
tersebut berate bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan”
karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak
perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa
reflex, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta.
Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa
dalam gen bersama kelahirannya (seperti makan, minum, atau berjalan dengan
kedua kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan kebudayaan. Manusia
makan pada waktu-waktu tertentu yang dianggapnya wajar dan pantas, ia makan dan
minum dengan alat-alat, cara-cara dan sopan santun atau protocol yang sering
kali sangat rumit, harus dipelajarinya dahulu dengna susah payah. Manusia
berjalan tidak hanya menurut wujud biologisnya yang telah ditentukan oleh alam,
tetapi merombak cara berjalannya dengan gaya seperti prajurit, berjalan dengan
gaya lemah lembut, berjalan seperti peragawati dan sebagainya, yang semuanya
harus dipelajarinya dahulu.[3]
Definisi
yang menganggap bahwa “kebudayaan” dan “tindakan kebudayaan” itu adalah segala
tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar (learned behavior), juga diajukan oleh beberapa ahli seperti C.
Winssler, C Kluckhohn, A. Davis, atau A. Hoebel. Definisi yang
mereka ajukan hanya beberapa saja di antara banyak definisi lain yang pernah
diajukan, tidak hanya para sarjana antropologi, tetapi juga oleh para sarjana
ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, filsafat, sejarah, dan kesusastraan. Dua
orang sarjana antropologi, A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn, pernah mengumpulkan
sebanyak mungkin definisi tentang kebudayaan yang pernah ditanyakan orang dalam
tulisan, dan ternyata bahwa ada paling sedikit 160 buah definisi. 160 buah
definisi itu kemudian mereka analisis, dicari latar belakang, prinsip, dan
intinya, kemudian diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe definisi. Hasil
penelitian mengenai definisi kebudayaan tadi diterbitkan menjadi buku berjudul:
Culture, A Critical Review of Coencepts
and Definiitions.[4]
Kebudayaan Menurut
Clifford Geertz
Clifford Geertz, adalah
seorang ahli sosiologi dan antropologi yang berasal dari Amerika Serikat. Lahir
pada tanggal 23 Agustus 1926 di San Fransisco. Ia paling dikenal melalui
penelitian-penelitiannya mengenai Indonesia dan Maroko dalam bidang seperti
agama (Khususnya Islam), perkembangan ekonomi, struktur politik tradisional,
serta kehidupan desa dan keluarga. Terkait kebudayaan Jawa, ia mempopulerkan
istilah Priyayi saat melakukan penelitian tentang masyarakat Jawa pada tahun
1960-an, dan mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: Priayi,
Santri, dan Abangan.[5]
Pada tanggal 31 Oktober
2006 Clifford Geertz meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Menurut pengakuanya
sendiri, dari usia yang panjang itu 10 tahun lebih dihabiskannya dalam
penelitian lapangan )di Jawa, Bali, Maroko) dan 30 tahun digunakannya untuk
menulis tentang hasil-hasil penelitiannya, dengan tujuan menyampaikan pesona
studi kebudayaan kepada orang-orang lain.
Geertz belajar antropologi di Universitas
Harvard, pada Department of Social Relations, yang didirikan oleh Clyde
Kluckhon, bersama beberapa tokoh lainnya, menulis disertasinya di bawah
bimbingan Cora DuBois, berdasarkan penelitiannya di Jawa pada tahun 1952, dan
menyelesaikan S-3 pada 1956 dengan disertasi yang terbit belakangan sebagai
buku berjudul The Religion of Java.[6]
Konsep Kebudayaan Geertz
Geertz secara jelas mendefinisikan
“Kebudayaan adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun, dalam pengertian
di mana individu-individu mendifinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan
memberikan penilaian-penilaiannya. Suatu pola makna yang ditransmisikan secara
historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana
orang-orang mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan mengembangkan pengetahuan
dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan. Suatu kumpulan peralatan simbolik untuk
mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik”. Karena kebudayaan
merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan,
dan diinterpretasikan.
Konsep Kebudayaan simbolik yang
dikemukakan oleh Geertz diatas adalah suatu pendekatan yang sifatnya
hermeneutic. Suatu pendekatan yang lazim dalam dunia seniotik. Pendekatan
hermeneutik inilah yang kemudan menginspirasikannya untuk melihat kebudayaan
sebagai teks-teks yang harus dibaca, ditranslasikan, dan diinterpretasikan.
Pengaruh hermeneutic dapat kita lihat dari beberapa tokoh sastra dan filsafat
yang mempengaruhinya, seperti Kenneth Burke, Susanne Langer, dan Paul Ricouer.
Seperti Langer dan Burke yang mendifinisikan fitur/keistimewaan manusia sebagai
kapasitas mereka untuk berperilaku simbolik. Dari Paul Ricouer, ia mengambil
gagasan bahwa bangunan pengetahuan manusia yang ada, bukan merupakan kumpulan
laporan rasa yang luas tetapi sebagai suatu struktur fakta yang merupakan
simbol dan hukum yang mereka beri makna. Sehingga demikian tindakan manusia
dapat menyampaikan makna yang dapat dibaca, suatu perlakuan yang sama seperti
kita memperlakukan teks tulisan.
Geertz memfokuskan konsep kebudayaan
kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam
menghadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya
lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami
oleh si pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku
yang ada dalam kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat
individual tetapi publik, ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif
dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi suatu pola makna yang diteruskan secara
historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan juga menjadi suatu sistem
konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik yang
dengannya manusia berkomunikasi, melerstarikan, dan memperkembangkan
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.[7]
Agama Jawa
Agama bagi Geertz lebih merupakan
sebagai nilai-nilai budaya, dimana ia melihat nilai-nilai tersebut ada dalam
suatu kumpulan makna. Dimana dengan kumpulan makna tersebut, masing-masing
individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya. Sehingga
dengan nilai-nilai tersebut pelaku dapat mendefinisikan dunia dan pedoman apa
yang akan digunakannya. Ketika ia membagi kebudayaan jawa dalam 3 tipe varian
kebudayaan berbeda, Geertz melihat agama jawa sebagai suatu integrasi yang
berimbang antara tradisi yang berunsurkan animisme dengan agama Hindu &
agama Islam yang datang kemudian, lalu berkembang menjadi sebuah sinkretisme.
Geertz kemudian menginterpretasikan orang Jawa dalam 3 varian kebudayaan, yaitu
Abangan, Santri, dan Priyayi. Pembedaan ini ia lihat juga sebagai suatu
pembedaan masyarakat Jawa dalam 3 inti struktur sosial yang berbeda; desa,
pasar, dan birokrasi pemerintah. Suatu penggolongan yang menurut pandangan
mereka-kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik mereka,
yang menghasilkan 3 tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral
kebudayaan Jawa, ide umum tentang ketertiban yang berkaitan dengan tingkah laku
petani, buruh, pekerja tangan, pedagang, dan pegawai Jawa dalam semua arena
kehidupan.
Ketiga varian tersebut mempunyai
perbedaan dalam penerjemahan makna agama Jawa melalui penekanan-penekanan unsur
religirnya yang berbeda. Seperti Abangan yang menekenkan kepercayaannya pada
unsur-unsur tradisi lokal, terutama sekali terdiri upacara ritual yang disebut
slametan, kepercayaan kepada makhluk halus, kepercayaan akan sihir dan magi;
Santri yang menekankan kepercayaannya kepada unsur Islam; dan Priyayi yang menekankan
kepada unsur Hinduisme, yaitu konsep alus dan kasarnya. Perbedaan penekanan
unsur-unsur yang berbeda tersebut berasal dari lingkungan yang dibarengi
sejarah kebudayaan yang berbeda. Dimana oleh Geertz masing-masing 3 varian
tersebut mempunyai sejarah kebudayaan dan lingkungan yang berbeda. Abangan
dengan tradisi petani-nya di desa, Santri dengan pengalaman dagangnya di pasar
dan pola migrasinya di pesisir, dan priyayi dengan sejarah birokratik
aristokratiknya yang dibangun mulai dari masa keraton hingga masa Belanda di
kota. Sehingga dengan dimikian Geertz juga mengaitkan agama dengan penggolongan
struktur sosial dan basis ekonomi, dan ideologi politik. Ada kesesuaian
keagamaan masing-asing varian ini dengan struktur sosial, organisasi sosial politik
mereka. Seperti Slametan yang ia
nilai sebagai suatu kesatuan mistis dan sosial yang ikut serta didalamnya atau
semacam wadah bersama. Kemudian Permai, yang tadinya berbasis organisasi
politik kemudian semacam organisasi sosial kalangan abangan modern. Dimana
memang ia pada masa awal kariernya menfokuskan kepada hubungan antara gagasan
dan proses sosial dimana terjadi hubungan timbal balik antara kepercayaan dan
pebangunan politik dan ekonomi.
Bagi Geertz, agama juga tidak hanya
menekankan hubungan makna yang sifatnya harmoni dan penuh keseimbangan dari
ketiga struktur tersebut tetapi ia juga mempunyai kekuatan yang memecah.
Meskipun demikian, sebagai suatu sistem budaya agama Jawa mempunyai kekuatan
untuk menyeimbangkannya lagi. Seperti ia sebutkan beberapa faktor yang
cenderung mempertajam konflik, seperti konflik ideologis, sistem stratifikasi
sosial, perjuangan politik demi kekuasaan, dan kebutuhan kambing hitam untuk
memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistem sosial yang
cepat. Namun ada faktor-faktor yang menurutnya dapat meredakan konflik, yaitu
perasaan kebudayaan yang satu, pola-pola keagamaan tidak terwujud secara
langsung dalam bentuk-bentuk sosial yang cepat. Namun ada faktor-faktor yang
menurutnya dapat merendakan konflik, yaitu perasaan kebudayaan yang satu,
pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial,
toleransi umu, dan adanya mekanisme integrasi sosial yang sifatnya pluralistik.
Selain itu dalam membuat
pengkategorian, Geertz yang berusaha membuat pentipean secara ideal sehingga
menjadi suatu pembedaaan yang kontras dan absolut. Meskipun ia sendiri melihat
pembagian ini bukanlah pembedaan yang sifatnya absolut, tetapi dari
penggolongan yang ia lakukan terkesan pembedaan absolut itu. Seperti misalnya
abangan dengan elemen petani pedesaan dan slametan sebagai upacara ritualnya.
Santri dengan elemen dagang dan pasar. Santri modern dengan Muhammadiyah,
santri kolot dengan Nahdhatul Ulama.
Dengan penggolongan seperti ini
nampak terlihat Geertz melakukan homogenisasi obyek kajiannya, sehingga ia
menutup atau mengurangi kemungkinan-kemungkinan lain. Seperti ia memberi label
kepada tpe campuran dan kelompok marjinal pada tipe-tipe minoritas dan varian
yang tidak berada secara tegas di 3 varian yang baku, abangan, santri, dan
priyayi.[8]
Penutup
Kebudayaan
adalah suatu kebiasaan, adat, hasil interaksi, yang dilakukan oleh masyarakat
di dunia. Dan kebudayaan dari masing-masing daerah pasti berbeda, karena
memiliki kebiasaan yang sesuai dengan bentuk lingkungan atau lokasinya.
Kebudayaan dianggap penting dalam keilmuan sosiologi, karena kebudayaan
merupakan hasil dari interaksi manusia.
Kebudayaan
menurut ahli antropolog adalah suatu kebiasaan yang dilakukan manusia yang
terjadi secara berulang-ulang sehingga terbentuk suatu keteraturan. Kebudayaan
ada tanpa perlu dipelajari, karena kebudayaan memang ada secara alami, dan
setiap bagian masyarakat pasti memiliki budaya.
Menurut Geertz Kebudayaan adalah
suatu sistem makna dan simbol yang disusun, dalam pengertian di mana
individu-individu mendifinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan
memberikan penilaian-penilaiannya. Suatu pola makna yang ditransmisikan secara
historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana
orang-orang mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan mengembangkan pengetahuan
dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan. Suatu kumpulan peralatan simbolik untuk
mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik.
Geertz membagi agama Jawa menjadi 3
bagian, yaitu Abangan, Santri, dan Priyayi. Dan ketiga bagian itu memiliki
ciri-ciri tersendiri, seperti mempunyai sejarah kebudayaan dan lingkungan yang
berbeda. Abangan dengan tradisi petani-nya di desa, Santri dengan pengalaman
dagangnya di pasar dan pola migrasinya di pesisir, dan Priyayi dengan sejarah
birokratik aristokratiknya yang dibangun mulai dari masa keraton hingga masa
Belanda di kota.
DAFTAR PUSTAKA
Kleden, Ignas. 2011. “Clifford
Geertz, Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia”. Dalam jehovahsabaoth.wordpress.com.
Di akses pada 19 Mei 2018
Koentjaranigrat.
2015. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Prastijo, Adi. 2008. “Konsep
Kebudayaan Menurut Geertz”. Dalam etnobudaya.net Diakses pada 19 Mei 2018
Soekanto, Soerjono. 2015. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
Rajawali Pers.
Tanpa Nama.
“Pengertian Kebudayaan, Unsur, Sifat, & Arti Menurut Para Ahli”. Dalam
www.artikelsiana.com. Diakses pada 19 Mei 2018
Wikipedia. “Clifford Geertz”. Dalam
id.wikipedia.org/wiki/Clifford_Geertz. Di akses pada 19 Mei 2018.
0 komentar:
Post a Comment