Pemikiran Dr Muhammad Shidiqi

foundry.com/

Dr muhammad Taufiq Shidqi, selanjutnya disebut Shidqi (1881-1920) adalah seorang dokter di penjara departemen pemerintahan daerah kota Thurra. Di Bawah bimbingan Muhammad Rasyid Ridha, Ia melakukan studi tentang berbagai masalah teologi. Selain itu, ia juga mempelajari buku-buku apologetik.

Pembahas pertama “hadis” dalam majalah al-Manar.
Shidqi adalah orang yang pertama kali menuliskan pemikirannya tentang hadis melalui sebuah artikel dalam majalah al-Manar dengan judul yang sangat kontroversial, yaitu “al-Islam Huwa al-Qur’an Wahdahu” (ajaran agama islam adalah ajaran al-Qur’an sendiri (saja). Melalui karya ini, Shidqi menyatakan bahwa manusia tidak membutuhkan sunnah, karena al-Quran telah memberikan berbagai jawaban terhadap persoalan dalam kehidupan. Menurutnya, semua orang Islam tidak ada yang meragukan otoritas nash al-Qur’an, berbeda dengan hadis yang baru ditulis beberapa abad setelah rasul meninggal. Jika al-Qur’an adalah kriteria dan petunjuk abadi bagi seluruh manusia segenap zaman, maka sunnah nabi hanya memiliki arti bagi generasi pertama muslim saja.
Shidqi mengutip al-Qur’an surat al-An’am ayat 38:

“...Tiadalah kami alpakan sesuatrupun dalam al-Kitab...”
Dan surat an-Nahl ayat 89
“....Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Kitab) untuk menjelaskan segala sesuatu...”

Jika Nabi Saw memaksudkan sunnahnya sebagai suatu sumber agama, tentu ia akan memerintahkan agar sunnahnya ditulis pada masa hidupnya dengan cara yang sama sebagaimana al-Qur’an.

Anggapan tidak ditulisnya hadis pada masa rasulullah karena kekhawatiran bahwa al-Qur’an akan bercampur dengan yang selainnya merupakan argumentasi yang tidak masuk akal. Tidak ada seorang pun yang bisa membuat sesuatu yang menyamai al-Qur’an. Begitu pula hadis rasulullah, tidak mungkin terjadi percampuran antara al-Qur’an dan hadfis sebab perbedaan di antara keduanya sangatlah jelas.

Bahkan sesuatu yang terperinci juga dapat ditemukan dalam al-Qur’an. Ia mencontohkan jumlah rakaat dalam setiap shalat yang menurutnya dapat diketahui dari al-Qur’an sebagaimana ajaran tentang khauf dalam surat an-Nisa ayat 101:
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar sembahyang(mu)., jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu


Perdebatan Shidqi dengan ulama yang tidak sependapat dengannya
Pemikiran kontroversial Shidqi memancing tanggapan dari para ulama yang tidak sepakat dengannya. Di antaranya, muncullah Ahmad Mansur al-Bazz dan Syaikh Thaha al-Bishri yang menyatakan bahwa meski al-Qur’an memuat segala hal, namun sebagian besar yang disinggungnya masih berupa tuntutan-tuntutan yang umum.
Saat ini dapat juga dilihat karya bantahan yang ditulis oleh musthafa al-Siba’i yang berjudul al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islam

Tanggapan atas pemikirannnya juga datang dari gurunya sendiri, yakni Muhammad Rasyid Ridha. Beliau memperingatkan Shidqi bahwa dalam argumentasinya tentang shalat khauf terdapat kerancuan. Karena shalat khauf adalah sebuah pengecualian, dan orang tidak dapat menemukan semua ajaran tentang kewajiban ritual yang luas seperti shalat dari sebuah pengecualian yang kausalistik-insidental.
Beliau menyitir surat al-Baqarah, yang menegaskan posisi fundamental sunnah terhadap al-Qur’an:
“Sebagaimana telah kami sempurnakan nikmat kami kepadamu) kami telah mengutus kepadamu rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepadamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kamu al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kamu apa yang belum kamu ketahui.

Jawaban Shidqi atas bantahan terhadap pendapatnya.
Menjawab argumentasi penentangnya, Shidqi mengutip sebuah kaedah tentang apa yang wajib diikuti:
“Yang wajib bagi umat manusia tidaklah berada di luar kitab Allah”
Ia juga menunjukkan perbedaan antara al-Qur’an dan sunnah yang berimplikasi pada tidak berlakunya otoritas sunnah dan istinbath hukum dengannya.
Al-Qur’an
Sunnah
Tanggapan   
-         Tidak dapat dipalsukan
-          Teksnya sudah ditegaskan keshahihannya secara mutawatir
-          Ditulis selama masa hidup nabi atas perintahnya
-          Firman Allah yang meliputi segalanya
-          Dapat dipalsukan
-          Hanya sebagian saja yang ditegaskan secara mutawatir
-          Nabi melarang penulisan sunnah
-          Sabda (akhlak dan perilaku) Nabi, berlaku hanya untuk generasi Nabi saat itu
-          Itulah gunanya mengapa kita belajar ilmu hadis,
-          Itulah gunanya mengapa kita belajar ilmu hadis,
-          Sudah dijawab
-          Argumentasi dari mana?


Ridha beranggapan bahwa Shidqi -dalam pendapatnya- sebenarnya menggunakan konsep yaqin (kepastian) dan zhann (kemungkinan). Apa yang diungkapkan Shidqi bahwa hadis yang mutawatir itulah yang yaqin, sedangkan yang ahad adalah yang zhann dan tidak harus dipercayai. Pada akhirnya Shidqi menerima sepenuhnya argumen-argumen dari sang guru tersebut dan mengakui segala kesalahan dan kekeliruannya mengenai persoalan-persoalan di atas.


Baca Juga: Fungsi Performatif dan Informatif Living Hadis

0 komentar:

Post a Comment