Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu


Kerajaan Sriwijaya dan Melayu, blogspot.com

Dengan menyebut nama Allah swt. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan syukur atas kehadiran-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayat dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “ Kerajaan tertua di Indonesia ( Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu) “

Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapat bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat mempelancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah membantu kami.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun isi dan kelengkapannya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala bentuk saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata, kami berharap semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.

Yogyakarta, 2018

Penyusun,









DAFTAR  ISI

Halaman utama................................................................................................... i
Kata Pengantar................................................................................................... ii
Daftar Isi.............................................................................................................. iii
BAB I Pendahuluan............................................................................................ 1
1.1  Latar  Belakang......................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3  Tujuan ....................................................................................................... 1
BAB II Pembahasan........................................................................................... 2
2.1  Bagaimana sejarah berdirinya Kerajaan Sriwijaya.................................... 2
2.2  Raja-raja Kerajaan Sriwijaya..................................................................... 3
2.3  Sistem Pemerintahan................................................................................. 4
2.4  Masa Keemasan dan Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya................................ 4
2.5  Prasasti Kerajaan Sriwijaya....................................................................... 6
2.6  Bagaimana sejarah berdirinya Kerajaan Melayu....................................... 8
2.7  Raja-raja Kerajaan Melayu........................................................................ 10
2.8  Prasasti Kerajaan Melayu.......................................................................... 10
BAB III Penutup................................................................................................. 13
A.    Kesimpulan................................................................................................ 13
B.     Saran.......................................................................................................... 13
Daftar Pustaka.................................................................................................... 14




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di Pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, kalimantan dan Sulawesi. Dalam bahasa Sanskerta Sri berarti “bercahaya” dan wijaya bearti “Kemenangan”.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7. Seorang pendeta Tiongkok I-Tsing menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijayatahun 671 M dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti kedudukan Bukit di Palembang bertarikh 682.[1] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa di tahun 990 M dan 1025 M. Serangan Rajendra Chola I dari chomandala, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmawangsa.
Dharmawangsa merupakan nama ibukota dari sebuah Kerajaan Melayu di Sumatera, nama ini muncul seiring dengan melemahnya Kerajaan Sriwijaya setelah serangan Rajendra Chola I dari Karomandel pada tahun 1025.
1.2 Rumusan Masalah

1.      a). Bagaimana sejarah berdirinya Kerajaan Sriwijaya ?
b). Raja-raja Kerajaan Sriwijaya ?
c). Sistem Pemerintahan ?
d). Masa Keemasan dan Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya ?
e). Prasasti Kerajaan Sriwijaya ?
2.      a). Bagaimana sejarah berdirinya Kerajaan Melayu ?
b). Raja-raja Kerajaan Melayu ?
c).
d). Masa Keemasan dan Runtuhnya Kerajaan Melayu ?

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sejarah kerajaan tertua khususnya di  daerah Sumatera yaitu Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Bukan hanya untuk mengetahui sejarahnya tetapi penulisan ini juga bertujuan  agar pembaca juga dapat mengetahui elemen-elemen yang ada dalam suatu kerajaan mulai dari raja, keadaan masyrakat, kejayaan suatu kerajaan dan kemuduran atau hancurnya suatu kerajaan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Berdirinya Kerajaan Sriwijaya
            Kerajaan Sriwiaya sudah ada sejak abad ke-7. Kekuasaannya sangat luas membentang dari Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga sebagian wilayah di Negara Malaysia, Kamboja dan Thailand selatan. Sehingga dengan kekuasaannya yang sangat luas itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi sangat kuat dan terkenal pada masa itu.
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di Pulau Sumatera dan banyak mempengaruhi Nusantara. Dalam bahasa Sanskerta Sri berarti “bercahaya” atau “gemilang” dan wijaya berarti “Kemenangan” atau “kejayaan”. Maka nama Sriwijaya  bermana “ kemenangan yang gemilang”.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7. Seorang pendeta Tiongkok I-Tsing menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 M dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti kedudukan Bukit di Palembang bertarikh 682.[2]
Kata Sriwijaya pertama kali djumpai dalam prasasti kota kapur dari pulau bangka. Berdasarkan telah prasassti ini H. Kern pada tahun1913, Mengidentifikasi kata Sriwijaya tadi sebagai nama seorang raja.
Lima tahun kemudian yaitu tahun 1918,G. Coedes dengan menggunakan umber-sumber prasasti dan berita Cina berhasil menjelaskan bahwa kata Sriwijaya yang terdapat di dalam pra-Kota Kapur adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan dengan pusatnya di Palembang. Kerajaan ini di dalam berita cina dikenal dengan sebutan She-Li-Fo-She. Pendapat bahwa She-Li-Fo-She adalah sebuah kerajaan dipantai timur Sumatera Selatan, di tepi Sungai Musi, dekat Palembang.[3]
Selain prasasti Kedukan Bukit, Balai Arkeologi Palembang juga menemukan sebuah perahu kuno yang diperkirakan sudah ada sejak masa Kerajaan Sriwijaya. Penemuan tersebut tepatnya di Desa Sungai Pasir Kecamatan Cengal Kabupaten Ogan Kemiling Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Namun, penemuan terebut tidak menjadi sempurna karena beberapa komponen bagian perahu telah hilang, bahkan sebagian papan perahu justru dibuat jembatan. Perahu ini dibuat menggunakan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara atau teknik ini sendiri berasal dari Asia Tenggara masa lampau. Jenis perahu yangsemacam ini ditemukan di daerah pontian, Malaysia pada abad ke-4 M. Selain perahu, para Arkeologi menemukan alat-alat seperti tembikar, keramik dan alat kayu.[4]
Perkembangan selanjutnya dari daerah Ligor di Semenanjung Tanah Melayu juga ditemukan sebuah prasasti batu yang kedua sisinya bertulisan. Prasasti ini dikenal dengan sebutan Prasasti Ligor. Pada sisi muka disebut prasasti Ligor A, disebutkan seseorang Raja Sriwijaya yang memuat angka tahun 775 M. Dan pembangunan trisamaya caitya untuk Padmapani, Sakyamuni dan Vajrapani. Sedangkan dari sisi Belakang disebut Prasasti Ligor B yang tidak disebutkan angka tahunnya meskipun prasasti ini dimulai dengan kata Swasti. Yang terdiri dari  4 baris tulisan merupakan satu bait prasasti yang berbahasa Sansekerta dan setengah baris permulaan bait kedua. Isinya menyebutkan seorang raja yang bernama Wisnu dengan Gelar Sarwarimadawimathana atau pembunuh musuh-musuh yang sombong tiada bersisa.
Kemudian dari Nalanda di India bagian timur (negara bagian  Bihar), ditemukan sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh raja Dewapaladewa yaitu Raja Sriwijaya yang menganut agama Budha. Prasasti ini tidak menyebutkan angka tahun dan ditulis dalam bahasa Sansekerta. Diduga prasasti ini berasal dari pertengahan Abad IX.
Dari dua prasasti Ligor dan Nalanda, kita melihat adanya satu tokoh yang sama yang disebut permata Wangsa Sailendra, pembunuh musuh-musuh yang sombong atau pembunuh musuh-musuh yang gagah perwira.[5]

2.2. Raja-raja Kerajaan Sriwijaya

Raja-raja yang pernah berkuasa dan memerintah Kerajaan Sriwijaya sampai saat ini masih  menyimpan teka-teki besar. Walaupun begitu, dari hasil interpretasi para peneliti prasasti-prasasti Sriwijaya, berita-berita Cina serta catatan perjalanan orang-orang Arab-Persia telah memberikan sedikit gambaran ihwal para penguasa atau raja-raja yang memerintah kerajaan ini. Paling tidak, sejak tahun  683 Masehi disebutkan dalam  prasasti Kedukan Bukit sampai tahun 1044 Masehi yang tertera pada prasasti Chola.[6] Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Ada tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya, Berikut beberapa raja yang pernah memerintahkan Kerajaan Sriwijaya berdasarkan sumber-sumber tersebut yaitu :
1.      Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.
2.      Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.
3.      Ekachattra, artinya mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
Berikut daftar silsilah para Raja Kerajaan Sriwijaya :
1.      Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684 M)
Berita mengenai raja ini diketahui dari Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M dan Prasasti Talangtuo tahun 684 M. Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang Sri Yayanaga telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Minangatamwan, Jambi. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.   
2.      Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)
3.      Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)
4.      Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)
5.      Maharaja (berita Arab, 851 M)
6.      Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)
Pada masa pemerintahan Balaputradewa, Kerajaan Sriwijaya mengalami masa kejayaannya. Pada awalnya, Raja Balaputradewa adalah raja dari kerajaan Syailendra (Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan Syailendra, antara Balaputradewa dan Pramodhawarni (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputradewa mengalami kekalahan. Akibat kekalahan itu, Raja Balaputradewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya berkuasa Raja Dharma Setru (kakak dari ibu Balaputradewa) yang tidak memiliki keturunan, sehingga kedatangan Raja Balaputradewa disambut baik. Kemudian ia diangkat menjadi raja.
7.      Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)
8.      Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)
9.      Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)
10.  Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)
11.  Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)   
Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya mengalami ancaman dari Kerajaan Chola. Di bawah Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan Sriwijaya. Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan. Namun, pada masa pemerintahan Raja Kulottungga I di Kerajaan Chola, Raja Sanggrama Wijayatunggawarman dibebaskan kembali.[7]
           
2.3. Sistem Pemerintahan

   Kerajaan Sriwijaya menerapkan struktur birokrasi yang bersifat langsung, karena raja berperan penting dalam pengawasan terhadap tempat-tempat yang dianggap strategis. Raja dapat memberikan penghargaan terhadap penguasa daerah yang setia dan sebaliknya dapat menjatuhi hukumanterhadap penguasa daerah yang tidak setia kepada kerajaan.
Dalam beberapa prasasti disebutkan tentang pelaksanaan suatu keputusan raja, lengkap dengan perincian hadiah atau sanksi yang dapat diterima dalam suatu peristiwa. Selain itu, ditemukan prasasti-prasasti yang mencatat masalah-masalah penyelesaian hokum sengketa antarwarga. Hal yang menarik bahwa sebagian prasasti memuat ancaman-ancaman atau kutukan-kutukan yang ditujukan kepada keluarga raja itu sendiri. Walaupun kedengarannya aneh, namun ada pendapat yang menganggap bahwa hal itu sangat mungkin terjadi, karena keluarga-keluarga raja yang menjadi ancaman itu, kekuasaannya berada di luar pengawasan langsung dari raja yang berkuasa.[8]


2.4. Masa keemasan dan Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya

a). Masa keemasan
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Balaputradewa. Ia mengadakan hubungan dengan raja Dewapaladewa dari India. Dalam prasasti Nalanda yang berasal dari sekitar tahun 860 M disebutkan bahwa Balaputradewa mengajukan permintaan kepada raja Dewapaladewa dari Benggala untuk mendirikan biara bagi para mahasiswa dan pendeta Sriwijaya yang belajar di Nalanda. Balaputradewa adalah putra Samaratungga dari Dinasti Syailendra yang memerintah di Jawa Tengah tahun 812 – 824 M.
Sriwijaya pernah pula menjadi pusat pendidikan dan pengembangan agama Budha. Seorang biksu Budha dari Cina bernama I-tsing pada tahun 671 berangkat dari Kanton ke India untuk belajar agama Budha. Ia singgah di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar bahasa sansekerta. Di Sriwijaya mengajar seorang guru agama Budha terkenal bernama Sakyakirti yang menulis buku berjudul Hastadandasastra. Para biksu Cina yang hendak belajar agama ke India dianjurkan untuk belajar di Sriwijaya selama 1 – 2 tahun. Pada masa berikutnya, yaitu pada tahun 717 dua pendeta Tantris bernama Wajrabodhi dan Amoghawajra datang ke Sriwijaya. Kemudian, antara tahun 1011-1023 M datang pula pendeta dari Tibet bernama Attisa untuk belajar agama Budha kepada mahaguru di Sriwijaya bernama Dharmakirti.

b). Masa Keruntuhan

Pada akhir abad ke-13 M kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran.  Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.
1.         Faktor politik
Kedudukan kerajaan Sriwijaya terdesak oleh adanya kerajaan lain seperti kerajaan Siam di sebelah utara  dan dari daerah timur kerajaan Singasari. Kedua kerajaan besar  tersebut memperluas daerah kekuasaan demi kepentingan perdagangan. Kerajaan Siam memperluas  kearah selatan hingga ke semanjung Malaya  termasuk Tanah Genting Kra yang menyebabkan terdesaknya kegiatan pelayaran kerajaan Sriwijaya.
Sedangkan kerajaan Singasari yang pada waktu itu dipimpin oleh Raja Kertanegara yang bercita- cita menguasai seluruh nusantara melakukan ekspedisi Pamalayu. Dalam ekspedisi ini Singasari melakukan pendudukan atas kerajaan Pahang,Melayu dan Kalimantan sehingga mengakibatkan terdesaknya kerajaan Sriwijaya.
Di sisi lain penyebab lainnya yang mendasari runtuhnya kerajaan Sriwijaya ialah penyerangan Raja Dharmawangsa bertujuan untuk merusak hubungan baik antara Sriwijaya dan Cina. Namun hal ini tidak berpengaruh karena pada tahun 1003 M, hubungan kedua kerajaan masih tetap berlanjut dan sering mengirimkan upeti.


2.         Faktor ekonomi
Para pedagang yang melakukan aktiiftas perdagangan semakin berkurang karena daerah-daerah strategis yang pernah dikuasai oleh Sriwijaya telah jatuh kepada  raja-raja kerajaan sekitar. Akibatnya para pedagang yang melakukan penyebarangan ke  Tanah Genting Kra atau ke daerah kerajaan Melayu ( sudah dikuasai oleh Kerajaan Singasari) tidak lagi melewati kerajaan Sriwijaya hal itu menyebabkan berkurangnya pendapatan kerajaan.Dengan faktor politik dan ekonomi itu , maka sejak abad ke-13 M kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan dengan wilayah yang kecil di daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah kemudian dihancurkan oleh kerajaan Majapahit.
Kejayaan Kerajaan Sriwijaya semakin pudar mulai awal abad kesebelas.Sebagaimana telah dikemukakan, Sriwijaya selalu mengadakan hubungan baik dengan kerajaan tetangganya. Entah apa sebabnya, hubungannya dengan Kerajaan Cola (India) menjadi buruk. Pada tahun 1024 Masehi, Cola menyerang Sriwijaya. Serangan itu diulang kembali pada tahun 1030. Banyak kapal Sriwijaya tenggelam dan hancur akibat peperangan tersebut. Tidaklah heran kalau peperangan itu melemahkan angkatan laut Sriwijaya. Semakin rapuhnya kekuatan militer mengakibatkan kontrol terhadap wilayah bawahan pun menjadi semakin lemah. Kelemahan itu terbukti dari sikap Kerajaan Melayu yang melepaskan diri dari Sriwijaya. Dari berita Cina diketahui bahwa pada abad kesebelas, Melayu mengirim utusannya sendiri ke Cina.
Setelah itu, daerah kekuasaan Sriwijaya yang lain ikut melepaskan diri pula. Wilayah Sriwijaya semakin ciut. Akan tetapi, Sriwijaya sendiri tidak mampu bertindak tegas terhadap wilayah-wilayah yang membangkang. Ia tidak lagi memiliki angkatan laut yang kuat. Keamanan wilayah yang kacau tentunya berpengaruh pada merosotnya arus perdagangan. Para pedagang enggan singgah lagi di Sriwijaya. Sriwijaya yang dulunya menjadi pusat perdagangan kini telah menjadi sarang bajak laut. Akhirnya, pada tahun 1377 Masehi, tidak lagi terdengar berita tentang Sriwijaya. Saat itu bersamaan dengan tampilnya kerajaan perkasa di Jawa, yakni Majapahit[9].

2.6. Prasasti  Kerajaan Sriwijaya

1.      Prasasti Palas Pasemah

Prasasti Palas Pasemah merupakan sebuah prasasti yang berhasil ditemukan di sebuah pinggiran rawa di desa Palas Pasemah, Lampung Selatan. Prasasti ini ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuno beraksara Pallawa ini tersusun atas 13 baris kalimat.

2.      Prasasti Hujung Langit

Prasasti Hujung Langit yakni prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang ditemukan di desa Haur Kuning, Lampung.Sama dengan prasasti lainnya, prasasti Hujung Langit juga ditulis dengan bahasa Melayu Kuno dan aksara Pallawa.Susunan pesan dalam prasasti ini tidak cukup jelas karena tingkat keausan batunya sangat tinggi. Akan tetapi, setelah diidentifikasi prasasti ini diperkirakan berasal dari tahun 997 Masehi dan isinya menjelaskan tentang pemberian tanah sima.


3.      Prasasti Kapur

Prasasti Kota Kapur ditemukan di pesisir Pulau Bangka sebelah Barat. Prasasti yang ditulis dengan bahasa Melayu Kuno beraksara Pallawa ini ditemukan pada Desember 1892 oleh J.K. van der Meulen. Isinya dari Prasasti Kota Kapur menjelaskan mengenai kutukan bagi siapa saja yang membantah titah dari kekuasaan kemaharajaan Sriwijaya.

4.      Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu merupakan sekumpulan prasasti yang ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru, Kelurahan 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang. Prasasti-prasasti ini berisi mengenai kutukan pada mereka yang melakukan perbuatan jahat di kedatuan Sriwijaya. Kini, prasasti-prasasti ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

5.      Prasasti Kedukan Bukit

Batenburg menemukan sebuah batu bertulis di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir Pada tanggal 29 November 1920, M, Palembang. Prasasti ini berukuran 45 × 80 cm ini ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuno dan aksara Pallawa. Isi dari prasasti Kedukan Bukit menceritakan mengenai seorang utusan Kerajaan Sriwijaya bernama Dapunta Hyang telah mengadakan sidhayarta (perjalanan suci) menggunakan perahu. Perjalanan itu diiringi oleh 2.000 pasukan tersebut, ia telah berhasil menaklukan daerah-daerah lain. Prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya ini kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.

6.      Prasasti Talang Tuwo

Louis Constant Westenenk yang merupakan seorang residen Palembang pada tanggal 17 November 1920 menemukan sebuah prasasti di kaki Bukit Seguntang tepian utara Sungai Musi. Prasasti Talang Tuwo merupakan sebuah prasasti yang berisi doa-doa dedikasi. Prasasti ini menggambarkan bahwa aliran Budha yang digunakan Sriwijaya pada masa itu adalah aliran Mahayana. Hal ini dibuktikan dari digunakannya kata-kata khas aliran Budha Mahayana seperti bodhicitta, vajrasarira, annuttarabhisamyaksamvodhi, dan mahasattva.



8.      Prasasti Leiden

Prasasti Leiden ditulis di pada lempeng tembaga dengan bahasa Sansekerta dan Tamil. Saat ini Prasasti Leiden berada di Musium Belanda.

Isinya menceritakan mengenai hubungan baik antara dinasti Chola dari Tamil dengan dinasti Sailendra dari Sriwijaya, India Selatan.

9.      Prasasti Karang Birahi

Tokoh yang menemukan Kontrolir L.M. Berkhout tahun 1904 di tepian Batang Merangin Jambi. Sama yang telah dijelaskan sebelumnya yakni prasasti Telaga Batu, Prasasti Palas Pasemah, dan Prasasti Kota Kapur, Prasasti Karang Birahi menceritakan tentang kutukan pada mereka yang berbuat jahat dan tidak setia pada sang Raja Sriwijaya.

Candi Peninggalan Kerajaan Sriwijaya :
Candi Muara Takus
Candi Muaro Jambi
Candi Biaro Bahal
Candi Kota Kapur
Gapura Sriwijaya.

2.6. Sejarah Berdirinya Kerajaan Melayu
Dalam kitab sejarah dinasti liang diperoleh beberapa kali utusan Ho-lo-tan dan kan-t’o-li datang kecina sekitar tahun 430-475 masehi. Sedangkan dalam kitab sejarah dinasti ming, disebutkan bahwa san-fo-sai dulunya disebut kan-t’o-li. Kan-t’o-li ini terletak di salah satu pulau di laut selatan, dengan adat kebiasaan serupa dengan kamboja dan campa, hasil negerinya terutama pinang,kapas, dan kain-kain berwarna.G. ferrand merasa negeri yang di sebut kan-t’o-li ini sama denga Kendari yang disebut dalam berita dari ibn majid di thun 1462 M. Karena san-fo-si di identikkan dengan sriwijaya maka Ferrand menafsirkan letaknya di sumatera. Kemudian To-lang atau po-hwang disamakan dengan sungai tulangbawang di lampung.
Sementara itu J.L Moens mengidentifikasikan Singkil Kandari dengan kan-t’o-li dari dinasti cina, sedangkan san-fo-tsi ialah melayu[10]. Selanjutnya banyak pendapat sejarawan yang mirip dengan pendapat diatas. Selanjutnya dari sejarah dinasti Tang dijumpai untuk pertama kalinya pembaritaan tentang datangnya utusan dari daerah Mo-lo=yeu di cina pada tahun 644 dan 645.[11] Dari namanya ini mungkin dapat dihubungkan dengan kerajaan melayu yang terletak di pantai timur sumatera dengan pusatnya di sekitar Jambi. Mengenai letaknya, Malayu ini ada sedikit perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Ada yang menduga letaknya di daerah jambi sekarang, tapi dari sumber-sumber yang datang kemudian orang mengatakan malayu letaknya di semenanjung melayu.
     Kerajaan malayu kemudian muncul lagi sebagai pusat kerajaan di sumatera, setelah sriwijaya tak terdengar beritanya sesudah terjadinya ekspedisi pamalayu dari raja kertanegara. Dari prasasti yang banyak ditemukan diminangkabau dapat diketahui pada pertengahan abad 14 ada seorang raja yang memerintah di kanakamedinindra (raja pulau emas) yang bernama aditiyawarman anak dari adwayawarman. Nama ini juga terdapat dipahat pada arca mansuri yang mana dalam prasasti ini disebutkan ia bersama gajahmada telah menaklukkan pulau bali. Sebenarnya adityawarman adalah putera majapahit keturunan melayu dan sebelum menjadi raja dia pernah menjabat di kerajaan majapahit. Dan segera setelah ia kembali ke sumatera ia menyusun kembali kerajaan yang diwariskan oleh pendahulunya. Setelah ia meluaskan daerah kekuasaannya ke daerah pagarruyung (minangkabau) ia mengangkat dirinya menjadi seorang ‘maharajadhiraja’. Dari prasasti-prasasti dapat diketahui bahwa aditiyawarman adalah penganut agama budha dan menganggap dirinya sebagai penjelmaan loekeswara. Aditiyawarman memerintah sampai tahun 1375 yaitu tahun terakhir prasastinya sampai kepada kita.[12].
Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi yang oleh para pendatang disebut sebagai pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum direbut oleh Kerajaan Sriwijaya. Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran antara Sriwijaya dan Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu. Berita tentang Kerajaan Melayu antara lain diketahui dari dua buah buku karya Pendeta I-tsing atau I Ching (634-713)dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di negeri Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya (tatabahasa Sansekerta). Ketika pulang dari India tahun 685, I-tsing bertahun-tahun tinggal di Sriwijaya untuk menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. I-tsing kembali ke Cina dari Sriwijaya tahun 695. Ia menulis dua buah bukunya yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang).
–  Menurut catatan I-tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh Kerajaan Melayu.
–   Berita lain mengenai Kerajaan Melayu berasal dari T’ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p’u pada tahun 961, dimana Kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 untuk pertama kalinya, namun setelah berdirinya Sriwijaya sekitar 670, Kerajaan Melayu tidak ada lagi mengirimkan utusan ke Cina.

2.7.Prasasti Kerajaan Melayu

Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh karena Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu adalah ekspedisi militer menaklukkan suatu daerah. Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data-data:
–    Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682).
–    Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang.
Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 682. Pendapat ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India tahun 671, Ma-la-yu masih menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.
Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka saat itu. Dengan direbutnya Minanga, secara otomatis pelabuhanpun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 682 penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka digantikan oleh kerajaan Melayu Sriwijaya
Kekalahan Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di kota Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun Prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas. Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan Cina [9] disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts’i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi. Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang.
Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan antara Singhasari dengan Dharmasraya.
Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Untuk memperkuat persahabatan antara Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.
Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman. Adityawarman sendiri nantinya menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini untuk menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja..
Pada tahun 1343 adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan ditahun 1347 memproklamirkan dirinya sebagai pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan Melayu di Dharmasraya dan selanjutnya memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso, (daerah Minangkabau), dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa. Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.
Dari catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatera) terdapat tiga orang raja. Mereka adalah Sengk’ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Dan sebelumnya pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sebagai duta ke Cina yaitu pada tahun 1325 dan 1332, dan tentu dengan nama yang sama pada masa Dinasti Ming masih dirujuk kepada Adityawarman, yang kemudian kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377. Dan kemudian dari berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman Adityawarman, dimana pada naskah tersebut ada menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang.

BAB III
PENUTUP
A.                 Kesimpulan

Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu adalah salah satu Kerajaan Tertua di Sumatera yang memiliki sejarahnya masing-masing. Kerajaan Sriwijaya berdiri sekitar pada abad ke 7 yang terletak di Palembang  dengan raja yang pertama bernama Dapunta Hyang. Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak keemasannya ketika pada masa raja Balaputradewa. Selain itu Kerajaan Sriwijaya juga pernah menjadi pusat pengajaran Agama Budha dengan guru yang tersohor yang bernama Syakyakirti. Sedangkan runtuhnya disebabkan oleh dua faktor yaitu fator politik dan faktor ekonomi. Faktor politik terjadi karena pada saat itu Kerajaan Sriwijaya yang semakin melemah di serang oleh Kerajaan Singasari yang ingin menguasai Nusantara. Faktor ekonomi yaitu para pedang yang semula berdagang sudah tidak berani memasuki kawasan Sriwijaya karena kekuasaan Kerajaan Sriwijaya sudah di kuasai oleh Kerajaan Singasari.
Kerajaan Melayu muncul dan  mulai menunjukkan eksistensinya disumatera setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya. Raja Kerajaan Melayu yang pertama adalah Adityawarman. Kerajaan Melayu sama halnya dengan Kerajaan Sriwijaya kuat di sektor perdagangannya namun Kerajaan Melayu maih kalah dari Kerajaan Sriwijaya.  

DAFTAR PUSTAKA

Pusponegoro dan Marwati. 1984. Sejarah Nasional II. Balai Pustaka: Jakarta
Sudirman, Adi. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia. DivaPress: Yogyakarta
 http://www.ujangarisman.com/2016/12/bab-i-pendahuluan-a_30.html.


 Baca Juga: Kerajaan Sriwijaya


[1] Adi Sudirman, S ejarah Lengkap Indonesia, Yogyakarta DivaPress, 2014 hlm 81
[2] Ibid, hlm 82
[3] Marwati Juned Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hlm  53
[4] Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia, Yogyakarta DivaPress, 2014 hlm 83
[5] Marwati Juned Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: Balai Pustaka, 1984. Hlm 64
[6] Ibid, hlm.87
[7] http://www.ujangarisman.com/2016/12/bab-i-pendahuluan-a_30.html. Di akses pada 15/03/2018 pukul 23.25
[8] http://www.ujangarisman.com/2016/12/bab-i-pendahuluan-a_30.html. Di akses pada 15/03/2018 pukul 00.13
[9] http://indonesiadalamsejarah.blogspot.co.id/2012/01/masa-pemerintahan-darmawangsa.html. Di akses pada 15/03/2018 pukul 00.20

[10] Marwati Juned Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: Balai Pustaka, 1984. Hlm 79
[11] Ibid. Hlm 81
[12]Sejarah Nasional Indonesia II, 1992

0 komentar:

Post a Comment