Maqasid Syari'ah, islamicbankers.files.wordpress.com |
Maqasid Syari’ah menurut bahasa berasal dari dua kata, yaitu maqasid dan syari’ah.
Maqasid adalah bentuk jamak dari maqsud yang berarti kesengajaan
atau tujuan, sedangkan syariah secara bahasa artinya jalan menuju sumber
air, yang juga bisa diartikan jalan menuju sumber kehidupan. Dengan demikian maqasid
syari’ah secara etimologis adalah tujuan penetapan syari’ah. Pengertian ini
dilandasi asumsi bahwa penetapan syariah memiliki tujuan tertentu oleh
Pembuatnya (syari’). Tujuan penetapan itu diyakini adalah untuk
kemaslahatan manusia sebagai sasaran syariah. Tidak ada hukum yang ditetapkan
baik dalam Al-Qur’an maupun hadis melainkan didalamnya terdapat kemaslahatan.[1]
Imam Asy-Syatibi membagi empat aspek
maqasid syari’ah, yaitu:
1.
Tujuan utama
syariah adalah mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.
2.
Syariah adalah
sesuatu yang harus dipahami manusia.
3.
Syariah adalah
suatu hukum taklify yang harus dilakukan.
4.
Tujuan syariah
adalah membawa manusia ke dalam naungan dan perlindungan hukum.[2]
Tujuan konsep maqasid syariah adalah untuk menjamin, memberikan
perlindungan dan melestarikan kemaslahatan bagi manusia secara umum, khususnya
umat Islam. Aspek yang dilindungi meliputi 3 hal: daruriyat, hajiyat,
dan tahsiniyat.
A.
Maslahah
Daruriyat
Daruriyat artinya
kebutuhan yang mendesak, pokok, dan harus terpenuhi. Kebutuhan daruriyat dianggap
esensial sehingga jika kalau tidak terpenuhi akan terjadi kekacauan secara
menyeluruh. Menurut Hallaq, daruriyat mengandung dua pengertian: pertama,
kebutuhan itu harus diwujudkan dan diperjuangkan, kedua, segala hal yang
dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan tersebut harus disingkirkan. Menurut
Asy-Syatibi yang termasuk kategori daruriyat adalah lima perkara yang
harus mendapat prioritas perlindungan, yaitu: agama (al-din), jiwa (al-nafs),
akal (al-‘aql), harta (al-mal) dan keturunan (al-nasl).[3]
B.
Maslahah
Hajiyat
Hajiyat secara bahasa
artinya kebutuhan. Dalam pembahasan ini hajiyat dimaksudkan sebagai
aspek-aspek yang dibutuhkan dalam rangkai pencapaian kebutuhan daruri,
artinya dengan terpenuhinya kebutuhan hajiyat, dapat menghindari
kesulitan pencapaian kebutuhan daruriyat. Namun jika kebutuhan hajiyat
ini tidak terpenuhi, tidak sampai merusak keberadaan kebutuhan daruriyat.
Hanya saja, jika tidak terpenuhi akan terjadi ketidaksempurnaan dalam pemenuhan
kebutuhan pokok manusia. Oleh karena itu, hajiyat sering diidentifikasi
dengan kebutuhan sekunder.[4]
C.
Maslahah
Tahsiniyat
Secara bahasa tahsiniyat berarti hal-hal penyempurna. Dalam
pembahasan ini, tahsiniyat didefinisikan sebagai hal-hal yang dapat
menyempurnakan pemenuhan kebutuhan daruriyat dan hajiyat. Sifat
dari tahsiniyat ini adalah menuju peningkatan martabat manusia, terutama
dari faktor estetika. Kehadirannya akan memperindah dan ketidakhadirannya hanya
akan mengurangi keindahan saja. Oleh karena itu, kebutuhan ini sering dinamakan
juga kebutuhan tersier.[5]
Dan tiga kemaslahatan ini memiliki kaitan yang erat antara satu
sama lain, terutama dari sisi fungsinya. Daruriyat sebagai prioritas
utama, hajiyat sebagai pelengkap
dan tahsiniyat sebagai penyempurna.
[1] Ali Shodikin (dkk.), Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan
Implementasinya di Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga, 2014), hlm. 143.
[2] Ali Shodikin (dkk.), Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 146-147.
[3] Ali Shodikin (dkk.), Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 149.
[4] Ali Shodikin (dkk.), Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 153.
[5] Ali Shodikin (dkk.), Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 154.
0 komentar:
Post a Comment