Mujtahid, 2.bp.blogspot.com |
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ijtihad merupakan
salah satu dasar pemikiran yang bisa dijadikan sebagi landasan dalam menentukan
hukum yang dimana ketika terdapat sebuah persoalan baru dalam masyarakat yang
belum di temukan dalam Al Qur’an, baik permasalahannya maupun hukumnya.
Sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa Ijtihad merupakan dasar hukum yang
sah. Pendapat itu diperkuat oleh hadits Rasulullah SAW yang mengindikasikan bahwa
Ijtihad memang diperbolehkan oleh Rasulullah SAW.
Umar bin Khattab
adalah sahabat yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Ijtihad. Ketika ia
menjadi Khalifah menggantikan Abu Bakar, banyak sekali hukum-hukum yang dirubah
oleh Umar bin Khattab dengan menggunakan Ijtihad nya sendiri, dan tentu saja
dengan melihat keadaan yang terjadi di masyarakat.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimanakah
dasar pemikiran tentang Ijtihad?
2.
Dan
seperti apakah pengembangan pemikiran hukum masa Umar bin Khattab?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad
sebagai sebuah konsep yang menggambarkan usaha maksimal dalam penalaran,
sehingga menghasikan pendapat pribadi yang orisinil.[1]
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata (Jahada) artinya: Mencurahkan semua
kemampuan dalam segala perbuatan. Kata-kata Ijtihad ini tidak dipergunakan
kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan dan memerlukan banyak tenaga.
Pengertian
Ijtihad secara istilah pada umumnya banyak dibicarakan dalam buku-buku ushul
fiqh. Salah satu definisi yang dikemukakan oleh ahli Ushul Fiqh adalah “Pengerahan
segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh
pengetahuan tentang hukum-hukum syara'.
Usaha
yang sungguh-sungguh atau yang dalam al Qur’an disebut Mujahadah, sebenarnya
merupakan perwujudan dari ketidak mungkinan seseorang menguasai keseluruhan
paradigma secara final. Akan tetapi bagi orang yang menyediakan dirinya untuk
berusaha sungguh-sungguh, al Qur’an memuat janji Ilahi bahwa berbagai jalan
Tuhan akan ditunjukkan kepada mereka yang mau bermujahadah, meskipun dalam yang
terjadi pada seseorang ialah pengalaman mendekati suatu kebenaran atau
kebijaksanaan.[2]
Disamping
ijtihad, kata yang sering digunakan untuk menggambarkan pendapat pribadi yang
orisinil adalah al Ra’yi. Secara
harfiah al Ra’yi berarti perenungan
dan pemikiran secara kontemplatif.[3]
Sebenarnya penggunaan kata ijtihad bukan hanya dimulai pada masa sahabat, akan
tetapi meskipun sering dipergandingkan
dengan al Ra’yi sudah dipergunakan
pada masa Rasulullah SAW.
2.
Latar Belakang Munculnya
Ijtihad
Munculnya
Ijtihad berawal pada masa Rasulullah SAW, beliau banyak berijtihad dalam
masalah duniawi dan keagamaan. Menurut Asy-Syaukani ulama usul terkemuka bahwa
ia mengatakan, telah jadi konsensus ulama bahwa Rasulullah SAW sering melakukan
Ijtihad. Namun, terjadi kontroversi ulama dalam menetapkan ruang lingkup
terjadinya Ijtihad Rasulullah SAW tersebut. Ada yang mengatakan Ijtihad
Rasulullah hanya terjadi dalam masalah peperangan, ada juga yang mengatakan
dalam persoalan keduniaan saja dan ada pendapat lain yang mengatakan Ijtihad
Rasulullah sampai terjadi pada bidang Syari’at.
Sebagian
contoh ijtihad Rasulullah, bahwa dalam perang badr, Rasulullah bermusyawarah
dengan sahabat-sahabatnya tentang tawanan perang. Abu bakar menghendaki agar
mereka dibebaskan dengan tebusan. Umar mengusulkan agar tawanan tersebut
dibunuh saja, kemudian Rasulullah mengikuti pendapat Abu bakar, lalu turunlah
ayat Qs al anfal:27-29 “ tidaklah tepat bagi seorang Nabi untuk memiliki
tawanan, sehingga Allah memberikan kemenangan kepadanya di bumi….dalam
masalah ini, ijtihad Rasulullah salah dan ijtihad umar benar.
Pendapat
adanya Ijtihad rasulullah tersebut mendapat kritikan dari sebagian fuqaha
diantaranya Syafi’iyah. mereka menolak dengan bebarapa argumen yang mereka
ajukan, diantaranya, bahwa pengatahuan Rasulullah tentang hukum Allah bersifat qath’i, sedangkan ijtihad ruang geraknya
adalah dzanni. Jika Rasulullah
diperbolehkan ijtihad maka tidak mungkin beliau menunggu wahyu ketika
menghadapi masalah.
Ijtihad
Rasulullah yang menjadi kontroversi itu senyatanya tidak ada yang terlewatkan
dari wahyu, karena ijtihad beliau sesuai dengan kehendak Allah, maka wahyu
turun untuk memperkuatnya, jika ijtihad beliau salah, maka wahyu turun untuk
mengkoreksi dan meluruskan kesalahan tersebut.
3.
Kehujjahan
Ijtihad
Jumhur ulama membolehkan ijtihad
menjadi hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan :
a.
Dalil
dari Al Quran
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). Yang dimaksud mentaati
Allah dan Rasul-Nya dalam ayat tersebut ialah mengikuti sesuatu yang telah
diketahui melalui nash Al Quran dan As Sunnah. Sedang yang dimaksud dengan
mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya bila terjadi persengketaan ialah
menghindari untuk mengikuti hawa nafsu, kembali kepada apa yang telah di
syariatkan Allah dan Rasul-Nya dengan meneliti nash-nash yang kadang-kadang
tersembunyi atau hilang dari perhatian menerapkan qaidah-qaidah umum atau
merealisir maqashidu syariah.
b.
Dari
Hadits Rasulallah SAW
Hadits mu’adz bin jabbal R.A yang
menerangkan sewaktu ia di utus ke Yaman : “Nabi mengutus Mu’adz sebagai Qadhi’
di Yaman, beliau bertanya : “Berdasarkan
apakah engkau mengambil keputusanmu?” Mu’adz menjawab “berdasarkan
Kitabullah!”, Nabi bertanya: ”Tapi bagaimana jika engkau tidak mendapatkan-nya
di dalamnya?” Mu’adz berkata “aku akan bertindak sesuai dengan Sunnah
Rasulullah!”, Nabi bertanya lagi: “bagaimana jika disitupun engkau tidak
mendapatkannya?” Mu’adz berkata lagi: “aku akan menggunakan Ra’yu ku sendiri!”
Nabi berkata : “Segala puji bagi Allah
yang memberi keberhasilan kepada utusan-Nya”.
Al Hadits yang menceritakan jawaban
Muadz bin Jabal yang ditanya Rasul ketika ia akan melaksanakan tugas penyebaran
Islam, yang intinya mem-berikan justifikasi adanya sumber hukum selain dari dua
otoritas tersebut yaitu Ijtihad.
c. Menurut Logika
Allah
menciptakan Islam sebagai penutup agama-agama dan menjadikan syariatnya cocok
untuk setiap tempat dan waktu. Sebagaimana kita ketahui nash-nash dari Al Quran
dan Al Hadits terbatas jumlahnya. Sedang peristiwa-peristiwa yang dihadapi para
manusia selalu timbul dengan tidak terbatas. Oleh karena itu, tidak mungkin
bahwa nash-nash yang terbatas jumlahnya itu mencukupi untuk menentukan
peristiwa-peristiwa manusia yang sewaktu-waktu timbul dengan jumlahnya yang
tidak terbatas itu, selagi tidak ada jalan untuk mengenal hukum peristiwa baru
tanpa melalui ijtihad.
B.
PENGEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM MASA UMAR BIN
KHATTAB
1.
Sikap
Umar Terhadap Periwayatan Hadits
Umar bin Khattab
memeluk Islam pada tahun keenam kenabian Muhammad SAW dan kala itu umurya masih
menginjak 27 tahun. Ia merupakan salah seorang sahabat yang dijamin masuk
surga, selain itu juga merupakan khalifah kedua dan termasuk Ulama besar dari
kalangan sahabat ahli Zuhud.[4]
Seperti yang dikatakan diatas bahwa Umar bin Khattab
adalah sahabat yang sangat sering berijtihad, dan manjadi tokoh yang sangat
berpengaruh dalam pengembangan Ijtihad. Karena semakin banyaknya umat muslim
dan semakin kompleksnya masalah yang di hadapi setiap umat muslim yang
pemecahannya tidak ditemukan di Al Qur’an dan Sunnah.
Pada masanya, Umar
bin Khattab sangat menentang keras adanya periwayatan Hadits Rasul. Tindakan
umar yang sedemikian itu dilatar belakangi karena adanya kekhawatiran akan tercampurnya
al Qur’an dan Hadits. Bahkan Abu Hurairah juga tidak diizinkan oleh Umar untuk
meriwayatkan Hadits, sehingga Abu Hurairah tidak berani meriwayatkan Hadits
pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, kecuali setelah umar wafat, ia kemudian
meriwayatkan banyak Hadits.[5]
2.
Umar
dalam Perubahan Hukum Sosial
Selama sepuluh
tahun pemerintahan Umar, sebagian besar
di-tandai oleh penaklukan-penaklukan itu dari Madinah, sebagi pusat
pemerintahannya. Sikap tegas yang sudah terbina sejak dari awal turut mewarnai
berbagai kebijaksanaan yang diambilnya, ia adalah pembaharu (inovator). Ada
tiga faktor penting yang nampaknya ikut mempengaruhi kebijakan-kebijakannya
dalam bidang hukum, yaitu faktor militer, ekonomi dan demografi (statistik
kependudukan).[6]
a.
Faktor
Militer
Adanya penaklukan
besar-besaran pada masa pemerintahan Umar adalah fakta yang diakui kebenarannya
oleh para sejarawan. Penaklukan semacam ini menuntut adanya kesiapan dalam
melakukan pergerakan besar-besaran dan peningkatan efektivitas dan efisiensi
dalam penanganan personil-personil militer. Untuk kepentingan itu, Umar
menciptakan suatu sistem organisasi militer yang dapat mendukung sistem
keamanan dan pengendalian wilayah yang kian bertambah luas (Diwan). Yang mendapat tunjangan sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Lembaga itu sebelumnya tidak dikenal di dalam
Islam, karena timbulnya akibat kontak yang terjadi dengan mayarakat lain, namun
Umar melihatnya sebagai sesuatu yang baik dan perlu diadaptasi dalam Islam.[7]
b.
Faktor
Ekonomi
Sebagai akibat
lebih lanjut dari penaklukan-penaklukan yang terjadi, maka terbukalah
sumber-sumber ekonomi yang tidak diperoleh sebelumnya di tengah-tengah Jazirah
Arab. Pajak-pajak dari daerah taklukan mengalir ke Madinah dan harta yang
didapat itu lebih besar dari yang di duga dan dari yang diperkirakan oleh
orang-orang Arab. Sebagai kebijaksanaan lebih lanjut, Umar menetapkan
tunjangan-tunjangan yang berbeda dengan sistem Abu Bakr. Abu Bakar
menyamaratakan tunjangan kepada setiap kaum Muslim sedangkan Umar memberikan
tunjangan secara bertingkat-tingkat atau tidak menyamaratakan.
Ada dua pertimbangan yang dijadikan pedoman oleh Umar
dalam menentukan besar kecil pembagian tunjangan sosial itu. Pertama dilihat
dari segi kedudukan sosial seorang menurut dekat jauhnya hubungan darah dengan
Rasulullah, dan kedua, dipertimbangkan siapa yang dahulu masuk Islam yang
menyangkut jasa dan prestasi seseorang dalam mem-perjuangkan Islam. Hal itu
disebabkan karena masyarakat pada masa Umar sudah tergolong heterogen.[8]
c.
Faktor
Demografis
Sebelum penaklukan ke luar Jazirah Arab, penduduk
negara Islam hanya terdiri dari etnis Arab dan minoritas Yahudi. Walaupun telah
terdapat orang-orang Persi yang masuk Islam, namun jumlahnya yang belum begitu
berarti. Berbeda halnya setelah penaklukan,jumlah warga non Arab menjadi lebih
besar, sehingga kelompok-kelompok sosial dalam komunitas Islam menjadi semakin
kompleks. Bersamaan dengan itu terjadi pula asimilasi antara berbagai kelompok.
Mobilitas penduduk semakin inten. Kota Madinah tidak saja dikunjungioleh
suku-suku Arab, tetapi juga oleh orang-orang
‘Ajm. Hal ini menimbulkan kontak budaya antar mereka, masing-masing
masyarakat mempengaruhi masyarakat lainnya, tetapi juga menerima pengaruh dari
masyarakat yang lain.
Oleh sebab itu setelah terjadinya kontak fisik
tersebut, berbagai institusi baru diperkenalkan pada masyarakat Islam. Contoh
yang baru saja disinggung tentang pembentukan Diwan. Dikabarkan bahwa Walid ibn
Hisyam ibn al Mughirah mengatakan kepada Umar “Saya sudah pernah ke Syam dan
saya melihat penguasa - penguasa disana mengada-kan pencatatan (diwan) dan
pendaftaran dinas militer, maka adakanlah pencatatan dan pendaftaran dinas
militer”.[9]
3.
Metode
Umar dalam Berijtihad
Tak dirakgukan lagi bahwa metode yang dilakukan Umar dalam
berijtihad sangat kuat dan akurat. Langkah pertama daam menetpkan suatu hukum
adalah mengambil dari al Qur’an kemudian dari Sunnah Nabi dan setelah itu ia
berijtihad. Kadang Umar juga meminta pendapat orang yang dianggapnya lebih
senior (seperti Abu Bakar). Kadang juga mengumpulkan para sahabat dan
mengumpulkan pendapat mereka, kemudin mengambil keputusan dari hasil
pengumpulan pendapat tadi.[10]
Meskipun ada juga yang mengatakan bahwa Umar adalah
orang yang ingkar Sunnah, akan tetapi tidaklah demikian, karena dilihat dari
metode Umar dalam berijtihad pun sudah menggambarkan bahwa Umar masih sangat
mentaati al Qur’an dan Sunnah. Apalagi ada beberapa Hadits yang menggambarkan
ketaatan Umar terhadap Al Qur’an dan Sunnah.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ijtihad merupakan
sebuah metode dalam menetapkan hukum Islam yang didasarkan kepada akal pikiran
manusia, dalam hal ini kebenarannya adalah relatif. Ijtihad adalah sumber
ketiga setelah al Qur’an dan Sunnah. Berijtihad bukan berarti melupakan al
Qur’an dan Sunnah, ijtihad dilakukan apabila terjadi sebuah permasalahan yang
pemecahannya tidak terdapat di dalam al Qur’an dan Sunnah. Biarpun begitu,
ijtihad masih memerlukan al Qur’an dan Sunnah, untuk di tafsirkan atau di
Qiyaskan seperti hal nya metode-metode yang di perkenalkan dalam ushul fiqh.
Maka dari itu,
Rasulullah memperbolehkan umatnya untuk berijtihad. Kesimpulan semacam ini
didukung oleh beberapa Hadits Rasul yang memberikan penjelasan bahwa Rasulullah
tidak melarang berijtihad, bahkan dalam suatu riwayat Rasulullah sendiri pun
berijtihad.
Tokoh utama
ijtihad adalah Umar bin Khattab. Umar adalah sahabat yang sangat memberikan
pengaruh besar terhadap perkembangan ijtihad. Ia menentukan berbagai hukum
dengan ijtihad nya, apabila ia tidak menemukannya dalam al Qur’an dan Sunnah.
Umar melakukan perubahan sosial yang sangat signifikan dalam umat Islam. Dengan
membentuk dewan-dewan yang mendukung kinerja pemerintahan Islam pada masa itu.
Ada juga dalam
suatu riwayat yang mengatakan bahwa Umar adalah sahabat yang ingkar Sunnah,
dengan memberikan bukti-bukti riwayat dan di interpretasikan menggunakan
pendapat mereka sehingga dapat menguatkan pendapat yang mereka nyatakan. Akan
tetapi ada juga yang menolak justifikasi tersebut, dengan memberikan
penjelasan-penjelasan bagaimana metode berijtihad Umar, juga membuktikannya
dengan hadits-hadits tentang ketaatan Umar terhadap al Qur’an dan Sunnah.
Sehingga tidak mungkin apabila sabahat sebesar Umar adalah tokoh yang ingkar
akan al Qur’an dan Sunnah.
DAFTAR
PUSTAKA
Barong, Haidar, 1994, “Umar
bin Khattab Dalam Perbincangan Penafsiran Baru”, Jakarta: Yayasan Cipta
Persada Indonesia.
Nuruddin, Amiur, 1991, “Ijtihad
Umar ibn al Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam”, Jakarta:
Rajawali
Qardawi,Yusuf, 1987, “Ijtihad dalam Syariat Islam”,
Jakarta: PT Bulan Bintang.
Ruhaily, Ar Ruwaiy’i, 1994,
“Fikih Umar 1”, Jakarta: Pustaka Al
Kautsar.
Yusdani, Amir Mu'allim, 1997, ”Ijtihad suatu Kontroversi antara Teori dan Fungsi”,Yogyakarta:
Titian Ilahi Press.
http://pena-rahman.blogspot.co.id/2013/03/makalah-ijtihad.html.
Diunduh pada Sabtu, 15 Oktober 2016.
http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/ijtihad.html.
Diunduh pada Sabtu, 15 Oktober 2016.
[1] Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin al Khattab Studi tentang Perubahan
Hukum dalam Islam, (Jakarta : Rajawali, 1991), hlm. 51.
[2] Ibid., hlm. 52.
[3] Ibid, hlm. 55-56
[4] Ruway’i ar Ruhaily, Fikih Umar 1,
(Jakarta : Pustaka al Kautsar, 1994), hlm. 27.
[5] Haidar Barong, Umar bin Khattab
dalam Perbincangan Penafsiran Baru, (Jakarta : Yayasan Cipta Persada
Indonesia, 1994), hlm. 264-265.
[6] Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin
al Khattab. hlm. 126-127.
[7] Ibid., hlm. 127-128
[8] Ibid., hlm. 128-131.
[9] Ibid., hlm. 1312-132.
[10] Ruway’i ar Ruhaily, Fikih Umar 1,
hlm. 45.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ijtihad merupakan
salah satu dasar pemikiran yang bisa dijadikan sebagi landasan dalam menentukan
hukum yang dimana ketika terdapat sebuah persoalan baru dalam masyarakat yang
belum di temukan dalam Al Qur’an, baik permasalahannya maupun hukumnya.
Sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa Ijtihad merupakan dasar hukum yang
sah. Pendapat itu diperkuat oleh hadits Rasulullah SAW yang mengindikasikan bahwa
Ijtihad memang diperbolehkan oleh Rasulullah SAW.
Umar bin Khattab
adalah sahabat yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Ijtihad. Ketika ia
menjadi Khalifah menggantikan Abu Bakar, banyak sekali hukum-hukum yang dirubah
oleh Umar bin Khattab dengan menggunakan Ijtihad nya sendiri, dan tentu saja
dengan melihat keadaan yang terjadi di masyarakat.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimanakah
dasar pemikiran tentang Ijtihad?
2.
Dan
seperti apakah pengembangan pemikiran hukum masa Umar bin Khattab?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
DASAR PEMIKIRAN TENTANG IJTIHAD
1.
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad
sebagai sebuah konsep yang menggambarkan usaha maksimal dalam penalaran,
sehingga menghasikan pendapat pribadi yang orisinil.[1]
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata (Jahada) artinya: Mencurahkan semua
kemampuan dalam segala perbuatan. Kata-kata Ijtihad ini tidak dipergunakan
kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan dan memerlukan banyak tenaga.
Pengertian
Ijtihad secara istilah pada umumnya banyak dibicarakan dalam buku-buku ushul
fiqh. Salah satu definisi yang dikemukakan oleh ahli Ushul Fiqh adalah “Pengerahan
segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh
pengetahuan tentang hukum-hukum syara'.
Usaha
yang sungguh-sungguh atau yang dalam al Qur’an disebut Mujahadah, sebenarnya
merupakan perwujudan dari ketidak mungkinan seseorang menguasai keseluruhan
paradigma secara final. Akan tetapi bagi orang yang menyediakan dirinya untuk
berusaha sungguh-sungguh, al Qur’an memuat janji Ilahi bahwa berbagai jalan
Tuhan akan ditunjukkan kepada mereka yang mau bermujahadah, meskipun dalam yang
terjadi pada seseorang ialah pengalaman mendekati suatu kebenaran atau
kebijaksanaan.[2]
Disamping
ijtihad, kata yang sering digunakan untuk menggambarkan pendapat pribadi yang
orisinil adalah al Ra’yi. Secara
harfiah al Ra’yi berarti perenungan
dan pemikiran secara kontemplatif.[3]
Sebenarnya penggunaan kata ijtihad bukan hanya dimulai pada masa sahabat, akan
tetapi meskipun sering dipergandingkan
dengan al Ra’yi sudah dipergunakan
pada masa Rasulullah SAW.
2.
Latar Belakang Munculnya
Ijtihad
Munculnya
Ijtihad berawal pada masa Rasulullah SAW, beliau banyak berijtihad dalam
masalah duniawi dan keagamaan. Menurut Asy-Syaukani ulama usul terkemuka bahwa
ia mengatakan, telah jadi konsensus ulama bahwa Rasulullah SAW sering melakukan
Ijtihad. Namun, terjadi kontroversi ulama dalam menetapkan ruang lingkup
terjadinya Ijtihad Rasulullah SAW tersebut. Ada yang mengatakan Ijtihad
Rasulullah hanya terjadi dalam masalah peperangan, ada juga yang mengatakan
dalam persoalan keduniaan saja dan ada pendapat lain yang mengatakan Ijtihad
Rasulullah sampai terjadi pada bidang Syari’at.
Sebagian
contoh ijtihad Rasulullah, bahwa dalam perang badr, Rasulullah bermusyawarah
dengan sahabat-sahabatnya tentang tawanan perang. Abu bakar menghendaki agar
mereka dibebaskan dengan tebusan. Umar mengusulkan agar tawanan tersebut
dibunuh saja, kemudian Rasulullah mengikuti pendapat Abu bakar, lalu turunlah
ayat Qs al anfal:27-29 “ tidaklah tepat bagi seorang Nabi untuk memiliki
tawanan, sehingga Allah memberikan kemenangan kepadanya di bumi….dalam
masalah ini, ijtihad Rasulullah salah dan ijtihad umar benar.
Pendapat
adanya Ijtihad rasulullah tersebut mendapat kritikan dari sebagian fuqaha
diantaranya Syafi’iyah. mereka menolak dengan bebarapa argumen yang mereka
ajukan, diantaranya, bahwa pengatahuan Rasulullah tentang hukum Allah bersifat qath’i, sedangkan ijtihad ruang geraknya
adalah dzanni. Jika Rasulullah
diperbolehkan ijtihad maka tidak mungkin beliau menunggu wahyu ketika
menghadapi masalah.
Ijtihad
Rasulullah yang menjadi kontroversi itu senyatanya tidak ada yang terlewatkan
dari wahyu, karena ijtihad beliau sesuai dengan kehendak Allah, maka wahyu
turun untuk memperkuatnya, jika ijtihad beliau salah, maka wahyu turun untuk
mengkoreksi dan meluruskan kesalahan tersebut.
3.
Kehujjahan
Ijtihad
Jumhur ulama membolehkan ijtihad
menjadi hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan :
a.
Dalil
dari Al Quran
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). Yang dimaksud mentaati
Allah dan Rasul-Nya dalam ayat tersebut ialah mengikuti sesuatu yang telah
diketahui melalui nash Al Quran dan As Sunnah. Sedang yang dimaksud dengan
mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya bila terjadi persengketaan ialah
menghindari untuk mengikuti hawa nafsu, kembali kepada apa yang telah di
syariatkan Allah dan Rasul-Nya dengan meneliti nash-nash yang kadang-kadang
tersembunyi atau hilang dari perhatian menerapkan qaidah-qaidah umum atau
merealisir maqashidu syariah.
b.
Dari
Hadits Rasulallah SAW
Hadits mu’adz bin jabbal R.A yang
menerangkan sewaktu ia di utus ke Yaman : “Nabi mengutus Mu’adz sebagai Qadhi’
di Yaman, beliau bertanya : “Berdasarkan
apakah engkau mengambil keputusanmu?” Mu’adz menjawab “berdasarkan
Kitabullah!”, Nabi bertanya: ”Tapi bagaimana jika engkau tidak mendapatkan-nya
di dalamnya?” Mu’adz berkata “aku akan bertindak sesuai dengan Sunnah
Rasulullah!”, Nabi bertanya lagi: “bagaimana jika disitupun engkau tidak
mendapatkannya?” Mu’adz berkata lagi: “aku akan menggunakan Ra’yu ku sendiri!”
Nabi berkata : “Segala puji bagi Allah
yang memberi keberhasilan kepada utusan-Nya”.
Al Hadits yang menceritakan jawaban
Muadz bin Jabal yang ditanya Rasul ketika ia akan melaksanakan tugas penyebaran
Islam, yang intinya mem-berikan justifikasi adanya sumber hukum selain dari dua
otoritas tersebut yaitu Ijtihad.
c. Menurut Logika
Allah
menciptakan Islam sebagai penutup agama-agama dan menjadikan syariatnya cocok
untuk setiap tempat dan waktu. Sebagaimana kita ketahui nash-nash dari Al Quran
dan Al Hadits terbatas jumlahnya. Sedang peristiwa-peristiwa yang dihadapi para
manusia selalu timbul dengan tidak terbatas. Oleh karena itu, tidak mungkin
bahwa nash-nash yang terbatas jumlahnya itu mencukupi untuk menentukan
peristiwa-peristiwa manusia yang sewaktu-waktu timbul dengan jumlahnya yang
tidak terbatas itu, selagi tidak ada jalan untuk mengenal hukum peristiwa baru
tanpa melalui ijtihad.
B.
PENGEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM MASA UMAR BIN
KHATTAB
1.
Sikap
Umar Terhadap Periwayatan Hadits
Umar bin Khattab
memeluk Islam pada tahun keenam kenabian Muhammad SAW dan kala itu umurya masih
menginjak 27 tahun. Ia merupakan salah seorang sahabat yang dijamin masuk
surga, selain itu juga merupakan khalifah kedua dan termasuk Ulama besar dari
kalangan sahabat ahli Zuhud.[4]
Seperti yang dikatakan diatas bahwa Umar bin Khattab
adalah sahabat yang sangat sering berijtihad, dan manjadi tokoh yang sangat
berpengaruh dalam pengembangan Ijtihad. Karena semakin banyaknya umat muslim
dan semakin kompleksnya masalah yang di hadapi setiap umat muslim yang
pemecahannya tidak ditemukan di Al Qur’an dan Sunnah.
Pada masanya, Umar
bin Khattab sangat menentang keras adanya periwayatan Hadits Rasul. Tindakan
umar yang sedemikian itu dilatar belakangi karena adanya kekhawatiran akan tercampurnya
al Qur’an dan Hadits. Bahkan Abu Hurairah juga tidak diizinkan oleh Umar untuk
meriwayatkan Hadits, sehingga Abu Hurairah tidak berani meriwayatkan Hadits
pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, kecuali setelah umar wafat, ia kemudian
meriwayatkan banyak Hadits.[5]
2.
Umar
dalam Perubahan Hukum Sosial
Selama sepuluh
tahun pemerintahan Umar, sebagian besar
di-tandai oleh penaklukan-penaklukan itu dari Madinah, sebagi pusat
pemerintahannya. Sikap tegas yang sudah terbina sejak dari awal turut mewarnai
berbagai kebijaksanaan yang diambilnya, ia adalah pembaharu (inovator). Ada
tiga faktor penting yang nampaknya ikut mempengaruhi kebijakan-kebijakannya
dalam bidang hukum, yaitu faktor militer, ekonomi dan demografi (statistik
kependudukan).[6]
a.
Faktor
Militer
Adanya penaklukan
besar-besaran pada masa pemerintahan Umar adalah fakta yang diakui kebenarannya
oleh para sejarawan. Penaklukan semacam ini menuntut adanya kesiapan dalam
melakukan pergerakan besar-besaran dan peningkatan efektivitas dan efisiensi
dalam penanganan personil-personil militer. Untuk kepentingan itu, Umar
menciptakan suatu sistem organisasi militer yang dapat mendukung sistem
keamanan dan pengendalian wilayah yang kian bertambah luas (Diwan). Yang mendapat tunjangan sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Lembaga itu sebelumnya tidak dikenal di dalam
Islam, karena timbulnya akibat kontak yang terjadi dengan mayarakat lain, namun
Umar melihatnya sebagai sesuatu yang baik dan perlu diadaptasi dalam Islam.[7]
b.
Faktor
Ekonomi
Sebagai akibat
lebih lanjut dari penaklukan-penaklukan yang terjadi, maka terbukalah
sumber-sumber ekonomi yang tidak diperoleh sebelumnya di tengah-tengah Jazirah
Arab. Pajak-pajak dari daerah taklukan mengalir ke Madinah dan harta yang
didapat itu lebih besar dari yang di duga dan dari yang diperkirakan oleh
orang-orang Arab. Sebagai kebijaksanaan lebih lanjut, Umar menetapkan
tunjangan-tunjangan yang berbeda dengan sistem Abu Bakr. Abu Bakar
menyamaratakan tunjangan kepada setiap kaum Muslim sedangkan Umar memberikan
tunjangan secara bertingkat-tingkat atau tidak menyamaratakan.
Ada dua pertimbangan yang dijadikan pedoman oleh Umar
dalam menentukan besar kecil pembagian tunjangan sosial itu. Pertama dilihat
dari segi kedudukan sosial seorang menurut dekat jauhnya hubungan darah dengan
Rasulullah, dan kedua, dipertimbangkan siapa yang dahulu masuk Islam yang
menyangkut jasa dan prestasi seseorang dalam mem-perjuangkan Islam. Hal itu
disebabkan karena masyarakat pada masa Umar sudah tergolong heterogen.[8]
c.
Faktor
Demografis
Sebelum penaklukan ke luar Jazirah Arab, penduduk
negara Islam hanya terdiri dari etnis Arab dan minoritas Yahudi. Walaupun telah
terdapat orang-orang Persi yang masuk Islam, namun jumlahnya yang belum begitu
berarti. Berbeda halnya setelah penaklukan,jumlah warga non Arab menjadi lebih
besar, sehingga kelompok-kelompok sosial dalam komunitas Islam menjadi semakin
kompleks. Bersamaan dengan itu terjadi pula asimilasi antara berbagai kelompok.
Mobilitas penduduk semakin inten. Kota Madinah tidak saja dikunjungioleh
suku-suku Arab, tetapi juga oleh orang-orang
‘Ajm. Hal ini menimbulkan kontak budaya antar mereka, masing-masing
masyarakat mempengaruhi masyarakat lainnya, tetapi juga menerima pengaruh dari
masyarakat yang lain.
Oleh sebab itu setelah terjadinya kontak fisik
tersebut, berbagai institusi baru diperkenalkan pada masyarakat Islam. Contoh
yang baru saja disinggung tentang pembentukan Diwan. Dikabarkan bahwa Walid ibn
Hisyam ibn al Mughirah mengatakan kepada Umar “Saya sudah pernah ke Syam dan
saya melihat penguasa - penguasa disana mengada-kan pencatatan (diwan) dan
pendaftaran dinas militer, maka adakanlah pencatatan dan pendaftaran dinas
militer”.[9]
3.
Metode
Umar dalam Berijtihad
Tak dirakgukan lagi bahwa metode yang dilakukan Umar dalam
berijtihad sangat kuat dan akurat. Langkah pertama daam menetpkan suatu hukum
adalah mengambil dari al Qur’an kemudian dari Sunnah Nabi dan setelah itu ia
berijtihad. Kadang Umar juga meminta pendapat orang yang dianggapnya lebih
senior (seperti Abu Bakar). Kadang juga mengumpulkan para sahabat dan
mengumpulkan pendapat mereka, kemudin mengambil keputusan dari hasil
pengumpulan pendapat tadi.[10]
Meskipun ada juga yang mengatakan bahwa Umar adalah
orang yang ingkar Sunnah, akan tetapi tidaklah demikian, karena dilihat dari
metode Umar dalam berijtihad pun sudah menggambarkan bahwa Umar masih sangat
mentaati al Qur’an dan Sunnah. Apalagi ada beberapa Hadits yang menggambarkan
ketaatan Umar terhadap Al Qur’an dan Sunnah.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ijtihad merupakan
sebuah metode dalam menetapkan hukum Islam yang didasarkan kepada akal pikiran
manusia, dalam hal ini kebenarannya adalah relatif. Ijtihad adalah sumber
ketiga setelah al Qur’an dan Sunnah. Berijtihad bukan berarti melupakan al
Qur’an dan Sunnah, ijtihad dilakukan apabila terjadi sebuah permasalahan yang
pemecahannya tidak terdapat di dalam al Qur’an dan Sunnah. Biarpun begitu,
ijtihad masih memerlukan al Qur’an dan Sunnah, untuk di tafsirkan atau di
Qiyaskan seperti hal nya metode-metode yang di perkenalkan dalam ushul fiqh.
Maka dari itu,
Rasulullah memperbolehkan umatnya untuk berijtihad. Kesimpulan semacam ini
didukung oleh beberapa Hadits Rasul yang memberikan penjelasan bahwa Rasulullah
tidak melarang berijtihad, bahkan dalam suatu riwayat Rasulullah sendiri pun
berijtihad.
Tokoh utama
ijtihad adalah Umar bin Khattab. Umar adalah sahabat yang sangat memberikan
pengaruh besar terhadap perkembangan ijtihad. Ia menentukan berbagai hukum
dengan ijtihad nya, apabila ia tidak menemukannya dalam al Qur’an dan Sunnah.
Umar melakukan perubahan sosial yang sangat signifikan dalam umat Islam. Dengan
membentuk dewan-dewan yang mendukung kinerja pemerintahan Islam pada masa itu.
Ada juga dalam
suatu riwayat yang mengatakan bahwa Umar adalah sahabat yang ingkar Sunnah,
dengan memberikan bukti-bukti riwayat dan di interpretasikan menggunakan
pendapat mereka sehingga dapat menguatkan pendapat yang mereka nyatakan. Akan
tetapi ada juga yang menolak justifikasi tersebut, dengan memberikan
penjelasan-penjelasan bagaimana metode berijtihad Umar, juga membuktikannya
dengan hadits-hadits tentang ketaatan Umar terhadap al Qur’an dan Sunnah.
Sehingga tidak mungkin apabila sabahat sebesar Umar adalah tokoh yang ingkar
akan al Qur’an dan Sunnah.
DAFTAR
PUSTAKA
Barong, Haidar, 1994, “Umar
bin Khattab Dalam Perbincangan Penafsiran Baru”, Jakarta: Yayasan Cipta
Persada Indonesia.
Nuruddin, Amiur, 1991, “Ijtihad
Umar ibn al Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam”, Jakarta:
Rajawali
Qardawi,Yusuf, 1987, “Ijtihad dalam Syariat Islam”,
Jakarta: PT Bulan Bintang.
Ruhaily, Ar Ruwaiy’i, 1994,
“Fikih Umar 1”, Jakarta: Pustaka Al
Kautsar.
Yusdani, Amir Mu'allim, 1997, ”Ijtihad suatu Kontroversi antara Teori dan Fungsi”,Yogyakarta:
Titian Ilahi Press.
http://pena-rahman.blogspot.co.id/2013/03/makalah-ijtihad.html.
Diunduh pada Sabtu, 15 Oktober 2016.
http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/ijtihad.html.
Diunduh pada Sabtu, 15 Oktober 2016.
[1] Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin al Khattab Studi tentang Perubahan
Hukum dalam Islam, (Jakarta : Rajawali, 1991), hlm. 51.
[2] Ibid., hlm. 52.
[3] Ibid, hlm. 55-56
[4] Ruway’i ar Ruhaily, Fikih Umar 1,
(Jakarta : Pustaka al Kautsar, 1994), hlm. 27.
[5] Haidar Barong, Umar bin Khattab
dalam Perbincangan Penafsiran Baru, (Jakarta : Yayasan Cipta Persada
Indonesia, 1994), hlm. 264-265.
[6] Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin
al Khattab. hlm. 126-127.
[7] Ibid., hlm. 127-128
[8] Ibid., hlm. 128-131.
[9] Ibid., hlm. 1312-132.
[10] Ruway’i ar Ruhaily, Fikih Umar 1,
hlm. 45.
0 komentar:
Post a Comment