Kondisi Umat Islam Pada Masa Penjajah Belanda


Keadaan Umat Islam Masa Hindia Belanda, blogspot.com

Pengantar

          Puji syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah serta iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu makalah.
          Dalam aspek manapun, makalah ini belum memenuhi kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah ini.
          Setidaknya, dalam penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami sendiri, ada banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan banyak manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
          Pada akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada khususnya Zuhrotul Latifah, S. Ag. M. Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Islam Indonesia Masa Kolonial  yang memberi kami kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada teman-teman mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan agama. Semoga Allah memberkati makalah kami. Aamiin.

Sleman, 22 Februari 2017


Irfan Hamid




BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

          Peristiwa penaklukan Konstantinopel membuka lembaran sejarah baru untuk dua dunia yang saling berseteru, yaitu Islam dan Barat. Di satu sisi Islam berhasil jaya dengan merebut Konstantinopel dari Romawi, di sisi lain Eropa tertekan dan harus menerima kenyataan pahit jalur utama mereka terlah dikuasai Islam (Utsmaniyah). Dari kondisi Islam yang nyaman berjaya serta Eropa yang tertekan dan kalah, akhirnya membuat fondasi bagi sejarah baru di kemudian hari. Islam yang terlalu nyaman dengan singgahsana dan kemewahannya pada akhirnya harus terima kejayaannya tersaingi, terkikis, bahkan terebut oleh pesaingnya yaitu Eropa.
          Setelah Konstantinopel lepas dari Eropa, nampaknya telah memaksa mereka untuk melakukan berbagai penelitian tentang rahasia alam. Upaya ini dilakukan dengan tujuan awal mencari alternatif jalur lain untuk mengalihkan ketergantungan atas jalur lama yang telah dikuasai Islam. Selama ini mereka menganggap samudra adalah dinding pembatas mereka dengan dunia yang gelap dan asing. Sampai muncul C. Colombus 1492 menemukan benua Amerika dan Vasco da Gama 1498 yang menemukan Tanjung Harapan. Atas 2 penemuan emas tersebut, dalam waktu yang relatif singkat mereka berhasil menguasai wilayah itu dan melepas ketergantungan terhadap Islam.[1]
           Dampak dari penguasaan wilayah timur oleh Eropa adalah Kolonialisme dan Imperialisme. Indonesia adalah salah satu wilayah Timur yang terdapat pemerintahan Islam dan merasakan kerasnya Kolonialisme dan Imperialisme. Hampir dalam segala bidang, baik politik, ekonomi, militer, budaya, maupun agama, Indonesia disetir oleh para Imperialis. Semua sumber daya baik itu manusia atau alam juga diperas secara paksa dan habis-habisan demi keuntungan Kolonialis.
          Belanda pertama kali datang ke Nusantara pada tahun 1595, terdiri dari 4 kapal dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Menyususl kemudian angkatan kedua tahun 1598 di bawah pimpinan Van Nede, Van Heemskerck, dan Van Warwijck. Kedua angkatan tersebut berasal dari perseroan Amsterdam. Selain itu, juga datang beberapa kapal dari berbagai kota di Belanda. Angkatan ketiga berangkat tahun 1599 di bawah pimpinan Van der Hagen, disusul angkatan ke empat tahun 1600 oleh pimpinan Van Neck.[2] Pada awalnya mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar, karena rempah yang murah dijual dengan harga yang sangat mahal di Eropa. Namun lama kelamaan kongsi dagang mereka –yang kemudian dibentuk menjadi VOC– melewati batas. Mereka memonopoli perdagangan yang ada di Nusantara seperti Banten, Malaka, Maluku, dan Makassar.
          Selain melakukan monopoli perdagangan, Belanda juga melakukan intervensi politik kerajaan Islam Nusantara. Bahkan, Belanda bisa dikatakan sebagai dalang atau penggerak para pembesar kerajaan. Kebijakan yang dikeluarkan Belanda sangat mempengaruhi kehidupan umat Islam kala itu, terutama dalam bidang agama dan pendidikan. Kecakapan pemerintah kolonial Belanda dalam mengamudikan jajahannya cukup mengagumkan rekan-rekannya (Inggris & Perancis). Mereka memahami medan dan musuh Belanda adalah Islam, yaitu agama yang akan terus menyadarkan bahwa mereka berada di bawah cengkraman pemerintah kafir dan bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman.[3] Dari latar belakang diatas, kami sebagai pemakalah mengusung rumusan masalah sebagai berikut.

B. Rumusan Masalah

1.    Bagaimana keadaan politik Hindia-Belanda?
2.    Bagaimana keadaan Umat Islam saat pemerintahan Hindia-Belanda?
3.    Bagaimana reaksi Umat Islam terhadap kebijakan Hindia-Belanda?

C. Tujuan

1.    Mengetahui keadaan perpolitikan Hindia-Belanda
2.    Mengetahui keadaan Umat Islam saat pemerintahan Hindia-Belanda
3.    Mengetahui reaksi Umat Islam terhadap kebijakan Hindia-Belanda



BAB. II
ISI


          Semenjak pertengahan abad ke-17 imperialis Belanda berusaha mewujudkan pemerintahan yang kuat di Indonesia yang dapat melindungi transportasi dan perdagangannya. Tetapi usahanya tertunda 2 abad lamanya karena menemui perlawanan yang tangguh dari Umat Islam Indonesia.[4]
          Dua dasawarsa terakhir abad 19 dan dua dasawarsa pertama abad 20 menjadi puncak keemasan imperialisme barat (Inggris, Perancis, dll). Di Indonesia Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian penduduknya beragama Islam yang sudah pasti merupakan musuh berat bagi mereka. Karena kurangnya pengetahuan yang tepat mengenai Islam, mula-mula Belanda tidak berani mencampuri agama ini secara langsung. Karena di satu sisi Belanda khawatir terjadi pemberontakan dari orang-orang Islam fanatik, sementara di sisi lain Belanda amat yakin bahwa Kristenisasi dapat menyelesaikan persoalan ini. Dalam hal ini Islam sangatlah ditakuti oleh Belanda sebab hubungan Islam Indonesia dengan khalifah Turki semula dianggap seperti khatolik dengan Paus di Roma. Hasilnya adalah Belanda belum berani mencampuri masalah Islam penduduk Indonesia[5], hingga datangnya Snouck Hurgronje pada 1889.
          Snouck adalah ahli agama Islam dan bahasa Arab dari belanda. Ia dilahirkan pada 1857, dan belajar tentang islam di Leiden dan Starsbroug, kemudian melanjutkan studinya ke Mekkah. 1884 ia tiba di Jeddah, belajar bahasa Arab dan akhirnya menempuh studi Islam selama 6 bulan. Namanya diganti menjadi Abdul Gaffar dan ia pura-pura menjadi muslim. Ia berhasil mendapat ilmu langsung dari ulama Mekkah dan mempelajari umat islam Indonesia.[6] Hal inilah yang menjadi modal besar Hindia-Belanda untuk mencampuri urusan keagamaan umat Islam. Mereka sudah mulai berani mencampuri urusan keagamaan dan pendidikan, mereka membuat berbagai kebijakan yang menyasar pada bidang agama. Snouck Hurgonje dalam kaitannya dengan hal ini, dia menyarankan pemerintah Belanda untuk menyalurkan semangat mereka (umat Islam) ke arah yang menjauhi agamanya melalui asosiasi kebudayaan. Media dari asosiasi kebudayaan salah satunya adalah pendidikan.[7]
          Pengambilan kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda tidak bisa lepas dari kondisi politik negeri Belanda sendiri. Dunia politik Belanda dikuasai oleh partai-partai yang oleh Aqib Suminto dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1.        Partai Agama
a.    KVP (Katholieke Volkspartij)                                            : Katolik.
b.    ARP (Anti-Revolutionary Partij)                                        : Protestan.
c.    CHU (Christian Historical Union)                                     : Protestan.
2.        Partai Non-Agama
a.    VVD (Volkspartij voor Vrijheid en Democratie)              : Liberal.
b.    PvdA (Partij van de Arbijd)                                               : Sosialis.
c.    CPN (Communistische Partij Nederland)                          : Komunis.
Kedua kelompok partai tersebut saling bersaing dalam kontestasi politik di Belanda. Pada dasawarsa terakhir adab ke-19 partai non-agama memperoleh kemenangan dalam parlemen Belanda. Namun, pada peralihan abad ke-20 kemenangan beralih ke partai agama, yang pada tahun 1905 menang kembali, demikian pula pada tahun 1913. Seterusnya sampai selesainya Perang Dunia Kedua, kemenangan berada di partai agama. Situasi politik di parlemen Belanda ini sangat berpengaruh pada kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda, termasuk di dalamnya kebijakan tentang agama.[8]

B.  Keadaan Umat Islam Saat Pemerintahan Hindia-Belanda

          Keadaan Umat Islam saat Belanda datang sedang lemah dalam hal pertahanan maritim dari kesultanan-kesultanan Indonesia. Hal ini disebabkan peperangan dengan Portugis untuk menutup perluasan wilayah imperealisnya. Ini juga yang dimanfaatkan Belanda dengan mudah mengalahkan pasukan maritim, dan di akhir peperangan biasanya akan dibuat perjanjian “dilarangnya kesultanan Islam melakukan kegiatan lautnya”. Ini menjadi sebab utama makin lemah nya politik dan ekonomi Islam di Indonesia. Hilangnya komunikasi politik dan ekonomi ini menumbuhkan bentuk baru kekuatan yang bersifat agraris dan tertutup.
          Dengan kondisi yang demikian –kelumpuhan maritimnya– ternyata Indonesia masih dapat menahan Belanda selama 2 abad dalam upaya pembentukan pemerintahan. Hal ini dikarenakan adanya Pesantren serta komunitas haji, ulama, santri, dan pedagang. Kelompok ini tidak hanya anti adat tetapi juga anti imperialisme.[9] Clifford Geertz menyatakan kelanjutan dari pesantren yang antiiperialis membangkitkan pemberontakan santri sepanjang 1820-1880.[10] Pesantren tidak hanya sebagai pencetak ulama, namun juga sebagai kancah Penjenang calon pemimpin yang  mampu menjadi pembangkit kesadaran cinta tanah air. Santri yang datang dari berbagai etnis, tetapi menghilangkan etnosentrismenya, dan menjadikan islam sebagai dasar wawasan nasionalisme.[11]
          Latar belakang sejarah ini menjadikan pesantren berfungsi sebagai pusat pembelajaran Islam. Menjadi sentra pembangkit kesadaran nasional dan ulama sebagai pemimpinnya, mengajarkan kepada santri dan masyarakat pendukungnya tentang perlunya mempertahankan tanah air, menyelamatkan bangsa, dan merebut kembali kemerdekaan. Terutama berjuang menegakkan agama dan hukum islam di seluruh Nusantara Indonesia agar terbebas dari penindaasan Kristenisasi dari imperialisme khatolik dan protestan.[12]
          Ditambah saat dibukanya Terusan Suez 1869 jumlah jemaah menuju Mekkah bertambah, pada waktu yang sama masuknya orang Arab semakin tinggi sehingga meningkatkan pertumbuhan ortodoksi Islam di Indonesia. Perlahan ortodoksi Islam mengambil alih pengaruh mistisme Islam Indonesia dan menarik banyak minat santri untuk belajar. Pusat kebudayaan santri Indonesia makin berkembang sebagai mikrokosmos Timur Tengah, Arab, dan Islam.[13] Hingga saat Snouck Hurgronje menjadi penasihat pemerintahan Hindia-Belanda, memisahkan islam sebagai agama dan ideology dengan cara membangkitkan kembali umat islam terhadap adat nenek moyang.[14] Dari sanalah islam mulai bisa didikte.

C.  Reaksi Umat Islam Terhadap Kebijakan Hindia-Belanda

          Kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda secara garis besar berkutat pada agama dan pendidikan. Hal itu dikarenakan menurut pemerintah Hindia-Belanda, agama merupakan faktor utama penghambat kesuksesan penjajahan Belanda di Indonesia. Sedangkan pendidikan bisa dikatakan sebagai pemulus Westenisasi warga pribumi sehingga semakin berpengaruhlah Belanda di Indonesia.
Dalam perjalanannya, kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yang memperoleh reaksi yang masif dari umat Islam bisa digeneralisasikan menjadi dua, yaitu:
a.    Kebijakan Agama
i.               Membentuk Peradilan Agama.
ii.             Memerintahkan para pegawai agar menghormati hari Minggu dengan melarang aneka pesta pada hari itu dan melarang pula kegiatan pasar pada hati tersebut.
iii.           Pengawasan kas masjid.
iv.           Pengawasan terhadap perkawinan dan perceraian bagi umat Islam.
v.             Memindahkan wewenang mengatur waris dari Peradilan Agama ke Pengadilan Negeri, mengadakan pencatatn perkawinan, dan mendirikan Mahkamah Islam Tinggi.
          Selain kebijakan itu, Belanda dengan nasihat Snouck Hurgronje juga membuat semacam skenario untuk melemahkan umat Islam. Untuk memecah lebih meluasnya paham pembaharuan Islam, Snouck ingin menyegarkan kembali ingatan bangsa Indonesia terhadap adat nenek moyangnya. Dengan mengembalikan kepada adat ini masyarakat Indonesia akan menjadi Plural Sociaty dan tumbuh menjadi masyarakat dengan pola kehidupan yang berlainan dengan sentiment keagamaan, daerah, suku, dan adat yang sangat tajam. Apabila bangsa Indonesia telah menyadari ajaran nenek moyangnya ataupun adatnya diharapkan akan melemparkan Islam jauh-jauh dari kehidupannya.[15]
          Kalau kita telaah perkembangan Islam di Jawa pada abad-abad sebelumnya memang lebih dipengaruhi singkretisme, memungkinkan usaha Snouck Hurgronje menemui tanah yang subur. Orang-orang jawa akan lebih mudah terpengaruh oleh gerakan yang hanya ingin Islam sebagai doktrin agama saja, dan menentang Islam sebagai doktrin politik. Tetapi pemikiran semacam itu keliru, nyatanya orang Jawa justru menjadikan Islam sebagai doktrin politik untuk membangktkan kesadaran Nasional.[16] Karena penduduk Indonesia kala itu lebih dari 90% adalah Muslim, yaitu sebagai symbol perlawanan terhadap penajajah asing barat, dan dalam Islam selalu diajarkan perlunya membangun jamaah. Diluar itu, bahasa Melayu Pasar berubah menjadi bahasa persatuan Indonesia yang membuat simbol persatuan dan saling memiliki.[17]
          Snouck menasihatkan kepada pemerintahan Hindia-Belanda untuk memisahkan antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai doktrin politik, karena menurut Snouck inilah yang menjadi dasar pemberontakan Santri. Strategi ini dijalankan dengan menghidupkan golongan pemangku adat, karena adat hanya bersifat lokal, sedangkan Islam bersifat universal. Dengan pengelompokan umat menjadi adat-adat ini, menyempitkan ruang gerak Islam.[18] Snouck juga menasihatkan pemerintahan Hindia-Belanda agar perlu mengadakan sikap bersahabat terhadap Arab (Ulama Mekkah), sehingga guru ini akan mendidik haji-haji Indonesia loyal terhadap pemerintah Belanda.[19]
          Pada tahun 1909 Idenburg diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda sampai dengan 1916. Segera setelah pengankatannya sebagai Gubernur Jenderal, dia membagi-bagikan edaran tentang Pasar dan hari Minggu. Dalam edaran tersebut ia memerintahkan para pegawai untuk menghormati hari Minggu dengan melarang aneka pesta pada hari itu dan kegiatan pasar pada hari tersebut. Akibat dari kebijakan tersebut, timbullah kritik tajam di kalangan umat Islam, yaitu bahwa pemerintah kolianal melancarkan kersteningpolitiek, yaitu kebijakan yang menunjang kristenisasi.[20]
          Pada pertengahan tahun 1937, pemerintah kolonial mengumumkan gagasan untuk memindahkan wewenang waris dari Peradilan Agama ke Pengadilan Negeri, mengadakan pencatatan perkawinan, dan mendirikan Mahkamah Islam Tinggi. Pada tahun itu, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) merencanakan akan membentuk front bersama dengan organisasi-organisasi Islam lainnya dalam rangka menolak gagasan pemerintah kolonial tentang UU. Perkawinan tersebut.[21]
          Muktamar Alam Islamy Far`ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS) dalam kongresnya di Bogor tahun 1926 mengungkapkan kemarahannya terhadap campur tangan pemerintah kolonial dalam masalah agama. Dalam kongresnya di Pekalongan tahun 1937, organisasi ini bahkan mengajukan pertanyaan terbuka kepada pemerintah kolonial: atas dasar hukum apa pemerintah kolonial mencampuri urusan agama Islam, padahal menyatakan diri netral terhadap agama.[22]
b.   Kebijakan Pendidikan
i.               Mendidik kader pribumi di Belanda.
ii.             Mendirikan HIS untuk mengubah bangswan tradisional pribumi menjadi elit berpendidikan Barat.
iii.           Guru harus mengisi daftar murid dan pelajaran yang sewaktu-waktu bisa diperiksa oleh pejabat yang berwenang.
iv.           Setiap guru agama harus mampu menunjukkan bukti tanda terima pemberitahuannya.
v.             Guru agama Islam bisa dihukum delapan hari kurungan atau denda maksimum f.25,- bila mengajar tanpa surat tanda terima laporan, tidak benar keterangan/ pemberitahuannya, atau lalai dalam mengisi daftar.
          Untuk lebih menancapkan pengaruh Barat di Indonesia, pemerintah Hindia Belanda melakukan asosiasi kebudayaan yang dibalut dalam kebijakan pendidikan. Dengan asosiasi kebudayaan ini pemerintah Hindia Belanda berusaha menjadikan Indonesia sebagai contented cows, yaitu “sapi” yang merasa puas, yang justru menjadi sapi perah. Pada tahun 1914, atas inisiatif Dr. Hazeu sekolah pribumi kelas satu dikembangkan menjadi HIS tujuh tahun, dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar. Hal ini kemudian dinilai sebagai kebelanda-belandaan karena sejak 1848 telah ditetapkan bahwa bahasa daerah harus menjadi bahasa pengantar bagi sekolah pribumi. Hal itu juga mengundang reaksi dari kaum santri. Kesadaran bahwa pemerintah kolonial merupakan pemerintahan kafir yang menjajah agama dan bangsa mereka semakin mendalam tertanam di benak para santri. Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti Belanda. Sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda dinilainya sebagai uang haram. Celana dan dasi pun dianggap haram karena dinilai sebagai pakaian identitas Belanda.[23]
          Di pihak lain, umat Islam ada yang bereaksi positif, artinya menerima konsep pendidikan Barat tetapi tetap mempertahankan ciri khas pribumi seperti yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah pada tahun 1937 mendirikan MULO pribumi di Yogyakarta, suatu sekolah menengah pertama dengan sistem pendidikan sebagai MULO biasa tapi menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar.[24]

          Munculnya Muhammadiyah (1912) memelopori penentangan politik pendidikan Imperialis Calvinis Belanda. Kemudian diikuti kebangkitan Perserikatan Ulama (1916), Persatuan Islam (1923), dan Nahdhatul Ulama (1926). Atas prakarsa NU dan Muhammadiyah dibentukla MIAI pada 1937. Dengan bangkitnya ormas dan orpol diatas, memberi bukti gagalnya teori Dutch Islamic Policy hasil pemikiran Snouck melumpuhkan Islam Indonesia.[25]



BAB. III
PENUTUP

A.      Kesimpulan

          Kedatangan Kolonial barat termasuk Belanda ke dunia timur telah mengubah alur sejarah dan membalas kekalahan mereka di masa kegelapan Eropa. Indonesia sebagai bagian dari dunia Timur juga tak luput dari kolonialisme dan Imperialisme, dalam hal ini Belanda. Indonesia yang mayoritas beragama Islam secara alamiah menjadi musuh yang sangat kontra terhadap Belanda yang membawa Kristenisasi. Kebijakan yang dibuat pun tidak jauh dari kepentingan Gold, Glory, Gospel melalui agama dan pendidikan. Mereka menganggap bahwa Agama (Islam) dianggap sebagai penghambat kepentingan mereka, sedangkan pendidikan dapat dijadikan alat pemulus langkah mereka. Umat Islam Indonesia bukan tanpa perlawanan, mereka secara alami mengelompok dan memposisikan diri sebagai penentang utama kebijakan-kebijakan itu, hingga munculnya banyak perlawanan (bagi belanda), dan jihad (bagi umat Islam), serta pembentukan ormas dan orpol juga sebagai lawan yang nyata bagi imperialisme Belanda.

B.       Saran

          Demikianlah makalah yang kami susun, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada kesalahan, kritik dan saran dari pembaca sangat kami tunggu. Karena bagaimanapun tulisan kami belum sempurna dan pembahasan masih sangat umum dan terbatas, sehingga perlu adanya masukan. Hal yang berkaitan dengan materi juga masih sampai tingkat yang umum, belum mendalam dan menyeluruh, maka sangat perlu untuk terus dikaji dan diperdalam oleh rekan lain atau oleh kami di kesempatan yang lain. Karena keterbatasan sumber, buku yang kami gunakan merupakan sumber-sumber sekunder yang memungkinkan adanya interpretasi penulis didalamnya.


Daftar Pustaka

Benda, Harry. 1980. Bulan sabit dan Matahari terbit Islam Indonesia pada masa pendudukan      Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suminto, Aqib. 1996. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES
Suryanegara, Ahmad Mansur. 1996. Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di    Indonesia. Bandung: Mizan
___________. 2015. Api Sejarah. Bandung: Surya Dinasti.
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradabab Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers.



[1] Badri Yatim, Sejarah Peradabab Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hlm. 174
[2]Ibid, hlm. 234
[3] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 1
[4] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 129
[5] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 9-10
[6] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 135-136
[7] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 24.
[8] Ibid, hlm. 19-20.
[9] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 129
[10] Ibid, hlm. 131
[11] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1 (Bandung: Surya Dinasti, 2015), hlm. 140
[12] Ibid, hlm. 141
[13] Harry Benda, Bulan sabit dan Matahari terbit (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 37
[14] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 129
[15] Ibid, hlm. 137
[16] Ibid, hlm. 137
[17] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1 (Bandung: Surya Dinasti, 2015), hlm. 343
[18] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 136
[19] Ibid, hlm. 141
[20] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 22-23.
[21] Ibid, hlm. 31.
[22] Pernyataan netral ini didasarkan pada UUD Belanda ayat 119 tahun 1855 yaitu “mengakui kemerdekaan beragama dan menyatakan netral dalam masalah agama, kecuali bila aktivitas agama tersebut dinilai menganggu ketertiban keamanan. Tetapi, pernyataan netral terhadap agama ternyata berbeda antara teori dan praktek. Sampai tahun-tahun terakhir berkuasanya, kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap agama lebih tepat dikatakan campur tangan daripada netral. (Lihat, Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 26-28.).
[23]Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 50.
[24]Ibid, hlm. 47.
[25] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 142

0 komentar:

Post a Comment