Pertumbuhan dan Perkembangan Ijtihad

Mujtahid, 2.bp.blogspot.com

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Ijtihad merupakan salah satu dasar pemikiran yang bisa dijadikan sebagi landasan dalam menentukan hukum yang dimana ketika terdapat sebuah persoalan baru dalam masyarakat yang belum di temukan dalam Al Qur’an, baik permasalahannya maupun hukumnya. Sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa Ijtihad merupakan dasar hukum yang sah. Pendapat itu diperkuat oleh hadits Rasulullah SAW yang mengindikasikan bahwa Ijtihad memang diperbolehkan oleh Rasulullah SAW.
Umar bin Khattab adalah sahabat yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Ijtihad. Ketika ia menjadi Khalifah menggantikan Abu Bakar, banyak sekali hukum-hukum yang dirubah oleh Umar bin Khattab dengan menggunakan Ijtihad nya sendiri, dan tentu saja dengan melihat keadaan yang terjadi di masyarakat.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah dasar pemikiran tentang Ijtihad?
2.      Dan seperti apakah pengembangan pemikiran hukum masa Umar bin Khattab?


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad sebagai sebuah konsep yang menggambarkan usaha maksimal dalam penalaran, sehingga menghasikan pendapat pribadi yang orisinil.[1] Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata (Jahada) artinya: Mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Kata-kata Ijtihad ini tidak dipergunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan dan memerlukan banyak tenaga.
Pengertian Ijtihad secara istilah pada umumnya banyak dibicarakan dalam buku-buku ushul fiqh. Salah satu definisi yang dikemukakan oleh ahli Ushul Fiqh adalah “Pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara'.
Usaha yang sungguh-sungguh atau yang dalam al Qur’an disebut Mujahadah, sebenarnya merupakan perwujudan dari ketidak mungkinan seseorang menguasai keseluruhan paradigma secara final. Akan tetapi bagi orang yang menyediakan dirinya untuk berusaha sungguh-sungguh, al Qur’an memuat janji Ilahi bahwa berbagai jalan Tuhan akan ditunjukkan kepada mereka yang mau bermujahadah, meskipun dalam yang terjadi pada seseorang ialah pengalaman mendekati suatu kebenaran atau kebijaksanaan.[2]
Disamping ijtihad, kata yang sering digunakan untuk menggambarkan pendapat pribadi yang orisinil adalah al Ra’yi. Secara harfiah al Ra’yi berarti perenungan dan pemikiran secara kontemplatif.[3] Sebenarnya penggunaan kata ijtihad bukan hanya dimulai pada masa sahabat, akan tetapi  meskipun sering dipergandingkan dengan al Ra’yi sudah dipergunakan pada masa Rasulullah SAW.
2.      Latar Belakang Munculnya Ijtihad
Munculnya Ijtihad berawal pada masa Rasulullah SAW, beliau banyak berijtihad dalam masalah duniawi dan keagamaan. Menurut Asy-Syaukani ulama usul terkemuka bahwa ia mengatakan, telah jadi konsensus ulama bahwa Rasulullah SAW sering melakukan Ijtihad. Namun, terjadi kontroversi ulama dalam menetapkan ruang lingkup terjadinya Ijtihad Rasulullah SAW tersebut. Ada yang mengatakan Ijtihad Rasulullah hanya terjadi dalam masalah peperangan, ada juga yang mengatakan dalam persoalan keduniaan saja dan ada pendapat lain yang mengatakan Ijtihad Rasulullah sampai terjadi pada bidang Syari’at.
Sebagian contoh ijtihad Rasulullah, bahwa dalam perang badr, Rasulullah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya tentang tawanan perang. Abu bakar menghendaki agar mereka dibebaskan dengan tebusan. Umar mengusulkan agar tawanan tersebut dibunuh saja, kemudian Rasulullah mengikuti pendapat Abu bakar, lalu turunlah ayat Qs al anfal:27-29 “ tidaklah tepat bagi seorang Nabi untuk memiliki tawanan, sehingga Allah memberikan kemenangan kepadanya di bumi….dalam masalah ini, ijtihad Rasulullah salah dan ijtihad umar benar.
Pendapat adanya Ijtihad rasulullah tersebut mendapat kritikan dari sebagian fuqaha diantaranya Syafi’iyah. mereka menolak dengan bebarapa argumen yang mereka ajukan, diantaranya, bahwa pengatahuan Rasulullah tentang hukum Allah bersifat qath’i, sedangkan ijtihad ruang geraknya adalah dzanni. Jika Rasulullah diperbolehkan ijtihad maka tidak mungkin beliau menunggu wahyu ketika menghadapi masalah.
Ijtihad Rasulullah yang menjadi kontroversi itu senyatanya tidak ada yang terlewatkan dari wahyu, karena ijtihad beliau sesuai dengan kehendak Allah, maka wahyu turun untuk memperkuatnya, jika ijtihad beliau salah, maka wahyu turun untuk mengkoreksi dan meluruskan kesalahan tersebut.
3.      Kehujjahan Ijtihad
Jumhur ulama membolehkan ijtihad menjadi hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan :
a.       Dalil dari Al Quran
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). Yang dimaksud mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam ayat tersebut ialah mengikuti sesuatu yang telah diketahui melalui nash Al Quran dan As Sunnah. Sedang yang dimaksud dengan mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya bila terjadi persengketaan ialah menghindari untuk mengikuti hawa nafsu, kembali kepada apa yang telah di syariatkan Allah dan Rasul-Nya dengan meneliti nash-nash yang kadang-kadang tersembunyi atau hilang dari perhatian menerapkan qaidah-qaidah umum atau merealisir maqashidu syariah.
b.      Dari Hadits Rasulallah SAW
Hadits mu’adz bin jabbal R.A yang menerangkan sewaktu ia di utus ke Yaman : “Nabi mengutus Mu’adz sebagai Qadhi’ di Yaman,  beliau bertanya : “Berdasarkan apakah engkau mengambil keputusanmu?” Mu’adz menjawab “berdasarkan Kitabullah!”, Nabi bertanya: ”Tapi bagaimana jika engkau tidak mendapatkan-nya di dalamnya?” Mu’adz berkata “aku akan bertindak sesuai dengan Sunnah Rasulullah!”, Nabi bertanya lagi: “bagaimana jika disitupun engkau tidak mendapatkannya?” Mu’adz berkata lagi: “aku akan menggunakan Ra’yu ku sendiri!” Nabi berkata : “Segala puji bagi Allah  yang memberi keberhasilan kepada utusan-Nya”.
Al Hadits yang menceritakan jawaban Muadz bin Jabal yang ditanya Rasul ketika ia akan melaksanakan tugas penyebaran Islam, yang intinya mem-berikan justifikasi adanya sumber hukum selain dari dua otoritas tersebut yaitu Ijtihad.
c.       Menurut Logika
Allah menciptakan Islam sebagai penutup agama-agama dan menjadikan syariatnya cocok untuk setiap tempat dan waktu. Sebagaimana kita ketahui nash-nash dari Al Quran dan Al Hadits terbatas jumlahnya. Sedang peristiwa-peristiwa yang dihadapi para manusia selalu timbul dengan tidak terbatas. Oleh karena itu, tidak mungkin bahwa nash-nash yang terbatas jumlahnya itu mencukupi untuk menentukan peristiwa-peristiwa manusia yang sewaktu-waktu timbul dengan jumlahnya yang tidak terbatas itu, selagi tidak ada jalan untuk mengenal hukum peristiwa baru tanpa melalui ijtihad.

B.     PENGEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM MASA UMAR BIN KHATTAB

1.      Sikap Umar Terhadap Periwayatan Hadits
Umar bin Khattab memeluk Islam pada tahun keenam kenabian Muhammad SAW dan kala itu umurya masih menginjak 27 tahun. Ia merupakan salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga, selain itu juga merupakan khalifah kedua dan termasuk Ulama besar dari kalangan sahabat ahli Zuhud.[4]
Seperti  yang dikatakan diatas bahwa Umar bin Khattab adalah sahabat yang sangat sering berijtihad, dan manjadi tokoh yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Ijtihad. Karena semakin banyaknya umat muslim dan semakin kompleksnya masalah yang di hadapi setiap umat muslim yang pemecahannya tidak ditemukan di Al Qur’an dan Sunnah.
Pada masanya, Umar bin Khattab sangat menentang keras adanya periwayatan Hadits Rasul. Tindakan umar yang sedemikian itu dilatar belakangi karena adanya kekhawatiran akan tercampurnya al Qur’an dan Hadits. Bahkan Abu Hurairah juga tidak diizinkan oleh Umar untuk meriwayatkan Hadits, sehingga Abu Hurairah tidak berani meriwayatkan Hadits pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, kecuali setelah umar wafat, ia kemudian meriwayatkan banyak Hadits.[5]

2.      Umar dalam Perubahan Hukum Sosial
Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar,  sebagian besar di-tandai oleh penaklukan-penaklukan itu dari Madinah, sebagi pusat pemerintahannya. Sikap tegas yang sudah terbina sejak dari awal turut mewarnai berbagai kebijaksanaan yang diambilnya, ia adalah pembaharu (inovator). Ada tiga faktor penting yang nampaknya ikut mempengaruhi kebijakan-kebijakannya dalam bidang hukum, yaitu faktor militer, ekonomi dan demografi (statistik kependudukan).[6]
a.    Faktor Militer
Adanya penaklukan besar-besaran pada masa pemerintahan Umar adalah fakta yang diakui kebenarannya oleh para sejarawan. Penaklukan semacam ini menuntut adanya kesiapan dalam melakukan pergerakan besar-besaran dan peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam penanganan personil-personil militer. Untuk kepentingan itu, Umar menciptakan suatu sistem organisasi militer yang dapat mendukung sistem keamanan dan pengendalian wilayah yang kian bertambah luas (Diwan). Yang mendapat tunjangan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Lembaga itu sebelumnya tidak dikenal di dalam Islam, karena timbulnya akibat kontak yang terjadi dengan mayarakat lain, namun Umar melihatnya sebagai sesuatu yang baik dan perlu diadaptasi dalam Islam.[7]
b.    Faktor Ekonomi
Sebagai akibat lebih lanjut dari penaklukan-penaklukan yang terjadi, maka terbukalah sumber-sumber ekonomi yang tidak diperoleh sebelumnya di tengah-tengah Jazirah Arab. Pajak-pajak dari daerah taklukan mengalir ke Madinah dan harta yang didapat itu lebih besar dari yang di duga dan dari yang diperkirakan oleh orang-orang Arab. Sebagai kebijaksanaan lebih lanjut, Umar menetapkan tunjangan-tunjangan yang berbeda dengan sistem Abu Bakr. Abu Bakar menyamaratakan tunjangan kepada setiap kaum Muslim sedangkan Umar memberikan tunjangan secara bertingkat-tingkat atau tidak menyamaratakan.
Ada dua pertimbangan yang dijadikan pedoman oleh Umar dalam menentukan besar kecil pembagian tunjangan sosial itu. Pertama dilihat dari segi kedudukan sosial seorang menurut dekat jauhnya hubungan darah dengan Rasulullah, dan kedua, dipertimbangkan siapa yang dahulu masuk Islam yang menyangkut jasa dan prestasi seseorang dalam mem-perjuangkan Islam. Hal itu disebabkan karena masyarakat pada masa Umar sudah tergolong heterogen.[8]
c.    Faktor Demografis
Sebelum penaklukan ke luar Jazirah Arab, penduduk negara Islam hanya terdiri dari etnis Arab dan minoritas Yahudi. Walaupun telah terdapat orang-orang Persi yang masuk Islam, namun jumlahnya yang belum begitu berarti. Berbeda halnya setelah penaklukan,jumlah warga non Arab menjadi lebih besar, sehingga kelompok-kelompok sosial dalam komunitas Islam menjadi semakin kompleks. Bersamaan dengan itu terjadi pula asimilasi antara berbagai kelompok. Mobilitas penduduk semakin inten. Kota Madinah tidak saja dikunjungioleh suku-suku Arab, tetapi juga oleh orang-orang ‘Ajm. Hal ini menimbulkan kontak budaya antar mereka, masing-masing masyarakat mempengaruhi masyarakat lainnya, tetapi juga menerima pengaruh dari masyarakat yang lain.
Oleh sebab itu setelah terjadinya kontak fisik tersebut, berbagai institusi baru diperkenalkan pada masyarakat Islam. Contoh yang baru saja disinggung tentang pembentukan Diwan. Dikabarkan bahwa Walid ibn Hisyam ibn al Mughirah mengatakan kepada Umar “Saya sudah pernah ke Syam dan saya melihat penguasa - penguasa disana mengada-kan pencatatan (diwan) dan pendaftaran dinas militer, maka adakanlah pencatatan dan pendaftaran dinas militer”.[9]
3.       Metode Umar dalam Berijtihad
Tak dirakgukan lagi bahwa metode yang dilakukan Umar dalam berijtihad sangat kuat dan akurat. Langkah pertama daam menetpkan suatu hukum adalah mengambil dari al Qur’an kemudian dari Sunnah Nabi dan setelah itu ia berijtihad. Kadang Umar juga meminta pendapat orang yang dianggapnya lebih senior (seperti Abu Bakar). Kadang juga mengumpulkan para sahabat dan mengumpulkan pendapat mereka, kemudin mengambil keputusan dari hasil pengumpulan pendapat tadi.[10]



Meskipun ada juga yang mengatakan bahwa Umar adalah orang yang ingkar Sunnah, akan tetapi tidaklah demikian, karena dilihat dari metode Umar dalam berijtihad pun sudah menggambarkan bahwa Umar masih sangat mentaati al Qur’an dan Sunnah. Apalagi ada beberapa Hadits yang menggambarkan ketaatan Umar terhadap Al Qur’an dan Sunnah.



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Ijtihad merupakan sebuah metode dalam menetapkan hukum Islam yang didasarkan kepada akal pikiran manusia, dalam hal ini kebenarannya adalah relatif. Ijtihad adalah sumber ketiga setelah al Qur’an dan Sunnah. Berijtihad bukan berarti melupakan al Qur’an dan Sunnah, ijtihad dilakukan apabila terjadi sebuah permasalahan yang pemecahannya tidak terdapat di dalam al Qur’an dan Sunnah. Biarpun begitu, ijtihad masih memerlukan al Qur’an dan Sunnah, untuk di tafsirkan atau di Qiyaskan seperti hal nya metode-metode yang di perkenalkan dalam ushul fiqh.
Maka dari itu, Rasulullah memperbolehkan umatnya untuk berijtihad. Kesimpulan semacam ini didukung oleh beberapa Hadits Rasul yang memberikan penjelasan bahwa Rasulullah tidak melarang berijtihad, bahkan dalam suatu riwayat Rasulullah sendiri pun berijtihad.
Tokoh utama ijtihad adalah Umar bin Khattab. Umar adalah sahabat yang sangat memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan ijtihad. Ia menentukan berbagai hukum dengan ijtihad nya, apabila ia tidak menemukannya dalam al Qur’an dan Sunnah. Umar melakukan perubahan sosial yang sangat signifikan dalam umat Islam. Dengan membentuk dewan-dewan yang mendukung kinerja pemerintahan Islam pada masa itu.
Ada juga dalam suatu riwayat yang mengatakan bahwa Umar adalah sahabat yang ingkar Sunnah, dengan memberikan bukti-bukti riwayat dan di interpretasikan menggunakan pendapat mereka sehingga dapat menguatkan pendapat yang mereka nyatakan. Akan tetapi ada juga yang menolak justifikasi tersebut, dengan memberikan penjelasan-penjelasan bagaimana metode berijtihad Umar, juga membuktikannya dengan hadits-hadits tentang ketaatan Umar terhadap al Qur’an dan Sunnah. Sehingga tidak mungkin apabila sabahat sebesar Umar adalah tokoh yang ingkar akan al Qur’an dan Sunnah.


DAFTAR PUSTAKA

Barong, Haidar, 1994, “Umar bin Khattab Dalam Perbincangan Penafsiran Baru”, Jakarta: Yayasan Cipta Persada Indonesia.
Nuruddin, Amiur, 1991, “Ijtihad Umar ibn al Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam”, Jakarta: Rajawali
Qardawi,Yusuf, 1987, “Ijtihad dalam Syariat Islam”, Jakarta: PT Bulan Bintang.
Ruhaily, Ar Ruwaiy’i,  1994, “Fikih Umar 1”, Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Yusdani, Amir Mu'allim, 1997, ”Ijtihad  suatu Kontroversi antara Teori dan Fungsi”,Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/ijtihad.html. Diunduh pada Sabtu, 15 Oktober 2016.



[1] Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin al Khattab Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, (Jakarta : Rajawali, 1991), hlm. 51.
[2] Ibid., hlm. 52.
[3] Ibid, hlm. 55-56
[4] Ruway’i ar Ruhaily, Fikih Umar 1, (Jakarta : Pustaka al Kautsar, 1994), hlm. 27.
[5] Haidar Barong, Umar bin Khattab dalam Perbincangan Penafsiran Baru, (Jakarta : Yayasan Cipta Persada Indonesia, 1994), hlm. 264-265.
[6] Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin al Khattab. hlm. 126-127.
[7] Ibid., hlm. 127-128
[8] Ibid., hlm. 128-131.
[9] Ibid., hlm. 1312-132.
[10] Ruway’i ar Ruhaily, Fikih Umar 1, hlm. 45.
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Ijtihad merupakan salah satu dasar pemikiran yang bisa dijadikan sebagi landasan dalam menentukan hukum yang dimana ketika terdapat sebuah persoalan baru dalam masyarakat yang belum di temukan dalam Al Qur’an, baik permasalahannya maupun hukumnya. Sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa Ijtihad merupakan dasar hukum yang sah. Pendapat itu diperkuat oleh hadits Rasulullah SAW yang mengindikasikan bahwa Ijtihad memang diperbolehkan oleh Rasulullah SAW.
Umar bin Khattab adalah sahabat yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Ijtihad. Ketika ia menjadi Khalifah menggantikan Abu Bakar, banyak sekali hukum-hukum yang dirubah oleh Umar bin Khattab dengan menggunakan Ijtihad nya sendiri, dan tentu saja dengan melihat keadaan yang terjadi di masyarakat.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah dasar pemikiran tentang Ijtihad?
2.      Dan seperti apakah pengembangan pemikiran hukum masa Umar bin Khattab?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    DASAR PEMIKIRAN TENTANG IJTIHAD
1.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad sebagai sebuah konsep yang menggambarkan usaha maksimal dalam penalaran, sehingga menghasikan pendapat pribadi yang orisinil.[1] Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata (Jahada) artinya: Mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Kata-kata Ijtihad ini tidak dipergunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan dan memerlukan banyak tenaga.
Pengertian Ijtihad secara istilah pada umumnya banyak dibicarakan dalam buku-buku ushul fiqh. Salah satu definisi yang dikemukakan oleh ahli Ushul Fiqh adalah “Pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara'.
Usaha yang sungguh-sungguh atau yang dalam al Qur’an disebut Mujahadah, sebenarnya merupakan perwujudan dari ketidak mungkinan seseorang menguasai keseluruhan paradigma secara final. Akan tetapi bagi orang yang menyediakan dirinya untuk berusaha sungguh-sungguh, al Qur’an memuat janji Ilahi bahwa berbagai jalan Tuhan akan ditunjukkan kepada mereka yang mau bermujahadah, meskipun dalam yang terjadi pada seseorang ialah pengalaman mendekati suatu kebenaran atau kebijaksanaan.[2]
Disamping ijtihad, kata yang sering digunakan untuk menggambarkan pendapat pribadi yang orisinil adalah al Ra’yi. Secara harfiah al Ra’yi berarti perenungan dan pemikiran secara kontemplatif.[3] Sebenarnya penggunaan kata ijtihad bukan hanya dimulai pada masa sahabat, akan tetapi  meskipun sering dipergandingkan dengan al Ra’yi sudah dipergunakan pada masa Rasulullah SAW.
2.      Latar Belakang Munculnya Ijtihad
Munculnya Ijtihad berawal pada masa Rasulullah SAW, beliau banyak berijtihad dalam masalah duniawi dan keagamaan. Menurut Asy-Syaukani ulama usul terkemuka bahwa ia mengatakan, telah jadi konsensus ulama bahwa Rasulullah SAW sering melakukan Ijtihad. Namun, terjadi kontroversi ulama dalam menetapkan ruang lingkup terjadinya Ijtihad Rasulullah SAW tersebut. Ada yang mengatakan Ijtihad Rasulullah hanya terjadi dalam masalah peperangan, ada juga yang mengatakan dalam persoalan keduniaan saja dan ada pendapat lain yang mengatakan Ijtihad Rasulullah sampai terjadi pada bidang Syari’at.
Sebagian contoh ijtihad Rasulullah, bahwa dalam perang badr, Rasulullah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya tentang tawanan perang. Abu bakar menghendaki agar mereka dibebaskan dengan tebusan. Umar mengusulkan agar tawanan tersebut dibunuh saja, kemudian Rasulullah mengikuti pendapat Abu bakar, lalu turunlah ayat Qs al anfal:27-29 “ tidaklah tepat bagi seorang Nabi untuk memiliki tawanan, sehingga Allah memberikan kemenangan kepadanya di bumi….dalam masalah ini, ijtihad Rasulullah salah dan ijtihad umar benar.
Pendapat adanya Ijtihad rasulullah tersebut mendapat kritikan dari sebagian fuqaha diantaranya Syafi’iyah. mereka menolak dengan bebarapa argumen yang mereka ajukan, diantaranya, bahwa pengatahuan Rasulullah tentang hukum Allah bersifat qath’i, sedangkan ijtihad ruang geraknya adalah dzanni. Jika Rasulullah diperbolehkan ijtihad maka tidak mungkin beliau menunggu wahyu ketika menghadapi masalah.
Ijtihad Rasulullah yang menjadi kontroversi itu senyatanya tidak ada yang terlewatkan dari wahyu, karena ijtihad beliau sesuai dengan kehendak Allah, maka wahyu turun untuk memperkuatnya, jika ijtihad beliau salah, maka wahyu turun untuk mengkoreksi dan meluruskan kesalahan tersebut.
3.      Kehujjahan Ijtihad
Jumhur ulama membolehkan ijtihad menjadi hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan :
a.       Dalil dari Al Quran
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). Yang dimaksud mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam ayat tersebut ialah mengikuti sesuatu yang telah diketahui melalui nash Al Quran dan As Sunnah. Sedang yang dimaksud dengan mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya bila terjadi persengketaan ialah menghindari untuk mengikuti hawa nafsu, kembali kepada apa yang telah di syariatkan Allah dan Rasul-Nya dengan meneliti nash-nash yang kadang-kadang tersembunyi atau hilang dari perhatian menerapkan qaidah-qaidah umum atau merealisir maqashidu syariah.
b.      Dari Hadits Rasulallah SAW
Hadits mu’adz bin jabbal R.A yang menerangkan sewaktu ia di utus ke Yaman : “Nabi mengutus Mu’adz sebagai Qadhi’ di Yaman,  beliau bertanya : “Berdasarkan apakah engkau mengambil keputusanmu?” Mu’adz menjawab “berdasarkan Kitabullah!”, Nabi bertanya: ”Tapi bagaimana jika engkau tidak mendapatkan-nya di dalamnya?” Mu’adz berkata “aku akan bertindak sesuai dengan Sunnah Rasulullah!”, Nabi bertanya lagi: “bagaimana jika disitupun engkau tidak mendapatkannya?” Mu’adz berkata lagi: “aku akan menggunakan Ra’yu ku sendiri!” Nabi berkata : “Segala puji bagi Allah  yang memberi keberhasilan kepada utusan-Nya”.
Al Hadits yang menceritakan jawaban Muadz bin Jabal yang ditanya Rasul ketika ia akan melaksanakan tugas penyebaran Islam, yang intinya mem-berikan justifikasi adanya sumber hukum selain dari dua otoritas tersebut yaitu Ijtihad.
c.       Menurut Logika
Allah menciptakan Islam sebagai penutup agama-agama dan menjadikan syariatnya cocok untuk setiap tempat dan waktu. Sebagaimana kita ketahui nash-nash dari Al Quran dan Al Hadits terbatas jumlahnya. Sedang peristiwa-peristiwa yang dihadapi para manusia selalu timbul dengan tidak terbatas. Oleh karena itu, tidak mungkin bahwa nash-nash yang terbatas jumlahnya itu mencukupi untuk menentukan peristiwa-peristiwa manusia yang sewaktu-waktu timbul dengan jumlahnya yang tidak terbatas itu, selagi tidak ada jalan untuk mengenal hukum peristiwa baru tanpa melalui ijtihad.

B.     PENGEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM MASA UMAR BIN KHATTAB

1.      Sikap Umar Terhadap Periwayatan Hadits
Umar bin Khattab memeluk Islam pada tahun keenam kenabian Muhammad SAW dan kala itu umurya masih menginjak 27 tahun. Ia merupakan salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga, selain itu juga merupakan khalifah kedua dan termasuk Ulama besar dari kalangan sahabat ahli Zuhud.[4]
Seperti  yang dikatakan diatas bahwa Umar bin Khattab adalah sahabat yang sangat sering berijtihad, dan manjadi tokoh yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Ijtihad. Karena semakin banyaknya umat muslim dan semakin kompleksnya masalah yang di hadapi setiap umat muslim yang pemecahannya tidak ditemukan di Al Qur’an dan Sunnah.
Pada masanya, Umar bin Khattab sangat menentang keras adanya periwayatan Hadits Rasul. Tindakan umar yang sedemikian itu dilatar belakangi karena adanya kekhawatiran akan tercampurnya al Qur’an dan Hadits. Bahkan Abu Hurairah juga tidak diizinkan oleh Umar untuk meriwayatkan Hadits, sehingga Abu Hurairah tidak berani meriwayatkan Hadits pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, kecuali setelah umar wafat, ia kemudian meriwayatkan banyak Hadits.[5]

2.      Umar dalam Perubahan Hukum Sosial
Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar,  sebagian besar di-tandai oleh penaklukan-penaklukan itu dari Madinah, sebagi pusat pemerintahannya. Sikap tegas yang sudah terbina sejak dari awal turut mewarnai berbagai kebijaksanaan yang diambilnya, ia adalah pembaharu (inovator). Ada tiga faktor penting yang nampaknya ikut mempengaruhi kebijakan-kebijakannya dalam bidang hukum, yaitu faktor militer, ekonomi dan demografi (statistik kependudukan).[6]
a.    Faktor Militer
Adanya penaklukan besar-besaran pada masa pemerintahan Umar adalah fakta yang diakui kebenarannya oleh para sejarawan. Penaklukan semacam ini menuntut adanya kesiapan dalam melakukan pergerakan besar-besaran dan peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam penanganan personil-personil militer. Untuk kepentingan itu, Umar menciptakan suatu sistem organisasi militer yang dapat mendukung sistem keamanan dan pengendalian wilayah yang kian bertambah luas (Diwan). Yang mendapat tunjangan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Lembaga itu sebelumnya tidak dikenal di dalam Islam, karena timbulnya akibat kontak yang terjadi dengan mayarakat lain, namun Umar melihatnya sebagai sesuatu yang baik dan perlu diadaptasi dalam Islam.[7]
b.    Faktor Ekonomi
Sebagai akibat lebih lanjut dari penaklukan-penaklukan yang terjadi, maka terbukalah sumber-sumber ekonomi yang tidak diperoleh sebelumnya di tengah-tengah Jazirah Arab. Pajak-pajak dari daerah taklukan mengalir ke Madinah dan harta yang didapat itu lebih besar dari yang di duga dan dari yang diperkirakan oleh orang-orang Arab. Sebagai kebijaksanaan lebih lanjut, Umar menetapkan tunjangan-tunjangan yang berbeda dengan sistem Abu Bakr. Abu Bakar menyamaratakan tunjangan kepada setiap kaum Muslim sedangkan Umar memberikan tunjangan secara bertingkat-tingkat atau tidak menyamaratakan.
Ada dua pertimbangan yang dijadikan pedoman oleh Umar dalam menentukan besar kecil pembagian tunjangan sosial itu. Pertama dilihat dari segi kedudukan sosial seorang menurut dekat jauhnya hubungan darah dengan Rasulullah, dan kedua, dipertimbangkan siapa yang dahulu masuk Islam yang menyangkut jasa dan prestasi seseorang dalam mem-perjuangkan Islam. Hal itu disebabkan karena masyarakat pada masa Umar sudah tergolong heterogen.[8]
c.    Faktor Demografis
Sebelum penaklukan ke luar Jazirah Arab, penduduk negara Islam hanya terdiri dari etnis Arab dan minoritas Yahudi. Walaupun telah terdapat orang-orang Persi yang masuk Islam, namun jumlahnya yang belum begitu berarti. Berbeda halnya setelah penaklukan,jumlah warga non Arab menjadi lebih besar, sehingga kelompok-kelompok sosial dalam komunitas Islam menjadi semakin kompleks. Bersamaan dengan itu terjadi pula asimilasi antara berbagai kelompok. Mobilitas penduduk semakin inten. Kota Madinah tidak saja dikunjungioleh suku-suku Arab, tetapi juga oleh orang-orang ‘Ajm. Hal ini menimbulkan kontak budaya antar mereka, masing-masing masyarakat mempengaruhi masyarakat lainnya, tetapi juga menerima pengaruh dari masyarakat yang lain.
Oleh sebab itu setelah terjadinya kontak fisik tersebut, berbagai institusi baru diperkenalkan pada masyarakat Islam. Contoh yang baru saja disinggung tentang pembentukan Diwan. Dikabarkan bahwa Walid ibn Hisyam ibn al Mughirah mengatakan kepada Umar “Saya sudah pernah ke Syam dan saya melihat penguasa - penguasa disana mengada-kan pencatatan (diwan) dan pendaftaran dinas militer, maka adakanlah pencatatan dan pendaftaran dinas militer”.[9]
3.       Metode Umar dalam Berijtihad
Tak dirakgukan lagi bahwa metode yang dilakukan Umar dalam berijtihad sangat kuat dan akurat. Langkah pertama daam menetpkan suatu hukum adalah mengambil dari al Qur’an kemudian dari Sunnah Nabi dan setelah itu ia berijtihad. Kadang Umar juga meminta pendapat orang yang dianggapnya lebih senior (seperti Abu Bakar). Kadang juga mengumpulkan para sahabat dan mengumpulkan pendapat mereka, kemudin mengambil keputusan dari hasil pengumpulan pendapat tadi.[10]
Meskipun ada juga yang mengatakan bahwa Umar adalah orang yang ingkar Sunnah, akan tetapi tidaklah demikian, karena dilihat dari metode Umar dalam berijtihad pun sudah menggambarkan bahwa Umar masih sangat mentaati al Qur’an dan Sunnah. Apalagi ada beberapa Hadits yang menggambarkan ketaatan Umar terhadap Al Qur’an dan Sunnah.



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Ijtihad merupakan sebuah metode dalam menetapkan hukum Islam yang didasarkan kepada akal pikiran manusia, dalam hal ini kebenarannya adalah relatif. Ijtihad adalah sumber ketiga setelah al Qur’an dan Sunnah. Berijtihad bukan berarti melupakan al Qur’an dan Sunnah, ijtihad dilakukan apabila terjadi sebuah permasalahan yang pemecahannya tidak terdapat di dalam al Qur’an dan Sunnah. Biarpun begitu, ijtihad masih memerlukan al Qur’an dan Sunnah, untuk di tafsirkan atau di Qiyaskan seperti hal nya metode-metode yang di perkenalkan dalam ushul fiqh.
Maka dari itu, Rasulullah memperbolehkan umatnya untuk berijtihad. Kesimpulan semacam ini didukung oleh beberapa Hadits Rasul yang memberikan penjelasan bahwa Rasulullah tidak melarang berijtihad, bahkan dalam suatu riwayat Rasulullah sendiri pun berijtihad.
Tokoh utama ijtihad adalah Umar bin Khattab. Umar adalah sahabat yang sangat memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan ijtihad. Ia menentukan berbagai hukum dengan ijtihad nya, apabila ia tidak menemukannya dalam al Qur’an dan Sunnah. Umar melakukan perubahan sosial yang sangat signifikan dalam umat Islam. Dengan membentuk dewan-dewan yang mendukung kinerja pemerintahan Islam pada masa itu.
Ada juga dalam suatu riwayat yang mengatakan bahwa Umar adalah sahabat yang ingkar Sunnah, dengan memberikan bukti-bukti riwayat dan di interpretasikan menggunakan pendapat mereka sehingga dapat menguatkan pendapat yang mereka nyatakan. Akan tetapi ada juga yang menolak justifikasi tersebut, dengan memberikan penjelasan-penjelasan bagaimana metode berijtihad Umar, juga membuktikannya dengan hadits-hadits tentang ketaatan Umar terhadap al Qur’an dan Sunnah. Sehingga tidak mungkin apabila sabahat sebesar Umar adalah tokoh yang ingkar akan al Qur’an dan Sunnah.


DAFTAR PUSTAKA

Barong, Haidar, 1994, “Umar bin Khattab Dalam Perbincangan Penafsiran Baru”, Jakarta: Yayasan Cipta Persada Indonesia.
Nuruddin, Amiur, 1991, “Ijtihad Umar ibn al Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam”, Jakarta: Rajawali
Qardawi,Yusuf, 1987, “Ijtihad dalam Syariat Islam”, Jakarta: PT Bulan Bintang.
Ruhaily, Ar Ruwaiy’i,  1994, “Fikih Umar 1”, Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Yusdani, Amir Mu'allim, 1997, ”Ijtihad  suatu Kontroversi antara Teori dan Fungsi”,Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/ijtihad.html. Diunduh pada Sabtu, 15 Oktober 2016.



[1] Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin al Khattab Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, (Jakarta : Rajawali, 1991), hlm. 51.
[2] Ibid., hlm. 52.
[3] Ibid, hlm. 55-56
[4] Ruway’i ar Ruhaily, Fikih Umar 1, (Jakarta : Pustaka al Kautsar, 1994), hlm. 27.
[5] Haidar Barong, Umar bin Khattab dalam Perbincangan Penafsiran Baru, (Jakarta : Yayasan Cipta Persada Indonesia, 1994), hlm. 264-265.
[6] Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin al Khattab. hlm. 126-127.
[7] Ibid., hlm. 127-128
[8] Ibid., hlm. 128-131.
[9] Ibid., hlm. 1312-132.
[10] Ruway’i ar Ruhaily, Fikih Umar 1, hlm. 45.

0 komentar:

Post a Comment